Feli sedikit terhenyak, lagi-lagi mendengar Nathen tiba-tiba berucap. Gegas ia menoleh ke arah calon suami tampannya yang kala itu berdiri di dekat dinding pembatas sembari menyandarkan tubuh.
Feli mendengkus geram seraya memutar bola mata jengah, tidak menggubris perkataan Nathen sebelumnya."Butuh bantuan?""Tidak. Terima kasih."Nathen menundukan pandangan sembari tersenyum, kemudian berjalan menghampiri Feli.Feli terhenyak, kala merasakan gaun pengantin yang ia kenakan ada yang menariknya pelan dari arah belakang.Tanpa menoleh, gadis cantik itu memperhatikan Nathen yang berdiri di belakangnya melalui pantulan cermin di hadapan.Nathen tersenyum miring, sebelum akhirnya memutuskan untuk membantu Feli menaikan zipper di punggungnya.Sengaja membiarkan jemari jenjangnya melakukan kontak dengan punggung polos Feli, pribadi tampan itu menyentuh Feli dengan pergerakan lembut dan menggoda.Feli sampai dibuat menahan napas, bersama dengan tubuh yang meremang, sebab merasakan sensasi dingin yang dihantarkan oleh jari tangan Nathen tadi."Kau seharusnya senang, karena keinginanmu untuk menikahiku akhirnya terkabul. Kenapa jadi mengeluh seperti ini?" Nathen membiarkan manik mata jelaganya menatap manik mata hazel indah Feli, lekat melalui pantulan cermin.Feli menelan ludah kasar dengan susah payah. "Pa-Paman tahu, aku hanya bercanda."Nathen terkekeh sambil menundukan pandangan, sesaat. "Tapi Ibuku menganggapnya serius."Feli buru-buru berbalik, menghadap ke arah Nathen setelah pria tampan itu selesai membantunya. "Maka dari itu. Bicaralah lagi dengan Nenek, hemm? Katakan bahwa aku tidak bisa menikah denganmu, Paman. Katakan, bahwa malam itu aku tidak bersungguh-hungguh."Feli menatap Nathen dengan tatapan lugu, memberi kesan lekat seperti tengah memelas. "Kumohon, Paman. Lagipula, Paman juga tidak mau kan, menikah denganku?"Nathen tersenyum miring. "Siapa yang bilang?""Tidak ada. Tapi aku tahu. Paman kan sangat mencintai Vivian. Mana mungkin Paman mau menikah denganku. Iya, kan?"Nathen terkekeh lagi. Ia membuang napas kasar, mengulurkan tangan, membiarkannya berlabuh di puncak kepala Feli, memberinya usapan. "Berhenti menerka-nerka, dan jadilah gadis yang patuh."Melihat Nathen kala itu hendak berlalu, Feli buru-buru meraih tangannya, memeluknya erat, menahan kepergian sang paman. "Paman jangan seperti ini."Nathen menunduk, menatap tangan Feli yang melingkar di lengannya beberapa saat. Ia kemudian menatap manik mata Feli, lekat. "Apa yang kau ingin aku lakukan?"Feli tersenyum senang, sebab merasa ada secerca harapan, jika paman tampannya itu kali ini bersedia mendengarkan keluhannya dengan serius. "Aku ingin Paman membujuk Nenek agar membatalkan rencana pernikahan kita. Paman bisa melakukannya, kan?"Nathen menaikan alis sebelah kirinya. "Kenapa aku harus melakukannya?"Feli membuang napas kasar, merasa benar-benar kesal. "Karena aku tidak mau menikah dengan pria yang tidak mencintaiku."Memutar tubuh, Nathen menghadap ke arah Feli seutuhnya. "Hanya itu?"Bibir Feli mencebik lagi, bersama pandangan yang tertunduk, memutuskan kontak mata dengan Nathen. "Jika aku menikah dengan Paman, kekasihku bagaimana?""Putuskan saja. Mudah, bukan?"Feli menengadah, menatap Nathen, tidak percaya. "Apa Paman serius?""Apa aku terlihat seperti sedang bercanda bagimu?"Feli mengerjapkan pelupuk mata secara berulang dengan lugunya."Putuskan hubunganmu dengan kekasihmu. Lalu menikah denganku. Itu mudah, kan?"Pelukan Feli pada lengan Nathen perlahan lepas dengan sendirinya."Masalah soal cinta. Kau tidak perlu khawatir tentang itu." Nathen tiba-tiba mengambil satu langkah besar untuk mendekat ke arah Feli, mendekatkan wajahnya ke wajah gadis cantik di hadapan. Pria tampan itu menyeringai ngeri penuh arti, menatap Feli yang diam tergugu dari arah samping. "Karena bagiku, belajar mencintaimu ...," Nathen memberi jeda pada perkataannya yang ia bisikan tepat di samping daun telinga Feli.Saking dekatnya jarak antara mereka, Feli bahkan sampai bisa merasakan embusan napas hangat Nathen menyapu permukaan pipinya.Bingkai birai pria tampan itu bersentuhan dengan daun telinganya, membuat Feli diam membatu."Bukanlah perkara yang sulit, calon istriku yang cantik."***"Berhenti mengekoriku dan kembali ke kamarmu, Felicia!"Nathen yang kala itu baru memasuki kamar hotelnya, menghentikan langkah, membuat Feli yang terus mengekorinya, melakukan hal yang sama.Memutar tubuh, Nathen menghadap ke arah Feli seutuhnya, menatap keponakan yang akan segera merangkap menjadi istrinya itu dengan tatapan kesal."Jadi Paman akan begini sampai akhir?"Suara Feli gemetar, manik mata hazel indahnya sudah berkaca, menatap Nathen sendu, menyorotkan rasa kecewa.Tatapan Nathen meluruh. Pribadi tampan itu menggigit bibir bawahnya sesaat seraya menyugar surainya kebelakang, sebab geram. "Apa yang kau inginkan?""Paman tahu apa yang aku inginkan."Nathen membuang napas kasar. "Kau sungguh ingin lari dari pernikahan kita?"Feli mengangguk dengan lugunya, tanpa angkat suara, sebagai respon dari pertanyaan yang sang paman lontarkan."Lantas, apa yang akan kau lakukan setelahnya? Kau tidak masalah, jika keluarga besarmu, menanggung malu? Maksudku, keluarga besar kita?""Maka dari itu, aku meminta Paman untuk membicarakan ulang masalah pernikahan ini sebelumnya dengan Nenek. Tapi Paman keras kepala sekali. Sekarang bagaimana?"Mati-matian mengabaikan rasa sesak yang menjalar di rongga dada, Feli menggigit bibir bawahnya yang sudah agak gemetar, sedikit kuat. "Besok adalah harinya. Tapi aku tidak mau menikah denganmu, Paman."Manik mata jelaga Nathen menyalang, menatap Feli dengan tatapan tajam. "Kau sangat mencintai bajingan itu, huh? Sampai kau bersikeras tidak mau menerima pernikahan kita?"Feli menundukan kepala, kemudian mengangguk secara perlahan.Nathen mendengkus geram. "Sangat mustahil, Feli. Sangat mustahil bagi kita untuk membatalkan pernikahan ini."Feli menengadah. Air mata yang sedari tadi sudah menggenang dalam pelupuknya dan mati-matian coba ia redam, akhirnya meleleh juga. "Lalu apa yang harus kita lakukan?"Nathen terdiam. Ia tergugu, menatap buliran air mata Feli meleleh, menganak sungai di wajah cantik keponakannya itu.Feli menyeka kasar air matanya menggunakan kedua punggung tangan. "Aku bahkan belum berani memberi tahu Davian, jika besok aku akan menikah. Hubungan kami belum berakhir, Paman.""Kau tahu, saat ini kekasihmu itu sedang di mana?" Nathen bertanya tiba-tiba dengan suara parau dan beratnya yang terdengar begitu tenang."Huh?" Feli yang agak kaget, mengerjapkan pelupuk mata secara berulang dengan lugunya."Aku akan mengantarkanmu menemuinya.""Paman serius?"Mata Feli yang masih berkaca, tiba-tiba berbinar."Aku memberimu kesempatan terakhir, Felicia. Aku akan mengantarkanmu pada kekasihmu, malam ini. Kau bisa lari dari pernikahan kita dengannya."Terkejut dan tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar, itulah yang saat ini Feli rasakan."Lalu bagaimana dengan Paman?""Tidak perlu memikirkanku. Kau hanya perlu memikirkan dirimu sendiri." Nathen membuang napas kasar sembari memejam dan menundukan pandangan, sebentar. "Sisanya, serahkan semuanya padaku."***Manik mata indah milik seorang gadis yang tengah duduk di salah satu kursi di dalam sebuah kelab, menyalang, menatap sinis sesosok pria yang berada di depannya, terhalang beberapa meja.Bingkai birai gadis i
"Sudah merasa lebih baik?" Nathen bertanya seraya mendudukan diri di tepian tempat tidur, membiarkan manik matanya menatap Feli yang sudah lebih dulu berada di sana, dengan tatapan lembut.Nathen dan Felicia kini sudah kembali ke hotel, selepas pergi ke kelab dan mendapati Davian tengah berselingkuh di sana.Tidak berlama-lama, selang beberapa detik selepas dirinya menyaksikan pengkhianatan yang dilakukan Davian, Feli bergegas mengajak Nathen kembali.Feli bahkan amat sangat merasa yakin, bahwasannya Davian sama sekali tidak menyadari keberadaannya tadi, sebab saking terhanyutnya pada apa yang tengah dilakukan.Kini ... Feli sibuk bergelut dengan tangisnya, menikmati momen patah hati, ditemani oleh tebaran lembaran tissue di atas tempat tidur.."Bajingan!"Gadis cantik itu melempar geram selembar tissue yang habis ia pakai menyeka air mata ke permukaan tempat tidur.Manik mata Nathen mengikuti ke arah mana tissue itu terbuang. Ia membuang napas kasar. "Berhenti menangis. Ini sudah sang
Pada keesokan harinya ....Feli saat ini tengah berjalan perlahan, menuju altar dengan lengan yang bertaut dengan lengan Dean - sang ayah. Tubuh moleknya terbalut gaun putih salju yang tampak begitu menawan dan indah.Pandangan gadis itu tertunduk. Telapak tangannya mengepal, mencengkram pergelangan tangan ayahnya.Rasa gugup mengungkung dalam relung, membuat Feli tak berani menengadahkan pandangan, mempertemukan tatapan dengan Nathen - sang calon suami.Meskipun sudah terlampau sering bertatap muka, kondisinya saat ini jauh berbeda. Banyak orang yang menyaksikan, kala ia berjalan dengan anggunnya, diiringi musik lembut yang mendayu, menuju Nathen.Dean tersenyum gemas, merasakan betapa bergetarnya tubuh sang putri. "Tidak perlu gugup, Sayang. Santailah.""Mana bisa seperti itu, Ayah?" Feli berbisik, setengah merengek, mati-matian mencoba nenemukan suara, sebab mengatur deru napas agar tetap tenang saja, di saat mendebarkan seperti sekarang ini, ia sedikit kesulitan."Suamimu sudah me
Feli masih tidak percaya, bahwa hanya dalam hitungan detik, kini dirinya sudah memiliki status yang berbeda, yakni istri sah dari seorang Nathen Shawn Wilson.Hari di mana seharusnya Vivian yang menikah, dirinya terpaksa menjadi pengantin pengganti untuk paman angkatnya sendiri itu tak terelakan lagi.Acara pernikahan sudah terampungkan. Kini gadis yang sudah menjelma menjadi seorang wanita itu tengah berdiri tepat di samping Nathen yang sibuk berbincang bersama rekan bisnisnya yang datang, menghandiri undangan.Sudah merasa cukup lelah sekali sebenarnya, ingin mengeluh, tapi tidak bisa. Sebab harus terus bersandiwara di hadapan khalayak agar terlihat seperti pasangan pengantin baru yang bahagia. Dan hal itu, nyatanya sama sekali tidak mudah dan cukup menguras banyak tenaga.Diwajibkan menebar senyum hangat pada setiap tamu yang datang menghampiri untuk berbincang, atau sekadar memberi selamat, Feli mati-matian menahan rasa lelah bercampur sesak.Embusan napas kasar mencelos dari mulu
Setelah mendengar perkataan Andrew yang menyerupai sebuah bisikan, sebab semakin memelan menuju penghujung kalimat, Nathen tampak sedikit tertegun.Pribadi tampan itu spontan membelalakan mata, menatap pada Andrew dengan tatapan yang mengisyaratkan sebuah peringatan."Ada apa dengan Vivian dan Davian?" Noah yang agaknya menjadi orang yang paling tidak mengerti sama sekali terhadap perkataan Andrew, bertanya sembari menatap nanar ketiga sahabatnya secara bergantian.Andrew menoleh ke arah Noah. "Kau tidak tahu ji-" "kita bahas masalah ini lain kali," pungkas Hayden, tidak membiarkan Andrew merampungkan perkataan."Hemmm." Nathen ikut menimpali. Mengatupkan bibir cukup rapat, ia mengambil langkah mendekat ke arah Andrew. Ia tersenyum simpul penuh arti, lantas merangkul sahabatnya itu, juga tak lupa melabuhkan rematan gemas di bahunya. "Ini bukan saat yang tepat untuk membahas Vivian dan Davian, okey?"Kening Andrew sontak mengernyit, membersamai matanya yang agak memicing. Ia menatap Na
Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bingkai birai tipis Feli yang berjarak, begitu wanita cantik itu memasuki kamar, sehabis membersihkan diri. Kedua lengannya spontan bersedekap di area dada, selagi manik mata hazel indahnya dibiarkan untuk menatap Nathen yang sudah terbaring di permukaan ranjang. Feli menggeleng tak habis pikir. "Ck, tidak akan memberi ampun apanya? Ditinggal mandi sebentar saja, sudah tepar seperti itu." Mengayunkan tungkai yang terbalut slipper berwarna putih tulang, Feli berjalan perlahan, menghampiri tempat tidur, lantas mendudukan diri di tepian benda persegi tersebut. "Paman!" Feli menyeru pelan. Melepaskan sedakepan lengan, telapak tangan sebelah kiri wanita cantik itu melayang, hingga melabuhkan sebuah pukulan yang tak seberapa kencang ke permukaan lengan Nathen.Tidak mendapatkan respon maupun gubrisan, Feli membungkuk, mencondongkan dirinya ke arah paman tampan yang kini sudah resmi menjadi suaminya itu."Paman!" Feli kembali menyeru seray
Tidak langsung menimpali, tiga detik Nathen diam, selagi membiarkan manik matanya menatap kosong ke arah Feli. "Kau mengatakan apa?" tanyanya, tidak percaya.Feli mengulurkan tangan, menarik lengan Nathen, mengguncangnya pelan beberapa kali. "Ayo, kita bercerai, Paman!" rengeknya."Kau sakit, ya?" Nathen mengernyitkan kening, bertanya sembari melabuhkan telapak tangannya di permukaan kening Feli.Feli berdesis pelan seraya menyingkirkan tangan Nathen, lalu menggenggamnya agar tetap diam. "Aku tidak sakit.""Jika kau tidak sakit, itu artinya saat ini kau sedang mengigau.""Aku serius, Paman. Ayo kita bercerai."Nathen menatap Feli, tidak percaya. "Kita baru menikah hari ini, Feli.""Maka dari itu. Karena baru sehari, jadinya belum banyak hal yang kita lakukan. Ayo bercerai, hemm?"Memejam, Nathen memijat pelipisnya yang mulai berdenyut nyeri untuk beberapa saat. "Tidur. Ini sudah malam. Kau butuh banyak istirahat."Nathen membenarkan selimut yang membalut tubuh Feli, lantas memberi tepu
Masih terbaring di permukaan tempat tidur yang sama, dengan tempat tidur semalam, Nathen sudah memiliki kesadaran penuh dalam dirinya, sedang Feli masih pulas sekali, tidur di sampingnya.Enggan beranjak, Nathen membaringkan tubuh dalam posisi miring, menghadap ke arah Feli secara utuh, selagi membiarkan manik mata jelaga indahnya, menatap gemas paras cantik tanpa polesan make up milik istri mungilnya itu.Sesekali permukaan bingkai birai Nathen merenggang, memetakan senyum simpul, membersamai jemari tangan yang tidak mau diam, mencolek pelan ujung hidung sang istri.Feli mengerang beberapa kali dan hal itu tak gagal membuat rasa gemas yang Nathen rasakan, memuncak setiap detiknya.Tidur Feli yang semula begitu pulas dan damai, perhalan mulai terusik oleh sikap usil Nathen."Eung." Feli menggaruk pelan ujung hidungnya yang terasa geli, membuat Nathen refleks menjauhkan jemari tangannya sambil tersenyum."Feli?" Nathen menyeru pel