Pov Alif Untunglah setelah training kami diperbolehkan pulang. Namun selama pelatihan berlangsung aku sama sekali tidak konsentrasi. Ponsel terpaksa kumatikan, karena ibu dan kak May menghubungiku setiap saat. "Lif, kita jalan-jalan dulu, yuk. Aku bete banget di rumah kamu." Bagaimana ini? Mela minta jalan-jalan dulu. "Maaf, Sayang. Ibu sejak tadi telpon aku terus. Takutnya ada yang penting. Kalau kamu bete, gimana jika kita tinggal di rumah kamu aja?" "Oke, tapi kamu yang masak dan nyuci ya. Aku nggak biasa." Astaga Mela! "Ya nggak bisa begitu dong, Cantik. Kamu harus belajar dari sekarang. Bukankah kamu ini seorang istri yang sholehah, Sayang?" Aku mencoba merayunya hati-hati. "Halah! Istri sholehah kok dijadikan babu. Pokoknya aku nggak biasa melakukan semua itu. Atau carikan saja ART untukku! Gampangkan?" Sial! Mana mungkin aku bisa menggaji ART sekarang ini? Biarlah untuk sementara aku yang melakukan semua pekerjaan itu. Dari pada Mela tinggal di rumah Ibu. Pusing kepal
Pov AlifBerkali-kali mencoba menghubungi si Raka, namun tidak terjawab sama sekali. Sombong sekali dia sekarang. Menjawab telponku saja tidak mau. Sebaiknya sore ini aku ke rumahnya saja. Segera kukirim pesan pada Robi, salah satu teman SMAku, untuk menanyakan alamat Raka. Setelah mendapat balasan dari Robi, Aku dan Imah segera pergi menuju rumah Raka. Ternyata Raka tinggal di kawasan perumahan elite di kota ini. Semoga saja Aku dan Imah berhasil meminjam uang padanya. Sengaja imah dirubah menjadi lebih cantik dan seksi oleh Ibu, agar Raka tertarik pada adikku itu. Setelah satu jam perjalanan akhirnya kami tiba di depan rumah yang sangat besar dan megah ini. Luar biasa si Raka ini. Ternyata lebih kaya dari yang aku bayangkan. Imah tampak berbinar melihat kemegahan istana milik Raka. "Cari siapa, Mas?" Seorang security keluar dari post dan menghampiri kami. "Raka ada, Pak? Saya Alif, teman sekolahnya," sahutku pada laki-laki yang bajunya tertera nama Irsan itu. "Apa sudah ada j
Aku terkikik geli mengingat kejadian tadi pagi. Hampir semua karyawan mentertawakan Mas Alif dan Mela. Pasangan pengantin baru itu sungguh tidak tahu malu. Bermesraan di tempat umum sampai salah masuk lift. Entah mengapa sudah tidak ada lagi rasa cemburu atau sakit hati melihat mereka berdua. Mungkin sudah terlalu sering merasakan sakit dan kecewa atas perlakuan keluarga itu. Setelah beberapa jam menerima berbagai pengarahan dari Mas Raka, laki-laki itu menyarankan aku untuk jalan-jalan ke mall dan ke salon untuk perawatan. Tentunya harus di dampingi oleh seorang bodiguard yang sudah dia siapkan. Sungguh terasa bagai mimpi semua ini. Salon perawatan muslimah yang di rekomendasikan oleh Bu Nuri memang luar biasa. Wanita itu sepertinya memang serba tahu. Salon ternama dan sangat mewah itu benar-benar sukses membuat wajah dan tubuhku berubah jadi sangat cantik dari ujung rambut hingga ujung kaki, setelah melakukan perawatan selama berjam-jam. Bahkan aku seperti bukan melihat diriku s
"Wah, ada apa Lif? Tumben datang ke sini," sapa Mas Raka ramah seraya duduk di salah satu sofa di depan Mas Alif. "Aku mau ada keperluan sedikit, Bos." "Silakan diminum dan dicicipi dulu hidangannya!" Lagi-lagi Mas Raka terlihat sangat ramah pada mereka. "Ada perlu apa kamu kesini? Bicaralah!" Setelah sedikit berbasa basi, akhirnya Mas Raka bicara. "B-begini Raka, Aku sedang butuh uang tiga ratus juta. Aku sangat berharap kamu bisa meminjamkannya untukku." "Apaa?? Tiga ratus juta? Apa jaminannya?" Mas Alif nampak kelabakan ketika ditanya tentang jaminan. "Asal kamu tau, Lif. Mau sepuluh kali lipat dari jumlah yang kamu sebutkan itu, kecil buatku. Tapi aku minta jaminan," tegas Mas Raka. "T-tapi aku tidak punya apa-apa, Raka. Sedangkan uang itu sangat aku butuhkan malam ini juga!" sahut mantan suamiku dengan suara bergetar. "A-aku akan bayar dengan potong gajiku setiap bulan," lanjutnya. Spontan Mas Raka tertawa terbahak-bahak. "Memangnya kamu pikir gaji kamu berapa?" tany
"Mas Raka ...." Aku sedikit berteriak memanggilnya , ketika laki-laki itu melewatiku. "MasyaAllah .....Maira. Kamukah Itu?" Seketika laki-laki itu menoleh dan menatapku tak berkedip. Kami bertatapan cukup lama. Perlahan Laki-laki itu mendekat. Aku spontan mundur ketika dia terus maju mendekatiku. Tatapannya begitu dalam dan begitu lekat. "Mas Raka ... !" lirihku. Namun Dia justru semakin dekat. "Mas ... Mas Raka mau ngapain...? Aku semakin panik melihat sikapnya yang aneh. Tiba-tiba tangannya terulur ke arahku. Dengan setengah berteriak, spontan aku menutup wajah. "Aa ...!" "Ngapain teriak-teriak sih? Minggir! Aku mau ambil buku di rak ini!" A-apa? Mau ambil buku dia bilang? Spontan aku membuka wajahku. Tampak laki-laki itu tersenyum seperti menahan tawanya. Kemudian dia memberiku kode agar aku bergeser, tangannya meraih sebuah buku pada lemari yang berada tepat di belakangku. Sial! Aku di kerjain. "Ngarep di apa-apain ya? Hahaha ..." Sepertinya dia bahagia sekali setelah
Ya Allah, Apa yang harus aku lakukan? Sebaiknya aku segera kembali ke kamar. Jangan sampai mereka tahu keberadaanku di sini. Dengan langkah sangat pelan agar tak terdengar oleh mereka, aku berjalan menuju kamar Aku mulai gelisah dan bingung akan semua ini. Mungkinkah terlalu cepat mempercayai Raka? Aku tersentak ketika terdengar ada yang mengetuk pintu "Non Shinta, ditunggu Tuan makan malam di atas." Ya Tuhan. Kenapa kali ini aku merasa tidak tenang akan bertemu laki-laki itu. Huff ...! Aku harus tenang. Aku harus bisa bersikap seperti biasa. "Baik, saya segera ke sana," sahutku pada pelayan itu. Gegas aku meraih hijab instanku dan melangkah ke lantai dua, ruang makan yang biasa digunakan oleh Raka. "Kenapa lama sekali? Apa kamu tidak lapar?" tanya Raka seraya menghampiriku, ketika baru saja masuk ke ruangan ini. "M-maaf ..." lirihku tertunduk. Duh, kenapa aku jadi gemetar? "Hei, kenapa tiba-tiba jadi kalem? Salah minum obat ya?" tanyanya seraya mendekatkan wajahnya padaku.
"Ini ponselnya, Bu." "Terima kasih, Pak." Aku meraih ponsel dari laki-laki itu, kemudian bergegas melangkah kembali menuju kantor. Khawatir Raka menungguku. Namun aku tersentak ketika saat menyeberang. Sebuah motor berkecepatan tinggi meluncur ke arahku. "Aaaa ...!" "Aaw ...!" Seseorang mendorongku kencang hingga aku tersungkur pada taman yang berada di pinggir jalan tak jauh dari pintu lobby kantor.Bersyukur aku selamat dari motor itu. Siapa yang telah menyelamatkanku? Perlahan aku bangkit, terdengar riuh suara beberapa orang berlarian. Aku menoleh mencari seseorang yang menolongku tadi. Astagfirullahaladzim ...! Raka ...! Segera kuhampiri laki-laki yang tergolek di pinggir jalan itu. Nampak Pak Karto dan beberapa orang mengangkat tubuh Raka dan membawanya masuk ke mobil. Dengan setengah berlari aku mengikuti mereka. Tak peduli rasa tubuhku yang nyeri akibat jatuh barusan. Pasti Raka lebih merasakan sakit. "Pak Karto, Ayo segera ke rumah sakit!" pintaku seraya ikut masuk
"Mari saya bantu, Tuan!" Laki-laki itu mengambil alih Raka dariku. Kemudian memapahnya ke salah satu kamar di lantai bawah, tepatnya di sebelah kamarku. "Bu Nuri, Apa bisa memanggil dokter dan perawat untuk datang ke rumah? Aku khawatir luka Mas Raka ada yang serius," tanyaku ketika wanita itu menghampiriku di pintu kamar. "Bisa, Non. Nanti saya hubungi dokter pribadi Tuan." "Alhamdulilah. Untuk sementara biar Mas Raka di lantai bawah dulu." "Baiklah, Non Shinta." Kemudian Wanita itu berlalu meninggallkanku untuk menghubungi Dokter. Sementara Raka dan Pak Pardi nampak sedang berbicara serius. "Segera cari pelakunya, Cek CCTV di sekitar lokasi kejadian! Seharusnya motor tidak bisa melewati area itu. Lain kali kamu harus lebih waspada. Penjagaan terhadap Maira harus lebih ketat!" "Baik Tuan. Saya minta maaf!' ujar Pak Pardi tertunduk. Kasian, gara-gara kecerobohanku, laki-laki itu dimarahi oleh Raka. "Pak Pardi, Saya minta maaf ya. Gara-gara saya Bapak jadi dimarahi oleh Mas
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b