Pagi-pagi sekali aku telah bersiap untuk ke kantor. Namun pagi ini rencanya ingin singgah dulu ke rumah sakit. Jika memungkinkan, Aku ingin merawat Raka di rumah saja. Kali ini Ayah tidak ikut. "Tidak sarapan dulu, Non?" Bu Nuri menghampiriku di teras. "Nanti saja, Bu. Aku mau ke rumah sakit." "Bawalah ini Non! Mungkin Non Shinta bisa sarapan di mobil. Sejak semalam Non Shinta tidak makan." ujar wanita yang selalu tampil rapi itu seraya menyodorkan sebuah kotak makanan dan sebotol minuman jus buah. Tatapannya begitu teduh. Astaga! mata itu ... kenapa sangat mirip dengan ... Apa mungkin mereka ada hubungan keluarga? "Terima kasih Bu Nuri. Ibu sangat perhatian sekali," sahutku seraya tersenyum dan meraih kotak makanan dari tangannya. Wanita yang keibuan namun tegas itu tersenyum padaku. Senyum yang meyejukkan. Membuatku teringat akan Bunda. "Tolong katakan pada Ayah kalau aku berangkat ya, Bu. Sepertinya setelah salat subuh tadi ayah tidur lagi," pesanku padanya sebelum masuk ke
Raka terus menatap tajam padaku. Sepertinya dia sempat melihat kontak nama yang tertera pada ponselku tadi. "Hallo, bagaimana, Hafiz ?" ucapku sedikit berbisik agar tidak mengganggu yang lain di dalam ruangan ini. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam."jawabku. "Hari ini Alif janji akan menemui seseorang karena dia sangat butuh uang," papar Hafiz dari sebrang sana. "Ya sudah, Kamu ikuti kemana dia pergi. Beritahu segera jika ada yang mencurigakan!" tegasku. "Baik! Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Akupun memutuskan sambungan ponselku. Raka masih menatap tajam padaku. "Itu Hafiz, Mas. Ustad yang di pesantren Darussalam itu, lo," jelasku seraya tersenyum dan membelai kepala suamiku. "Dari mana kamu kenal dia? Untuk apa dia menghubungimu?"selidiknya. Raka sepertinya sudah mulai lancar berbicara. Mungkin karena sudah tidak memakai selang lagi di mulutnya. Juga selang oksigen yang menempel dihidungnya sesekali dia lepas. "Bu Nuri yang merekomendasikan padaku ketika aku minta di
"Langsung pulang saja, Pak!" pintaku pada Pak Pardi. Sementara Hafiz masih mengikuti Alif di lokasi rumah yang mencurigakan itu. Untunglah mantan suamiku tidak menyadari ada yang mengikutinya sejak dari kantor tadi. Semiga Hafiz bisa aku andalkan. Walaupun kasus penembakan terhadap Raka kemarin sudah ditangani oleh pengacara kami dan pihak polisi. Rumah tampak sepi ketika aku memasuki ruang tamu. Sepertinya aku harus menemui Ayah sekarang. Gegas aku menaiki tangga dan langsung menuju kamar Ayah. "Sampai kapan kita sembunyi-sembunyi begini, Mas?" "Bersabarlah. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya." Astaga ...! Lagi -lagi mereka berdua saja di dalam. 'Mas' ...? Bu Nuri memanggil Ayah dengan sebutan 'Mas' ? Dan kali ini pintu kamar ini nyaris tertutup rapat. Namun karena ada sedikit celah hingga aku masih bisa mendengar suara mereka dengan jelas. Aku masih merapatkan telingaku pada pintu. Untungnya di lantai atas ini jarang sekali pelayan yang monda
"A-apaa maksud Ayah? Ada hubungan Apa sebenarnya antara Ayah dan Bu Nuri?" selidikku. Mereka berdua terdiam "Kenapa diam, Yah? Tolong jawab pertanyaanku!" desakku "S-sebenarnya ... Bu Nuri ini adalah ... Istri Ayah juga ..." Jawab Ayah tegas seraya kembali menatap lekat pada wanitai itu. Aku ternganga tidak percaya dengan apa Ayah katakan. "Ja-jadi betul Ayah telah menghianati Bunda? Sejak kapan, Yah? Kenapa Ayah tega?" jeritku tertahan. Tubuhku bergetar menahan tangis. Kerongkonganku seakan tercekat. Namun air mata ini tetap tumpah tak terbendung. "Maira ... Sebenarnya ..., Ayah telah menikah dengan Nuri sebelum Ayah menikahi Bundamu," lanjut Ayah yang masih berlutut di hadapanku bersama wanita itu. Lagi-lagi aku tersentak mendengar kenyataan ini. "M-maksud A-ayah ...?" Ayah menarik napas panjang, dan mulai berbicara lagi. "Kakekmu saat itu sebagai atasan Ayah ,menjodohkan Ayah dengan Bundamu. Ayah tak berani membantah. Sutan matari adalah seorang yang keras dan tidak bisa
"Ada apa?" tanya Ayah penasaran. "Benar dugaan Ayah. Alif terlibat dalam percobaan penembakan ini. Hafiz telah menemukan markas para preman yang mencoba ingin membunuhku" "Hafiz? Di mana anak itu sekarang?" Tiba-tiba Bu Nuri bertanya dengan raut wajah sangat khawatir. "Sudah aku suruh pulang, Bu." Kenapa Bu Nuri tampak sangat khawatir. Apa karena beliau sangat kenal baik dengan keluarganya? Atau ...Ah, entahlah. Semoga saja Apa yang sedang aku pikirkan ini salah. "Apa yang harus kita lakukan,Yah?" "Sebaiknya segera kita laporkan ke polisi dan pengacara Raka. Biar nanti Ayah yang urus." "Baiklah," sahutku merasa sedikit lebih tenang "Sebaiknya kamu hati-hati, Mas!" Bu Nuri juga tampak khawatir pada Ayah. Ayah mengangguk. "Untuk beberapa hari kedepan, kamu jangan ngantor dulu, Maira. Serahkan semua pekerjaan pada Said. Sangat berbahaya. Penjagaan sekitar rumah dan rumah sakit harus diperketat. " "Baik, Ayah. Saat ini Aku akan fokus pada kesembuhan Mas Raka dulu." --------
PoV Alif "Dia sudah datang, Bos!" Siapa kira-kira orang yang di panggil Bos itu.? Apakah Bang Boman? Selama ini aku belum pernah sekalipun melihat wajah kepala preman itu. Hanya anak buahnya saja yang sering mendatangiku selama ini. "Suruh dia masuk!" Terdengar suara menggelegar dari dalam ruangan. Astaga! Suaranya saja sudah menakutkan seperti itu Apalagi wajahnya. Aku bergidik ngeri membayangkannya. "Hei ...! Masuk ...!" teriak laki-laki botak itu dari dalam. Perlahan aku melangkah masuk ke ruangan yang cukup luas itu. Dengan memberanikan diri dan rasa penasaran yang meronta-ronta, kutegakkan kepalaku untuk melihat wajah laki-laki yang di panggil Bos itu. Mata tegas dengan wajah persegi di tumbuhi jambang halus di sekitar pipi dan dagunya. Rahang kokoh serta rambut lurus sedikit gondrong , menambah kesan garang pada wajah yang terbilang tampan itu. Pria tinggi tegap yang di panggil Bos oleh si botak itu menatap nyalang padaku. "Kenapa kamu mengusirnya?" tanyanya dengan s
Pov Alif"Dengar ...! Kamu harus segera membunuh pemilik PT Ramajaya itu. Karena Aku harus segera memiliki Shinta, sebelum papaku membunuh wanita kaya raya itu ." Papanya mau membunuh Shinta? Untuk apa? "Sekarang pergi dari sini! Aku beri waktu satu minggu untuk melakukan perintahku! Awas! jangan coba-coba kabur! Boman akan selalu mengawasimu!" Jadi laki-laki ini bukan Boman? Lalu siapa sebenarnya laki-laki yang di panggil Bos ini? Perlahan aku berbalik badan dan melangkah menuju pintu keluar. Si kepala botak mengawasi hingga aku mendorong motor keluar pintu gerbang. Setelah memastikan tidak ada yang mencurigakan, gerbang segera mereka tutup. Sungguh seenaknya orang-orang kaya itu. Sudah senang banyak harta. Masih saja ingin membunuh dan merebut istri orang.. Seandainya dulu aku tahu Shinta itu kaya raya, tak mungkin kuceraikan dia. Akan kubuat wanita itu jatuh cinta padaku. Aku membuang napas kasar. Menyesali sesuatu yang tidak mungkin bisa kuulangi lagi. Aku mengamati se
Pagi ini akan diadakan rapat dengan para mitra perusahaan. Beberapa CEO dari beberapa perusahaan akan datang. Untuk pertama kalinya aku hadir dalam rapat ini. Karena Raka belum memungkinkan untuk ikut ke kantor. Pak Pardi dan beberapa pengawal sudah siap untuk mendampingiku selama di perjalanan. "Hallo, Said. Maaf saya agak terlambat. Tolong persiapkan semua dokumen yang diperlukan." "Baik, Bu," sahut asisten pribadiku itu lewat ponsel. Sebelum berangkat tadi, berkali-kali aku peringatkan orang-orang rumah agar berhati-hati jika menerima tamu. Hafiz aku tugaskan untuk berjaga-jaga di sekitar rumah. Setelah diturunkan di main lobby oleh Pak Pardi, Aku dan beberapa pengawal melangkah langsung menuju lift. Ruang meeting yang berukuran paling besar di kantor pusat ini berada ujung di lantai tiga. Untuk menuju ke sana harus melalui ruang berbentuk kubikel para staf yang cukup luas. Ketika keluar lift di lantai tiga ini, nampak para staf wanita yang bergerombol dan saling berbisik.
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b