"Paman!" Feli menjerit kaget saat tiba-tiba Nathen mengangkat tubuhnya menggunakan kedua lengan hanya dengan satu kali ayunan ringan.
Refleks ia mengalungkan kedua tangan di tengkuk Nathen sembari menatap suami tampannya yang tengah menunjukan senyum seringai itu dengan mata yang membulat."Mari kita mandi," tukas Nathen sebelum kemudian memutar tubuh dan mulai mengayunkan tungkai untuk berjalan ke arah pintu kamar mandi.Feli sedikit meronta sambil buru-buru menggelengkan kepala. "Tidak, tidak. Aku mandi sendiri saja, Paman."Nathen menghentikan langkah. Menunduk, pribadi tampan itu mempertemukan pandangannya dengan Feli. Alis sebelah kirinya terangkat. "Kau yakin? Tidak mau aku mandikan saja?"Sungguh, melihat perubahan sikap Nathen yang cukup seginifikan pasca mencuatnya rencana pernikahan mereka, acap kali membuat Feli merasa amat gugup, bahkan mendekati takut, apabila mereka sedang berdekatan, apalagi berduaan seperti sekarang ini."Ibu?" Zeana terheran-heran, menatap sosok sang ibu yang berjalan begitu saja melewati dirinya yang berdiri di dekat ambang pintu, setelah membukakan pintu utama rumahnya.Pagi menjelang siang, tiba-tiba ada yang bertamu ke kediamannya dan sang suami. Akan tetapi, ia sama sekali tidak mengira jika Elena lah yang datang.Gegas kembali menutup pintu, Zea berjalan cepat, menyusul Elena yang berjalan ke arah di mana ruang tamu berada."Ibu kenapa tidak memberi kabar padaku lebih dulu, sebelum datang kemari?"Elena melirik Zea sebelum menghentikan langkah, lantas mendudukan diri di sofa tunggal yang tertata di ruang tamu yang didatanginya. "Apa Ibu harus memberi kabar dulu, hanya untuk berkunjung ke rumah putrinya sendiri?"Zea ikut mendudukan diri di sofa panjang yang terletak saling bersebelahan dengan sofa tunggal yang sang ibu duduki, tanpa mengalihkan sedikitpun pandangan dari beliau. "Tentu tidak. Tidak seperti itu maksudku, Bu. Aku hany
"Paman, berhenti tidak?!" Feli menjerit kesal sembari bergegas melepaskan diri dari cekalan Nathen.Tidak mau terus berdiri saling berhadapan dengan jarak yang bisa dikatakan kelewat dekat, Feli lantas berjalan begitu saja melewati suami tampannya itu.Feli berlari kecil menuju sofa yang tertata di ruang utama, kemudian mendudukan dirinya di salah satu sofa panjang yang ada di sana.Menoleh, Feli membiarkan manik matanya bersirobok dengan manik mata Nathen. "Sepertinya kita harus mengobrol dengan lebih serius, Paman."Nathen menaikan alis sebelah kirinya. "Mengobrol dengan lebih serius?"Feli mengangguk. "Iya."Bingkai birai Nathen merenggang dengan sendirinya, memetakan senyum simpul yang cukup sulit diartikan. "Baiklah."Pribadi tampan itu lantas berjalan menghampiri Feli dan ikut mendudukan diri di sofa yang sama, meski tidak terlalu berdekatan, sebab Feli sengaja sekali menjaga jarak darinya."Jadi ... apa t
"Feli?" Seruan pelan itu mengalun rendah, diiringi ketukan pelan pada permukaan daun pintu kamar utama dari unit apartemen milik Nathen yang sudah satu minggu ini Felicia kuasai seorang diri.Satu minggu pasca hari pernikahan, mau tidak mau Nathen terpaksa menuruti keinginan Feli untuk tidur di kamar yang terpisah, meski di unit apartemennya tersebut hanya memiliki satu kamar tidur.Dengan sangat berat hati, Nathen mengalah, memilih untuk tidur di ruang kerja miliknya yang bersebelahan dengan kamar tidur, hanya tersekat satu lorong kecil.Unit apartemen Nathen memanglah tidak besar, tapi tidak bisa dikatakan kecil juga. Memiliki dua lantai, dengan lantai pertama yang terdiri dari ruang utama, area dapur plus pantry, satu kamar mandi dan balkon, sedang lantai kedua hanya terdiri dari satu kamar tidur yang di dalamnya dilengkapi dengan kamar mandi serta ruang walk in closet, lalu satu ruang kerja yang digabungkan dengan ruang baca. Kamar tidur dan
Feli mengatupkan pelupuk matanya cukup rapat, dari detik pertama Nathen mendekatkan wajah ke arahnya.Debaran jantung wanita itu menggila, sedang napasnya sempat tercekat beberapa saat, terutama saat ia merasakan embusan napas hangat Nathen, menyapu permukaan kulit leher pualamnya.Hidupnya baru saja kembali tenang seperti sedia kala satu minggu terakhir ini, karena di luar dugaan, ternyata Nathen melakukan apa yang sudah mereka janjikan, yakni tidak bersikap aneh pada dirinya.Di sisi lain, Feli tidak tahu, jika ocehan berisi tuduhan secara tidak langsungnya tadi, tidak gagal memantik kekesalan pada diri Nathen.Betapa tidak, suami tampannya itu padahal sudah berusaha mati-matian untuk menuruti keinginannya selama satu minggu ini, yakni untuk tidak mengusik dirinya.Dengan sangat susah payah Nathen menahan diri, apalagi saat dirinya memasuki kamar untuk mengambil pakaian dan mendapati istri cantiknya itu masih tertidur pulas.Pa
"Ish, Paman mulai lagi." Feli merengek sembari menunduk dan menggeliatkan tubuh, juga memberi dorongan pada permukaan dada bidang Nathen, kembali mencoba berusaha melepaskan diri.Tentu, Nathen tetaplah Nathen. Tidak perduli Feli sudah menunjukan seberapa enggannya wanita cantik itu memberi apa yang ia pinta, ia tetap saja tidak mau melepaskan.Malah, pergerakan Feli yang merupakan bentuk dari sebuah rontaan dan penolakan itu, membuat Nathen mempererat lagi dekapan, alih-alih memberi pelepasan."Paman anehnya jadi kambuh lagi seperti ini, kenapa sih?" Feli bertanya sembari menatap tajam pada manik jelaga indah Nathen yang sedari tadi pandangannya tak sedetikpun teralihkan darinya.Wajah wanita cantik itu sudah merengut, menunjukan raut masam. Hatinya dongkol sekali, menghadapi sikap menyebalkan Nathen yang kembali kambuh, padahal satu minggu terakhir ini, suami tampannya itu baik sekali, mematuhi apa yang sudah dijanjikan.Nathen terkekeh kecil, meremehkan. Memiringkan kepala sekilas,
"Paman jangan macam-macam, ya? Nanti aku marah loh!" Felicia memberi ancaman sembari memasang air muka penuh keseriusan, padahal sebenarnya ia merasa gugup bukan main, apalagi saat melihat Nathen semakin mendekat.Alih-alih merasa takut, Nathen malah menganggap ancaman istri kecilnya itu kelewat lucu, hingga membuatnya tak kuasa untuk paling tidak menguarkan kekehan kecil sebagai respon pertama.Pribadi tampan itu menghentikan ayunan tungkai, berdiri saling berhadapan dengan Feli dengan jarak yang tidak begitu jauh, mungkin ada sekitas satu meter."Memangnya kau bisa marah, ya?" Sengaja sekali meledek, Nathen memiringkan kepalanya sekilas.Feli mengangguk cepat. "Tentu saja, aku bisa."Nathen membuang napas kasar. Menyedekapkan kedua lengan di dada, ia menunjukan postur berdiri layaknya pria yang memiliki sikap arogan. "Coba tunjukan. Aku ingin lihat, bagaimana anak kecil marah."Memutar bola mata malas, mendadak Feli tampak menunjukan sikap berani, terutama saat sudut bibir sebelah ki
Feli melongo, menatap Nathen dengan tatapan tak habir pikir. 'Dia mulai lagi,' batinnya."Mau atau tidak?""Tentu saja tidak mau. Apa masih perlu dipertanyakan?" Feli menjawab dengan nada sarkastik.Nathen mengangguk paham. "Tidak masalah." Ia tersenyum manis, setelahnya. "Kau tidak mau memberiku ciuman?"Feli menyedekapkan kedua lengannya di dada. "Ya, tentu saja. Memangnya Paman siapa, harus kuberi ciuman? Tidak tahu malu sekali, meminta ciuman dari anak kecil seperti aku ini."Mengatupkan bingkai birai cukup rapat, Nathen menundukan pandangannya sesaat. "Kau bilang, kau itu bukan anak kecil.""Kalau dengan menjadi anak kecil aku tidak harus memberi Paman ciuman, maka aku akan dengan sangat senang hati, menerima hal itu. Biar saja aku menjadi anak kecil selamanya. Dalam pandangan Paman, aku memang seperti itu, kan? Aku akan selalu menjadi anak kecil.""Tidak masalah." Nathen tersenyum tipis. "Karena aku lebih suka menc
Manik mata Feli yang tampak gemetar, mengedarkan pandangan, menatap satu persatu pasang mata milik tiga sahabatnya yang kini tengah menatapnya dengan tatapan tajam menyalang, penuh keseriusan.Duduk di salah satu kursi yang tertata mengitari meja di kafetaria kampus, alih-alih bisa menikmati waktu senggang di sela kesibukan di hari pertamanya kuliah pasca menikah, Feli malah mendapati dirinya terjebak dalam situasi ayalnya seseorang yang sedang diinterogasi."Kau tidak akan mulai bicara?" Helen bertanya dengan nada dingin, terdengar agak sarkatik.Feli terkekeh kikuk. "Apa yang harus aku bicarakan?""Aku dengar, kau sudah menikah ya? Apa itu benar?" Velyn - sahabat Feli yang kebetulan tidak bisa hadir bersama Helen dan Andrea di hari pernikahan Feli, ikut bertanya."Kami sudah menunggu selama satu minggu, Feli. Kau tidak lupa kan, jika kau memiliki hutang pada kami? Terutama padaku dan Helen?" Andrea ikut angkat suara kali ini.M