"Assalaamualaikum" "Waalaikumsalam, Non Shinta." Bu Nuri membukakan kami pintu. "Nuri ...!" "Astaga ... Tama ...!" Aku terheran melihat raut wajah keduanya.Ayah dan Bu Nuri saling kenal? Tapi bisa saja. Bukankah Bu Nuri sudah bekerja pada keluarga Raka sejak suamiku itu balita? Bisa saja Ayah mengenal Bu Nuri karena sering bertemu dengan keluarga Raka. Tapi ... Mengapa panggilan mereka satu sama lain seperti itu? Mengapa Bu Nuri memanggil Ayah dengan sebutan Tama? Aku menatap curiga pada keduanya. "Bu Nuri kenal dengan Ayah?"tanyaku seraya menyipitkan mata dan mengernyitkan dahi. "Sejak kapan ayah mengenal Bu Nuri?" Keduanya tampak gugup. Aku semakin yakin ada yang mereka sembunyikan dariku. "Te-tentu saja Ayah kenal, Bu Nuri bekerja pada keluarga Om Gunansyah sejak Raka kecil. Ayah dan Bundamu sering berkunjung ke sini," jawab Ayah sedikit terbata, namun sepertinya langsung bisa mengendalikan diri. Sementara Bu Nuri tampak sudah bisa menguasai dirinya. Wanita itu menata
"Ayah ...?" "Eh ... ya. Ayah pernah melakukan kesalahan yang fatal sampai menyakiti hati Bunda. Hingga kakekmu sangat murka pada Ayah," lirihnya "Kesalahan? kesalahan apa, Ayah?"cecarku penasaran. "Maaf, Ayah belum bisa cerita saat ini. Semua sudah berlalu." Aku membuang napas kasar. "Baiklah." sahutku kecewa. "Lalu siapa yang membawaku ke panti? Dan di mana Ayah selama ini.?" "Ketika itu, Ayah dan Bunda beserta kamu selalu di teror dan di kejar-kejar oleh orang-orang yang menghianati kakekmu. Ketika itu kamu masih berusia tujuh tahun. Seseorang berhasil menculikmu hingga bertahun-tahun. Tak lama setelah kamu menghilang, Bunda meninggal karena sakit, tak sanggup berpisah denganmu." "Bunda ..." lirihku. Tanpa terasa air mataku luruh teringat akan Bunda. "Orang-orang itu terus meneror dan berusaha membunuh Ayah. Hingga Om Gunansyah - papanya Raka membuat rekayasa seolah-olah Ayah meninggal karena kecelakaan. Selama ini Ayah tinggal di sekitar pesantren di daerah Bogor. Sejak
Pov AlifSial! Sombong sekali mantan istriku itu. Mentang-mentang sekarang sudah menikah dengan orang kaya. Apa dia lupa dulu numpang hidup dengan siapa? Aku tidak terima direndahkan seperti ini. Gara-gara perempuan itu aku jadi hidup susah. Aku harus cari cara untuk membalasmu, Shinta! Setelah keluar dari ruangannya, Aku putar otak berpikir bagaimana caranya agar tidak jadi dipecat. Sepertinya aku harus ceritakan ini pada Mela. Karena uang perusahaan yang aku pakai itu sebagian juga dia yang pakai. Kemudian aku pun melangkah menuju ruang divisi pemasaran untuk menemui istriku itu. "Apaa? Sepuluh juta? Untuk apa uang sebanyak itu? Kamu selingkuh, ya?" teriak Mela seraya melotot padaku, hingga teman-teman seruangannya menoleh pada kami. "Kamu selingkuh, ya? Awas ya!" ulang istriku itu lebih pelan. "Selingkuh apaan, sih? Itu uangnya juga sebagian aku kasih ke kamu." bisikku geram. "Ah, bodo amat! Pokoknya aku nggak mau ikut campur sama utang-utang kamu itu," ketus Mela seraya m
Ya, dulu aku menikahi Shinta hanyalah karena butuh uang. Jadi cukup dengan menikahi perempuan itu secara siri, Bang Boman akan memberiku uang banyak. Entah apa maksud dan tujuannya aku tidak peduli. Aku tidak tau untuk apa Bang Boman melakukan itu kepada perempuan miskin yang sejak kecil tinggal di panti asuhan itu "Hey kampr*t! Kami sudah lama tahu dia ada di mana. Dasar bodoh! " sahutnya seraya terbahak-bahak. Ah, sial! Ternyata aku terlambat. "Wanita itu adalah atasanku di kantor saat ini, Bang. Aku juga tahu dimana dia tinggal." Aku terus berusaha agar anak buah Bang Boman itu mau menerima informasi dari aku. Sejenak laki-laki itu terdiam. Namun terdengar suara bisik-bisik seperti sedang kompromi. "Hey Laki-laki bodoh, kamu pasti sudah jatuh miskin. Hahaha ...! Kurang ajar! Kini mereka malah mentertawakanku. Seandainya saja aku nggak butuh uang, sudah kuputuskan sambungan ponsel ini. "Kalau kamu butuh uang, kamu harus mau bekerja dengan kami. Bos Boman akan memberimu uang.
Aku mengurungkan niatku untuk menghampiri Ayah. Ada hubungan apa sebenarnya di antara Ayah dan Bu Nuri? Walaupun pintu kamar itu sedikit terbuka, rasanya kurang pantas jika mereka hanya berdua saja di dalam kamar. Apakah Ayah telah menghianati Bunda? Aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka. Sebaiknya aku pura-pura tidak tahu saja. Akan aku selidiki nanti. Sejak awal aku merasa ada yang di sembunyikan oleh Bu Nuri. Tampaknya ada banyak hal yang wanita itu ketahui. Perlahan kakiku melangkah menuju taman belakang. Hafiz sudah menunggu di sana. Tampak laki-laki itu sedang melakukan pemanasan. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," sahutnya"Apa kita bisa mulai latihan malam ini, Fiz?" "InsyaAllah bisa. Kita mulai lafihan fisik dulu," sahutnya. Hafiz mengarahkan gerakanku dari jarak sekitar dua meter di depanku. Laki-laki ini selalu menjaga pandangannya. Selalu menunduk atau melihat ke arah lain jika berbicara padaku. "Hafiz, Apa kamu mau membantuku?" tanyaku setelah kami selesai
Pagi-pagi sekali aku telah bersiap untuk ke kantor. Namun pagi ini rencanya ingin singgah dulu ke rumah sakit. Jika memungkinkan, Aku ingin merawat Raka di rumah saja. Kali ini Ayah tidak ikut. "Tidak sarapan dulu, Non?" Bu Nuri menghampiriku di teras. "Nanti saja, Bu. Aku mau ke rumah sakit." "Bawalah ini Non! Mungkin Non Shinta bisa sarapan di mobil. Sejak semalam Non Shinta tidak makan." ujar wanita yang selalu tampil rapi itu seraya menyodorkan sebuah kotak makanan dan sebotol minuman jus buah. Tatapannya begitu teduh. Astaga! mata itu ... kenapa sangat mirip dengan ... Apa mungkin mereka ada hubungan keluarga? "Terima kasih Bu Nuri. Ibu sangat perhatian sekali," sahutku seraya tersenyum dan meraih kotak makanan dari tangannya. Wanita yang keibuan namun tegas itu tersenyum padaku. Senyum yang meyejukkan. Membuatku teringat akan Bunda. "Tolong katakan pada Ayah kalau aku berangkat ya, Bu. Sepertinya setelah salat subuh tadi ayah tidur lagi," pesanku padanya sebelum masuk ke
Raka terus menatap tajam padaku. Sepertinya dia sempat melihat kontak nama yang tertera pada ponselku tadi. "Hallo, bagaimana, Hafiz ?" ucapku sedikit berbisik agar tidak mengganggu yang lain di dalam ruangan ini. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam."jawabku. "Hari ini Alif janji akan menemui seseorang karena dia sangat butuh uang," papar Hafiz dari sebrang sana. "Ya sudah, Kamu ikuti kemana dia pergi. Beritahu segera jika ada yang mencurigakan!" tegasku. "Baik! Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Akupun memutuskan sambungan ponselku. Raka masih menatap tajam padaku. "Itu Hafiz, Mas. Ustad yang di pesantren Darussalam itu, lo," jelasku seraya tersenyum dan membelai kepala suamiku. "Dari mana kamu kenal dia? Untuk apa dia menghubungimu?"selidiknya. Raka sepertinya sudah mulai lancar berbicara. Mungkin karena sudah tidak memakai selang lagi di mulutnya. Juga selang oksigen yang menempel dihidungnya sesekali dia lepas. "Bu Nuri yang merekomendasikan padaku ketika aku minta di
"Langsung pulang saja, Pak!" pintaku pada Pak Pardi. Sementara Hafiz masih mengikuti Alif di lokasi rumah yang mencurigakan itu. Untunglah mantan suamiku tidak menyadari ada yang mengikutinya sejak dari kantor tadi. Semiga Hafiz bisa aku andalkan. Walaupun kasus penembakan terhadap Raka kemarin sudah ditangani oleh pengacara kami dan pihak polisi. Rumah tampak sepi ketika aku memasuki ruang tamu. Sepertinya aku harus menemui Ayah sekarang. Gegas aku menaiki tangga dan langsung menuju kamar Ayah. "Sampai kapan kita sembunyi-sembunyi begini, Mas?" "Bersabarlah. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya." Astaga ...! Lagi -lagi mereka berdua saja di dalam. 'Mas' ...? Bu Nuri memanggil Ayah dengan sebutan 'Mas' ? Dan kali ini pintu kamar ini nyaris tertutup rapat. Namun karena ada sedikit celah hingga aku masih bisa mendengar suara mereka dengan jelas. Aku masih merapatkan telingaku pada pintu. Untungnya di lantai atas ini jarang sekali pelayan yang monda