Share

04 - Gadis Konyol

"Sudah merasa lebih baik?" Nathen bertanya seraya mendudukan diri di tepian tempat tidur, membiarkan manik matanya menatap Feli yang sudah lebih dulu berada di sana, dengan tatapan lembut.

Nathen dan Felicia kini sudah kembali ke hotel, selepas pergi ke kelab dan mendapati Davian tengah berselingkuh di sana.

Tidak berlama-lama, selang beberapa detik selepas dirinya menyaksikan pengkhianatan yang dilakukan Davian, Feli bergegas mengajak Nathen kembali.

Feli bahkan amat sangat merasa yakin, bahwasannya Davian sama sekali tidak menyadari keberadaannya tadi, sebab saking terhanyutnya pada apa yang tengah dilakukan.

Kini ... Feli sibuk bergelut dengan tangisnya, menikmati momen patah hati, ditemani oleh tebaran lembaran tissue di atas tempat tidur..

"Bajingan!"

Gadis cantik itu melempar geram selembar tissue yang habis ia pakai menyeka air mata ke permukaan tempat tidur.

Manik mata Nathen mengikuti ke arah mana tissue itu terbuang. Ia membuang napas kasar. "Berhenti menangis. Ini sudah sangat larut. Lebih baik kau tidur."

Feli mendengkus. "Aku sedang marah. Hatiku sakit. Paman tahu, tidak?"

Gadis cantik itu mengendus udara dengan geram, guna menghindari ingus yang hendak mengucur, lantas melirik Nathen, menatap paman tampannya itu dengan tatapan sebal, sesaat.

Membuang napas kasar sembari menundukan pandangannya sekilas, Nathen memijit pelipisnya yang mulai berdenyut nyeri, merasa jengkel dan iba pada satu waktu, melihat Feli dari tadi tak henti merengek sambil menangis.

"Jika semarah ini, kenapa tadi langsung pergi? Kalau tidak mau mengotori tanganmu untuk membunuhnya, aku bisa melakukannya untukmu. Kenapa malah melampiaskan kemarahan pada sekotak tissue?"

Feli memejam, dengan cepat membungkukan badan, menenggelamkan wajah di permukaan bantal.

Gadis itu menangis sejadi-jadinya, mencoba meredam jerit pun isak tangis di permukaan bantal tersebut.

"Aku ingin memakinya, memukulnya, bahkan menghabisinya. Tapi aku tidak mau membuang waktuku untuk melakukan itu."

Nathen tersenyum tipis. "Jadi menurutmu ... menangis dan merutukinya dari jauh seperti ini, tidak membuang waktu?"

Feli menegakan posisi tubuh, memicingkan pelupuk mata sembabnya, ia menatap Nathen tajam, begitu syarat akan rasa geram. Kalau tidak mau lihat, pergi saja. Aku tidak meminta Paman menemaniku, kan?" juteknya.

Nathen membuang napas kasar, mendekati Feli, kemudian menengkup wajah keponakan cantiknyq itu dengan kedua telapak tangan besarnya.

Bantalan ibu jari tangan Nathen mengusap lembut pipi Feli, menyeka air mata gadis itu dengan penuh kehati-hatian.

Perlahan, bingkai birai Nathen merenggang, memetakan senyum manis yang dibersamai dengan tatapan lembut. "Jangan menangis. Air matamu terlalu berharga jika kau pakai untuk menangisi pria bajingan seperti Davian."

Nathen tersenyum tipis selagi membiarkan manik matanya menatap Feli, hangat. "Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan padanya? Haruskah aku memberinya pelajaran, atau langsung menghabisinya, agar kau bisa merasa lebih baik. Hemmm?"

Feli menundukan pandangan seraya mencebikan bibir, kemudian menggeleng. "Jangan buang-buang tenaga mengurusi bajingan seperti dia. Jika bukan dariku, aku yakin, dia pasti akan mendapat balasan setimpal atas perbuatannya. Bagaimanapun jalannya."

Nathen tersenyum bangga. "Ok. Jadi kau harus berhenti menangisinya sekarang."

"Aku menangis bukan ka-karena melihat Davian selingkuh."

Kening Nathen mengernyit, matanya memicing, menatap Feli, nanar. "Lalu karena apa?"

Feli menangis lebih keras sembari memejamkan pelupuk mata. "Aku pi-pikir, besok aku akan melalui hal yang tidak akan pernah bisa aku lupakan dalam hidupku. Lari bersa-sama kekasihku di hari pernikahanku."

Gadis cantik itu kemudian membuka mata, menatap Nathen dengan tatapan lugu sementara manik matanya berkaca, pun dikelilingi pupil yang memerah. "Bukankah itu te-terdengar luar biasa, Paman? Seperti adegan di film. Jika itu terjadi dalam hidupku, itu pasti akan menjadi sejarah. Semua media, pasti akan memberitakannya."

Meracau, Feli berulang kali menyeka kasar air mata dan ingusnya yang melebur menjadi satu, menggunakan lipatan tissue dalam genggaman. Gadis itu lantas mendengkus kasar sembari menengadahkan pandangannya sesaat. "Seorang cucu sekaligus putri dari pemilik perusahaan ternama, melarikan diri dari pernikahannya dengan sang kekasih, sebab dijodohkan dengan sang paman."

Mencebikan bibir, Feli menoleh cepat ke arah Nathen, menatap paman tampannya itu dengan tatapan yang terkesan memelas, tapi juga tampak lugu dalam satu waktu. "Dari judulnya saja sudah sangat mengesankan kan, Paman?"

Terpekur, Nathen melongo, menatap Feli dengan tatapan tak habis pikir. Pria tampan itu kemudian terkekeh sembari menggeleng. Ia membiarkan manik mata jelaga indahnya menatap Feli hangat, lantas ia tersenyum.

Oh tentu, Nathen tahu, bahwa ocehan tidak masuk akal Feli itu, Feli lakukan semata hanya untuk menyembunyikan kesedihan yang kini tengah menghunus relungnya.

"Sekarang tidur, hemmm?"

Feli hanya mengangguk patuh. "Tapi, Paman."

"Ya?"

"Mataku besok pasti akan sangat bengkak, kan?Bagaimana jika aku tidak terlihat cantik di acara pernikahanku nanti?"

Mendengkus pelan sembari mengatupkan bibir, Nathen mengusap sayang puncak kepala Feli, lalu tersenyum hangat. "Kau akan menjadi pengantin tercantik. Tidak usah pikirkan hal itu."

"Paman tidak pandai menghibur seseorang."

Nathen terkekeh gemas melihat Feli mencebikan bibir, ditambah dengan wajah cantiknya yang merengut, memancarkan kemasaman, yang justru ... malah terlihat begitu menggemaskan.

Ia menengkup wajah mungil Feli, memberi sedikit tekanan, membuat Feli menengadah dengan pipi yang menyembul.

Pria tampan itu tanpa tahu malu tiba-tiba saja mencuri kecupan dari bibir Feli yang masih mencebik. Membuat keponakan cantiknya itu terdiam seketika, tanpa mengedipkan pelupuk mata.

"Kau adalah pengantinnya Nathen Shawn Wilson. Jika tidak terlihat cantik di mata orang lain, percayalah. Kau akan tetap menjadi pengantin tercantik di mataku."

Nathen menatap manik mata Feli, lekat.

Setelahnya, keduanya kini diam beberapa saat, sampai akhirnya, perlahan tatapan mata Nathen mulai turun.

Dari yang semula terfokus pada mata Feli, pria tampan itu kini menatap birai ranum gadis itu, lamat.

Feli mengerjapkan pelupuk mata secara berulang dengan lugunya, masih membiarkan benaknya mencerna, apa sebenarnya yang baru saja menimpa.

Sampai Feli tidak menyadari, jika dengan pergerakan yang begitu perlahan, Nathen mulai mendekatkan wajah ke arahnya.

Sejurus kemudian, Feli tak gagal dibuat terhenyak. Mata gadis itu seketika membola, kala merasakan gumpalan kenyal nan lembut yang merupakan bibir Nathen, melakukan kontak dengan bibirnya.

Pria tampan itu kali ini bukan hanya mencuri kecupan, ia membiarkan bibirnya singgah di bibir Feli beberapa saat sembari memejamkan mata.

Mendapati Feli hanya diam, tidak menolak pun merespon tindakan tiba-tibanya, Nathen perlahan menggerakan bibirnya. Mencium dan menyesap birai ranum Feli yang manis, ayalnya sebuah lolipop.

Pelupuk mata Feli mengerjap dengan pergerakan lambat, kala ia merasa Nathen mulai menyesap dan melumat permukaan bibirnya.

Pria tampan itu menggerakan tangannya, menegkup tengkuk Feli sembari membiarkan ibu jarinya mengusap pelan daun telinga sang keponakan.

Darah Feli berdesir. Bulu kuduk gadis cantik itu sampai dibuat meremang, merasakan nyala listrik yang sang paman hantarkan melalui sebuah ciuman.

Feli hanya diam mematung, dengan benak yang buntu, seakan berhenti bekerja. Sementara Nathen masih menikmati tindakannya, mencumbu Feli yang diam tergugu.

Pria tampan itu membuka pelupuk matanya, menatap wajah Feli yang sudah memerah seperti kepiting rebus dalam jarak yang kelewat dekat.

Nathen menyeringai di sela pagutan yang diawalinya, mendapati Feli masih saja diam, ia menganggap gadis itu menerka segala tindakan yang dilakukannya.

Kembali memokuskan atensi pada bibir ranum Feli yang masih enggan ia lepaskan, Nathen menggigitnya pelan, membuat Feli meringis dan memejam.

Memberi akses lebih dalam pada tindakan yang diawali, Nathen tentu tak akan melewatkannya.

Selagi wajah Feli meringis, ia tanpa sadar telah membuka katupan bingkai birainya. Membuat Nathen mulai menggunakan lidahnya untuk mencumbu keponakan cantiknya itu. Tak lupa, ia mengabsen deretan gigi rapi Feli.

Degup jantung Feli mulai berdebar cepat, tak menentu. Napasnya mulai berat, sampai akhirnya kedua telapak tangannya bergerak refleks, bertengger di bahu gagah Nathen, memberinya sedikit dorongan.

Nathen yang terlanjur terlena akan rasa manis yang ia dapatkan dari bibir sang keponakan, awalnya tak menghiraukan hal itu.

Sampai pada akhirnya, Feli mendorong lebih kuat bahu pria tampan itu.

Pagutan bibir keduanya pun akhirnya terlepas, bersama embusan napas kasar yang mencelos melalui celah antara belahan birai Feli yang berjarak. Napas Feli terengah.

Nathen tersenyum puas, menatap Feli yang kala itu menundukan kepala, berusaha mengatur deru napas.

Pria tampan itu mengusap permukaan birainya dengan ibu jari tangan, kemudian menatapnya sambil menyeringai.

"Paman sudah gila ya?!" Feli menjerit kesal, menengadahkan pandangan, ia menatap Nathen dengan tatapan tajam.

Nathen balas menatap Feli, menyunggingkan senyum miring. "Anggap saja begitu."

Kedua telapak tangan Feli mengepal, meremat kuat kotak tissue yang masih setia berada di pangkuan. "Menyebalkan!"

Nathen terkekeh, mengusap puncak kepala Feli, membuat surai gadis cantik itu tampak berantakan. "Kau diam. Tidak menolak atau pun menghempasku. Bukankah, itu artinya kau juga suka saat aku menciummu?"

Feli jadi mendadak merasa takut, berlama-lama berada di sebuah kamar hanya berdua dengan Nathen.

"Paman pergi saja sana. Aku lelah. Ingin istirahat."

Tidak menunggu sang paman memberi respon, gegas Feli membaringkan tubuh, menarik paksa selimut yang berada cukup jauh dengan kakinya, lalu menutupi tubuhnya dengan itu.

Nathen lagi-lagi hanya tersenyum. Merasa gemas bukan main, melihat betapa salah tingkahnya sang keponakan.

Ia kemudian mencondongkan tubuhnya, membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Feli.

Mata Feli dibuat membola untuk kesekian kali. Dengan gerakan refleks, ia menutupi permukaan bibir dengan selimut yang ujungnya ia genggam begitu erat.

Nathen hanya tersenyum, melihat raut panik yang memeta di wajah cantik Feli. Ia kemudian melabuhkan sebuah kecupan manis di kening gadis itu untuk sesaat. "Selamat malam, Calon Istri."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status