Pada keesokan harinya ....
Feli saat ini tengah berjalan perlahan, menuju altar dengan lengan yang bertaut dengan lengan Dean - sang ayah.Tubuh moleknya terbalut gaun putih salju yang tampak begitu menawan dan indah.Pandangan gadis itu tertunduk. Telapak tangannya mengepal, mencengkram pergelangan tangan ayahnya.Rasa gugup mengungkung dalam relung, membuat Feli tak berani menengadahkan pandangan, mempertemukan tatapan dengan Nathen - sang calon suami.Meskipun sudah terlampau sering bertatap muka, kondisinya saat ini jauh berbeda. Banyak orang yang menyaksikan, kala ia berjalan dengan anggunnya, diiringi musik lembut yang mendayu, menuju Nathen.Dean tersenyum gemas, merasakan betapa bergetarnya tubuh sang putri. "Tidak perlu gugup, Sayang. Santailah.""Mana bisa seperti itu, Ayah?" Feli berbisik, setengah merengek, mati-matian mencoba nenemukan suara, sebab mengatur deru napas agar tetap tenang saja, di saat mendebarkan seperti sekarang ini, ia sedikit kesulitan."Suamimu sudah menunggu." Dean menghentikan langkah, begitu pula dengan Feli.Feli terlalu sibuk, memokuskan atensi untuk mencoba meredam rasa gugup, sampai ia sendiri tidak sadar, bahwa jarak yang terbentang antara dirinya dan Nathen, kini sudah terkikis, hampir habis."Mau sampai kapan kau mengacuhkaku, Calon Istriku Sayang?" Nathen tersenyum, kelewat gemas memperhatikan tingkah gugup calon istri cantiknya itu.Feli memberanikan diri untuk menengadah, mempertemukan pandangan dengan sang paman, yang dalam waktu dekat akan berubah status, menjadi suaminya itu.Sejujurnya, dari semalam relung Feli didera rasa heran yang begitu mengungkung, terutama terkait dengan insiden ciuman yang terjadi antara dirinya dan Nathen.Bagi Feli, mendadak paman tampannya itu mulai memperlihatkan sisi aneh, yang sebelumnya sama sekali tidak pernah ia lihat.Sedang Feli menerka di sela kegugupan yang tengah dirasa, di sisi lain, ada Nathen yang secara terang-terangan tengah memperhatikan.Senyum senang di bingkai birai pria tampan itu semakin merekah. "Mulai sekarang, tanganku yang akan kau genggam, Nona Felicia."Tersadar dari lamunan yang sejenak menghinggapi benar, penuturan Nathen tak gagal membuat pelupuk matanya mengerjap cepat.Dean melirik Feli yang tampak kikuk, lalu tersenyum gemas, lantas meluruskan pandangan, menatap hangat sosok gagah calon suami dari putri kesayangannya itu. "Tolong jaga putriku, ya?"Nathen menoleh, balas menatap Dean, kemudian membungkukan sedikit tubuhnya sebentar, lalu tersenyum. "Pasti, Kak."Dean tersenyum lagi, mendengar Nathen berkata dengan ramah tamahnya. "Kau biaa memanggilku dengan sebutan Ayah, mulai sekarang. Dan lagi ...," menjeda perkataan, Dean melirik sang putri, "putriku mungkin sedikit keras kepala, tapi percaya padaku, dia adalah gadis yang sangat baik."Nathen tersenyum lagi. "Aku sangat mempercayai pernyataan Ayah yang satu itu."Menyerahkan sang putri seutuhnya pada Dean, tentu momen pelepasan Feli mengundang rasa haru, yang juga dirasakan begitu lekat oleh seluruh tamu undangan yang turut hadir, menyaksikan pernikahan tersebut.Tidak ingin membuang lebih banyak waktu, selanjutnya ... acara pernikahan Nathen dan Feli pun dilangsungkan.Berdiri saling berdampingan, Feli dan Nathen menghadap ke arah sang pendeta yang siap memimpin janji suci yang harus diucap, bergantian menyatakan apa yang memang harus dikatakan pada satu sama lain.Dentingan piano yang mengiringi, menambah suasana haru yang terjadi, tatkala sebuah janji suci terucap, menggema.Hati Feli berdesir, merasa bingung dan juga gugup pada saat bersamaan, sebab ia tahu, mulai sekarang, kehidupan barunya, baru saja akan dimulai."Silakan berciuman."Feli dan Nathen saling berhadapan, saling melempar senyum sampai pipi Feli merona, sebab tersipu."Paman akan menciumku lagi, seperti semalam?" bisik Feli seraya menyempatkan diri untuk memendarkan pandangan, atau lebih tepatnya mencuri-curi pandang terhadap keadaan sekitar.Gadis cantik itu melempar senyum pada Nathen dengan gigi yang sengaja ia katupkan. "Di hadapan semua orang?" imbuhnya, lantas terkekeh kikuk dengan suara yang begitu pelan.Nathen yang setia memperhatikan, tersenyum senang, menggenggam lembut salah satu tangan gadis cantik yang kini resmi sudah menyandang status sebagai istrinya itu.Pribadi tampan itu kemudian perlahan mendekat, menelusupkan lengan kekarnya di pinggang ramping Feli, menarik lembut tubuh sang istri untuk lebih mendekat.Sedikit terhenyak, juga kaget sebenarnya atas tindakan yang dilakukan Nathen yang seakan mendadak tuli, seolah tidak mendengar pertanyaan yang dilontarkannya, mata Feli sontak membulat.Feli menenggerkan tangan di bahu gagah Nathen. Mati-matian ia mencoba meredan rasa gugup yang semakin mengungkung hingga membuat debaran jantungnya berpacu cepat, kala jarak di antara wajahnya dan Nathen hampir habis saja, terkikis."Tentu, kenapa tidak," bisik Nathen, menggoda.Hal selanjutnya yang pribadi tampah itu lakukan adalah, benar-benar mengikis habis jarak yang tersisa antara wajahnya dan wajah Feli, menautkan belahan bibir, mengecup lembut bibir istri cantiknya itu.Nathen mencium sang istri beberapa saat, kemudian sedikit menjauh, membiarkan keningnya dan sang istri beradu.Pribadi tampan itu tersenyum, menatap Feli yang kali ini sudah memejamkan pelupuk mata, sebagai respon refleks dari ciuman yang dilakukannya.Kedua telapak tangan Feli yang bertengger di bahu Nathen, mengepal begitu kuat dalam keadaan sedikit gematar.Sejurus kemudian, buliran air mata Feli, tiba saja jatuh berlinang.Terkejut? Tentu pasti seketika Nathen rasakan. Sebab sebelumnya, padahal ia sama sekali tidak melihat mata Feli berkaca.Mencoba mengenyampingkan keterkejutan, Nathen tersenyum simpul. "Istriku ini, cengeng sekali ya, ternyata?"Nathen menyapu wajah cantik Feli dengan pergerakan perlahan, pun penuh kehati-hatian, menyeka air matanya menggunakan bantalan ibu jari tangan.Feli perlahan membuka mata, membiarkan pandangannya beradu dengan manik jelaga Nathen yang masih setia menatapnya, dengan tatapan yang baginya terlihat begitu sulit diartikan. Ia tersenyum. "Maaf, Paman. Aku tiba-tiba teringat Davian."Terlepas dari menyatunya ia dan Nathen, nyatanya kandasnya hubungan yang sebelumnya ia miliki dengan Davian tanpa pengakhiran yang jelas, memberi efeksi tersendiri pada perasaan Feli.Sungguh, jika boleh berkata jujur, di saat dirinya mengucapkan janji suci pernikahan tadi, benaknya malah sibuk membayangkan, jika yang berdiri di altar pernikahan dengannya bukanlah Nathen, melainkan Davian.Alih-alih marah setelah mendengar pernyataan Feli, Nathen malah tersenyum lembut. "Jangan menangis. Maaf, karena demi menyelamatkan nama baik keluarga kita, kau harus berkorban sebesar ini."Pria tampan itu mengecup manis kening Feli, membawa riuh tepuk tangan dan sorak sorai bergemuruh, pecah tak terelakan."Nathen! Tunggu sampai nanti malam, apa tidak bisa ya?!" Sebastian Jeffron Smith yang tidak lain merupakan kakak laki-laki satu-satunya dari Feli mengaduh, sedikit menjerit, menatap pasangan pengantin baru yang tampak begitu lengket, enggan untuk berjauhan. "Kenapa tidak sabaran sekali sih? Harus ya, terus-menerus berdiri sedekat itu? Aku sudah lapar, tahu!" Ia meracau, mencoba mencairkan suasana dengan gurauan, juga terbesit sedikit sindiran di dalamnya.Feli menoleh ke arah Bastian sambil tersenyum, sedikit terkekeh, mendapati kakaknya itu mengganggu suasana romantis yang tengah berlangsung. Akan tetapi, jauh di lubuk hati Feli yang terdalam, ia sangat merasa bersalah pada Bastian, sebab sampai detik ini, kakaknya itu, telah menjadi satu-satunya orang, yang menentang keras terjadinya pernikahan antara dirinya dan Nathen.Berulang kali Bastian mencoba membujuk sang ibu dan sang nenek untuk membatalkan rencana pernikahan tersebut, tetapi tidak membuahkan hasil.Terutama saat Elena memberitahu kenyataan, bahwa sebenarnya Feli tidak terlalu menentang keputusannya tersebut.Feli hanya terkadang labil saja. Lebih ke antara yakin dan tidaknya, ia bisa membina biduk rumah tangga bersama pria yang selama ini sudah menyandang status sebagai pamannya sendiri itu.Terlebih saat rencana pernikahan yang terlalu mendadak itu mencuat, dirinya masih memiliki kekasih.Feli bahkan sempat memberi solusi, agar sang nenek menikahkannya dengan sang kekasih saja, alih-alih dengan sang paman.Namun, anehnya ..., menjelang hari pernikahan, Davian sangat sulit sekali ia hubungi, sebelumnya. Tetapi untuk yang semalam, itu merupakan sebuah pengecualian, sebab untuk kali pertama, Davian dengan mudah saja, memberitahu Feli, di mana ia tengah berada."Nanti malam bisa sepuasnya bermesraan, jadi kasihanilah para lajang yang mungkin ada di sini saat ini!" Bastian meracau lagi, membuat tamu undangan yang mendengar, menguarkan gelak tawa.Sementara di sisi lain, Feli sibuk memokuskan atensi, sampai tidak sadar, jika Nathen menekan sedikit keras pinggangnya, guna kembali membuatnya menoleh.Nathen semakin mendekat, hingga Feli bisa merasakan deru napas hangatnya menyapu permukaan leher pualamnya yang seketika meremang. Pria tampan itu tersenyum, mendekatkan mulutnya ke daun telinga kiri sang istri, menggigitnya pelan. "Tidak sabar jadinya, menunggu nanti malam. Nikmati detik-detik terakhirmu, Sayang. Karena aku tidak akan memberimu ampun, di malam pertama kita."Feli bergidik geli, menemani sekujur tubuh yang meremang. Merasa malu juga sebal, ia memukul kelewat gemas permukaan dada bidang Nathen, menatap pria tampan yang mengambil satu langkah mundur menjauh itu dengan tatapan tajam. "Berhenti bercanda, Paman"Nathen tersenyum miring, lantas mengindikan bahu, kelewat acuh. "Aku tidak mengatakan, bahwa aku sedang bercanda."Feli masih tidak percaya, bahwa hanya dalam hitungan detik, kini dirinya sudah memiliki status yang berbeda, yakni istri sah dari seorang Nathen Shawn Wilson.Hari di mana seharusnya Vivian yang menikah, dirinya terpaksa menjadi pengantin pengganti untuk paman angkatnya sendiri itu tak terelakan lagi.Acara pernikahan sudah terampungkan. Kini gadis yang sudah menjelma menjadi seorang wanita itu tengah berdiri tepat di samping Nathen yang sibuk berbincang bersama rekan bisnisnya yang datang, menghandiri undangan.Sudah merasa cukup lelah sekali sebenarnya, ingin mengeluh, tapi tidak bisa. Sebab harus terus bersandiwara di hadapan khalayak agar terlihat seperti pasangan pengantin baru yang bahagia. Dan hal itu, nyatanya sama sekali tidak mudah dan cukup menguras banyak tenaga.Diwajibkan menebar senyum hangat pada setiap tamu yang datang menghampiri untuk berbincang, atau sekadar memberi selamat, Feli mati-matian menahan rasa lelah bercampur sesak.Embusan napas kasar mencelos dari mulu
Setelah mendengar perkataan Andrew yang menyerupai sebuah bisikan, sebab semakin memelan menuju penghujung kalimat, Nathen tampak sedikit tertegun.Pribadi tampan itu spontan membelalakan mata, menatap pada Andrew dengan tatapan yang mengisyaratkan sebuah peringatan."Ada apa dengan Vivian dan Davian?" Noah yang agaknya menjadi orang yang paling tidak mengerti sama sekali terhadap perkataan Andrew, bertanya sembari menatap nanar ketiga sahabatnya secara bergantian.Andrew menoleh ke arah Noah. "Kau tidak tahu ji-" "kita bahas masalah ini lain kali," pungkas Hayden, tidak membiarkan Andrew merampungkan perkataan."Hemmm." Nathen ikut menimpali. Mengatupkan bibir cukup rapat, ia mengambil langkah mendekat ke arah Andrew. Ia tersenyum simpul penuh arti, lantas merangkul sahabatnya itu, juga tak lupa melabuhkan rematan gemas di bahunya. "Ini bukan saat yang tepat untuk membahas Vivian dan Davian, okey?"Kening Andrew sontak mengernyit, membersamai matanya yang agak memicing. Ia menatap Na
Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bingkai birai tipis Feli yang berjarak, begitu wanita cantik itu memasuki kamar, sehabis membersihkan diri. Kedua lengannya spontan bersedekap di area dada, selagi manik mata hazel indahnya dibiarkan untuk menatap Nathen yang sudah terbaring di permukaan ranjang. Feli menggeleng tak habis pikir. "Ck, tidak akan memberi ampun apanya? Ditinggal mandi sebentar saja, sudah tepar seperti itu." Mengayunkan tungkai yang terbalut slipper berwarna putih tulang, Feli berjalan perlahan, menghampiri tempat tidur, lantas mendudukan diri di tepian benda persegi tersebut. "Paman!" Feli menyeru pelan. Melepaskan sedakepan lengan, telapak tangan sebelah kiri wanita cantik itu melayang, hingga melabuhkan sebuah pukulan yang tak seberapa kencang ke permukaan lengan Nathen.Tidak mendapatkan respon maupun gubrisan, Feli membungkuk, mencondongkan dirinya ke arah paman tampan yang kini sudah resmi menjadi suaminya itu."Paman!" Feli kembali menyeru seray
Tidak langsung menimpali, tiga detik Nathen diam, selagi membiarkan manik matanya menatap kosong ke arah Feli. "Kau mengatakan apa?" tanyanya, tidak percaya.Feli mengulurkan tangan, menarik lengan Nathen, mengguncangnya pelan beberapa kali. "Ayo, kita bercerai, Paman!" rengeknya."Kau sakit, ya?" Nathen mengernyitkan kening, bertanya sembari melabuhkan telapak tangannya di permukaan kening Feli.Feli berdesis pelan seraya menyingkirkan tangan Nathen, lalu menggenggamnya agar tetap diam. "Aku tidak sakit.""Jika kau tidak sakit, itu artinya saat ini kau sedang mengigau.""Aku serius, Paman. Ayo kita bercerai."Nathen menatap Feli, tidak percaya. "Kita baru menikah hari ini, Feli.""Maka dari itu. Karena baru sehari, jadinya belum banyak hal yang kita lakukan. Ayo bercerai, hemm?"Memejam, Nathen memijat pelipisnya yang mulai berdenyut nyeri untuk beberapa saat. "Tidur. Ini sudah malam. Kau butuh banyak istirahat."Nathen membenarkan selimut yang membalut tubuh Feli, lantas memberi tepu
Masih terbaring di permukaan tempat tidur yang sama, dengan tempat tidur semalam, Nathen sudah memiliki kesadaran penuh dalam dirinya, sedang Feli masih pulas sekali, tidur di sampingnya.Enggan beranjak, Nathen membaringkan tubuh dalam posisi miring, menghadap ke arah Feli secara utuh, selagi membiarkan manik mata jelaga indahnya, menatap gemas paras cantik tanpa polesan make up milik istri mungilnya itu.Sesekali permukaan bingkai birai Nathen merenggang, memetakan senyum simpul, membersamai jemari tangan yang tidak mau diam, mencolek pelan ujung hidung sang istri.Feli mengerang beberapa kali dan hal itu tak gagal membuat rasa gemas yang Nathen rasakan, memuncak setiap detiknya.Tidur Feli yang semula begitu pulas dan damai, perhalan mulai terusik oleh sikap usil Nathen."Eung." Feli menggaruk pelan ujung hidungnya yang terasa geli, membuat Nathen refleks menjauhkan jemari tangannya sambil tersenyum."Feli?" Nathen menyeru pel
Mengabaikan Feli yang menjerit kaget, Nathen terkekeh kecil. Menunduk, pribadi tampan itu menyingkab selimut yang membalut setengah kakinya, sebelum kemudian membangkitkan diri.Feli memperhatikan setiap gerik yang dilakukan suami tampannya itu dengan mata yang membulat, juga mulut dalam keadaan sedikit terbuka.Melihat Nathen mulai melangkah menjauhi tempat tidur, Feli bergegas, ikut membangkitkan diri, menyusul kepergian sang suami. "Paman mau ke mana? Tega sekali pergi meninggalkanku begitu saja setelah mencuri ciuman dariku," ocehnya sembari mengekori Nathen.Nathen melirik Feli melalui ekor matanya. Ia tersenyum miring, lebih ke menyeringai, tanpa menghentikan langkah, ataupun menimpali ocehan istri cantiknya itu."Paman kenapa diam? Paman tidak mau menjawabku? Paman ini sebenarnya maunya apa, sih? Sikap Paman sudah aneh sejak kemarin malam, Paman ta- Aduh!" Ocehan Feli kali ini berganti menjadi sebuah aduhan, tepat saat kepalanya terbentur d
Suara dentingan pelan yang berasal dari beradunya peralatan makan yang sedang digunakan, menjadi satu-satunya suara yang terdengar begitu mendominasi di ruang makan kediman Sebastian Jefferson Smith - kakak Felicia.Annatasia Addilyn Murphy - istri Bastian yang duduk di kursi yang letaknya bersebrangan dengan kursi yang Bastian duduki,, menengadahkan pandangan, menilik Bastian yang tengah memainkan sepiring makanan yang ada di hadapan.Membuang napas kasar, Anna menyimpan peralatan makan dari genggaman, memokuskan seluruh atensi yang dimiliki untuk sang suami. "Honey?" serunya, pelan sekali.Bastian bergeming, sama sekali tidak mendengar seruan Anna. Ia masih saja memainkan sendok untuk mengaduk-aduk makanan yang seharusnya sudah ia santap sedari tadi.Menatap lamat Bastian yang agaknya sudah terlalu larut dalam sekelumit pemikiran yang menghinggapi benak, Anna lantas berdehem.Bingkai birai wanita cantik berusia dua puluh enam tahun itu
"Paman!" Feli menjerit kaget saat tiba-tiba Nathen mengangkat tubuhnya menggunakan kedua lengan hanya dengan satu kali ayunan ringan.Refleks ia mengalungkan kedua tangan di tengkuk Nathen sembari menatap suami tampannya yang tengah menunjukan senyum seringai itu dengan mata yang membulat."Mari kita mandi," tukas Nathen sebelum kemudian memutar tubuh dan mulai mengayunkan tungkai untuk berjalan ke arah pintu kamar mandi.Feli sedikit meronta sambil buru-buru menggelengkan kepala. "Tidak, tidak. Aku mandi sendiri saja, Paman."Nathen menghentikan langkah. Menunduk, pribadi tampan itu mempertemukan pandangannya dengan Feli. Alis sebelah kirinya terangkat. "Kau yakin? Tidak mau aku mandikan saja?"Sungguh, melihat perubahan sikap Nathen yang cukup seginifikan pasca mencuatnya rencana pernikahan mereka, acap kali membuat Feli merasa amat gugup, bahkan mendekati takut, apabila mereka sedang berdekatan, apalagi berduaan seperti sekarang ini.