Wajah Raka memerah. Dadanya naik turun. Sepertinya emosi telah menguasai dirinya. Sementara Ayah dan beberapa pengawal nampak cemas melihat keduanya saling menantang. Jantungku berdegup kencang. Tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku yang masih belum pulih kesehatannya. Ya Tuhan, Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Perlahan aku mendekat pada Raka. Menyentuh lengannya dengan maksud menenangkan. Raka melirikku dengan ekor matanya. Namun kenapa tatapannya seperti itu? Hatiku mencelos ketika melihat tatapannya yang berbeda. "Ooh ..., seperti ini rupanya sikap seorang pengusaha sukses yang namanya sudah dikenal di dunia bisnis," sindir Rein seraya tersenyum miring. Raka makin geram mendengar ucapan Rein. Matanya menatap nanar pada laki-laki gondrong itu. "Ayah ..., mana Hafiz dan para pengawal ?" bisikku."Mereka tidak pulang sejak kemarin mencarimu." Aku tersentak mendengar jawaban Ayah yang sejak tadi terus memandang tajam pada Rein. "Robert ...!" gumam Ayah pelan, pandanganny
Tak henti-hentinya menyesali diri ini. Karena terlalu merasa lega dengan hasil yang disebutkan Dokter Lia, hingga aku sampai lupa meminta bukti tertulisnya. "Kalau Mas nggak percaya, ayo kita ke klinik itu sekarang!" ajakku seraya meraih lengannya dan membawanya keluar kamar. Dada ini terasa nyeri ketika Raka tiba-tiba menepis tanganku. Namun aku tetap bersyukur Dia mau menurutiku untuk pergi ke klinik 24 jam menemui dokter Lia. Sepanjang jalan aku tak berani mengajak Raka berbicara. Suamiku itu selalu memandang keluar. Seperti inikah Raka jika marah? Pasien yang antri cukup ramai ketika kami tiba di klinik. Aku dan Raka langsung menghampiri bagian petugas pendaftaran. "Suster, mau bertemu Dokter Lia, bisa?" "Maaf, dokter Lia sudah pulang sejak tadi, Bu. Sekarang sudah berganti dengan dokter Budianto yang praktek sore." Tubuhku langsung terasa lemas. Sementara Raka menampakkan wajah kesal. "Kapan saya bisa bertemu Dokter Lia lagi, Sus?" tanyaku penuh harap. "Dokter Lia hanya
"Selamat siang, Pak Rein." Seorang receptionis tiba-tiba berdiri dan menyapa Pria gondrong bertubuh besar yang masuk ke dalam gedung megah milik Angkasa Group itu. "Mana Ayahku?" Suara bariton yang mendominan itu sempat menggetarkan ruangan. "Pak Robert ada di ruangannya, Pak. Sebentar saya hubungi ..." Tanpa menunggu wanita itu menyelesaikan ucapannya, Rein terus melangkahkan kakinya menuju ruang sang Ayah. "Pokoknya saya tidak mau tau! Perempuan itu harus mati! Lakukan dengan bersih. Jangan sampai ada jejak!" Robert tampak sedang berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. Tanpa sepengetahuannya, Rein telah berdiri dengan geram di depan pintu Laki-laki yang sekilas tampak sangat mirip dengannya itu terperanjat ketika melihat Rein telah berdiri seraya mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya. "Sejak kapan kamu di situ?" selidiknya. "Aku telah mendengar semuanya. Jadi benar? Ayah yang melakukan semuanya?" cecar Rein seraya melangkah mendekat dan menatap tajam pada Ayahnya
"Tidak semudah itu, cantik. Shinta itu tidak sebodoh yang kamu pikir. Teruskan saja misimu untuk membuat mereka bercerai! Dengan demikian, tidak akan ada yang melindungi wanita itu lagi," ujar Robert antusias . "Misiku hampir gagal kemarin. Ternyata Rein hanya meneguk sedikit sekali minuman itu. Hingga obat perangsang yang juga aku masukkan ke dalam minumannya tidak bekerja. Setelah membopong tubuh Shinta ke kamar, Rein tak sadarkan diri walau hanya beberapa jam. Beruntung aku bisa memanfaatkan keadaan itu dengan meletakkan kamera tersembunyi di kamar itu," papar Aina panjang lebar. "Sungguh cerdas sekali kamu, Aina!" Robert terkagum-kagum pada wanita muda di hadapannya. "Satu yang aku minta. Aku ingin orang suruhan Rein yang tertangkap polisi itu tutup mulut . Kalau perlu ancam seluruh keluarganya.!"lanjutnya lagi. "Itu bisa diatur, Om. Asalkan kita bisa bekerja sama dengan baik," sahut wanita bergaya sangat glamour itu sebelum berlalu meninggalkan meninggalkan ruangan Robert.
Pada Bab ini kembali pada Pov ShintaDua minggu sudah Raka mendiamkanku. Sepertinya suamiku itu sangat kecewa. Selama itu pula dia tidak menyentuhku. padahal kami masih bisa dibilang pengantin baru. Sampai saat ini pun Raka masih meragukanku tentang kejadian malam itu. Karena Hafiz dan para pengawal sempat melihatku bersama Rein sejak pesta belum dimulai. Namun karena mereka tak berhasil memasuki area pesta, mereka tak menemukanku hingga esok harinya. Pagi ini kepalaku sangat pusing. Sepertinya tidak kuat untuk bangun. Sejak sesudah mandi dan salat subuh tadi aku kembali berbaring di tempat tidur. Berharap Raka memberi sedikit perhatian .Namun ternyata laki-laki itu tetap saja acuh. "Non Shinta tidak ke kantor, Tuan?" terdengar suara Bu Nuri menanyakanku pada Raka di depan pintu. "Entahlah, Bu Nuri. Tolong anda periksa. Sepertinya Maira kurang sehat." Dasar laki-laki, gengsi kok dipertahankan. Kenapa tidak dia saja yang memeriksaku?"Baik, Tuan." Terdengar langkah Bu Nuri mend
Namun kenapa Raka tampak biasa saja? Bukankah dia sangat menginginkan aku hamIl secepatnya? Bukankah dia yang selalu bersemangat ingin punya anak? Ya Tuhan. Lindungilah keluargaku dari fitnah. "Jadi sebentar lagi Ayah akan jadi kakek?"teriak Ayah membuyarkan lamunanku. "Selamat Pak Pratama!. Oh, ya Bu Shinta. Ini saya beri resep vitamin untuk ibu hamil. Secepatnya untuk diperiksakan dengan dokter ahli kandungan," jelas Dokter yang sudah beruban banyak itu pada Raka . "Baik, Dok." sahut Suamiku yang masih terlihat dingin. Setelah Dokter Frans pergi, Ayah dan Bu Nuri pun telah beranjak dari ruangan tengah ini. Sementara Raka masih mengacuhkanku.Aku mengikutinya ke kamar. Entah kenapa rasanya kesabaranku sudah mulai habis. Aku tidak terima didiamkan seperti ini. "Mas Raka, ..., apa sebenarnya yang Mas inginkan?" tanyaku menahan emosi. "Anak siapa yang ada dalam rahimmu?" Sontak aku terperanjat bagai disambar petir mendengar pertanyaan dari suamiku itu. "Astagfirullahaladzim ..
Taksi yang aku tumpangi telah memasuki wilayah pinggir kota. Tempat yang sering aku lalui ketika sekolah dulu. Ternyata belum banyak yang berubah. Pagar besi berwarna biru setinggi satu meter itu telah nampak dari kejauhan. Rumah besar bertuliskan PANTI ASUHAN itu telah terlihat dan semakin dekat. Taksi terpaksa menepi ketika sebuah mobil keluar dari rumah panti. Siapa pemilik mobil mewah itu? Apakah milik seorang donatur? Kenapa sepertinya aku mengenal mobil itu? Astaga! Mataku membola ketika melihat seseorang yang aku kenal di balik kaca mobil. Untuk apa laki-laki gondrong itu ke rumah panti? Apa Rein ada hubungannya dengan orang-orang yang akan membunuhku? Setelah mobil Rein menghilang. Taksi memasuki halaman Rumah Panti yang kebetulan pagarnya belum sempat ditutup. Tampak ibu panti yg sepertinya tadi hendak masuk ke dalam rumah, tiba-tiba kembali berbalik dan mengernyitkan dahi ketika melihat sebuah taksi memasuki halaman panti. "Assalamualaikum, Bu ...!" "Waalaikumsalam
Setelah salat ashar aku keluar kamar mencari Hikmah dan Bu Nurul. Suasana panti sudah tidak seperti dulu. Anak-anak yang sudah dewasa hanya tinggal beberapa orang saja, termasuk Hikmah. Sementara anak-anak yang masih usia sekolah berada di asrama yang terletak di belakang rumah ini "Saya tidak tau untuk apa dia kembali ke sini, Tuan. Baiklah Tuan. Saya akan tutup mulut." Aku mendengar suara Bu Nurul sedang berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. Siapa yang dia panggil dengan sebutan Tuan? Tutup mulut dalam hal apa beliau hingga seperti orang ketakutan? Sepertinya Bu Nurul ada yang mengancam. Tapi siapa? "Assalamualaikum ...!" Terdengar suara seseorang mengucap salam dari luar. Sepertinya aku mengenal suara itu. Sebaiknya aku tidak menampakkan diri dulu sebelum tau siapa yang datang. "Waalaikumsalam ....! Ya Ampun ..., Bu Minah. Ayo sini masuk!" Bu Minah? Ibunya Mas Alif? Ada apa ibu ke sini? "Bu Nurul, tolong bantu bicara pada Bos Boman. Anak saya tolong di bebaskan. Tolon