Pov Alif Pagi ini aku harus tampil rapi. Aku tak ingin harapanku untuk dapat bekerja di kantoran gagal lagi. Cita-citaku sejak dulu adalah bekerja di kantoran. Bukan sebagai pedagang di pasar seperti sekarang ini. Beruntung aku memiliki teman seperti Raka. Teman semasa SMAku itu memiliki banyak perusahaan. Raka memang berasal dari keluarga berada. Kemarin dia bilang membutuhkan banyak karyawan untuk bekerja di kantor cabangnya yang baru saja dibuka. Aku dan teman-teman SMAku segera akan melamar ke sana. Raka memang paling beruntung diantara kami. Hanya dia satu-satunya teman sekelas kami yang berhasil melanjutkan pendidikan hingga keluar negri. Tidak seperti aku. Kuliah di dalam negripun tidak. Aku hanya lulusan SMA. Sejak lulus sekolah hanya meneruskan usaha toko kelontong milik almarhum ayahku di pasar. Pagi-pagi sekali aku bangun. Biasanya aku bangun sesukaku. Kemudian berangkat ke pasar berjualan. Itu pun aku sering kesiangan. Rasanya sudah bosan hidup serba pas-pasan seperti
Suara motor Mas Alif terdengar di depan rumah. Berarti suamiku itu sudah pulang. Ingin rasanya kutanyakan padanya, kenapa pagi tadi dia berada di rumah perempuan itu. Kalau saja Ibu tidak menyuruhku mengantar , aku tidak akan tahu kalau rumah itu adalah milik Mela. Apa si Mela itu benar-benar tidak tahunasi kalau Mas Alif sudah beristri? Memang ketika kami menikah enam bulan yang lalu, tidak ada acara resepsi. Hanya selamatan kecil-kecilan keluarga Mas Alif dan tetangga kanan kiri. Aku yang hanya sebatang kara, hanya didampingi oleh ibu panti dan beberapa anak panti seangkatanku. "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam." Mas Alif masuk ke dalam rumah dengan wajah tampak bahagia. Senyum mengembang di wajahnya. "Bu ..., Aku diterima kerja di kantornya Raka." ucapnya bersemangat seraya melangkah menghampiri kami. Mas Alif langsung menemui Ibu dengan antusias. Di tangan kanan dan kirinya terdapat beberapa bungkusan. Lagi-lagi dia berbelanja tanpa mengajakku. Selama menikah dengan Mas
Sebuah mobil mewah berwarna hitam legam berhenti di depan rumah. Ibu, Imah dan Kak May mengikuti Mas Alif menuju teras. Tampak Imah sudah tampil berbeda dengan riasan tebal dan pakaian sedikit terbuka. Entah kenapa Ibu justru menyuruhnya berpakaian seperti itu. Menurut beliau pakaian orang kaya memang seperti itu. Aku yang mengintip dari balik pintu, melihat sosok Raka keluar dari pintu mobilnya. Saat ini penampilannya lebih formal. Raka tampak lebih berwibawa dengan stelan jas abu tua. Wajah Ibu tampak sumringah melihat penampilan sahabat Mas Alif itu. Sepertinya Raka baru saja pulang dari kantor kemudian langsung menuju ke sini. "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam ..." "Ayo silakan masuk, Nak Raka!" sapa ibu dengan sangat ramah. Sementara Imah yang berada di samping Ibu ikut tersenyum pada laki-laki itu. "Terima kasih, Bu, Dek Imah," sahut Raka. "Ayo silakan masuk, Bos!" Mas Alif merangkul Raka ke dalam. Kemudian terdengar obrolan basa basi mereka di ruang tamu. Jelas seka
Mataku membelalak ketika melihat kertas kecil dalam genggamanku bertuliskan 'call me'. Kertas yang ternyata sebuah kartu nama itu juga tertera jabatan Raka Adipratama sebagai CEO PT Ramajaya, serta nomor ponsel laki-laki itu. Apa maksudnya? Untuk apa Raka memintaku untuk menghubunginya? Siapa dia sebenarnya? Aku terus berpikir keras berusaha mengingat-ingat. Tapi sama sekali tak ada titik terang di pikranku. Aku tidak boleh gegabah. Bisa saja Raka adalah salah satu musuh orang tuaku yang ingin menyingkirkanku. Sebaiknya aku tetap waspada sambil mencari informasi. Namun bagaimana caranya? Siapa yang harus aku hubungi? Siapa yang bisa aku percaya saat ini? Untuk sementara nomor ponsel Raka aku simpan di kontak ponselku. Sewaktu-waktu mungkin aku akan memerlukannya. Sambil menunggu Mas Alif, aku mencoba lagi mengingat-ingat, di mana aku pernah bertemu Raka. Rasanya wajah itu tak asing bagiku. Tapi sungguh aku tak ingat siapa dia sebenarnya. Dari sikapnya, Raka sepertinya orang bai
"A-paa? Akad nikah? Siapa yang akan menikah? Ya Tuhan apakah dugaanku ini benar? Mas Alif akan menikahi Mela? Berarti apa yang dikatakan Pak RT semalam benar-benar terbukti. Padahal sejak semalam aku masih berharap, tuduhan terhadap Mas Alif itu adalah salah. Seketika tubuh ini terasa sangat lemas dan tak bertenaga. Sanggupkah aku menerima kenyataan ini? "Shinta! Ada tamu bukannya disuruh masuk, malah melamun. Dasar menantu nggak guna!" Tiba-tiba Kak May sudah berada di belakangku. Kakak Iparku itu membentakku di depan para tamu. Matanya nyalang menatapku. "Ayo silakan masuk bapak dan Ibu!" ajak Kak May dengan sangat ramah. Siapa sebenarnya tamu-tamu ini? Apakah mereka keluarga dari Mela? Sepasang suami istri dan laki-laki paruh baya itu masuk dan duduk dikursi yang sudah ditata oleh kak May dan Imah. Beberapa makanan dan minuman sudah tersedia di meja tamu. Tak lama kemudian beberapa warga pun berdatangan. Termasuk pak RT dan istrinya.. Sementara aku masih berdiri mematung kar
"Sudah-sudah, jangan ribut! Cepat kamu pakai jas ini dan segera temui calon mertuamu di depan!" sanggah Ibu seraya memberikan jas hitam Mas Alif. Suamiku pun menuruti permintaan ibu. Dengan cepat dia memakai jas hitam itu dan melangkah menuju ruang tamu. Tak lama kemudian Ibu pun menyusul Mas Alif ke ruang tamu. Tinggallah aku sendiri yang terduduk di atas ranjang ibu. Berusaha menguatkan hati. Aku tak boleh lemah. Aku tak boleh menangis. Mereka akan semakin semena-mena padaku. Aku harus secepatnya mengambil keputusan. Aku memang miskin dan tidak punya siapa-siapa. Namun aku masih punya harga diri. Aku merasa tidak dihargai sama sekali di sini. Suatu saat aku akan balas kalian semua. Aku putuskan untuk tetap akan berada di ruang tamu. Bukankah seharusnya mereka meminta izin aku dulu sebagai istri sah Mas Alif? Tapi kenapa justru mereka seperti menganggapku tidak ada. Setelah menghapus sisa-sisa air mataku, dengan mantap kulangkahkan kaki menuju tempat ijab kabul akan dilangsungka
"Baiklah. Silakan lanjutkan Pak Penghulu!" sahutku lantang. Aku tidak akan menangis lagi di pernikahanmu ini, Mas. Tidak akan sudi. Kemudian aku berdiri. Lalu melangkah mendekati kedua calon pengantin itu. Semua orang di ruangan itu masih menatapku. Mas Alif terlihat bingung. "Tapi ... saya ada satu permintaan, Pak penghulu," tegasku seraya melirik pada kedua calon pengantin yang sepertinya sudah sangat tidak sabar itu. "Apa-apaan kamu, Shinta? Sudah aku bilang jangan bikin malu!" bisik Mas Alif dengan geram seraya melotot padaku. "Hey! Siapa sebenarnya yang sudah bikin malu ? Aku atau kamu, Mas ? Siapa yang sudah melakukan perbuatan menjijikkan itu?" Entah keberanian dari mana aku bisa berbicara lantang di hadapan laki-laki itu. "Dasar perempuan kampungan! Berani sekali kamu berbicara seperti itu. Lihat saja dirimu! Sungguh memalukan. Pantas saja orang-orang mengira kamu pembantu," hardik Mela sambil bertolak pinggang menatap sinis padaku. Astaga ...! Ingin rasanya aku tar
"Baiklah. Karena aku sudah bukan siapa-siapa lagi di rumah ini. Sebaiknya mulai hari ini aku pergi." tegasku, lalu membalikkan badan untuk beranjak menuju kamar. "Jangan, Shinta! Tolong kamu jangan pergi. Tetaplah disini!" Tiba-tiba ibu menghalangiku. "Kenapa, Bu? Apa ibu khawatir karena tidak ada lagi yang melakukan tugas pembantu di sini? Karena tidak ada lagi yang akan ibu marah-marahi nanti?" cecarku. "B-bukan begitu, Shinta ..." sahut ibu bergetar. Terlihat panik pada raut wajahnya. "Sudah biarkan dulu Shinta, Bu. Sebaiknya kita segera lanjutkan pernikahan ini." ajak Kak May. Akhirnya ibu kembali duduk di belakang Mas Alif. Sementara aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ada kelegaan yang kurasakan. Namun sejujurnya aku masih sangat bingung akan kemana tujuanku setelah ini. Tiba-tiba aku teringat ponselku. Semoga saja Raka sudah membaca pesan yang kukirim sejak tadi. Ya, Aku terpaksa mengirim pesan pada Raka menanyakan mungkin ada pekerjaan untukku. Setidaknya aku tidak ak