Feli melongo, menatap Nathen dengan tatapan tak habir pikir. 'Dia mulai lagi,' batinnya.
"Mau atau tidak?""Tentu saja tidak mau. Apa masih perlu dipertanyakan?" Feli menjawab dengan nada sarkastik.Nathen mengangguk paham. "Tidak masalah." Ia tersenyum manis, setelahnya. "Kau tidak mau memberiku ciuman?"Feli menyedekapkan kedua lengannya di dada. "Ya, tentu saja. Memangnya Paman siapa, harus kuberi ciuman? Tidak tahu malu sekali, meminta ciuman dari anak kecil seperti aku ini."Mengatupkan bingkai birai cukup rapat, Nathen menundukan pandangannya sesaat. "Kau bilang, kau itu bukan anak kecil.""Kalau dengan menjadi anak kecil aku tidak harus memberi Paman ciuman, maka aku akan dengan sangat senang hati, menerima hal itu. Biar saja aku menjadi anak kecil selamanya. Dalam pandangan Paman, aku memang seperti itu, kan? Aku akan selalu menjadi anak kecil.""Tidak masalah." Nathen tersenyum tipis. "Karena aku lebih suka mencManik mata Feli yang tampak gemetar, mengedarkan pandangan, menatap satu persatu pasang mata milik tiga sahabatnya yang kini tengah menatapnya dengan tatapan tajam menyalang, penuh keseriusan.Duduk di salah satu kursi yang tertata mengitari meja di kafetaria kampus, alih-alih bisa menikmati waktu senggang di sela kesibukan di hari pertamanya kuliah pasca menikah, Feli malah mendapati dirinya terjebak dalam situasi ayalnya seseorang yang sedang diinterogasi."Kau tidak akan mulai bicara?" Helen bertanya dengan nada dingin, terdengar agak sarkatik.Feli terkekeh kikuk. "Apa yang harus aku bicarakan?""Aku dengar, kau sudah menikah ya? Apa itu benar?" Velyn - sahabat Feli yang kebetulan tidak bisa hadir bersama Helen dan Andrea di hari pernikahan Feli, ikut bertanya."Kami sudah menunggu selama satu minggu, Feli. Kau tidak lupa kan, jika kau memiliki hutang pada kami? Terutama padaku dan Helen?" Andrea ikut angkat suara kali ini.M
Disuguhkan fakta, hati Davian mencelos membersamai sikap arogan yang ditunjukannya perlahan mulai meluluh.Membuang napas kasar, Davian menggigit agak kuat bibir bawahnya sembari menundukan pandangan, memutuskan kontak mata yang masih berlangsung antara dirinya dan Nathen, meski hanya sesaat."Hei, sudahlah. Kalian jangan beradu argumen dan merusak suasana seperti ini." Hayden mencoba menengahi.Davian melirik Hayden, lantas tersenyum hambar saat kembali membiarkan manik matanya beradu tatap dengan mata Nathen. "Apa Feli baik-baik saja?""Dia baik-baik saja. Sangat baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir," ucap Nathen."Aku serius, Nathen." Davian membuang napas kasar. "Kapan kira-kira aku bisa bertemu dengan Feli?""Entah." Membenarkan posisi duduk, Nathen meletakan satu tangannya di permukaan meja, membiarkan manik matanya menatap telapak tangannya yang sengaja ia mainkan tersebut, kemudian membuang napas kasar. "Tunggu sampai
"Feli?"Seruan dengan suara rendah dan parau itu berhasil mengait atensi Feli yang sedang berdiri di samping tempat tidur dekat nakas - tengah memeriksa ponsel yang beberapa menit lalu berdering, karena mendapat notifikasi panggilan masuk dari Andrea.Sahabat Feli yang satu itu bertanya, apakah hari ini Feli akan datang ke kampus seperti kemarin atau tidak, karena ia dan dua sahabat Feli yang lain, masih sangat menantikan penjelasan yang lagi-lagi tertunda dari Feli."Iya, Paman. Sebentar." Feli menjawab seruan Nathen sembari meletakan ponsel yang saat itu masih ia genggam kembali ke atas nakas, sebelum kemudian bergegas menghampiri pintu kamar yang kali ini sengaja ia kunci dan hanya bisa dibuka dari arah dalam.Feli baru selesai membersihkan diri, belum sempat mengenakan pakaian. Tubuh moleknya saat ini hanya terbalut bathrobe berwarna putih saja, sebab saat ponselnya berdering tadi, Feli baru sedang memilih pakaian yang hendak ia kenakan untuk
"Habis dari mana?"Kemunculan kembali Feli di ruang walk in closet disambut oleh Nathen yang langsung melemparkan pertanyaan, begitu ia melihat sang istri masuk.Feli menutup pintu dari ruang walk in closet tersebut, menoleh ke arah Nathen yang tengah berdiri di dekat nakas yang berada di tengah-tengah ruangan tersebut, lantas tersenyum simpul. "Habis mengambil makanan yang aku pesan."Wanita cantik itu melenggang melewati Nathen yang sedang memasang jam tangan, berjalan menuju meja rias. "Aku memesankan sup pereda mabuk untuk Paman. Paman bisa sarapan duluan jika sudah selesai bersiapnya. Tidak perlu menungguku.""Kau tahu dari mana jika aku mabuk?"Langkah Feli stagnan, tepat satu meter saja jauhnya dari tempat di mana saat ini Nathen tengah berdiri. Menelan ludah kasar dengan sedikit kepayahan, ia menggigit gugup bibir bawahnya sebelum kemudian agak memutar tubuh, memposisikan diri untuk berdiri menghadap ke arah Nathen secara utuh.
Feli terhenyak. Seketika memejamkan pelupuk matanya rapat-rapat saat penuturan Nathen itu mengudara.Sentuhan-sentuhan kelewat lembut dan pelan itu masih berlabuh di permukaan ceruk lehernya. Lebih tepatnya, di mana letak bercak merah kepemilikan yang Nathen maksudkan itu berada.Padahal bercak merah tersebut sebelumnya juga sudah ada. Tapi mungkin karena kesadaran Nathen sebelumnya masih belum terkumpul secara penuh, ia jadi tidak sempat menyadarinya.Setelah bisa melihatnya dengan begitu jelas, Nathen jadi marah. Hatinya terbakar rasa cemburu, sebab di benaknya, ia memiliki fantasi liar, membayangkan jika kemarin, Feli habis bermesraan dengan laki-laki lain di belakangnya.Hal tersebutlah yang menyebabkan ekpresi juga sikaf Nathen jadi berubah, meski hanya dalam waktu hitungan detik saja."Paman, jangan seperti ini. Bi-biarkan aku memberi pe-penjelasan terlebih dahulu.""Penjelasan?" Nathen terkekeh meremehkan. Ia menatap wajah
Ya, apa yang dikatakan Feli itu memang benar adanya. Bercak merah tanda kepemilikan yang ada di tubuhnya memanglah ditinggalkan oleh Nathen semalam, saat suami tampannya itu kembali ke apartemen dalam keadaan mabuk berat.Selepas Nathen mengatakan, "aku haus akan kasih sayang darimu, Istriku." Nathen tidak memberi waktu bagi Feli untuk merespon, padahal saat itu hampir saja Feli menguarkan gelak tawa, sebab perkataan Nathen tersebut, terdengar begitu menggelikan di telinga.Lucu sekaligus menggelitik saja, mendapati Nathen yang hampir tidak pernah menunjukan sisi manja, semalam justru mengadu dengan nada merengek, seperti anak kecil.Akan tetapi, sejurus kemudian, Feli sukses dibuat terkejut bukan main oleh suami tampannya itu. Pasalnya ... Nathen tiba-tiba saja menengkup tengkuknya, memberi tekanan berarti di sana, membuat Feli kesusahan sekali menahan kepalanya agak tidak berhasil dibawa mendekat oleh sang suami.Kendati begitu, pastinya Feli ga
"Maaf, ya."Nathen bersimpuh di hadapan Feli yang duduk di kursi yang sengaja diatur menghadap ke arahhnya - memunggungi meja rias.Ruang walk in closet yang kini ditempati pasangan suami istri baru itu didominasi oleh suara tangisan Feli, sesekali diselingi isakan juga senggukan dalam yang terdengar cukup menyesakan.Air mata Feli masih saja terus berderai, mengalir membentuk aliran anak sungai yang membasahi kedua sisi pipinya."Paman jahat!" Feli memberi penghardikan dengan suaranya yang terdengar gemetar dan mulai parau.Di pangkuannya sudah siap sedia satu kotak tissue berukuran sedang yang isinya sebagian sudah Feli hamburkan untuk menyeka ingus yang tidak mau diam."Iya aku tahu. Aku memang jahat." Lemah lembut sekali Nathen berucap, selagi membiarkan manik mata jelaganya menatap sendu sosok Feli.Air muka dan sorot mata Nathen jelas menunjukan betapa merasa bersalahnya ia terhadap istri kecilnya itu.Mel
"Feli, ada apa dengan matamu? Kau baik-baik saja?" cerca Andrea begitu melihat Feli mendudukan diri di kursi kosong yang sengaja ia siapkan dalam kelas pertama mereka.Feli melirik Andrea. Tersenyum simpul, lalu mulai menata barang-barang yang mungkin akan ia butuhkan untuk menyimak mata kuliahnya."Kau habis menangis, ya?" tanya Andrea lagi. Tak henti-hentinya ia menilik Feli, menatap sahabatnya itu dengan tatapan penuh selidik.Membuang napas kasar sembari memejamkan pelupuk mata yang memang sembab, kedua telapak tangan Feli yang berada di tepian meja mengepal cukup kuat, sebab ia serang berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi menderaikan air mata di sana.Feli mengulum pelan bibir bawahnya sebelum agak memutar tubuh, guna memposisikan diri untuk duduk menghadap ke arah Andrea secara utuh. "Kapan kelas kita ini akan dimulai?"Sengaja sekali Feli mengalihkan topik pembicaraan, bukannya memberi jawaban pada pertanyaan yang sudah Andrea paparkan, ia malah balik bertanya.Andrea menged