Suara motor Mas Alif terdengar di depan rumah. Berarti suamiku itu sudah pulang. Ingin rasanya kutanyakan padanya, kenapa pagi tadi dia berada di rumah perempuan itu. Kalau saja Ibu tidak menyuruhku mengantar , aku tidak akan tahu kalau rumah itu adalah milik Mela.
Apa si Mela itu benar-benar tidak tahunasi kalau Mas Alif sudah beristri? Memang ketika kami menikah enam bulan yang lalu, tidak ada acara resepsi. Hanya selamatan kecil-kecilan keluarga Mas Alif dan tetangga kanan kiri. Aku yang hanya sebatang kara, hanya didampingi oleh ibu panti dan beberapa anak panti seangkatanku."Assalamualaikum ...""Waalaikumsalam."Mas Alif masuk ke dalam rumah dengan wajah tampak bahagia. Senyum mengembang di wajahnya."Bu ..., Aku diterima kerja di kantornya Raka." ucapnya bersemangat seraya melangkah menghampiri kami.Mas Alif langsung menemui Ibu dengan antusias. Di tangan kanan dan kirinya terdapat beberapa bungkusan. Lagi-lagi dia berbelanja tanpa mengajakku. Selama menikah dengan Mas Alif, satu kali pun aku belum pernah diajak belanja olehnya."Wah hebat kamu, Lif. Kamu harus undang Raka makan malam di sini. Sekalian kenalin sama Imah. Siapa tau adikmu berjodoh dengannya. Ibu kepingin punya menantu kaya raya seperti si Raka itu," sahut Ibu bangga.Imah tampak tersipu. Wajahnya bersemu.Benar dugaanku. Sejak kemarin Imah memang berusaha mencari perhatian Raka. Ternyata mereka memang ada maksud tertentu.Aku gegas ke dapur membuatkan minum untuk suamiku. Walaupun sikapnya tak pernah lembut padaku, tapi aku tetap selalu melayaninya dengan baik."Kamu belanja apa, Mas?" tanyaku seraya membawa segelas teh hangat untuk Mas Alif."Beberapa kemeja dan celana panjang. Aku harus tampil rapi kalau kerja di kantoran." Laki-laki itu membuka belanjaannya dan memamerkannya pada kami. Tiga buah kemeja lengan panjang dan dua celana panjang berbahan kain. Sepertinya harganya cukup mahal.Ternyata Mas Alif juga membeli beberapa kaos untuknya. "Tapi ini kok ada kaos juga?" tanyaku kesal melihat banyaknya baju baru yang di belinya, tapi tak satupun untukku. Sedangkan pakaian Mas Alif sangat banyak di lemari. Bahkan ada beberapa kaos yang belum dia pakai sama sekali.Tidak seperti Aku. Yang hanya memiliki beberapa pakaian, itupun sebagian besar daster warisan ibu dan Kak May jika mereka sudah bosan memakainya. Kadang harus aku jahit dulu karena ada beberapa bagian yang robek."Memang kenapa kalau aku beli kaos? Kamu ngiri? Minta dibeliin juga?", sahutnya kesal. Mas Alif tampak tak suka aku protes."Halaah! Kamu cuma di dapur aja, nggak perlu pakai baju baru! Lagian kamu bisa makan aja di sini sudah bagus. Harusnya kamu bersyukur, Shinta. Bukannya nyusahin suami minta ini dan itu!" ketus ibu.Sontak Mas Alif dan Imah tertawa mengejekku.Ya Allah, Aku belum berkata apa-apa mereka sudah bilang nyusahin suami. Sampai kapan aku bisa bertahan hidup di tengah keluarga ini."Kamu pakai baju apa pun bentuknya tidak akan berubah. Tetap aja dekil!"Mereka kembali terbahak-bahak setelah mendengar ucapan Mas Alif.Istri dekil, panggilan itu yang telah disematkan Mas Alif untukku. Harusnya mereka sadar bahwa penampilanku sepertj ini karena mengurus keluarga ini siang dan malam. Tidakkah Mas Alif tau bahwa tamplil cantik itu memerlukan modal?"Cepat kamu hubungi Raka, Lif! Kalau bisa malam ini dia makan malam di sini. Sekalian kamu undang Mela ya!" pinta Ibu seraya menatap sinis padaku."Undang Mela juga, Bu?" tanya Mas Alif antusias.Ibu mengangguk seraya tersenyum.Kenapa ibu juga mengundang perempuan itu? Tapi baguslah. Biar si Mela itu nanti tahu bahwa aku adalah istrinya Mas Alif. Aku akan perkenalkan diri pada mereka nanti. Lihat saja nanti, Mas. Teman-temanmu akan tahu bahwa aku adalah istrimu. Aku ingin lihat reaksimu nanti. ------Ibu langsung menyuruhku ke pasar berbelanja bahan makanan cukup banyak. Demi menyambut tamu yang istimewa, Ibu rela menghabiskan uang hingga ratusan ribu untuk menjamu mereka.Ibu memintaku masak banyak sore ini. Karena ternyata Raka dan Mela jadi datang untuk makan malam di sini. Semua aku kerjakan sendiri. Mulai dari meracik bumbu sampai semua masakan telah matang sempurna.Aku sengaja memasak dengan cepat. Karena aku juga ingin tampil rapi nanti malam. Semoga aku berhasil memperkenalkan diri pada mereka nanti. Dengan demikian mereka tak lagi mengira aku adalah pembantu di rumah ini. Khususnya Mela, semoga setelah dia tahu bahwa aku ini adalah istri Mas Alif, wanita itu tidak lagi mau didekati oleh suamiku.Aku mulai menata makanan di atas meja. Menyiapkan peralatan makan seperti piring, gelas dan sendok garpu. Setelah memastikan semuanya beres, selepas salat maghrib aku merapikan diri di dalam kamar. Mungkin sedikit merias diri agar tidak bikin malu Mas Alif nantinya.Aku meringis ketika menemukan bedak padatku yang sudah hancur dan tinggal sedikit. Lipstikku yang sudah patah dan nampak putih-putih. Mungkin sudah rusak karena sudah sangat lama. Perlahan kuraba wajahku yang mulai kering dan kasar. Kapan aku bisa beli skincare untuk merawat wajahku ini?"Ngapain kamu di depan kaca? Mau dandan? Kamu mau cari perhatian lagi di depan Raka, hah?" Tiba-tiba Mas Alif masuk kamar dan berdiri di belakangku seraya berkacak pinggang. Tatapan tajamnya menghujam manik mataku. Kenapa Mas Alif selalu berburuk sangka padaku."Astagfirullah ..., Mas. Mana mungkin aku seperti itu. Aku hanya tidak ingin membuatmu malu di depan teman-temanmu nanti," sahutku bergetar. Kenapa dia selalu menuduhku seperti itu. Begitu burukkah aku dimatanya?"Halah alasan saja. Awas saja nanti kalau kamu cari gara-gara lagi di depan Raka! Asal kamu tahu ya, Raka itu orang kaya dan terpandang. Dia tidak akan sudi melirikmu, apalagi berkenalan denganmu."Ya Tuhan. Tega sekai Mas Alif berkata seperti itu padaku. Tapi menurutku Raka bukan seperti itu. Buktinya kemarin dia mau membantuku membersihkan pecahan kaca di lantai. Tanpa gengsi laki-laki itu mau mengepel lantai yang basah.Padahal saat itu penampilan Raka paling rapi dan kekinian. Dia terlihat berbeda dari teman-teman Mas Alif lainnya. Raka jelas terlihat dari keluarga berada. Namun sikapnya sangat rendah hati dan tulus.Yang masih aku pikirkan sampai saat ini. Perhatian Raka saat itu padaku. Kenapa dia memanggilku dengan sebutan Maira? Apa benar dia mengenal masa kecilku?Aku harus cari tahu siapa sebenarnya laki-laki yang bernama Raka itu. Apakah dia salah satu orang kepercayaan orang tuaku? Atau jangan-jangan justru salah satu dari orang-orang yang dulu membuangku?Sebuah mobil mewah berwarna hitam legam berhenti di depan rumah. Ibu, Imah dan Kak May mengikuti Mas Alif menuju teras. Tampak Imah sudah tampil berbeda dengan riasan tebal dan pakaian sedikit terbuka. Entah kenapa Ibu justru menyuruhnya berpakaian seperti itu. Menurut beliau pakaian orang kaya memang seperti itu. Aku yang mengintip dari balik pintu, melihat sosok Raka keluar dari pintu mobilnya. Saat ini penampilannya lebih formal. Raka tampak lebih berwibawa dengan stelan jas abu tua. Wajah Ibu tampak sumringah melihat penampilan sahabat Mas Alif itu. Sepertinya Raka baru saja pulang dari kantor kemudian langsung menuju ke sini. "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam ..." "Ayo silakan masuk, Nak Raka!" sapa ibu dengan sangat ramah. Sementara Imah yang berada di samping Ibu ikut tersenyum pada laki-laki itu. "Terima kasih, Bu, Dek Imah," sahut Raka. "Ayo silakan masuk, Bos!" Mas Alif merangkul Raka ke dalam. Kemudian terdengar obrolan basa basi mereka di ruang tamu. Jelas seka
Mataku membelalak ketika melihat kertas kecil dalam genggamanku bertuliskan 'call me'. Kertas yang ternyata sebuah kartu nama itu juga tertera jabatan Raka Adipratama sebagai CEO PT Ramajaya, serta nomor ponsel laki-laki itu. Apa maksudnya? Untuk apa Raka memintaku untuk menghubunginya? Siapa dia sebenarnya? Aku terus berpikir keras berusaha mengingat-ingat. Tapi sama sekali tak ada titik terang di pikranku. Aku tidak boleh gegabah. Bisa saja Raka adalah salah satu musuh orang tuaku yang ingin menyingkirkanku. Sebaiknya aku tetap waspada sambil mencari informasi. Namun bagaimana caranya? Siapa yang harus aku hubungi? Siapa yang bisa aku percaya saat ini? Untuk sementara nomor ponsel Raka aku simpan di kontak ponselku. Sewaktu-waktu mungkin aku akan memerlukannya. Sambil menunggu Mas Alif, aku mencoba lagi mengingat-ingat, di mana aku pernah bertemu Raka. Rasanya wajah itu tak asing bagiku. Tapi sungguh aku tak ingat siapa dia sebenarnya. Dari sikapnya, Raka sepertinya orang bai
"A-paa? Akad nikah? Siapa yang akan menikah? Ya Tuhan apakah dugaanku ini benar? Mas Alif akan menikahi Mela? Berarti apa yang dikatakan Pak RT semalam benar-benar terbukti. Padahal sejak semalam aku masih berharap, tuduhan terhadap Mas Alif itu adalah salah. Seketika tubuh ini terasa sangat lemas dan tak bertenaga. Sanggupkah aku menerima kenyataan ini? "Shinta! Ada tamu bukannya disuruh masuk, malah melamun. Dasar menantu nggak guna!" Tiba-tiba Kak May sudah berada di belakangku. Kakak Iparku itu membentakku di depan para tamu. Matanya nyalang menatapku. "Ayo silakan masuk bapak dan Ibu!" ajak Kak May dengan sangat ramah. Siapa sebenarnya tamu-tamu ini? Apakah mereka keluarga dari Mela? Sepasang suami istri dan laki-laki paruh baya itu masuk dan duduk dikursi yang sudah ditata oleh kak May dan Imah. Beberapa makanan dan minuman sudah tersedia di meja tamu. Tak lama kemudian beberapa warga pun berdatangan. Termasuk pak RT dan istrinya.. Sementara aku masih berdiri mematung kar
"Sudah-sudah, jangan ribut! Cepat kamu pakai jas ini dan segera temui calon mertuamu di depan!" sanggah Ibu seraya memberikan jas hitam Mas Alif. Suamiku pun menuruti permintaan ibu. Dengan cepat dia memakai jas hitam itu dan melangkah menuju ruang tamu. Tak lama kemudian Ibu pun menyusul Mas Alif ke ruang tamu. Tinggallah aku sendiri yang terduduk di atas ranjang ibu. Berusaha menguatkan hati. Aku tak boleh lemah. Aku tak boleh menangis. Mereka akan semakin semena-mena padaku. Aku harus secepatnya mengambil keputusan. Aku memang miskin dan tidak punya siapa-siapa. Namun aku masih punya harga diri. Aku merasa tidak dihargai sama sekali di sini. Suatu saat aku akan balas kalian semua. Aku putuskan untuk tetap akan berada di ruang tamu. Bukankah seharusnya mereka meminta izin aku dulu sebagai istri sah Mas Alif? Tapi kenapa justru mereka seperti menganggapku tidak ada. Setelah menghapus sisa-sisa air mataku, dengan mantap kulangkahkan kaki menuju tempat ijab kabul akan dilangsungka
"Baiklah. Silakan lanjutkan Pak Penghulu!" sahutku lantang. Aku tidak akan menangis lagi di pernikahanmu ini, Mas. Tidak akan sudi. Kemudian aku berdiri. Lalu melangkah mendekati kedua calon pengantin itu. Semua orang di ruangan itu masih menatapku. Mas Alif terlihat bingung. "Tapi ... saya ada satu permintaan, Pak penghulu," tegasku seraya melirik pada kedua calon pengantin yang sepertinya sudah sangat tidak sabar itu. "Apa-apaan kamu, Shinta? Sudah aku bilang jangan bikin malu!" bisik Mas Alif dengan geram seraya melotot padaku. "Hey! Siapa sebenarnya yang sudah bikin malu ? Aku atau kamu, Mas ? Siapa yang sudah melakukan perbuatan menjijikkan itu?" Entah keberanian dari mana aku bisa berbicara lantang di hadapan laki-laki itu. "Dasar perempuan kampungan! Berani sekali kamu berbicara seperti itu. Lihat saja dirimu! Sungguh memalukan. Pantas saja orang-orang mengira kamu pembantu," hardik Mela sambil bertolak pinggang menatap sinis padaku. Astaga ...! Ingin rasanya aku tar
"Baiklah. Karena aku sudah bukan siapa-siapa lagi di rumah ini. Sebaiknya mulai hari ini aku pergi." tegasku, lalu membalikkan badan untuk beranjak menuju kamar. "Jangan, Shinta! Tolong kamu jangan pergi. Tetaplah disini!" Tiba-tiba ibu menghalangiku. "Kenapa, Bu? Apa ibu khawatir karena tidak ada lagi yang melakukan tugas pembantu di sini? Karena tidak ada lagi yang akan ibu marah-marahi nanti?" cecarku. "B-bukan begitu, Shinta ..." sahut ibu bergetar. Terlihat panik pada raut wajahnya. "Sudah biarkan dulu Shinta, Bu. Sebaiknya kita segera lanjutkan pernikahan ini." ajak Kak May. Akhirnya ibu kembali duduk di belakang Mas Alif. Sementara aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ada kelegaan yang kurasakan. Namun sejujurnya aku masih sangat bingung akan kemana tujuanku setelah ini. Tiba-tiba aku teringat ponselku. Semoga saja Raka sudah membaca pesan yang kukirim sejak tadi. Ya, Aku terpaksa mengirim pesan pada Raka menanyakan mungkin ada pekerjaan untukku. Setidaknya aku tidak ak
Pov Alif "Selamat siang, saya di suruh atasan saya untuk menjemput Ibu Shinta." Tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua berpakaian rapi muncul di depan pintu. Siapa laki-laki ini? Siapa atasan yang dia maksud? "Ya, Pak. Saya Shinta," sahut mantan istriku itu. Ya, beberapa jam yang lalu Shinta resmi kutalak. "Silahkan Bu Shinta. Mobil sudah siap!" Ujar laki-laki itu seraya membungkuk seperti memberi hormat. Mataku membelalak ketika melihat sebuah mobil mewah toyota alphard keluaran terbaru telah terparkir di depan rumahku. Siapa sebenarnya pemilik mobil seharga satu milyar itu. Siapa sebenarnya atasan laki-laki yang menjemput Shinta ini? "Baiklah, Aku pergi," tegas Shinta seraya melangkah keluar pintu. "Shinta ... tunggu! Tolong jangan pergi!" sanggahku. "Apa-apaan kamu, Lif? Biarkan saja dia pergi!" teriak Mela yang tiba-tiba muncul dari dalam. "Tidak, Shinta tidak boleh keluar dari rumah ini!" bantah ibu. Sementara Shinta terlihat tak peduli. Wanita itu terus memakai ka
Pov Alif"Mas Alif, bantuin doong! Capek, nih." keluh Imah ketika aku ke dapur. Adikku itu sedang mencuci banyak piring dan gelas bekas tamu-tamu tadi. "Mana istri barumu itu, Lif? suruh dong dia bantu-bantu. Jangan cuma duduk-duduk saja kayak ratu!" ketus Kak May yang baru saja selesai menyapu dan membersihkan dapur. Kak May adalah kakakku satu-satunya yang sampai saat ini belum menikah. Karena sifat judesnya, banyak laki-laki yang enggan mendekatinya. "Mungkin Mela masih lelah Kak," sahutku berusaha lembut. "Halaah, alasan saja! Lelah ngapain? orang kerjanya cuma duduk-duduk saja sejak pagi tadi," protes Kakakku itu. "Alif .., tolong ambilkan gelas,dong! Tiba-tiba terdengar teriakan Mela dari ruang tengah. "Huh, dasar perempuan manja! Ambil gelas ke dapur aja males. Malah nyuruh-nyuruh suami," gerutu Kak May. Segera meraih gelas di rak piring dan kemudian melangkah menghampiri istri baruku itu. "Mel ..., kamu di sini tolong bantu-bantu kak May dan Ibu, ya ...!" pintaku pada