"Sudah merasa lebih baik?" Nathen bertanya seraya mendudukan diri di tepian tempat tidur, membiarkan manik matanya menatap Feli yang sudah lebih dulu berada di sana, dengan tatapan lembut.
Nathen dan Felicia kini sudah kembali ke hotel, selepas pergi ke kelab dan mendapati Davian tengah berselingkuh di sana.Tidak berlama-lama, selang beberapa detik selepas dirinya menyaksikan pengkhianatan yang dilakukan Davian, Feli bergegas mengajak Nathen kembali.Feli bahkan amat sangat merasa yakin, bahwasannya Davian sama sekali tidak menyadari keberadaannya tadi, sebab saking terhanyutnya pada apa yang tengah dilakukan.Kini ... Feli sibuk bergelut dengan tangisnya, menikmati momen patah hati, ditemani oleh tebaran lembaran tissue di atas tempat tidur.."Bajingan!"Gadis cantik itu melempar geram selembar tissue yang habis ia pakai menyeka air mata ke permukaan tempat tidur.Manik mata Nathen mengikuti ke arah mana tissue itu terbuang. Ia membuang napas kasar. "Berhenti menangis. Ini sudah sangat larut. Lebih baik kau tidur."Feli mendengkus. "Aku sedang marah. Hatiku sakit. Paman tahu, tidak?"Gadis cantik itu mengendus udara dengan geram, guna menghindari ingus yang hendak mengucur, lantas melirik Nathen, menatap paman tampannya itu dengan tatapan sebal, sesaat.Membuang napas kasar sembari menundukan pandangannya sekilas, Nathen memijit pelipisnya yang mulai berdenyut nyeri, merasa jengkel dan iba pada satu waktu, melihat Feli dari tadi tak henti merengek sambil menangis."Jika semarah ini, kenapa tadi langsung pergi? Kalau tidak mau mengotori tanganmu untuk membunuhnya, aku bisa melakukannya untukmu. Kenapa malah melampiaskan kemarahan pada sekotak tissue?"Feli memejam, dengan cepat membungkukan badan, menenggelamkan wajah di permukaan bantal.Gadis itu menangis sejadi-jadinya, mencoba meredam jerit pun isak tangis di permukaan bantal tersebut."Aku ingin memakinya, memukulnya, bahkan menghabisinya. Tapi aku tidak mau membuang waktuku untuk melakukan itu."Nathen tersenyum tipis. "Jadi menurutmu ... menangis dan merutukinya dari jauh seperti ini, tidak membuang waktu?"Feli menegakan posisi tubuh, memicingkan pelupuk mata sembabnya, ia menatap Nathen tajam, begitu syarat akan rasa geram. Kalau tidak mau lihat, pergi saja. Aku tidak meminta Paman menemaniku, kan?" juteknya.Nathen membuang napas kasar, mendekati Feli, kemudian menengkup wajah keponakan cantiknyq itu dengan kedua telapak tangan besarnya.Bantalan ibu jari tangan Nathen mengusap lembut pipi Feli, menyeka air mata gadis itu dengan penuh kehati-hatian.Perlahan, bingkai birai Nathen merenggang, memetakan senyum manis yang dibersamai dengan tatapan lembut. "Jangan menangis. Air matamu terlalu berharga jika kau pakai untuk menangisi pria bajingan seperti Davian."Nathen tersenyum tipis selagi membiarkan manik matanya menatap Feli, hangat. "Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan padanya? Haruskah aku memberinya pelajaran, atau langsung menghabisinya, agar kau bisa merasa lebih baik. Hemmm?"Feli menundukan pandangan seraya mencebikan bibir, kemudian menggeleng. "Jangan buang-buang tenaga mengurusi bajingan seperti dia. Jika bukan dariku, aku yakin, dia pasti akan mendapat balasan setimpal atas perbuatannya. Bagaimanapun jalannya."Nathen tersenyum bangga. "Ok. Jadi kau harus berhenti menangisinya sekarang.""Aku menangis bukan ka-karena melihat Davian selingkuh."Kening Nathen mengernyit, matanya memicing, menatap Feli, nanar. "Lalu karena apa?"Feli menangis lebih keras sembari memejamkan pelupuk mata. "Aku pi-pikir, besok aku akan melalui hal yang tidak akan pernah bisa aku lupakan dalam hidupku. Lari bersa-sama kekasihku di hari pernikahanku."Gadis cantik itu kemudian membuka mata, menatap Nathen dengan tatapan lugu sementara manik matanya berkaca, pun dikelilingi pupil yang memerah. "Bukankah itu te-terdengar luar biasa, Paman? Seperti adegan di film. Jika itu terjadi dalam hidupku, itu pasti akan menjadi sejarah. Semua media, pasti akan memberitakannya."Meracau, Feli berulang kali menyeka kasar air mata dan ingusnya yang melebur menjadi satu, menggunakan lipatan tissue dalam genggaman. Gadis itu lantas mendengkus kasar sembari menengadahkan pandangannya sesaat. "Seorang cucu sekaligus putri dari pemilik perusahaan ternama, melarikan diri dari pernikahannya dengan sang kekasih, sebab dijodohkan dengan sang paman."Mencebikan bibir, Feli menoleh cepat ke arah Nathen, menatap paman tampannya itu dengan tatapan yang terkesan memelas, tapi juga tampak lugu dalam satu waktu. "Dari judulnya saja sudah sangat mengesankan kan, Paman?"Terpekur, Nathen melongo, menatap Feli dengan tatapan tak habis pikir. Pria tampan itu kemudian terkekeh sembari menggeleng. Ia membiarkan manik mata jelaga indahnya menatap Feli hangat, lantas ia tersenyum.Oh tentu, Nathen tahu, bahwa ocehan tidak masuk akal Feli itu, Feli lakukan semata hanya untuk menyembunyikan kesedihan yang kini tengah menghunus relungnya."Sekarang tidur, hemmm?"Feli hanya mengangguk patuh. "Tapi, Paman.""Ya?""Mataku besok pasti akan sangat bengkak, kan?Bagaimana jika aku tidak terlihat cantik di acara pernikahanku nanti?"Mendengkus pelan sembari mengatupkan bibir, Nathen mengusap sayang puncak kepala Feli, lalu tersenyum hangat. "Kau akan menjadi pengantin tercantik. Tidak usah pikirkan hal itu.""Paman tidak pandai menghibur seseorang."Nathen terkekeh gemas melihat Feli mencebikan bibir, ditambah dengan wajah cantiknya yang merengut, memancarkan kemasaman, yang justru ... malah terlihat begitu menggemaskan.Ia menengkup wajah mungil Feli, memberi sedikit tekanan, membuat Feli menengadah dengan pipi yang menyembul.Pria tampan itu tanpa tahu malu tiba-tiba saja mencuri kecupan dari bibir Feli yang masih mencebik. Membuat keponakan cantiknya itu terdiam seketika, tanpa mengedipkan pelupuk mata."Kau adalah pengantinnya Nathen Shawn Wilson. Jika tidak terlihat cantik di mata orang lain, percayalah. Kau akan tetap menjadi pengantin tercantik di mataku."Nathen menatap manik mata Feli, lekat.Setelahnya, keduanya kini diam beberapa saat, sampai akhirnya, perlahan tatapan mata Nathen mulai turun.Dari yang semula terfokus pada mata Feli, pria tampan itu kini menatap birai ranum gadis itu, lamat.Feli mengerjapkan pelupuk mata secara berulang dengan lugunya, masih membiarkan benaknya mencerna, apa sebenarnya yang baru saja menimpa.Sampai Feli tidak menyadari, jika dengan pergerakan yang begitu perlahan, Nathen mulai mendekatkan wajah ke arahnya.Sejurus kemudian, Feli tak gagal dibuat terhenyak. Mata gadis itu seketika membola, kala merasakan gumpalan kenyal nan lembut yang merupakan bibir Nathen, melakukan kontak dengan bibirnya.Pria tampan itu kali ini bukan hanya mencuri kecupan, ia membiarkan bibirnya singgah di bibir Feli beberapa saat sembari memejamkan mata.Mendapati Feli hanya diam, tidak menolak pun merespon tindakan tiba-tibanya, Nathen perlahan menggerakan bibirnya. Mencium dan menyesap birai ranum Feli yang manis, ayalnya sebuah lolipop.Pelupuk mata Feli mengerjap dengan pergerakan lambat, kala ia merasa Nathen mulai menyesap dan melumat permukaan bibirnya.Pria tampan itu menggerakan tangannya, menegkup tengkuk Feli sembari membiarkan ibu jarinya mengusap pelan daun telinga sang keponakan.Darah Feli berdesir. Bulu kuduk gadis cantik itu sampai dibuat meremang, merasakan nyala listrik yang sang paman hantarkan melalui sebuah ciuman.Feli hanya diam mematung, dengan benak yang buntu, seakan berhenti bekerja. Sementara Nathen masih menikmati tindakannya, mencumbu Feli yang diam tergugu.Pria tampan itu membuka pelupuk matanya, menatap wajah Feli yang sudah memerah seperti kepiting rebus dalam jarak yang kelewat dekat.Nathen menyeringai di sela pagutan yang diawalinya, mendapati Feli masih saja diam, ia menganggap gadis itu menerka segala tindakan yang dilakukannya.Kembali memokuskan atensi pada bibir ranum Feli yang masih enggan ia lepaskan, Nathen menggigitnya pelan, membuat Feli meringis dan memejam.Memberi akses lebih dalam pada tindakan yang diawali, Nathen tentu tak akan melewatkannya.Selagi wajah Feli meringis, ia tanpa sadar telah membuka katupan bingkai birainya. Membuat Nathen mulai menggunakan lidahnya untuk mencumbu keponakan cantiknya itu. Tak lupa, ia mengabsen deretan gigi rapi Feli.Degup jantung Feli mulai berdebar cepat, tak menentu. Napasnya mulai berat, sampai akhirnya kedua telapak tangannya bergerak refleks, bertengger di bahu gagah Nathen, memberinya sedikit dorongan.Nathen yang terlanjur terlena akan rasa manis yang ia dapatkan dari bibir sang keponakan, awalnya tak menghiraukan hal itu.Sampai pada akhirnya, Feli mendorong lebih kuat bahu pria tampan itu.Pagutan bibir keduanya pun akhirnya terlepas, bersama embusan napas kasar yang mencelos melalui celah antara belahan birai Feli yang berjarak. Napas Feli terengah.Nathen tersenyum puas, menatap Feli yang kala itu menundukan kepala, berusaha mengatur deru napas.Pria tampan itu mengusap permukaan birainya dengan ibu jari tangan, kemudian menatapnya sambil menyeringai."Paman sudah gila ya?!" Feli menjerit kesal, menengadahkan pandangan, ia menatap Nathen dengan tatapan tajam.Nathen balas menatap Feli, menyunggingkan senyum miring. "Anggap saja begitu."Kedua telapak tangan Feli mengepal, meremat kuat kotak tissue yang masih setia berada di pangkuan. "Menyebalkan!"Nathen terkekeh, mengusap puncak kepala Feli, membuat surai gadis cantik itu tampak berantakan. "Kau diam. Tidak menolak atau pun menghempasku. Bukankah, itu artinya kau juga suka saat aku menciummu?"Feli jadi mendadak merasa takut, berlama-lama berada di sebuah kamar hanya berdua dengan Nathen."Paman pergi saja sana. Aku lelah. Ingin istirahat."Tidak menunggu sang paman memberi respon, gegas Feli membaringkan tubuh, menarik paksa selimut yang berada cukup jauh dengan kakinya, lalu menutupi tubuhnya dengan itu.Nathen lagi-lagi hanya tersenyum. Merasa gemas bukan main, melihat betapa salah tingkahnya sang keponakan.Ia kemudian mencondongkan tubuhnya, membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Feli.Mata Feli dibuat membola untuk kesekian kali. Dengan gerakan refleks, ia menutupi permukaan bibir dengan selimut yang ujungnya ia genggam begitu erat.Nathen hanya tersenyum, melihat raut panik yang memeta di wajah cantik Feli. Ia kemudian melabuhkan sebuah kecupan manis di kening gadis itu untuk sesaat. "Selamat malam, Calon Istri."Pada keesokan harinya ....Feli saat ini tengah berjalan perlahan, menuju altar dengan lengan yang bertaut dengan lengan Dean - sang ayah. Tubuh moleknya terbalut gaun putih salju yang tampak begitu menawan dan indah.Pandangan gadis itu tertunduk. Telapak tangannya mengepal, mencengkram pergelangan tangan ayahnya.Rasa gugup mengungkung dalam relung, membuat Feli tak berani menengadahkan pandangan, mempertemukan tatapan dengan Nathen - sang calon suami.Meskipun sudah terlampau sering bertatap muka, kondisinya saat ini jauh berbeda. Banyak orang yang menyaksikan, kala ia berjalan dengan anggunnya, diiringi musik lembut yang mendayu, menuju Nathen.Dean tersenyum gemas, merasakan betapa bergetarnya tubuh sang putri. "Tidak perlu gugup, Sayang. Santailah.""Mana bisa seperti itu, Ayah?" Feli berbisik, setengah merengek, mati-matian mencoba nenemukan suara, sebab mengatur deru napas agar tetap tenang saja, di saat mendebarkan seperti sekarang ini, ia sedikit kesulitan."Suamimu sudah me
Feli masih tidak percaya, bahwa hanya dalam hitungan detik, kini dirinya sudah memiliki status yang berbeda, yakni istri sah dari seorang Nathen Shawn Wilson.Hari di mana seharusnya Vivian yang menikah, dirinya terpaksa menjadi pengantin pengganti untuk paman angkatnya sendiri itu tak terelakan lagi.Acara pernikahan sudah terampungkan. Kini gadis yang sudah menjelma menjadi seorang wanita itu tengah berdiri tepat di samping Nathen yang sibuk berbincang bersama rekan bisnisnya yang datang, menghandiri undangan.Sudah merasa cukup lelah sekali sebenarnya, ingin mengeluh, tapi tidak bisa. Sebab harus terus bersandiwara di hadapan khalayak agar terlihat seperti pasangan pengantin baru yang bahagia. Dan hal itu, nyatanya sama sekali tidak mudah dan cukup menguras banyak tenaga.Diwajibkan menebar senyum hangat pada setiap tamu yang datang menghampiri untuk berbincang, atau sekadar memberi selamat, Feli mati-matian menahan rasa lelah bercampur sesak.Embusan napas kasar mencelos dari mulu
Setelah mendengar perkataan Andrew yang menyerupai sebuah bisikan, sebab semakin memelan menuju penghujung kalimat, Nathen tampak sedikit tertegun.Pribadi tampan itu spontan membelalakan mata, menatap pada Andrew dengan tatapan yang mengisyaratkan sebuah peringatan."Ada apa dengan Vivian dan Davian?" Noah yang agaknya menjadi orang yang paling tidak mengerti sama sekali terhadap perkataan Andrew, bertanya sembari menatap nanar ketiga sahabatnya secara bergantian.Andrew menoleh ke arah Noah. "Kau tidak tahu ji-" "kita bahas masalah ini lain kali," pungkas Hayden, tidak membiarkan Andrew merampungkan perkataan."Hemmm." Nathen ikut menimpali. Mengatupkan bibir cukup rapat, ia mengambil langkah mendekat ke arah Andrew. Ia tersenyum simpul penuh arti, lantas merangkul sahabatnya itu, juga tak lupa melabuhkan rematan gemas di bahunya. "Ini bukan saat yang tepat untuk membahas Vivian dan Davian, okey?"Kening Andrew sontak mengernyit, membersamai matanya yang agak memicing. Ia menatap Na
Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bingkai birai tipis Feli yang berjarak, begitu wanita cantik itu memasuki kamar, sehabis membersihkan diri. Kedua lengannya spontan bersedekap di area dada, selagi manik mata hazel indahnya dibiarkan untuk menatap Nathen yang sudah terbaring di permukaan ranjang. Feli menggeleng tak habis pikir. "Ck, tidak akan memberi ampun apanya? Ditinggal mandi sebentar saja, sudah tepar seperti itu." Mengayunkan tungkai yang terbalut slipper berwarna putih tulang, Feli berjalan perlahan, menghampiri tempat tidur, lantas mendudukan diri di tepian benda persegi tersebut. "Paman!" Feli menyeru pelan. Melepaskan sedakepan lengan, telapak tangan sebelah kiri wanita cantik itu melayang, hingga melabuhkan sebuah pukulan yang tak seberapa kencang ke permukaan lengan Nathen.Tidak mendapatkan respon maupun gubrisan, Feli membungkuk, mencondongkan dirinya ke arah paman tampan yang kini sudah resmi menjadi suaminya itu."Paman!" Feli kembali menyeru seray
Tidak langsung menimpali, tiga detik Nathen diam, selagi membiarkan manik matanya menatap kosong ke arah Feli. "Kau mengatakan apa?" tanyanya, tidak percaya.Feli mengulurkan tangan, menarik lengan Nathen, mengguncangnya pelan beberapa kali. "Ayo, kita bercerai, Paman!" rengeknya."Kau sakit, ya?" Nathen mengernyitkan kening, bertanya sembari melabuhkan telapak tangannya di permukaan kening Feli.Feli berdesis pelan seraya menyingkirkan tangan Nathen, lalu menggenggamnya agar tetap diam. "Aku tidak sakit.""Jika kau tidak sakit, itu artinya saat ini kau sedang mengigau.""Aku serius, Paman. Ayo kita bercerai."Nathen menatap Feli, tidak percaya. "Kita baru menikah hari ini, Feli.""Maka dari itu. Karena baru sehari, jadinya belum banyak hal yang kita lakukan. Ayo bercerai, hemm?"Memejam, Nathen memijat pelipisnya yang mulai berdenyut nyeri untuk beberapa saat. "Tidur. Ini sudah malam. Kau butuh banyak istirahat."Nathen membenarkan selimut yang membalut tubuh Feli, lantas memberi tepu
Masih terbaring di permukaan tempat tidur yang sama, dengan tempat tidur semalam, Nathen sudah memiliki kesadaran penuh dalam dirinya, sedang Feli masih pulas sekali, tidur di sampingnya.Enggan beranjak, Nathen membaringkan tubuh dalam posisi miring, menghadap ke arah Feli secara utuh, selagi membiarkan manik mata jelaga indahnya, menatap gemas paras cantik tanpa polesan make up milik istri mungilnya itu.Sesekali permukaan bingkai birai Nathen merenggang, memetakan senyum simpul, membersamai jemari tangan yang tidak mau diam, mencolek pelan ujung hidung sang istri.Feli mengerang beberapa kali dan hal itu tak gagal membuat rasa gemas yang Nathen rasakan, memuncak setiap detiknya.Tidur Feli yang semula begitu pulas dan damai, perhalan mulai terusik oleh sikap usil Nathen."Eung." Feli menggaruk pelan ujung hidungnya yang terasa geli, membuat Nathen refleks menjauhkan jemari tangannya sambil tersenyum."Feli?" Nathen menyeru pel
Mengabaikan Feli yang menjerit kaget, Nathen terkekeh kecil. Menunduk, pribadi tampan itu menyingkab selimut yang membalut setengah kakinya, sebelum kemudian membangkitkan diri.Feli memperhatikan setiap gerik yang dilakukan suami tampannya itu dengan mata yang membulat, juga mulut dalam keadaan sedikit terbuka.Melihat Nathen mulai melangkah menjauhi tempat tidur, Feli bergegas, ikut membangkitkan diri, menyusul kepergian sang suami. "Paman mau ke mana? Tega sekali pergi meninggalkanku begitu saja setelah mencuri ciuman dariku," ocehnya sembari mengekori Nathen.Nathen melirik Feli melalui ekor matanya. Ia tersenyum miring, lebih ke menyeringai, tanpa menghentikan langkah, ataupun menimpali ocehan istri cantiknya itu."Paman kenapa diam? Paman tidak mau menjawabku? Paman ini sebenarnya maunya apa, sih? Sikap Paman sudah aneh sejak kemarin malam, Paman ta- Aduh!" Ocehan Feli kali ini berganti menjadi sebuah aduhan, tepat saat kepalanya terbentur d
Suara dentingan pelan yang berasal dari beradunya peralatan makan yang sedang digunakan, menjadi satu-satunya suara yang terdengar begitu mendominasi di ruang makan kediman Sebastian Jefferson Smith - kakak Felicia.Annatasia Addilyn Murphy - istri Bastian yang duduk di kursi yang letaknya bersebrangan dengan kursi yang Bastian duduki,, menengadahkan pandangan, menilik Bastian yang tengah memainkan sepiring makanan yang ada di hadapan.Membuang napas kasar, Anna menyimpan peralatan makan dari genggaman, memokuskan seluruh atensi yang dimiliki untuk sang suami. "Honey?" serunya, pelan sekali.Bastian bergeming, sama sekali tidak mendengar seruan Anna. Ia masih saja memainkan sendok untuk mengaduk-aduk makanan yang seharusnya sudah ia santap sedari tadi.Menatap lamat Bastian yang agaknya sudah terlalu larut dalam sekelumit pemikiran yang menghinggapi benak, Anna lantas berdehem.Bingkai birai wanita cantik berusia dua puluh enam tahun itu