Perlahan aku membuka mata. Udara terasa sangat dingin. Samar-samar terlihat dinding berwarna biru muda. Ruangan ini begitu asing bagiku. Ya Allah, di mana aku? Aku tersentak ketika mengingat kejadian yang baru saja aku alami. Siapa orang-orang yang menculikku tadi? Tersadar bahwa diriku sedang terbaring di atas tempat tidur kayu sederhana. Ruangan sempit ini terasa pengap. Sepertinya ini sudah tengah malam. Perutku terasa lapar. Tenggorokanpun terasa sangat kering. Ya Allah, lindungilah anakku. Perlahan aku bangkit dan mencoba untuk turun. Kemudian melangkah untuk membuka pintu, namun terkunci. Berlanjut ke jendela dan mencoba untuk membukanya. Namun juga terkunci dan terhalang teralis besi. Mataku berbinar melihat sebotol air minum kemasan yang masih bersegel. Gegas kubuka dan menenggaknya. Tiba-tiba aku teringat sesuatu Astaga! Ponselku! Mataku menyisir seisi ruangan mencari ponsel, koper dan tasku. Namun tak kutemukan. Mereka pasti sudah menyitanya. Memutar otak untu
Salah satu preman menyodorkan selembar kertas bermaterai yang berisi surat pernyataan. "Apa ini?" "Sudah jangan banyak tanya! Cepat tanda tangani! Atau kamu mau saya siksa?" Sekilas aku baca surat itu berisi pemindahan kekuasaan secara mutlak. Aku menggeleng. Tubuhku bergetar hebat karena takut. Kedua mataku mulai mengembun. "Jangan coba-coba melawan kalau tidak mau mati di sini!" Sebuah meja di gebrak kencang oleh salah satu preman, hingga membuatku terlonjak. "Cepat tandatangani! Atau saya pu ...." "Berhenti!" teriak seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik pintu "Sekali lagi kalian sentuh wanita itu, kalian mati dihadapanku!" lanjut laki-laki gondrong yang ternyata adalah Reinhard. "Dasar anak bodoh! Hajar dia!" Dengan wajah memerah, Pak Robert memerintah para preman untuk menghajar Rein. Orang tua Aneh. Demi mengejar ambisinya, dia tega menghajar anaknya sendiri. Rein di hajar oleh empat preman berbadan besar. Namun sepertinya Rein yang kali ini rambutnya dibiarkan
Tiba-tiba .... Dor ! Dor ! "Awas Shintaaa ...!' "Aaaa ...!" "Mataku membelalak mencari suara seseorang yang sangat aku kenal menyebut namaku." Hafiz ... Aku yakin itu adalah suara Hafiz. Dengan napas yang memburu, sontak aku menoleh ke belakang. Aku terpekik melihat Pak Robert tersungkur tak berdaya tepat di belakangku. Gegas aku melepaskan ikatan tali yang sudah hampir terlepas. Sementara Hafiz dengan gesit meraih pistol Pak Robert yang terpental tak jauh darinya. Sepertinya Hafiz berhasil menggagalkan penembakan yang diarahkan padaku. Sedangkan Rein justru berhasil membunuh Ayahnya sendiri. Tapi ..., bagaimana Hafiz bisa masuk ke dalam rumah ini ? Apa ada pintu lain? "Ayo, Shinta. Kamu harus ikut aku!" "Tidak, Rein ...! Jangan ..! Hafiz tolong ...!" Aku berteriak sekencang mungkin ketika laki-laki gondrong itu meraih paksa tubuhku dan mengangkatku keluar. Sementara para preman suruhan Rein mengepung Hafiz dengan senjata. "Hei, laki - laki pengecut! Ayo satu lawan satu k
Aku yang masih tercengang dengan apa yang baru saja aku hadapi, dikejutkan oleh seseorang yang memelukku dari belakang. "Sayaang, maafkan aku ...!" Hatiku berdesir mendengar suara itu. Napasnya begitu hangat ditelingaku. Aku sangat merindukan pelukan ini. Namun tiba-tiba kepalaku terasa sangat pusing. Mataku berkunang-kunang. Tubuhku terasa sangat lemas. Raka mengangkat tubuhku yang sudah lemas dan membawaku ke mobil. Tanganku mellingkar pada lehernya. Sepertinya Suamiku ini sudah tidak marah. Raka merebahkan tubuhku di dalam mobil. Kepalaku berada di pangkuannya. "Jalan, Pak!" "Siap, Tuan!" sahut Pak Pardi. Sepanjang jalan laki-laki itu terus membelai kepalaku. Kami saling menatap dalam diam. "Sayang, maafkan papa telah mengabaikanmu!" Tiba-tiba Raka membelai perutku. "Papa janji akan terus menjagamu juga mamamu!" lanjutnya lagi. Betapa bahagia hati ini. Air mataku berjatuhan karena terharu. Kedua mata suamiku pun nampak berkaca-kaca. Cup! Hatiku meghangat ketika Raka m
"Pasien membutuhkan donor darah B. Kebetulan persediaan darah di rumah sakit ini sedang habis. Donor dibutuhkan secepatnya. Diutamakan dari keluarga dekat. Misalnya orang tua atau saudara kandung." "Saya Ayahnya, Sus." "Saya ibunya, Suster." Aku dan Raka ternganga mendengar perkataan Ayah dan Bu Nuri. "Ambil saja darah saya, Suster!" pinta Ayah. "Ambil darah saya, Suster!" ujar Bu Nuri juga bersamaan. Aku dan Raka saling menatap. Ingin langsung kutanyakan pada Ayah mengenai hal ini. Namun kuurungkan ketika Raka memberikan kode dengan gelengan kepala. Biarlah nanti jika Hafiz telah sadar, aku akan minta penjelasan pada Ayah. Ayah dan Bu Nuri gegas mengikuti perawat itu. Sementara aku dan Raka masih duduk di ruang tunggu. "Jika kamu lelah, sebaiknya kita pulang saja." Raka memandangku penuh khawatir. Sebenarnya aku sangat lelah setelah mengalami hal yang sangat menegangkan tadi. Namun aku juga begitu mengkhawatirkan Hafiz. Bagaimanapun juga dia telah menyelamatkan nyawaku. A
Aku tersentak ketika baru saja terjaga dari tidur. Mas Raka nampak sedang sibuk dengan laptopnya, seraya bersandar pada sofa panjang di ruang vip ini "Mas ..., Apa sudah ada kabar dari Ayah tentang Hafiz?" "Hei ..., kamu sudah bangun, Sayang?"Raka segera beranjak menghampiriku. "Hafiz sudah melewati masa kritisnya. Bu Nuri berhasil mendonorkan darahnya untuk Hafiz." "Alhamdulilah. Syukurlah ..!" aku merasa sangat lega sekarang. "Assalamualaikum ...!" "Waalaikumsalam ...! Aku semakin lega ketika melihat Ayah dan Bu Nuri datang dengan wajah berseri. "Bagaimana kabar cucu Ayah?" "Iya deh ..., yang dikhawatirkan Ayah sekarang cucunya terus. Anaknya kalah saing." Aku pura-pura merajuk. Ayah terbahak-bahak melihatku memajukan bibirku. "Non Shinta dan Tuan Raka pasti sangat senang sudah bisa berkumpul kembali." Bu Nuri berkata seraya memijit-mijit kakiku. Pijatan Bu Nuri sungguh menenangkan. Aku selalu merasakan nyaman berada di dekat wanita ini. "Bu ...." panggilku lembut ser
Wajah Raka tampak semakin panik. Ada apa gerangan? Siapa wanita yang dia maksud? Raka menutup ponselnya, kemudian mendekatiku. "Sayang, Aku harus segera pulang. Aina membuat kekacauan dikantorku." Aku tersentak mendengar kabar dari Raka. Ada apa lagi ini? "Aku ikut pulang." pungkasku. "Kamu masih lemah, Maira. Sebaiknya kamu tetap di sini bersama Ayah dan Bu Nuri," sanggah Raka. Aku menggeleng cepat. "Tidak! Aku sudah tidak apa-apa!" "Kenapa istriku keras kepala sekalii?"Raka mencubit hidungku gemas. Raka memandangku tajam. Sepertinya dia memang keberatan aku ikut dengannya. "Ayah, Jika kondisi Hafiz sudah stabil. Sebaiknya kita pindahkan ke rumah sakit langgananku di kota. Dia bisa mendapat perawatan terbaik di sana. Said akan mengurusnya," ungkap Raka. "Terimakasih, Raka. Betul kamu sudah merasa enakan, Maira? Jangan sampai cucu Ayah kenapa-kenapa!' tanya Ayah. "Aku nggak apa-apa. Tenanglah!" sahutku seraya bangkit dan duduk di tempat tidur. Tak lama kemudian, perawat
"Pak .. berhenti! Saya turun di sini!" Raka langsung keluar dan berlari memasuki gedung, ketika Pak Pardi menghentikan mobil. "Pak, saya juga turun di sini!" selaku. Akupun mendekati kerumunan itu. Sepertinya para karyawan tidak menyadari kedatanganku di belakang mereka . Diam-diam aku mendengar perbincangan mereka. "Bu Aina pasti sangat mencintai Pak Raka, sampai dia nekad mau bunuh diri agar Pak Raka mau kembali padanya." "Dulu mereka sering kemana-mana berdua. Mereka terlihat cocok." "Kenapa Pak Raka tidak menikah dengan Bu Aina saja?" Ya Allah ..., ternyata mereka dulu sangat dekat. Bahkan hampir semua karyawan sudah mengetahuinya. Hatiku terasa diremas mendengar ini semua. Aku mendongakkan kepala ke atas. Astaga ..! Aina berdiri tepat pada lantai paling atas gedung ini. ... Wanita cantik itu sepertinya sedang menangis tergugu. Sesekali punggung tangannya mengusap matanya yang basah. Gedung staf direksi memang tidak setinggi gedung operasional. Gedung yang hanya terdir