Pov Raka Aina tak henti-hentinya menghubungiku. Wanita itu tetap tidak terima aku menikahi Maira. "Mana janjimu, Raka? Aku tak menyangka kamu akan melanggar janjimu!" geram Aina padaku Siang itu Aina memaksa minta bertemu di depan salah satu cafe. Jika aku tidak menemuinya, dia akan membongkar semua rahasiaku. Untuk menghindari publik, Kamipun berbicara di dalam mobil. "Janji apa Aina? Sebaiknya urus saja dirimu sendiri. Aku sudah tak ada urusan denganmu. Hubungan kita sudah lama selesai," tegasku. "Dasar laki-laki buaya! Selama ini kamu hanya mempermainkan perasaanku saja. Bahkan kau telah merenggut kesucianku, Raka," jeritnya tertahan, matanya menatap nanar padaku Bagai di hempas batu besar, kata-kata Aina barusan membuatku merasa paling bodoh. Entah kenapa dulu aku begitu saja tergoda oleh wanita ini. Padahal sejak awal aku telah bertekad ingin mencari Maira, dan hanya Maira wanita satu-satunya menjadi impianku. "Maafkan aku Aina. Bukankah kita melakukannya saat itu ata
Ternyata Aina tidak menyerah begitu saja. Sejak pertemuan siang itu, dia terus-terusan menerorku. Seperti saat ini. Dia mengancam akan bunuh diri jika aku tak datang menemuinya di kantor. Tidak hanya itu, orang tuanya pun ikut mengancamku. Jika terjadi apa-apa pada Aina, maka akulah penyebabnya. "Raka ... jika kamu tidak meninggalkan perempuan kampung itu, Aku akan bunuh diri!" "Raka ... ,ayo nikahi aku. Jika tidak, lebih baik aku mati." "Raka ..., Aku akan bunuh diri di kantormu. Agar dunia tahu, bahwa kamulah penyebab aku mati." Sungguh aku panik mendengar ancaman demi ancaman dari wanita gila itu. Aina adalah wanita yang licik dan nekad. Aku tambah panik ketika Maira ingin ikut ke kantor. Bagaimana jika nanti mereka bertemu? Bagaimana jika Aina mengatakan semua rahasia ini? Tidak! Maira jangan sampai mengetahui apapun tentang masa laluku. Begitu tiba di lobby kantor, aku segera berlari menuju lantai paling atas gedung direksi. Sesuai permintaan wanita itu, hanya aku ya
Setelah melewati proses selama beberapa bulan, akhirnya Eternal Group resmi menjadi milikku. Acara peresmian rencananya akan diadakan minggu depan. Semua pimpinan dari anak perusahaan akan diundang. Sungguh aku merasa ini bagai mimpi. Rasanya baru kemarin aku menjadi istri dan menantu yang selalu diperlakukan semena-mena. Aku si istri dekil yang selalu menjadi tempat bullyan keluarga Alif. Enam bulan tinggal bersama mereka bagaikan bertahun-tahun lamanya. Namun kini aku telah menjadi seorang ratu di rumahku. Suami yang tampan dan sangat mencintaiku. Orang tua yang begitu sayang padaku. "Shin, Raka berpesan sore ini kamu jangan lupa periksa kandungan," "Loh, Kak Hafiz nggak ngantor?" tanyaku heran melihat kakakku itu sudah berada di rumah di saat masih siang. Sejak Hafiz sembuh, aku memintanya untuk membantu Raka menjalankan perusahaan. Karena aku sedang fokus dengan kehamilanku yang semakin membesar. "Raka minta aku antar kamu ke dokter kandungan." "Memangnya Raka ke mana, K
"Kenapa lagi ? Kok wajahnya jelek?" Hafiz melirikku dengan raut wajah khawatir. "Apaan sih? Kak Hafiz tuh yang jelek, sampai sekarang masih aja jomlo!" bisikku seraya melotot pada hafiz yang berada di sebelah kiriku. "Kalau lagi hamil jangan galak-galak! Nanti anaknya ganteng kayak aku, repot!" ledeknya lagi membuat aku menutup mulut menahan tawa. Untung saja Hafiz bisa menghilagkan rasa kesalku pada Raka. Tapi tetap saja hati ini tidak terima karena selalu di nomor duakan oleh suamiku itu. Selalu saja pekerjaan yang menjadi alasannya. Tiba-tiba saja aku ada ide agar Raka datang menjempurku ke rumah sakit ini. "Aduuh ....Kak, perut aku tiba-tiba sakit ." "Wah! jangan-jangan kamu mau melahrkan sekarang, Shin? Iyaa Shin?" Aku terkikik dalam hati melihat Hafiz begitu panik. "Suster ..., tolong ,Suster!" Aku tersentak ketika Hafiz spontan mangangkat tubuhku dan membawanya ke dalam ruang dokter. "Silakan berbaring di sana, Bu. Nanti di periksa dokter!" ujar seorang suster mengha
"Tolong jawab aku sekarang, Mas!" ketusku seraya menepiskan tangannya. Raka terlihat gusar. "Oke ..., Kamu mau tau siapa wanita itu?" "Iya. Siapa dia, Mas?" tanyaku lagi dengan dada berdegup kencang. "Wanita itu adalah ... Aina!"Tubuhku sontak terasa lemas. Ternyata sejauh itu hubungan Raka dengan Aina. Bukankah dia bilang mencariku selama bertahun-tahun? Bukankah dia bilang hanya aku cinta sejatinya sejak dulu? Tubuhku bergetar hebat. Air mataku luruh tak tertahankan. Rasanya begitu berat kenyataan yang aku hadapi. Aku pikir hanya aku satu-satunya wanita yang kamu cintai. Atau mungkinkah kamu sama saja seperti yang lainnya? "Aku tak menyangka hubunganmu dengan perempuan itu begitu jauh, Mas." "Maira ... Maira ... dengarkan aku dulu! Aku mohon ...!" Raka berusaha meraih tanganku. Aku pun berusaha menepisnya. Namun tak berhasil. "Aku memang bodoh. Aku memang laki-laki bodoh. begitu mudahnya tergoda oleh wanita seperti Aina. Pergaulan bebas di luar sana membuatku lupa di
"Mas, Aku kepikiran dengan Bu Nurul dan Ibunya Mas Alif." "Kenapa?" "Bolehkah aku membantu mereka?" Raka yang sedang asik dengan laptopnya, menghampiriku yang sedang bersandar pada nakas tempat tidur. "Sungguh hatimu seluas samudra, Sayang. Bahkan pada orang-orang yang telah menzolimimu. kamu masih berbuat baik," ujar Raka seraya memelukku. "Ayo kita kunjungi mereka kapanpun kamu mau!" "Boleh?" tanyaku antusias. Raka mengangguk. "Sekarang kita ke Panti, yuk!" ajakku senang, membayangkan akan bertemu dengan sahabatku, Hikmah. "Ayo! Bersiaplah! Aku tunggu disini!" Bagaikan seorang anak kecil yang akan diajak jalan-jalan oleh ayahnya, Aku terlonjak kegirangan. Begitu aku merindukan Hikmah, sahabatku. Sejak malam itu, belum sekalipun kita kembali bertemu. "Di acara peresmian nanti aku ingin mengundang keluarga Panti dan Keluarga Alif," ujarku ketika kami sudah di perjalanan menuju rumah panti. "Silakan, Sayang... Siapapun boleh kamu undang." Kami memasuki halaman panti. S
Tanpa terasa kami telah tiba di depan rumah Alif. Rumahnya nampak sepi. Aku mencoba untuk masuk. Namun pagarnya terkunci. "Cari siapa, Mas, Mbak?" "Eh ... Pak Rt. Rumah Bu Minah kenapa sepi, Pak? "MasyaAllah ..., ini Mbak Shinta?" teriak Pak Rt yang nyaris terlonjak ketika melihatku. Sementara para tetangga yang mendengar mulai mendekat karena penasaran ingin melihat penampilanku yang sangat berbeda dengan dulu. Aku tersenyum dan mengangguk ramah pada mereka yang saling berbisik. "Masa itu si Shinta?" "Shinta yang dulu dekil?" "Kok beda banget ya sekarang." Mereka terus berbisik sambil memandangku. "iyaa, Apa kabar, Pak? Kenalkan ini suami Saya!" sahutku seraya memberi kode pada Raka. Aku terkikik dalam hati melihat para Ibu-ibu tetanggaku, ternganga memandang Raka. "Saya Raka." Suamiku menyalami Pak Rt dengan ramah. "Maaf Mbak Shinta, kalau nggak salah rumah ini sudah di ambil alih oleh para penagih hutang." Astaga kenapa aku bisa lupa? Bukankah Ibu pernah bilang pad
Tak lama kemudian mobil itu berlalu setelah Mela turun dan melambaikan tangannya pada laki-laki itu. Aku dan Raka perlahan turun setelah melihat Mela masuk ke dalam rumahnya. "Bu .... haus, nih. Ambilin minum dingin, dong!" teriak Mela seraya menjatuhkan bobotnya di kursi tamu. Ibu datang tergopoh-gopoh membawa sebotol air dan gelas. "Lamaaa banget! Nggak tau kalau aku udah kehausan!" bentak Mela seraya melotot pada Ibu. Astaga Mela!! Aku geleng-geleng kepala melihat perlakuan Mela pada Ibu, dari balik pintu ini. Akhirnya aku dan Raka perlahan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam." "Ya Allah, Shinta ...! Kamu datang ke sini, Nak? Ini kamu beneran yang datang, Shinta?" Ibu tak kuasa menahan haru. "iya, Bu. Ini Shinta. Ibu apa kabar?" Aku sontak meraih tubuh ibu dan memeluknya. Wanita yang terlihat makin tua itu tergugu dipelukanku. Sementara Mela yang sedang duduk santai, sontak berdiri terpaku memandang kami. "Ibu ..., Shinta kesini cuma mau bilang. Ruma
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b