Tak lama kemudian mobil itu berlalu setelah Mela turun dan melambaikan tangannya pada laki-laki itu. Aku dan Raka perlahan turun setelah melihat Mela masuk ke dalam rumahnya. "Bu .... haus, nih. Ambilin minum dingin, dong!" teriak Mela seraya menjatuhkan bobotnya di kursi tamu. Ibu datang tergopoh-gopoh membawa sebotol air dan gelas. "Lamaaa banget! Nggak tau kalau aku udah kehausan!" bentak Mela seraya melotot pada Ibu. Astaga Mela!! Aku geleng-geleng kepala melihat perlakuan Mela pada Ibu, dari balik pintu ini. Akhirnya aku dan Raka perlahan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam." "Ya Allah, Shinta ...! Kamu datang ke sini, Nak? Ini kamu beneran yang datang, Shinta?" Ibu tak kuasa menahan haru. "iya, Bu. Ini Shinta. Ibu apa kabar?" Aku sontak meraih tubuh ibu dan memeluknya. Wanita yang terlihat makin tua itu tergugu dipelukanku. Sementara Mela yang sedang duduk santai, sontak berdiri terpaku memandang kami. "Ibu ..., Shinta kesini cuma mau bilang. Ruma
Sejak kemarin aku dan Raka menginap di hotel ini. Karena malam ini akan diadakan acara peresmian perusahaan Eternal Group yang telah sah menjadi milikku sekarang. Raka ingin aku tampil di depan semua tamu. Walaupun secara operasional Suamikulah yang mengelola secara keseluruhan. Tapi Raka ingin para relasi dan semua karyawan mengenal aku sebagai pemilik tunggal Eternal Group. Acara peresmian yang berlangsung secara formal berjalan dengan lancar. Setelah acara serah terima, dilanjutkan acara ramah tamah antara para undangan. "Terima kasih sudah datang, Pak Handoko!" "Sukses buat anda berdua Raka dan Shinta. Saya tidak pernah menyangka perusahaan itu diwariskan padamu, Shinta."Pak Handoko dan Istrinya menyalami kami. "Terima kasih Pak, Bu!" sahutku seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Tiba-tiba aku merasa sedikit mual. Sepertinya aku harus ke toilet. Raka masih asik berbincang menyambut para tamu. Aku melangkah menyusuri ruang yang begitu luas sambil menyapa pada tam
Laki-laki itu berkali-kali melihat jam yang melingkar di tangannya. Perlahan Rein meraih jemariku. "Shinta ... jaga dirimu baik-baik ...! I love you!" Aku tertegun saat Rein mengecup jemariku. lalu Pria itu melangkah mundur dan berbalik badan, lalu menghilang di ujung balkon. Tak sadar bulir-bulir bening mulai berjatuhan di wajahku. Betapa tulus hatimu, Rein. "Sayang ..., kamu di mana?" Aku tersentak mendengar teriakan Raka. Segera kuhapus air mata ini. Perlahan aku kembali ke dalam toilet wanita. Kemudian kembali keluar menghampiri Raka. "Mas ..., maaf. Tadi aku merasa mual." "Apa kita kembali ke kamar saja?" "Jangan, Mas! Acaranya belum selesai. Sekarang sudah lebih baik, kok," sahutku tersenyum. Kamipun melangkah kembali menghampiri para tamu yang sedang mencicipi hidangan. Tiba-tiba seorang pengawal menghampiri Raka "Maaf, Tuan. Ada beberapa polisi sedang mencari tahanan yang melarikan diri. Mereka melihat tahanan itu ada di sekitar sini." Wajah Raka menggelap. "Kura
Note : Mulai Bab ini dan seterusnya, author akan menggunakan Pov 3 . ------'"Maira, tolong siapkan pakaianku!" Raka tampak terburu-buru saat ingin berangkat ke kantor. Tidak seperti biasanya Shinta Humaira, melihat suaminya seperti ini. Jika akan keluar kota, Raka pasti bicara malamnya. Namun suaminya itu baru saja pulang pukul tiga pagi tadi. "Mau kemana lagi, Mas? Kamu baru saja pulang pagi tadi," tanyanya sambil menepuk-nepuk lembut tubuh Kaisar, buah hati mereka yang sempat terjaga mendengar suara Raka yang agak keras. "Maira, Aku ada meeting mendadak pagi ini di Bandung. Sudahlah, cepat bantu aku!" Ke bandung lagi? Shinta terheran, dalam satu bulan ini, sudah tiga kali Raka ke Bandung. Terlebih suaminya itu hanya pergi sendiri. Tidak dengan Said, asisten pribadinya. "Rencana di Bandung berapa hari, Mas?" tanya Maira seraya melipat beberapa pakaian kerja suaminya "Mungkin tiga hari." Raka masih terus sibuk membalas pesan pada ponselnya. "Bawa stelan jas hitam, ya!" "Jas
Wanita yang kini selalu berpenampilan elegan itu mencoba menghubungi seseorang lewat ponselnya "Hallo, Said. Jam sepuluh nanti ada meeting dengan perusahaan mana?" "Eh, B-bu Shinta. D-dengan PT Anggada Jaya. T-tapi Pak Raka membatalkannya karena ada keperluan mendadak ke Bandung, Bu." "Jangan dibatalkan! Biar saya yang handle." "T-tapi, Bu ..." "Sudah cepat siapkan segala sesuatunya. Saya segera ke kantor." Shinta gegas menutup panggilannya. Kecurigaannya semakin beralasan ketika mendengar kegugupan Said-asisten pribadi Raka. Selama perjalanan menuju ke kantor, Shinta terus mempelajari bahan-bahan meeting yang dikirm oleh Said lewat email. Beruntung dia telah banyak menguasai seluk beluk semua perusahaannya. Untuk saat ini perusahaan inti dipegang langsung oleh Raka. Sedangkan beberapa anak perusahaannya di serahkan pada Hafiz-kakak tirinya. Shinta sangat percaya pada Hafiz. Walau hanya kakak tiri, Hafiz begitu menyayanginya. Bahkan Hafiz pernah hampir mengorbankan nyawanya
"Selamat siang, ... Shinta Humaira!" Shinta terlonjak saat melihat pemilik suara berat yang sangat tidak asing di telinganya. Jantungnya berdegup kencang dengan aliran darah yang begitu cepat. Tidak salahkah apa yang dia lihat saat ini? Benarkah diaa ...? "Shinta ..." lirih pria itu lagi. "Astagfirullahaladzim ..., Rein? Benarkah kamu, Rein? Bukankah ..." Sontak Shinta berdiri dan membekap mulutnya sendiri. "Ya, ini Aku. Shinta, Aku memang belum mati." Mereka saling menatap cukup lama dengan perasaan campur aduk. Tanpa sadar bulir bening mengalir dari sudut mata Shinta. Teringat kembali olehnya saat Rein tertembak di depan mata kepalanya sendiri, hingga jeritannya menggema ke seluruh penjuru taman Ballroom hotel itu. Betapa sakit dan hancur perasaannya saat itu. Laki-laki yang saat itu baru saja mengungkapkan cinta padanya, dengan sengaja memancing polisi untuk menembak dirinya. Orang-orang mengatakan Rein sengaja ingin bunuh diri. Sejak saat itu dia berpikir tak akan pernah lag
Semua orang menganggap Rein telah mati tertembak. Tidak ada yang tahu satupun keberadaannya. Entah apa yang dilakukan oleh sahabatnya bernama Yuda, hingga akhirnya dia terjaga setelah koma beberapa bulan. Kemudian melanjutkan masa tahanannya dipenjara. Tidak semua orang tahu keberadaannya. Termasuk Raka dan Shinta. Setelah keluar dari penjara, Rein selalu mengerjakan pekerjaannya di belakang layar. Dia selalu berhasil menumpas kejahatan dengan baik dan tidak pernah salah perhitungan. Pihak kepolisianpun mengakui kehebatannya. Rein yang sudah tak memiliki perusahaan sejak semua perusahaan yang dirampas oleh ayahnya dari kakek Shinta, dengan ikhlas dia kembalikan kepada pemiliknya. Namun keberuntungan kini menghampirinya. Yuda, lagi-lagi sahabatnya itu menghadiahkan sebuah perusahaannya pada Rein karena sesuatu hal. Kini Rein kembali seperti dulu, sebagai pengusaha yang cerdas dan handal. Hingga banyak perusahaan yang dengan senang hati menerima tawarannya untuk bekerja sama. Termasu
"Rein ... bagaimana mungkin dia masih hidup," desis wanita yang tak lain adalah Aina, mantan kekasih Raka dulu. "Sungguh aku menyesal telah melepaskan Shinta untukmu. Kamu justru menciptakan luka yang dalam untuknya." Rein mengepalkan kedua tangannya. Berharap masih bisa menahan amarah yang kian memuncak. Perlahan Raka maju beberapa langkah mendekati Rein. Hingga kini jarak di antara mereka hanya tinggal satu langkah. "Rein ..., tolong! Tolong jangan katakan pada Shinta. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku terpaksa melakukannya. Aku ... Aku sangat mencintai Shinta," desisnya. "Omong kosong! Kamu hanya memanfaatkan shinta. Sejak awal aku sudah menduga. Kamu dan Aina telah punya rencana jahat untuknya!' geram Rein. Dengan susah payah dia menjaga volume suaranya. Mengingat saat ini dia berada di sebuah restauran yang banyak pengunjung. "Tidak, Rein. Bukan seperti itu. Aku ... Aku terpaksa menikahi Aina karena sesuatu hal." bisiknya lagi. Seolah tak ingin Aina mendengarnya.
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b