"Pasien membutuhkan donor darah B. Kebetulan persediaan darah di rumah sakit ini sedang habis. Donor dibutuhkan secepatnya. Diutamakan dari keluarga dekat. Misalnya orang tua atau saudara kandung." "Saya Ayahnya, Sus." "Saya ibunya, Suster." Aku dan Raka ternganga mendengar perkataan Ayah dan Bu Nuri. "Ambil saja darah saya, Suster!" pinta Ayah. "Ambil darah saya, Suster!" ujar Bu Nuri juga bersamaan. Aku dan Raka saling menatap. Ingin langsung kutanyakan pada Ayah mengenai hal ini. Namun kuurungkan ketika Raka memberikan kode dengan gelengan kepala. Biarlah nanti jika Hafiz telah sadar, aku akan minta penjelasan pada Ayah. Ayah dan Bu Nuri gegas mengikuti perawat itu. Sementara aku dan Raka masih duduk di ruang tunggu. "Jika kamu lelah, sebaiknya kita pulang saja." Raka memandangku penuh khawatir. Sebenarnya aku sangat lelah setelah mengalami hal yang sangat menegangkan tadi. Namun aku juga begitu mengkhawatirkan Hafiz. Bagaimanapun juga dia telah menyelamatkan nyawaku. A
Aku tersentak ketika baru saja terjaga dari tidur. Mas Raka nampak sedang sibuk dengan laptopnya, seraya bersandar pada sofa panjang di ruang vip ini "Mas ..., Apa sudah ada kabar dari Ayah tentang Hafiz?" "Hei ..., kamu sudah bangun, Sayang?"Raka segera beranjak menghampiriku. "Hafiz sudah melewati masa kritisnya. Bu Nuri berhasil mendonorkan darahnya untuk Hafiz." "Alhamdulilah. Syukurlah ..!" aku merasa sangat lega sekarang. "Assalamualaikum ...!" "Waalaikumsalam ...! Aku semakin lega ketika melihat Ayah dan Bu Nuri datang dengan wajah berseri. "Bagaimana kabar cucu Ayah?" "Iya deh ..., yang dikhawatirkan Ayah sekarang cucunya terus. Anaknya kalah saing." Aku pura-pura merajuk. Ayah terbahak-bahak melihatku memajukan bibirku. "Non Shinta dan Tuan Raka pasti sangat senang sudah bisa berkumpul kembali." Bu Nuri berkata seraya memijit-mijit kakiku. Pijatan Bu Nuri sungguh menenangkan. Aku selalu merasakan nyaman berada di dekat wanita ini. "Bu ...." panggilku lembut ser
Wajah Raka tampak semakin panik. Ada apa gerangan? Siapa wanita yang dia maksud? Raka menutup ponselnya, kemudian mendekatiku. "Sayang, Aku harus segera pulang. Aina membuat kekacauan dikantorku." Aku tersentak mendengar kabar dari Raka. Ada apa lagi ini? "Aku ikut pulang." pungkasku. "Kamu masih lemah, Maira. Sebaiknya kamu tetap di sini bersama Ayah dan Bu Nuri," sanggah Raka. Aku menggeleng cepat. "Tidak! Aku sudah tidak apa-apa!" "Kenapa istriku keras kepala sekalii?"Raka mencubit hidungku gemas. Raka memandangku tajam. Sepertinya dia memang keberatan aku ikut dengannya. "Ayah, Jika kondisi Hafiz sudah stabil. Sebaiknya kita pindahkan ke rumah sakit langgananku di kota. Dia bisa mendapat perawatan terbaik di sana. Said akan mengurusnya," ungkap Raka. "Terimakasih, Raka. Betul kamu sudah merasa enakan, Maira? Jangan sampai cucu Ayah kenapa-kenapa!' tanya Ayah. "Aku nggak apa-apa. Tenanglah!" sahutku seraya bangkit dan duduk di tempat tidur. Tak lama kemudian, perawat
"Pak .. berhenti! Saya turun di sini!" Raka langsung keluar dan berlari memasuki gedung, ketika Pak Pardi menghentikan mobil. "Pak, saya juga turun di sini!" selaku. Akupun mendekati kerumunan itu. Sepertinya para karyawan tidak menyadari kedatanganku di belakang mereka . Diam-diam aku mendengar perbincangan mereka. "Bu Aina pasti sangat mencintai Pak Raka, sampai dia nekad mau bunuh diri agar Pak Raka mau kembali padanya." "Dulu mereka sering kemana-mana berdua. Mereka terlihat cocok." "Kenapa Pak Raka tidak menikah dengan Bu Aina saja?" Ya Allah ..., ternyata mereka dulu sangat dekat. Bahkan hampir semua karyawan sudah mengetahuinya. Hatiku terasa diremas mendengar ini semua. Aku mendongakkan kepala ke atas. Astaga ..! Aina berdiri tepat pada lantai paling atas gedung ini. ... Wanita cantik itu sepertinya sedang menangis tergugu. Sesekali punggung tangannya mengusap matanya yang basah. Gedung staf direksi memang tidak setinggi gedung operasional. Gedung yang hanya terdir
Perlahan aku mendekati ruangan yang ternyata adalah ruang rapat direksi. Dengan langkah pelan aku mencoba untuk masuk ke dalam. Aku hampir terpekik ketika melihat pemandangan memuakkan tepat di depan mata dan kepalaku. Dari balik pintu ini nampak sepasang manusia sedang bermesraan di ruangan itu. Mereka melakukannya di atas meja panjang yang terdapat di tengah-tengah ruangan. Begitu menjijikkan. Desahan dan napas yang memburu dari wanita bernama Aina itu jelas terdengar di ruangan yang sangat sepi ini. Wanita itu begitu bergairah hingga tak menyadari kedatanganku. Tubuh wanita seksi itu berada tepat di atas tubuh suamiku. Aina, wanita terhormat itu bagaikan seorang wanita penghibur bermain diatas tubuh suamiku. Tapi kenapa Mas Raka yang terbaring di meja panjang itu bergeming saja? Bahkan Raka sama sekali tak bergerak ketika dengan buas perempuan itu melucuti pakaian suamiku satu persatu. Hatiku bagaikan diremas. Sakit sekali. Begitu tega Raka menghianatiku. Tak terasa air mata
Napasku tersengal. Pikiranku tak lepas pada suamiku. Saat ini dia berada dalam genggaman wanita gila itu. Bagaikan menghitung detik jam, dengan jantung berdebar menunggu pintu lift terbuka. "Bu Shinta! Syukurlah ibu tidak apa-apa!" Betapa lega rasanya, ketika pintu lift terbuka, Pak Pardi sudah berdirii di depan lift bersama beberapa security. "Pak .., tolong! Tuan Raka dalam ancaman wanita yang bernama Aina.Bawa beberapa security ke ruang rapat direksi." cecarku dengan napas masih tersengal-sengal. "Hati-hati, Pak! Wanita itu sepertinya tidak waras." lanjutku lagi sebelum Pak Pardi dan dua oang security masuk ke dalam lift.Dan satu security naik melewati tangga darurat. Sementara aku menghubungi polisi lewat telpon kantor. Tak henti-hentinya aku berdoa demi keselamatan suamiku. Aku yakin, bahwa yang mengirim pesan pada pak Pardi tadi adalah Aina. Wanita itu pasti menggunakan ponsel Raka. Dengan tubuh masih gemetar aku menunggu kedatangan polisi di main lobby bersama bebera
Pov Raka Aina tak henti-hentinya menghubungiku. Wanita itu tetap tidak terima aku menikahi Maira. "Mana janjimu, Raka? Aku tak menyangka kamu akan melanggar janjimu!" geram Aina padaku Siang itu Aina memaksa minta bertemu di depan salah satu cafe. Jika aku tidak menemuinya, dia akan membongkar semua rahasiaku. Untuk menghindari publik, Kamipun berbicara di dalam mobil. "Janji apa Aina? Sebaiknya urus saja dirimu sendiri. Aku sudah tak ada urusan denganmu. Hubungan kita sudah lama selesai," tegasku. "Dasar laki-laki buaya! Selama ini kamu hanya mempermainkan perasaanku saja. Bahkan kau telah merenggut kesucianku, Raka," jeritnya tertahan, matanya menatap nanar padaku Bagai di hempas batu besar, kata-kata Aina barusan membuatku merasa paling bodoh. Entah kenapa dulu aku begitu saja tergoda oleh wanita ini. Padahal sejak awal aku telah bertekad ingin mencari Maira, dan hanya Maira wanita satu-satunya menjadi impianku. "Maafkan aku Aina. Bukankah kita melakukannya saat itu ata
Ternyata Aina tidak menyerah begitu saja. Sejak pertemuan siang itu, dia terus-terusan menerorku. Seperti saat ini. Dia mengancam akan bunuh diri jika aku tak datang menemuinya di kantor. Tidak hanya itu, orang tuanya pun ikut mengancamku. Jika terjadi apa-apa pada Aina, maka akulah penyebabnya. "Raka ... jika kamu tidak meninggalkan perempuan kampung itu, Aku akan bunuh diri!" "Raka ... ,ayo nikahi aku. Jika tidak, lebih baik aku mati." "Raka ..., Aku akan bunuh diri di kantormu. Agar dunia tahu, bahwa kamulah penyebab aku mati." Sungguh aku panik mendengar ancaman demi ancaman dari wanita gila itu. Aina adalah wanita yang licik dan nekad. Aku tambah panik ketika Maira ingin ikut ke kantor. Bagaimana jika nanti mereka bertemu? Bagaimana jika Aina mengatakan semua rahasia ini? Tidak! Maira jangan sampai mengetahui apapun tentang masa laluku. Begitu tiba di lobby kantor, aku segera berlari menuju lantai paling atas gedung direksi. Sesuai permintaan wanita itu, hanya aku ya