Share

Bab 3. Melamar Pekerjaan

Pov Alif

Pagi ini aku harus tampil rapi. Aku tak ingin harapanku untuk dapat bekerja di kantoran gagal lagi. Cita-citaku sejak dulu adalah bekerja di kantoran. Bukan sebagai pedagang di pasar seperti sekarang ini.

Beruntung aku memiliki teman seperti Raka. Teman semasa SMAku itu memiliki banyak perusahaan. Raka memang berasal dari keluarga berada. Kemarin dia bilang membutuhkan banyak karyawan untuk bekerja di kantor cabangnya yang baru saja dibuka.

Aku dan teman-teman SMAku segera akan melamar ke sana. Raka memang paling beruntung diantara kami. Hanya dia satu-satunya teman sekelas kami yang berhasil melanjutkan pendidikan hingga keluar negri. Tidak seperti aku. Kuliah di dalam negripun tidak. Aku hanya lulusan SMA. Sejak lulus sekolah hanya meneruskan usaha toko kelontong milik almarhum ayahku di pasar. 

Pagi-pagi sekali aku bangun. Biasanya aku bangun sesukaku. Kemudian berangkat ke pasar berjualan. Itu pun aku sering kesiangan. Rasanya sudah bosan hidup serba pas-pasan seperti sekarang ini. Toko kelontong peninggalan Ayah pun tidak terlalu ramai pembeli.

Aku sengaja berangkat lebih pagi, karena akan menjemput Mela lebih dulu. Gadis cantik itu juga akan melamar di perusahaan Raka. Mela juga hanya tamatan SMA seperti aku. Semoga kami bisa satu kantor, lalu akan sering bertemu nantinya. Mela jauh lebih cantik dan menarik dari pada istriku. Wawasannya cukup luas. Sehingga  membuat hari-hariku menjadii lebih bersemangat. Pokoknya Shinta tidak ada apa-apanya dibanding Mela.

"Mas, nggak sarapan dulu?" tanya Shinta yang melihatku sudah rapi. Seperti biasa, setiap hari Shinta selalu menyiapkan sarapan untukku sebelum berangkat kerja. Kali ini dia membuat nasi goreng kesukaanku.

"Tolong bungkusin aja. Dua ya!"sahutku seraya beranjak menuju teras.

"Kok dua, Mas? Satu lagi untuk siapa?" tanyanya heran.

"Bawel banget, sih. Ya terserah aku lah." sahutku ketus. Wanita dekil ini selalu saja  membuat moodku jadi tidak baik.

Entah mengapa semakin hari dia tampak semakin membosankan. Belum juga kami punya anak, dia sudah tak pandai merias diri. Apalagi kalau nanti direpotkan oleh anak, entah seperti apa tampang istiku itu nanti.

Bagaimana nanti kalau aku sudah kerja di kantoran. Pasti sangat memalukan jika teman-teman kantorku melihat istriku seperti ini.

Ponselku bergetar. Ternyata pesan masuk dari Mela. Kenapa hati ini juga ikut bergetar?

[Lif, jangan kesiangan jemputnya. Aku sudah siap, nih]

[Oke cantik. Aku segera meluncur]

Tanpa menunggu lama, segera menaiki motorku. Dengan hati berdebar segera menuju rumah Mela yang hanya beda dua gang dari rumahku.

Tak kuhiraukan Shinta yang terus memanggiku. Apa sih maunya dia? Berharap aku pamit dan mencium keningnya yang bau asap kompor itu? Mengingat wajah perempuan itu membuatku bergidik.

Jalanan masih belum terlalu ramai. Hanya dalam waktu beberapa menit saja aku sudah tiba di depan rumah wanita cantik itu.

"Hai, Lif. Wah, pangling aku. Kamu terlihat makin tampan dengan kemeja ini." Pujian Mela membuatku melayang.

"Ah, kamu juga tambah cantik," balasku seraya mencubit hidungnya. Mela tampak tersipu malu.

"Kita cari sarapan dulu, yuk!"

"A-apa? Sarapan?" Rasanya aku ingin tepok jidat mengingat sarapan yang tadi disiapkan Shinta,  lupa aku bawa. Sepertinya tadi Shinta lari-lari mengikuti seraya berteriak memanggilku untuk memberikan sarapanku yang tertinggal.

Waduh bagaimana ini? Kalau sarapan di luar terpaksa aku harus mengeluarkan uang. Aku sengaja meminta pada Shinta sarapan dua bungkus nasi goreng, agar lebih irit.

"Kenapa, Lif?" Mela terheran melihatku panik.

Mataku membelalak melihat Shinta berlari kecil dari kejauhan.

"Mel, A-aku haus. Boleh minta teh manis hangat?" Aku berpura-pura kehausan sambil mengusap-usap tenggorokanku.

"Oke, sebentar aku ambilkan."

Tak lama Mela masuk ke dalam. Tampak Shinta menghampiriku membawa dua bungkus nasi.

"Mas, sarapannya tertinggal. M-maaf tadi aku disuruh ibu untuk mengantarnya ke sini." Shinta terengah-engah. Sepertinya dia lelah mengejar motorku.

"Ya sudah. Sini nasi gorengnya. Kamu langsung pulang sana!"

Jangan sampai Mela melihat Shinta ada di sini. Wanita itupun menurut dan segera pergi dari hadapanku.

"Ini tehnya, Lif." Mela muncul dari dalam membawa segelas teh untukku.

"Mel, aku tadi bikin nasi goreng khusus untukmu. Yuk, kita makan sama-sama."

Tampak binar di wajah wanita cantik itu.

"Beneran kamu bikin sendiri khusus buat aku?" Senyumnya mengembang , lagi-lagi membuat jantungku berdegub kencang.

"Aku jadi tidak sabar. Sebentar aku ambil piring dan sendok." Dia pun melangkah ke dalam.

Ah, syukurlah Mela mau makan nasi goreng ini. Jadi aku tak perlu mengeluarkan uang untuk makan di luar. Dia pasti suka. Karena masakan Shinta selalu enak di lidah.

Setelah melahap nasi goreng hingga tak bersisa, kami langsung berangkat menuju kantor Raka. Mela tak lupa mengunci pintu sebelum naik ke motorku. Gadis itu memang tinggal sendirian di rumahnya. Karena kedua orang tuanya lebih memilih untuk tinggal di kampung.

-------------------

Setelah mengikuti test tulis, kami diwawancara  satu persatu oleh kepala HRD. Entah di mana temanku Raka. Sejak tadi tidak nampak batang hidungnya. Apa benar perusahaan ini miliknya? Perusahaan ini sangat besar dan mewah. Padahal ini hanya kantor cabang. Kantor pusatnya pasti lebih besar lagi. Pasti gajiku tidak sedikit di sini.

"Selamat Saudara Alif, Anda kami terima di perusahaan kami," ujar kepala HRD yang tampaknya sudah berumur itu.

"Terima kasih. Apa jabatan saya, Pak?" tanyaku tanpa beban. Aku yakin Raka akan memberiku jabatan bagus di perusahaannya.

Laki-laki dihadapanku itu tertawa.

"Tidak ada jabatan untuk lulusan Sekolah Menengah Atas. Saudara kami terima sebagai staf biasa di sini. Itu pun sudah sangat beruntung. Karena staf kami lainnya hampir semuanya sarjana," jelasnya panjang lebar.

Ah, percuma saja aku sahabatan dengan Raka yang katanya pemilik perusahaan. Masa diterima hanya sebagai staf biasa?

Sepertinya aku harus bicara pada temanku itu.

"Baiklah, Pak. Terimakasih," sahutku lemas

, kemudian keluar dari ruangan HRD.

Sampai di depan kantor, aku langsung menghubungi ponsel Raka.

"Hallo Raka. Apa kamu tidak bisa memberiku jabatan di kantormu?"

"Sudahlah, Lif. Terima saja! Posisi itu sangat cocok untukmu saat ini. Yang penting kamu bisa kerja di kantoran. Ya, kan?" sahutnya dari sebrang sana. Entah dimana  dia berada saat ini

Aku membuang napas kasar. Benar juga katanya. Yang penting tiap hari aku bisa rapi berkemeja. Tidak seperti kemarin-kemarin kepanasan di pasar. Setidaknya  setiap hari aku bisa berdekatan dengan Mela, wanita cantik yang mengisi mimpi-mimpiku saat ini.

Sungguh tak sabar rasanya setiap hari pergi dan pulang kerja bersama wanita cantik berambut gelombang itu.

Komen (33)
goodnovel comment avatar
Mmh Pauji
iya itu betul²
goodnovel comment avatar
Santy Ca'em
aku masih penasaran ne sama endingnya
goodnovel comment avatar
kezia desta
laki laknat kaya gini kl ngomong ga diayak ya, gimana istri mau cantik n wangi orang dijadiin babu disitu, jgn2 dia juga pelit nih keluar uang buat makan aja ga mau hadeuh, ganteng2 ga ada ahlak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status