Sebuah mobil mewah berwarna hitam legam berhenti di depan rumah. Ibu, Imah dan Kak May mengikuti Mas Alif menuju teras. Tampak Imah sudah tampil berbeda dengan riasan tebal dan pakaian sedikit terbuka. Entah kenapa Ibu justru menyuruhnya berpakaian seperti itu. Menurut beliau pakaian orang kaya memang seperti itu.
Aku yang mengintip dari balik pintu, melihat sosok Raka keluar dari pintu mobilnya. Saat ini penampilannya lebih formal. Raka tampak lebih berwibawa dengan stelan jas abu tua. Wajah Ibu tampak sumringah melihat penampilan sahabat Mas Alif itu. Sepertinya Raka baru saja pulang dari kantor kemudian langsung menuju ke sini."Assalamualaikum ...""Waalaikumsalam ...""Ayo silakan masuk, Nak Raka!" sapa ibu dengan sangat ramah. Sementara Imah yang berada di samping Ibu ikut tersenyum pada laki-laki itu."Terima kasih, Bu, Dek Imah," sahut Raka."Ayo silakan masuk, Bos!" Mas Alif merangkul Raka ke dalam.Kemudian terdengar obrolan basa basi mereka di ruang tamu. Jelas sekali terlihat sikap ibu yang berlebihan pada Raka.Aku segera masuk menuju dapur, hendak membawa minuman yang sudah kubuat sejak tadi. Namun tiba-tiba saja Imah menghadangku di depan pintu dapur."Minggir! Aku aja yang bawa!" tiba-tiba Imah merebut nampan berisi minuman yang sudah berada di tanganku."Tumben?" tanyaku heran seraya mengernyitkan dahi."Berisik! Udah kak Shinta di sini aja disuruh ibu. Nggak usah keluar!" tegas Imah sebelum dia keluar membawa minuman.Hmm ..., enak saja aku disuruh diam di dapur. Sedangkan semua pekerjaan sudah aku selesaikan. Perlahan aku melangkah menuju ke ruang tamu.Ibu melotot ketika melihatku ikut duduk disalah satu kursi di ruang tamu. Sementara Mas Alif juga menatapku kesal. Sebaiknya aku tidak menghiraukan tatapan mereka."Assalamualaikum ...." Terdengar suara seorang wanita mengucapkan salam."Waalaikumsalam ....,"Ternyata si Mela itu datang juga. Kini wajah Mas Alif yang tampak berseri-seri melihat kedatangan perempuan itu. Ibu langsung menghampiri dan memeluk Mela. Sesuatu yang belum pernah beliau lakukan padaku, menantunya.Aku hanya bisa menahan sesak melihat perlakuan istimewa mereka terhadap Mela. Kak May yang terkenal sangat judes pun bersikap sangat ramah padanya."Maaf, bisa tolong antar ke toilet?" tiba-tiba Raka menghampiriku."Oh ya, mari silakan!" sahutku sambil melangkah ke belakang. Raka mengikutiku.Sepertinya Mas Alif, Ibu dan lainnya tidak memperhatikan. Mereka sedang sibuk menyambut Mela."Tunggu! Siapa kamu sebenarnya?" Aku tersentak ketika tiba-tiba Raka menepuk pelan lenganku hingga langkahku terhenti.Sontak aku menoleh ke belakang. Apa maksud pertanyaannya? Apa ada hubungannya dengan panggilan nama kecilku kemarin?Raka menatapku penuh tanda tanya. Sesaat kami saling menatap dalam diam."Maksud kamu ...?" tanyaku kemudian."Siapa kamu sebenarnya?" tegasnya lagi dengan tatapan tajam, membuat jantungku berdebar. Kenapa mata itu seperti tidak asing bagiku? Seakan aku pernah melihatnya."Dia yang bantu-bantu kita di sini. Sudahlah, nggak penting juga. Mas Raka mau ke toilet ya? Yuk Imah antar!" Ternyata Imah sudah berada di belakang kami.Raka terus melangkah mengikuti Imah. Namun sesekali menoleh padaku.Eh, tadi Imah bilang apa? Aku pembantu di sini? Kurang ajar sekali adik iparku itu. Ya Tuhan, sampai kapan mereka seperti ini.Aku harus berusaha keras mencari orang-orang kepercayaan orang tuaku. Setidaknya jika aku pergi dari sini, ada tempat yang menjadi tujuanku. Aku tidak mungkin kembali ke panti dan membuat susah Ibu panti.---------Selama makan malam berlangsung, ibu tak henti-hentinya menyuruhku ini dan itu. Pasti beliau sengaja agar aku tak dapat bergabung dan memperkenalkan diri pada Mela dan Raka. Namun aku merasa Raka seringkali mencuri pandang padaku. Sepertinya dia juga sedang mencari kesempatan untuk berbicara padaku. Namun Ibu dan Imah sibuk mengajaknya bicara."Nak Raka, ngomong-ngomong makasih sudah terima Alif bekerja di kantoran. Wah, pasti gajinya gede dong." Ibu membuka pembicaraan."Ya, Bu. Semoga Alif betah kerja di sana," sahut Raka."Nak Raka kenapa belum menikah? Belum ada calonnya?" Ibu sepertinya aktif sekali bertanya-tanya pada laki-laki itu."Hehehe .... Calonnya masih saya cari, Bu," sahutnya seraya tertawa. Namun aku menangkap lirikan matanya padaku. Entah berapa kali kami bertemu mata tanpa ada tegur sapa."Sering-seringlah main ke sini, Nak Raka. Nanti biar si Imah masakin yang enak-enak seperti tadi. Imah ini masih muda, tapi sudah pandai memasak."Apa ibu bilang? Jelas-jelas semua ini aku yang masak. Si Imah hanya bermain ponsel saja kerjanya dari pagi. Adik iparku itu memang hobinya rebahan sambil pegang ponsel.Imah tampak salah tingkah mendengar pujian ibu."Sepertinya sudah malam. Saya pamit pulang dulu." Terdengar suara Raka yang sepertinya akan pulang.Aku yang berada di ruang makan bersebelahan dengan ruang tamu, bisa dengan jelas melihat laki-laki itu melirik padaku."Mbak, bisa minta tolong ambilkan tissue?" Aku terkejut karena tiba-tiba Raka menghampiriku.Nampak raut wajah tak suka dari Ibu dan Mas Alif. Aku pura-pura tidak melihatnya."Sebentar saya ambilkan," sahutku sambil beranjak ke meja makan mangambil beberapa helai tissue.Tapi Raka justru perlahan melangkah seperti mendekatiku."Ini tissuenya." Aku menyerahkan tissue pada laki-laki yang ternyata sudah berada di sebelahku.Sontak aku hampir terlonjak. Ketika Raka menyelipkan sesuatu ke tanganku ketika tissue itu berpindah tangan. Seperti sebuah kertas. Aku jadi paham maksudnya meminta tissue padaku. Segera kumasukkan kertas itu ke kantong gamisku. Beruntung tidak ada yang melihatnya."Maaf tadi mobil saya ketumpahan air minum, jadi agak basah. Saya baru ingat di mobil tidak ada tissue hahaha ...," jelasnya sambil tertawa."Iya ...nggak apa-apa, Bos." sahut Mas Alif.Mas Alif mengantar Raka sampai ke mobilnya. Raka melambaikan tangannya saat mobilnya mulai melaju. Ibu dan imah sangat bersemangat membalas lambaiannya. Ibu dan anak itu tersenyum bahagia. Mereka sangat yakin akan mendapatkan Raka."Bu, Imah, Kak May, Aku pamit pulang juga ya ...." Tak lama kemudian si Mela juga berpamitan."Lif ..., antar Nak Mela pulang!" teriak Ibu pada Mas Alif yang masih di depan.Dengan semangat Mas Alif langsung menghampiri Mela."Oke. Yuk! Aku antar," ajaknya. Kemudian melangkah menghampiri motornya.Tak lama kemudian terdengar suara motor Mas Alif menjauh. Mungkin dia sudah pergi mengantar Mela.Setelah merapikan sisa-sisa makan malam dan membersihkan rumah, Aku masuk ke dalam kamar. Mas Alif belum pulang. Padahal rumah Mela sangat dekat.Tiba-tiba aku teringat kertas yang di selipkan Raka ke tanganku. Dengan penasaran kurogoh kantong gamisku. Dan ternyata ....Mataku membelalak ketika melihat kertas kecil dalam genggamanku bertuliskan 'call me'. Kertas yang ternyata sebuah kartu nama itu juga tertera jabatan Raka Adipratama sebagai CEO PT Ramajaya, serta nomor ponsel laki-laki itu. Apa maksudnya? Untuk apa Raka memintaku untuk menghubunginya? Siapa dia sebenarnya? Aku terus berpikir keras berusaha mengingat-ingat. Tapi sama sekali tak ada titik terang di pikranku. Aku tidak boleh gegabah. Bisa saja Raka adalah salah satu musuh orang tuaku yang ingin menyingkirkanku. Sebaiknya aku tetap waspada sambil mencari informasi. Namun bagaimana caranya? Siapa yang harus aku hubungi? Siapa yang bisa aku percaya saat ini? Untuk sementara nomor ponsel Raka aku simpan di kontak ponselku. Sewaktu-waktu mungkin aku akan memerlukannya. Sambil menunggu Mas Alif, aku mencoba lagi mengingat-ingat, di mana aku pernah bertemu Raka. Rasanya wajah itu tak asing bagiku. Tapi sungguh aku tak ingat siapa dia sebenarnya. Dari sikapnya, Raka sepertinya orang bai
"A-paa? Akad nikah? Siapa yang akan menikah? Ya Tuhan apakah dugaanku ini benar? Mas Alif akan menikahi Mela? Berarti apa yang dikatakan Pak RT semalam benar-benar terbukti. Padahal sejak semalam aku masih berharap, tuduhan terhadap Mas Alif itu adalah salah. Seketika tubuh ini terasa sangat lemas dan tak bertenaga. Sanggupkah aku menerima kenyataan ini? "Shinta! Ada tamu bukannya disuruh masuk, malah melamun. Dasar menantu nggak guna!" Tiba-tiba Kak May sudah berada di belakangku. Kakak Iparku itu membentakku di depan para tamu. Matanya nyalang menatapku. "Ayo silakan masuk bapak dan Ibu!" ajak Kak May dengan sangat ramah. Siapa sebenarnya tamu-tamu ini? Apakah mereka keluarga dari Mela? Sepasang suami istri dan laki-laki paruh baya itu masuk dan duduk dikursi yang sudah ditata oleh kak May dan Imah. Beberapa makanan dan minuman sudah tersedia di meja tamu. Tak lama kemudian beberapa warga pun berdatangan. Termasuk pak RT dan istrinya.. Sementara aku masih berdiri mematung kar
"Sudah-sudah, jangan ribut! Cepat kamu pakai jas ini dan segera temui calon mertuamu di depan!" sanggah Ibu seraya memberikan jas hitam Mas Alif. Suamiku pun menuruti permintaan ibu. Dengan cepat dia memakai jas hitam itu dan melangkah menuju ruang tamu. Tak lama kemudian Ibu pun menyusul Mas Alif ke ruang tamu. Tinggallah aku sendiri yang terduduk di atas ranjang ibu. Berusaha menguatkan hati. Aku tak boleh lemah. Aku tak boleh menangis. Mereka akan semakin semena-mena padaku. Aku harus secepatnya mengambil keputusan. Aku memang miskin dan tidak punya siapa-siapa. Namun aku masih punya harga diri. Aku merasa tidak dihargai sama sekali di sini. Suatu saat aku akan balas kalian semua. Aku putuskan untuk tetap akan berada di ruang tamu. Bukankah seharusnya mereka meminta izin aku dulu sebagai istri sah Mas Alif? Tapi kenapa justru mereka seperti menganggapku tidak ada. Setelah menghapus sisa-sisa air mataku, dengan mantap kulangkahkan kaki menuju tempat ijab kabul akan dilangsungka
"Baiklah. Silakan lanjutkan Pak Penghulu!" sahutku lantang. Aku tidak akan menangis lagi di pernikahanmu ini, Mas. Tidak akan sudi. Kemudian aku berdiri. Lalu melangkah mendekati kedua calon pengantin itu. Semua orang di ruangan itu masih menatapku. Mas Alif terlihat bingung. "Tapi ... saya ada satu permintaan, Pak penghulu," tegasku seraya melirik pada kedua calon pengantin yang sepertinya sudah sangat tidak sabar itu. "Apa-apaan kamu, Shinta? Sudah aku bilang jangan bikin malu!" bisik Mas Alif dengan geram seraya melotot padaku. "Hey! Siapa sebenarnya yang sudah bikin malu ? Aku atau kamu, Mas ? Siapa yang sudah melakukan perbuatan menjijikkan itu?" Entah keberanian dari mana aku bisa berbicara lantang di hadapan laki-laki itu. "Dasar perempuan kampungan! Berani sekali kamu berbicara seperti itu. Lihat saja dirimu! Sungguh memalukan. Pantas saja orang-orang mengira kamu pembantu," hardik Mela sambil bertolak pinggang menatap sinis padaku. Astaga ...! Ingin rasanya aku tar
"Baiklah. Karena aku sudah bukan siapa-siapa lagi di rumah ini. Sebaiknya mulai hari ini aku pergi." tegasku, lalu membalikkan badan untuk beranjak menuju kamar. "Jangan, Shinta! Tolong kamu jangan pergi. Tetaplah disini!" Tiba-tiba ibu menghalangiku. "Kenapa, Bu? Apa ibu khawatir karena tidak ada lagi yang melakukan tugas pembantu di sini? Karena tidak ada lagi yang akan ibu marah-marahi nanti?" cecarku. "B-bukan begitu, Shinta ..." sahut ibu bergetar. Terlihat panik pada raut wajahnya. "Sudah biarkan dulu Shinta, Bu. Sebaiknya kita segera lanjutkan pernikahan ini." ajak Kak May. Akhirnya ibu kembali duduk di belakang Mas Alif. Sementara aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ada kelegaan yang kurasakan. Namun sejujurnya aku masih sangat bingung akan kemana tujuanku setelah ini. Tiba-tiba aku teringat ponselku. Semoga saja Raka sudah membaca pesan yang kukirim sejak tadi. Ya, Aku terpaksa mengirim pesan pada Raka menanyakan mungkin ada pekerjaan untukku. Setidaknya aku tidak ak
Pov Alif "Selamat siang, saya di suruh atasan saya untuk menjemput Ibu Shinta." Tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua berpakaian rapi muncul di depan pintu. Siapa laki-laki ini? Siapa atasan yang dia maksud? "Ya, Pak. Saya Shinta," sahut mantan istriku itu. Ya, beberapa jam yang lalu Shinta resmi kutalak. "Silahkan Bu Shinta. Mobil sudah siap!" Ujar laki-laki itu seraya membungkuk seperti memberi hormat. Mataku membelalak ketika melihat sebuah mobil mewah toyota alphard keluaran terbaru telah terparkir di depan rumahku. Siapa sebenarnya pemilik mobil seharga satu milyar itu. Siapa sebenarnya atasan laki-laki yang menjemput Shinta ini? "Baiklah, Aku pergi," tegas Shinta seraya melangkah keluar pintu. "Shinta ... tunggu! Tolong jangan pergi!" sanggahku. "Apa-apaan kamu, Lif? Biarkan saja dia pergi!" teriak Mela yang tiba-tiba muncul dari dalam. "Tidak, Shinta tidak boleh keluar dari rumah ini!" bantah ibu. Sementara Shinta terlihat tak peduli. Wanita itu terus memakai ka
Pov Alif"Mas Alif, bantuin doong! Capek, nih." keluh Imah ketika aku ke dapur. Adikku itu sedang mencuci banyak piring dan gelas bekas tamu-tamu tadi. "Mana istri barumu itu, Lif? suruh dong dia bantu-bantu. Jangan cuma duduk-duduk saja kayak ratu!" ketus Kak May yang baru saja selesai menyapu dan membersihkan dapur. Kak May adalah kakakku satu-satunya yang sampai saat ini belum menikah. Karena sifat judesnya, banyak laki-laki yang enggan mendekatinya. "Mungkin Mela masih lelah Kak," sahutku berusaha lembut. "Halaah, alasan saja! Lelah ngapain? orang kerjanya cuma duduk-duduk saja sejak pagi tadi," protes Kakakku itu. "Alif .., tolong ambilkan gelas,dong! Tiba-tiba terdengar teriakan Mela dari ruang tengah. "Huh, dasar perempuan manja! Ambil gelas ke dapur aja males. Malah nyuruh-nyuruh suami," gerutu Kak May. Segera meraih gelas di rak piring dan kemudian melangkah menghampiri istri baruku itu. "Mel ..., kamu di sini tolong bantu-bantu kak May dan Ibu, ya ...!" pintaku pada
MasyaAllah ..., ternyata seperti ini rasanya naik mobil mewah. Hampir tidak terasa getarannya. Sejuk dan sangat nyaman. Apalagi saat ini aku duduk di belakang seperti majikan dan supirnya. Bapak supir yang memperkenalkan diri dengan nama Pak Pardi itu yang memintaku untuk duduk di kursi belakang. "Maaf, Pak. Saya akan bertemu Mas Raka di mana?" Aku mencoba membuka percakapan. "Tuan Raka tadi menelpon saya, agar Bu Shinta di antar ke rumahnya saja. Karena tiba-tiba Tuan Raka ada meeting mendadak sampai malam." "A-apaa? Ke rumahnya?" sahutku terkejut. Pak Pardi mengangguk. Sebenarnya ini suatu kebetulan . Karena sampai saat ini aku belum memilki tujuan setelah keluar dari rumah Mas Alif. Apalagi tempat tinggal. Aku mana punya uang untuk mengontrak. Kalau dipikir-pikir aku ini nekad sekali. Apa mungkin pekerjaan yang akan Mas Raka berikan padaku adalah menjadi ART? Makanya aku diminta untuk ke rumahnya. Biarlah. Untuk sementara menjadi ART tidak mengapa. Mungkin aku bisa sam