Ya Allah, Apa yang harus aku lakukan? Sebaiknya aku segera kembali ke kamar. Jangan sampai mereka tahu keberadaanku di sini. Dengan langkah sangat pelan agar tak terdengar oleh mereka, aku berjalan menuju kamar Aku mulai gelisah dan bingung akan semua ini. Mungkinkah terlalu cepat mempercayai Raka? Aku tersentak ketika terdengar ada yang mengetuk pintu "Non Shinta, ditunggu Tuan makan malam di atas." Ya Tuhan. Kenapa kali ini aku merasa tidak tenang akan bertemu laki-laki itu. Huff ...! Aku harus tenang. Aku harus bisa bersikap seperti biasa. "Baik, saya segera ke sana," sahutku pada pelayan itu. Gegas aku meraih hijab instanku dan melangkah ke lantai dua, ruang makan yang biasa digunakan oleh Raka. "Kenapa lama sekali? Apa kamu tidak lapar?" tanya Raka seraya menghampiriku, ketika baru saja masuk ke ruangan ini. "M-maaf ..." lirihku tertunduk. Duh, kenapa aku jadi gemetar? "Hei, kenapa tiba-tiba jadi kalem? Salah minum obat ya?" tanyanya seraya mendekatkan wajahnya padaku.
"Ini ponselnya, Bu." "Terima kasih, Pak." Aku meraih ponsel dari laki-laki itu, kemudian bergegas melangkah kembali menuju kantor. Khawatir Raka menungguku. Namun aku tersentak ketika saat menyeberang. Sebuah motor berkecepatan tinggi meluncur ke arahku. "Aaaa ...!" "Aaw ...!" Seseorang mendorongku kencang hingga aku tersungkur pada taman yang berada di pinggir jalan tak jauh dari pintu lobby kantor.Bersyukur aku selamat dari motor itu. Siapa yang telah menyelamatkanku? Perlahan aku bangkit, terdengar riuh suara beberapa orang berlarian. Aku menoleh mencari seseorang yang menolongku tadi. Astagfirullahaladzim ...! Raka ...! Segera kuhampiri laki-laki yang tergolek di pinggir jalan itu. Nampak Pak Karto dan beberapa orang mengangkat tubuh Raka dan membawanya masuk ke mobil. Dengan setengah berlari aku mengikuti mereka. Tak peduli rasa tubuhku yang nyeri akibat jatuh barusan. Pasti Raka lebih merasakan sakit. "Pak Karto, Ayo segera ke rumah sakit!" pintaku seraya ikut masuk
"Mari saya bantu, Tuan!" Laki-laki itu mengambil alih Raka dariku. Kemudian memapahnya ke salah satu kamar di lantai bawah, tepatnya di sebelah kamarku. "Bu Nuri, Apa bisa memanggil dokter dan perawat untuk datang ke rumah? Aku khawatir luka Mas Raka ada yang serius," tanyaku ketika wanita itu menghampiriku di pintu kamar. "Bisa, Non. Nanti saya hubungi dokter pribadi Tuan." "Alhamdulilah. Untuk sementara biar Mas Raka di lantai bawah dulu." "Baiklah, Non Shinta." Kemudian Wanita itu berlalu meninggallkanku untuk menghubungi Dokter. Sementara Raka dan Pak Pardi nampak sedang berbicara serius. "Segera cari pelakunya, Cek CCTV di sekitar lokasi kejadian! Seharusnya motor tidak bisa melewati area itu. Lain kali kamu harus lebih waspada. Penjagaan terhadap Maira harus lebih ketat!" "Baik Tuan. Saya minta maaf!' ujar Pak Pardi tertunduk. Kasian, gara-gara kecerobohanku, laki-laki itu dimarahi oleh Raka. "Pak Pardi, Saya minta maaf ya. Gara-gara saya Bapak jadi dimarahi oleh Mas
Pov Alif "Kak May, bajuku kenapa belum disetrika? Bisa-bisa aku terlambat." Aku menahan napas melihat tingkah istriku itu. Mela selalu saja berteriak jika berbicara pada Ibu dan Kak May. Padahal usia mereka jauh lebih tua. Seharusnya Mela bisa lebih sopan. "Bukankah kamu hari ini libur?" tanya Kak May tak kalah ketus. "Aku mau ada acara arisan sama teman-teman. Buruan tolong disetrika, nih!," Dengan seenaknya Mela melemparkan bajunya ke hadapan Kak May. "Nggak bisa! Kamu setrika aja sendiri! Aku mau buru-buru ke pasar, mau buka toko." Kembali Kakakku itu melempar baju Mela dan persis mengenai wajah istriku itu. "Hei! Berani kalian sama aku ya? Asal kalian tahu, Aku bisa saja mengusir kalian kapanpun. Ini rumahku. Kalian cuma numpang di sini!" teriak Mela, wajahnya memerah karena emosi. Ya Tuhan. Kenapa Mela selalu mengulang-ulang kata-kata itu. Sejak rumah kami disita oleh orang-orang suruhan Bang Boman, Kami terpaksa pindah ke rumah Mela. Walau bermula dengan penuh drama, akhi
Pov Alif"Nanti mau dijemput jam berapa, Mel?" tanyaku ketika diperjalanan. "Nggak usah jemput. Aku mau ke mall cari baju untuk acara pernikahan Raka nanti." "Aku dibeliin juga dong, Sayang!" rayuku. "Halaah, baju kamu banyak gitu di lemari. Ngapain beli lagi?" sahutnya. "Raka acaranya di hotel terkenal, bajunya harus yang bagus dong, Mel. Di lemari baju-bajuku sudah jelek dan lama semua." Aku kembali mencoba merayu istriku itu. "Udah nggak usah sok-sok pakai baju baru! Gaji nggak seberapa aja, mana cukup!" ketus mela. Astaga! Gaji nggak seberapa dia bilang? Tapi setiap bulan dia selalu antusias untuk menguasai gajiku. Biasanya hampir tiap bulan Aku ke mall beli pakaian baru. Namun sejak menikah dengan Mela, sekalipun aku belum pernah belanja lagi. Bagaimana mau beli baju baru, gajiku semua diminta oleh istriku itu. --------- Lumayan hasil ngojek hari ini. Walau hanya setiap libur kerja saja, tapi hasilnya bisa untuk mengisi kuota ponsel dan sekedar ngopi bareng dengan teman
Sejak subuh semua orang sibuk. Apalagi Bu Nuri. Wanita serba tahu dan serba bisa itu sepertinya hampir tidak tidur semalaman. Raka berkali-kali berpesan agar acara akad nikah kami sesuai dengan harapannya. Apakah Raka menikahiku karena keinginannya? Atau hanya karena ingin melindungi diriku atas permintaan orangtuanya? "Non Shinta, para penata rias sudah datang. Ditunggu di kamar tamu." Seorang pelayan menghampiriku. Sejak tadi aku hanya mondar mandir saja. Raka melarangku untuk membantu. Dia khawatir nanti aku kelelahan. Karena besok malam adalah acara resepsi kami. Aku melangkah menuju kamar tamu. Disana sudah ada beberapa wanita yang akan meriasku. "Silakan Nona!' Salah satu penata rias mempersilakan aku untuk duduk di depan cermin besar. Salah seorang dari mereka yang konon katanya adalah make up artis, begitu terampil merubah diriku menjadi sangat cantik bagaikan seorang putri. Andai saja saat ini Ayah dan Bunda ada di sini, pasti mereka sangat bahagia melihatku tampil seca
Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Kami bersiap-siap menuju hotel. Rencananya akad nikah akan diselenggarakan di sana. Berlanjut besok malam dengan resepsi di hotel yang sama. "Maira ..kamu cantik sekali," lirih Raka, ketika kami bertemu dalam satu mobil yang akan menuju hotel. Please Mas Raka, jangan bikin aku grogi kayak gini. Aku takut kamu mendengar suara jantungku yang berdetak kencang saat ini. Selama perjalanan menuju hotel. Kami di kawal oleh beberapa mobil. Tampak Raka berkali-kali menelpon seseorang. Wajahnya begitu tegang. Sepertinya ada sesuatu yang sedang direncanakan. "Mas, kok tegang gitu? Ada masalah apa?" tanyaku setelah dia menutup ponselnya. "Ada." "Hah! Masalah apa?" tanyaku khawatir. "Masalahnya ... apa aku sanggup menunggu sampai malam untuk bisa peluk kamu?" bisiknya ke telingaku. "Mas Rakaaaa ...!" jeritku seraya mencubit pinggangnya. "Aaww ...! Sakit tau ..! Awas ya nanti malam aku bales!" "Bodo, ah!" Spontan aku menyembunyikan wajah menghadap jend
"A-ayah ... benarkah ini Ayah?" tanyaku tak percaya dengan apa yang aku lihat. "Iya, Sayang ... ini Ayah. Maira Anakku ..." Laki-laki itu lantas meraih memelukku. Aku masih terpaku tak percaya. Kenapa orang-orang itu dulu mengatakan bahwa Ayah sudah meninggal? Aku yang ketika itu masih kanak-kanak tidak tau apa yang terjadi. Bahkan tidak pernah tau dimana makam Ayah dan Bunda. Kemudian hari ini, sesuatu yang tidak pernah aku duga terjadi. Walau setiap saat aku mengharapkan keajaiban ini. Bertemu Ayah dan Bunda selalu menjadi impianku. Lalu hari ini, seorang laki-laki setengah tua, dengan tubuh tinggi tegap. Wajah tampannya yang masih terlihat jelas di antara kulitnya yang mulai berkerut. Wajah yang memandangku penuh kasih dan rindu. "Ayah ... Ayah ..." Aku terus tergugu di dada bidangnya. Hingga kemeja di balik jas hitam itu basah karena air mataku. Tangan kekarnya terus membelai hijab putihku yang telah terpasang sebuah mahkota kecil. Hingga tangan itu turun ke bahuku. Tepukan