Taksi yang aku tumpangi telah memasuki wilayah pinggir kota. Tempat yang sering aku lalui ketika sekolah dulu. Ternyata belum banyak yang berubah. Pagar besi berwarna biru setinggi satu meter itu telah nampak dari kejauhan. Rumah besar bertuliskan PANTI ASUHAN itu telah terlihat dan semakin dekat. Taksi terpaksa menepi ketika sebuah mobil keluar dari rumah panti. Siapa pemilik mobil mewah itu? Apakah milik seorang donatur? Kenapa sepertinya aku mengenal mobil itu? Astaga! Mataku membola ketika melihat seseorang yang aku kenal di balik kaca mobil. Untuk apa laki-laki gondrong itu ke rumah panti? Apa Rein ada hubungannya dengan orang-orang yang akan membunuhku? Setelah mobil Rein menghilang. Taksi memasuki halaman Rumah Panti yang kebetulan pagarnya belum sempat ditutup. Tampak ibu panti yg sepertinya tadi hendak masuk ke dalam rumah, tiba-tiba kembali berbalik dan mengernyitkan dahi ketika melihat sebuah taksi memasuki halaman panti. "Assalamualaikum, Bu ...!" "Waalaikumsalam
Setelah salat ashar aku keluar kamar mencari Hikmah dan Bu Nurul. Suasana panti sudah tidak seperti dulu. Anak-anak yang sudah dewasa hanya tinggal beberapa orang saja, termasuk Hikmah. Sementara anak-anak yang masih usia sekolah berada di asrama yang terletak di belakang rumah ini "Saya tidak tau untuk apa dia kembali ke sini, Tuan. Baiklah Tuan. Saya akan tutup mulut." Aku mendengar suara Bu Nurul sedang berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. Siapa yang dia panggil dengan sebutan Tuan? Tutup mulut dalam hal apa beliau hingga seperti orang ketakutan? Sepertinya Bu Nurul ada yang mengancam. Tapi siapa? "Assalamualaikum ...!" Terdengar suara seseorang mengucap salam dari luar. Sepertinya aku mengenal suara itu. Sebaiknya aku tidak menampakkan diri dulu sebelum tau siapa yang datang. "Waalaikumsalam ....! Ya Ampun ..., Bu Minah. Ayo sini masuk!" Bu Minah? Ibunya Mas Alif? Ada apa ibu ke sini? "Bu Nurul, tolong bantu bicara pada Bos Boman. Anak saya tolong di bebaskan. Tolon
"Apa yang sedang kalian bicarakan, ha ...?" Aku dan Hikmah terlonjak ketika tiba-tiba Bu Nurul sudah berada di depan pintu. Ya Tuhan. Apakah Bu Nurul mendengar apa yang aku bicarakan tadi? "M-maaf, Bu. Ada hubungan apa Bu Nurul dengan Reinhard? Tadi aku lihat dia keluar dari panti ini," Entah keberanian dari mana aku nekat menanyakan ini pada Bu Nurul. Wajah wanita itu mendadak pias. Sepertinya dia tidak menyangka aku mengetahui hal ini. Sesaat kami terdiam. "Shinta ..., sebenarnya aku sudah muak hidup penuh tekanan dari orang-orang kaya itu. Sejak kamu datang ke panti ini. Tak henti-hentinya mereka menyuruhku ini dan itu. Ini semua karena kamu. Selalu menyusahkan saja!" cerocos Bu Nurul yang mulai nampak emosi. Aku terhenyak mendengar perkataan Bu Nurul. Apakah benar aku selalu menyusahkan mereka? "Bu, Sebaiknya kita duduk di ruang tamu saja yuk!" ajak Hikmah seraya menuntun Bu Nurul melangkah keluar kamar. Aku mengikuti mereka. Saat tiba di ruang tamu, aku terkejut melihat
"Shin, Kamu jadi pergi malam-malam begini?" tanya Hikmah cemas ketika melihatku bersiap-siap melangkah dan menarik koper keluar kamar. "Iya, Mah." "Tapi kamu mau ke mana malam-malam begini? Sebaiknya kamu hubungi Raka agar menjemputmu di sini!" "Tidak! Aku bisa sendiri!" sahutku kembali menahan sesak mengingat perkataan suamiku tadi pagi. Setelah kembali menyalakan ponsel, kemudian aku pun memesan taksi online. Biarlah malam ini aku menginap di salah satu hotel di wilayah sini. Besok akan aku pikirkan kembali langkah selanjutnya. "Bu Nurul, Aku pergi ...,"teriakku dari luar kamarnya yang masih tertutup rapat. Namun tidak ada sahutan dan pintupun masih tertutup rapat. "A-aku minta maaf, Bu ...!"lanjutku lagi, kemudian melanjutkan langkahku menuju keluar panti. Hikmah dengan setia mengantarku ke pintu pagar. "Hati-hati, ya, Shin!" Hikmah memelukku ketika taksi yang aku pesan tiba. Aku melambaikan tangan pada sahabatku itu ketika taksi sudah mulai melaju. Ya Tuhan, Lindungi di
Perlahan aku membuka mata. Udara terasa sangat dingin. Samar-samar terlihat dinding berwarna biru muda. Ruangan ini begitu asing bagiku. Ya Allah, di mana aku? Aku tersentak ketika mengingat kejadian yang baru saja aku alami. Siapa orang-orang yang menculikku tadi? Tersadar bahwa diriku sedang terbaring di atas tempat tidur kayu sederhana. Ruangan sempit ini terasa pengap. Sepertinya ini sudah tengah malam. Perutku terasa lapar. Tenggorokanpun terasa sangat kering. Ya Allah, lindungilah anakku. Perlahan aku bangkit dan mencoba untuk turun. Kemudian melangkah untuk membuka pintu, namun terkunci. Berlanjut ke jendela dan mencoba untuk membukanya. Namun juga terkunci dan terhalang teralis besi. Mataku berbinar melihat sebotol air minum kemasan yang masih bersegel. Gegas kubuka dan menenggaknya. Tiba-tiba aku teringat sesuatu Astaga! Ponselku! Mataku menyisir seisi ruangan mencari ponsel, koper dan tasku. Namun tak kutemukan. Mereka pasti sudah menyitanya. Memutar otak untu
Salah satu preman menyodorkan selembar kertas bermaterai yang berisi surat pernyataan. "Apa ini?" "Sudah jangan banyak tanya! Cepat tanda tangani! Atau kamu mau saya siksa?" Sekilas aku baca surat itu berisi pemindahan kekuasaan secara mutlak. Aku menggeleng. Tubuhku bergetar hebat karena takut. Kedua mataku mulai mengembun. "Jangan coba-coba melawan kalau tidak mau mati di sini!" Sebuah meja di gebrak kencang oleh salah satu preman, hingga membuatku terlonjak. "Cepat tandatangani! Atau saya pu ...." "Berhenti!" teriak seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik pintu "Sekali lagi kalian sentuh wanita itu, kalian mati dihadapanku!" lanjut laki-laki gondrong yang ternyata adalah Reinhard. "Dasar anak bodoh! Hajar dia!" Dengan wajah memerah, Pak Robert memerintah para preman untuk menghajar Rein. Orang tua Aneh. Demi mengejar ambisinya, dia tega menghajar anaknya sendiri. Rein di hajar oleh empat preman berbadan besar. Namun sepertinya Rein yang kali ini rambutnya dibiarkan
Tiba-tiba .... Dor ! Dor ! "Awas Shintaaa ...!' "Aaaa ...!" "Mataku membelalak mencari suara seseorang yang sangat aku kenal menyebut namaku." Hafiz ... Aku yakin itu adalah suara Hafiz. Dengan napas yang memburu, sontak aku menoleh ke belakang. Aku terpekik melihat Pak Robert tersungkur tak berdaya tepat di belakangku. Gegas aku melepaskan ikatan tali yang sudah hampir terlepas. Sementara Hafiz dengan gesit meraih pistol Pak Robert yang terpental tak jauh darinya. Sepertinya Hafiz berhasil menggagalkan penembakan yang diarahkan padaku. Sedangkan Rein justru berhasil membunuh Ayahnya sendiri. Tapi ..., bagaimana Hafiz bisa masuk ke dalam rumah ini ? Apa ada pintu lain? "Ayo, Shinta. Kamu harus ikut aku!" "Tidak, Rein ...! Jangan ..! Hafiz tolong ...!" Aku berteriak sekencang mungkin ketika laki-laki gondrong itu meraih paksa tubuhku dan mengangkatku keluar. Sementara para preman suruhan Rein mengepung Hafiz dengan senjata. "Hei, laki - laki pengecut! Ayo satu lawan satu k
Aku yang masih tercengang dengan apa yang baru saja aku hadapi, dikejutkan oleh seseorang yang memelukku dari belakang. "Sayaang, maafkan aku ...!" Hatiku berdesir mendengar suara itu. Napasnya begitu hangat ditelingaku. Aku sangat merindukan pelukan ini. Namun tiba-tiba kepalaku terasa sangat pusing. Mataku berkunang-kunang. Tubuhku terasa sangat lemas. Raka mengangkat tubuhku yang sudah lemas dan membawaku ke mobil. Tanganku mellingkar pada lehernya. Sepertinya Suamiku ini sudah tidak marah. Raka merebahkan tubuhku di dalam mobil. Kepalaku berada di pangkuannya. "Jalan, Pak!" "Siap, Tuan!" sahut Pak Pardi. Sepanjang jalan laki-laki itu terus membelai kepalaku. Kami saling menatap dalam diam. "Sayang, maafkan papa telah mengabaikanmu!" Tiba-tiba Raka membelai perutku. "Papa janji akan terus menjagamu juga mamamu!" lanjutnya lagi. Betapa bahagia hati ini. Air mataku berjatuhan karena terharu. Kedua mata suamiku pun nampak berkaca-kaca. Cup! Hatiku meghangat ketika Raka m