Pov Alif
Pagi ini aku harus tampil rapi. Aku tak ingin harapanku untuk dapat bekerja di kantoran gagal lagi. Cita-citaku sejak dulu adalah bekerja di kantoran. Bukan sebagai pedagang di pasar seperti sekarang ini.Beruntung aku memiliki teman seperti Raka. Teman semasa SMAku itu memiliki banyak perusahaan. Raka memang berasal dari keluarga berada. Kemarin dia bilang membutuhkan banyak karyawan untuk bekerja di kantor cabangnya yang baru saja dibuka.Aku dan teman-teman SMAku segera akan melamar ke sana. Raka memang paling beruntung diantara kami. Hanya dia satu-satunya teman sekelas kami yang berhasil melanjutkan pendidikan hingga keluar negri. Tidak seperti aku. Kuliah di dalam negripun tidak. Aku hanya lulusan SMA. Sejak lulus sekolah hanya meneruskan usaha toko kelontong milik almarhum ayahku di pasar. Pagi-pagi sekali aku bangun. Biasanya aku bangun sesukaku. Kemudian berangkat ke pasar berjualan. Itu pun aku sering kesiangan. Rasanya sudah bosan hidup serba pas-pasan seperti sekarang ini. Toko kelontong peninggalan Ayah pun tidak terlalu ramai pembeli.Aku sengaja berangkat lebih pagi, karena akan menjemput Mela lebih dulu. Gadis cantik itu juga akan melamar di perusahaan Raka. Mela juga hanya tamatan SMA seperti aku. Semoga kami bisa satu kantor, lalu akan sering bertemu nantinya. Mela jauh lebih cantik dan menarik dari pada istriku. Wawasannya cukup luas. Sehingga membuat hari-hariku menjadii lebih bersemangat. Pokoknya Shinta tidak ada apa-apanya dibanding Mela."Mas, nggak sarapan dulu?" tanya Shinta yang melihatku sudah rapi. Seperti biasa, setiap hari Shinta selalu menyiapkan sarapan untukku sebelum berangkat kerja. Kali ini dia membuat nasi goreng kesukaanku."Tolong bungkusin aja. Dua ya!"sahutku seraya beranjak menuju teras."Kok dua, Mas? Satu lagi untuk siapa?" tanyanya heran."Bawel banget, sih. Ya terserah aku lah." sahutku ketus. Wanita dekil ini selalu saja membuat moodku jadi tidak baik.Entah mengapa semakin hari dia tampak semakin membosankan. Belum juga kami punya anak, dia sudah tak pandai merias diri. Apalagi kalau nanti direpotkan oleh anak, entah seperti apa tampang istiku itu nanti.Bagaimana nanti kalau aku sudah kerja di kantoran. Pasti sangat memalukan jika teman-teman kantorku melihat istriku seperti ini.Ponselku bergetar. Ternyata pesan masuk dari Mela. Kenapa hati ini juga ikut bergetar?[Lif, jangan kesiangan jemputnya. Aku sudah siap, nih][Oke cantik. Aku segera meluncur]Tanpa menunggu lama, segera menaiki motorku. Dengan hati berdebar segera menuju rumah Mela yang hanya beda dua gang dari rumahku.Tak kuhiraukan Shinta yang terus memanggiku. Apa sih maunya dia? Berharap aku pamit dan mencium keningnya yang bau asap kompor itu? Mengingat wajah perempuan itu membuatku bergidik.Jalanan masih belum terlalu ramai. Hanya dalam waktu beberapa menit saja aku sudah tiba di depan rumah wanita cantik itu."Hai, Lif. Wah, pangling aku. Kamu terlihat makin tampan dengan kemeja ini." Pujian Mela membuatku melayang."Ah, kamu juga tambah cantik," balasku seraya mencubit hidungnya. Mela tampak tersipu malu."Kita cari sarapan dulu, yuk!""A-apa? Sarapan?" Rasanya aku ingin tepok jidat mengingat sarapan yang tadi disiapkan Shinta, lupa aku bawa. Sepertinya tadi Shinta lari-lari mengikuti seraya berteriak memanggilku untuk memberikan sarapanku yang tertinggal.Waduh bagaimana ini? Kalau sarapan di luar terpaksa aku harus mengeluarkan uang. Aku sengaja meminta pada Shinta sarapan dua bungkus nasi goreng, agar lebih irit."Kenapa, Lif?" Mela terheran melihatku panik.Mataku membelalak melihat Shinta berlari kecil dari kejauhan."Mel, A-aku haus. Boleh minta teh manis hangat?" Aku berpura-pura kehausan sambil mengusap-usap tenggorokanku."Oke, sebentar aku ambilkan."Tak lama Mela masuk ke dalam. Tampak Shinta menghampiriku membawa dua bungkus nasi."Mas, sarapannya tertinggal. M-maaf tadi aku disuruh ibu untuk mengantarnya ke sini." Shinta terengah-engah. Sepertinya dia lelah mengejar motorku."Ya sudah. Sini nasi gorengnya. Kamu langsung pulang sana!"Jangan sampai Mela melihat Shinta ada di sini. Wanita itupun menurut dan segera pergi dari hadapanku."Ini tehnya, Lif." Mela muncul dari dalam membawa segelas teh untukku."Mel, aku tadi bikin nasi goreng khusus untukmu. Yuk, kita makan sama-sama."Tampak binar di wajah wanita cantik itu."Beneran kamu bikin sendiri khusus buat aku?" Senyumnya mengembang , lagi-lagi membuat jantungku berdegub kencang."Aku jadi tidak sabar. Sebentar aku ambil piring dan sendok." Dia pun melangkah ke dalam.Ah, syukurlah Mela mau makan nasi goreng ini. Jadi aku tak perlu mengeluarkan uang untuk makan di luar. Dia pasti suka. Karena masakan Shinta selalu enak di lidah.Setelah melahap nasi goreng hingga tak bersisa, kami langsung berangkat menuju kantor Raka. Mela tak lupa mengunci pintu sebelum naik ke motorku. Gadis itu memang tinggal sendirian di rumahnya. Karena kedua orang tuanya lebih memilih untuk tinggal di kampung.-------------------Setelah mengikuti test tulis, kami diwawancara satu persatu oleh kepala HRD. Entah di mana temanku Raka. Sejak tadi tidak nampak batang hidungnya. Apa benar perusahaan ini miliknya? Perusahaan ini sangat besar dan mewah. Padahal ini hanya kantor cabang. Kantor pusatnya pasti lebih besar lagi. Pasti gajiku tidak sedikit di sini."Selamat Saudara Alif, Anda kami terima di perusahaan kami," ujar kepala HRD yang tampaknya sudah berumur itu."Terima kasih. Apa jabatan saya, Pak?" tanyaku tanpa beban. Aku yakin Raka akan memberiku jabatan bagus di perusahaannya.Laki-laki dihadapanku itu tertawa."Tidak ada jabatan untuk lulusan Sekolah Menengah Atas. Saudara kami terima sebagai staf biasa di sini. Itu pun sudah sangat beruntung. Karena staf kami lainnya hampir semuanya sarjana," jelasnya panjang lebar.Ah, percuma saja aku sahabatan dengan Raka yang katanya pemilik perusahaan. Masa diterima hanya sebagai staf biasa?Sepertinya aku harus bicara pada temanku itu."Baiklah, Pak. Terimakasih," sahutku lemas, kemudian keluar dari ruangan HRD.Sampai di depan kantor, aku langsung menghubungi ponsel Raka."Hallo Raka. Apa kamu tidak bisa memberiku jabatan di kantormu?""Sudahlah, Lif. Terima saja! Posisi itu sangat cocok untukmu saat ini. Yang penting kamu bisa kerja di kantoran. Ya, kan?" sahutnya dari sebrang sana. Entah dimana dia berada saat iniAku membuang napas kasar. Benar juga katanya. Yang penting tiap hari aku bisa rapi berkemeja. Tidak seperti kemarin-kemarin kepanasan di pasar. Setidaknya setiap hari aku bisa berdekatan dengan Mela, wanita cantik yang mengisi mimpi-mimpiku saat ini.Sungguh tak sabar rasanya setiap hari pergi dan pulang kerja bersama wanita cantik berambut gelombang itu.Suara motor Mas Alif terdengar di depan rumah. Berarti suamiku itu sudah pulang. Ingin rasanya kutanyakan padanya, kenapa pagi tadi dia berada di rumah perempuan itu. Kalau saja Ibu tidak menyuruhku mengantar , aku tidak akan tahu kalau rumah itu adalah milik Mela. Apa si Mela itu benar-benar tidak tahunasi kalau Mas Alif sudah beristri? Memang ketika kami menikah enam bulan yang lalu, tidak ada acara resepsi. Hanya selamatan kecil-kecilan keluarga Mas Alif dan tetangga kanan kiri. Aku yang hanya sebatang kara, hanya didampingi oleh ibu panti dan beberapa anak panti seangkatanku. "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam." Mas Alif masuk ke dalam rumah dengan wajah tampak bahagia. Senyum mengembang di wajahnya. "Bu ..., Aku diterima kerja di kantornya Raka." ucapnya bersemangat seraya melangkah menghampiri kami. Mas Alif langsung menemui Ibu dengan antusias. Di tangan kanan dan kirinya terdapat beberapa bungkusan. Lagi-lagi dia berbelanja tanpa mengajakku. Selama menikah dengan Mas
Sebuah mobil mewah berwarna hitam legam berhenti di depan rumah. Ibu, Imah dan Kak May mengikuti Mas Alif menuju teras. Tampak Imah sudah tampil berbeda dengan riasan tebal dan pakaian sedikit terbuka. Entah kenapa Ibu justru menyuruhnya berpakaian seperti itu. Menurut beliau pakaian orang kaya memang seperti itu. Aku yang mengintip dari balik pintu, melihat sosok Raka keluar dari pintu mobilnya. Saat ini penampilannya lebih formal. Raka tampak lebih berwibawa dengan stelan jas abu tua. Wajah Ibu tampak sumringah melihat penampilan sahabat Mas Alif itu. Sepertinya Raka baru saja pulang dari kantor kemudian langsung menuju ke sini. "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam ..." "Ayo silakan masuk, Nak Raka!" sapa ibu dengan sangat ramah. Sementara Imah yang berada di samping Ibu ikut tersenyum pada laki-laki itu. "Terima kasih, Bu, Dek Imah," sahut Raka. "Ayo silakan masuk, Bos!" Mas Alif merangkul Raka ke dalam. Kemudian terdengar obrolan basa basi mereka di ruang tamu. Jelas seka
Mataku membelalak ketika melihat kertas kecil dalam genggamanku bertuliskan 'call me'. Kertas yang ternyata sebuah kartu nama itu juga tertera jabatan Raka Adipratama sebagai CEO PT Ramajaya, serta nomor ponsel laki-laki itu. Apa maksudnya? Untuk apa Raka memintaku untuk menghubunginya? Siapa dia sebenarnya? Aku terus berpikir keras berusaha mengingat-ingat. Tapi sama sekali tak ada titik terang di pikranku. Aku tidak boleh gegabah. Bisa saja Raka adalah salah satu musuh orang tuaku yang ingin menyingkirkanku. Sebaiknya aku tetap waspada sambil mencari informasi. Namun bagaimana caranya? Siapa yang harus aku hubungi? Siapa yang bisa aku percaya saat ini? Untuk sementara nomor ponsel Raka aku simpan di kontak ponselku. Sewaktu-waktu mungkin aku akan memerlukannya. Sambil menunggu Mas Alif, aku mencoba lagi mengingat-ingat, di mana aku pernah bertemu Raka. Rasanya wajah itu tak asing bagiku. Tapi sungguh aku tak ingat siapa dia sebenarnya. Dari sikapnya, Raka sepertinya orang bai
"A-paa? Akad nikah? Siapa yang akan menikah? Ya Tuhan apakah dugaanku ini benar? Mas Alif akan menikahi Mela? Berarti apa yang dikatakan Pak RT semalam benar-benar terbukti. Padahal sejak semalam aku masih berharap, tuduhan terhadap Mas Alif itu adalah salah. Seketika tubuh ini terasa sangat lemas dan tak bertenaga. Sanggupkah aku menerima kenyataan ini? "Shinta! Ada tamu bukannya disuruh masuk, malah melamun. Dasar menantu nggak guna!" Tiba-tiba Kak May sudah berada di belakangku. Kakak Iparku itu membentakku di depan para tamu. Matanya nyalang menatapku. "Ayo silakan masuk bapak dan Ibu!" ajak Kak May dengan sangat ramah. Siapa sebenarnya tamu-tamu ini? Apakah mereka keluarga dari Mela? Sepasang suami istri dan laki-laki paruh baya itu masuk dan duduk dikursi yang sudah ditata oleh kak May dan Imah. Beberapa makanan dan minuman sudah tersedia di meja tamu. Tak lama kemudian beberapa warga pun berdatangan. Termasuk pak RT dan istrinya.. Sementara aku masih berdiri mematung kar
"Sudah-sudah, jangan ribut! Cepat kamu pakai jas ini dan segera temui calon mertuamu di depan!" sanggah Ibu seraya memberikan jas hitam Mas Alif. Suamiku pun menuruti permintaan ibu. Dengan cepat dia memakai jas hitam itu dan melangkah menuju ruang tamu. Tak lama kemudian Ibu pun menyusul Mas Alif ke ruang tamu. Tinggallah aku sendiri yang terduduk di atas ranjang ibu. Berusaha menguatkan hati. Aku tak boleh lemah. Aku tak boleh menangis. Mereka akan semakin semena-mena padaku. Aku harus secepatnya mengambil keputusan. Aku memang miskin dan tidak punya siapa-siapa. Namun aku masih punya harga diri. Aku merasa tidak dihargai sama sekali di sini. Suatu saat aku akan balas kalian semua. Aku putuskan untuk tetap akan berada di ruang tamu. Bukankah seharusnya mereka meminta izin aku dulu sebagai istri sah Mas Alif? Tapi kenapa justru mereka seperti menganggapku tidak ada. Setelah menghapus sisa-sisa air mataku, dengan mantap kulangkahkan kaki menuju tempat ijab kabul akan dilangsungka
"Baiklah. Silakan lanjutkan Pak Penghulu!" sahutku lantang. Aku tidak akan menangis lagi di pernikahanmu ini, Mas. Tidak akan sudi. Kemudian aku berdiri. Lalu melangkah mendekati kedua calon pengantin itu. Semua orang di ruangan itu masih menatapku. Mas Alif terlihat bingung. "Tapi ... saya ada satu permintaan, Pak penghulu," tegasku seraya melirik pada kedua calon pengantin yang sepertinya sudah sangat tidak sabar itu. "Apa-apaan kamu, Shinta? Sudah aku bilang jangan bikin malu!" bisik Mas Alif dengan geram seraya melotot padaku. "Hey! Siapa sebenarnya yang sudah bikin malu ? Aku atau kamu, Mas ? Siapa yang sudah melakukan perbuatan menjijikkan itu?" Entah keberanian dari mana aku bisa berbicara lantang di hadapan laki-laki itu. "Dasar perempuan kampungan! Berani sekali kamu berbicara seperti itu. Lihat saja dirimu! Sungguh memalukan. Pantas saja orang-orang mengira kamu pembantu," hardik Mela sambil bertolak pinggang menatap sinis padaku. Astaga ...! Ingin rasanya aku tar
"Baiklah. Karena aku sudah bukan siapa-siapa lagi di rumah ini. Sebaiknya mulai hari ini aku pergi." tegasku, lalu membalikkan badan untuk beranjak menuju kamar. "Jangan, Shinta! Tolong kamu jangan pergi. Tetaplah disini!" Tiba-tiba ibu menghalangiku. "Kenapa, Bu? Apa ibu khawatir karena tidak ada lagi yang melakukan tugas pembantu di sini? Karena tidak ada lagi yang akan ibu marah-marahi nanti?" cecarku. "B-bukan begitu, Shinta ..." sahut ibu bergetar. Terlihat panik pada raut wajahnya. "Sudah biarkan dulu Shinta, Bu. Sebaiknya kita segera lanjutkan pernikahan ini." ajak Kak May. Akhirnya ibu kembali duduk di belakang Mas Alif. Sementara aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ada kelegaan yang kurasakan. Namun sejujurnya aku masih sangat bingung akan kemana tujuanku setelah ini. Tiba-tiba aku teringat ponselku. Semoga saja Raka sudah membaca pesan yang kukirim sejak tadi. Ya, Aku terpaksa mengirim pesan pada Raka menanyakan mungkin ada pekerjaan untukku. Setidaknya aku tidak ak
Pov Alif "Selamat siang, saya di suruh atasan saya untuk menjemput Ibu Shinta." Tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua berpakaian rapi muncul di depan pintu. Siapa laki-laki ini? Siapa atasan yang dia maksud? "Ya, Pak. Saya Shinta," sahut mantan istriku itu. Ya, beberapa jam yang lalu Shinta resmi kutalak. "Silahkan Bu Shinta. Mobil sudah siap!" Ujar laki-laki itu seraya membungkuk seperti memberi hormat. Mataku membelalak ketika melihat sebuah mobil mewah toyota alphard keluaran terbaru telah terparkir di depan rumahku. Siapa sebenarnya pemilik mobil seharga satu milyar itu. Siapa sebenarnya atasan laki-laki yang menjemput Shinta ini? "Baiklah, Aku pergi," tegas Shinta seraya melangkah keluar pintu. "Shinta ... tunggu! Tolong jangan pergi!" sanggahku. "Apa-apaan kamu, Lif? Biarkan saja dia pergi!" teriak Mela yang tiba-tiba muncul dari dalam. "Tidak, Shinta tidak boleh keluar dari rumah ini!" bantah ibu. Sementara Shinta terlihat tak peduli. Wanita itu terus memakai ka