"Feli?"
Seruan dengan suara rendah dan parau itu berhasil mengait atensi Feli yang sedang berdiri di samping tempat tidur dekat nakas - tengah memeriksa ponsel yang beberapa menit lalu berdering, karena mendapat notifikasi panggilan masuk dari Andrea.Sahabat Feli yang satu itu bertanya, apakah hari ini Feli akan datang ke kampus seperti kemarin atau tidak, karena ia dan dua sahabat Feli yang lain, masih sangat menantikan penjelasan yang lagi-lagi tertunda dari Feli."Iya, Paman. Sebentar." Feli menjawab seruan Nathen sembari meletakan ponsel yang saat itu masih ia genggam kembali ke atas nakas, sebelum kemudian bergegas menghampiri pintu kamar yang kali ini sengaja ia kunci dan hanya bisa dibuka dari arah dalam.Feli baru selesai membersihkan diri, belum sempat mengenakan pakaian. Tubuh moleknya saat ini hanya terbalut bathrobe berwarna putih saja, sebab saat ponselnya berdering tadi, Feli baru sedang memilih pakaian yang hendak ia kenakan untuk"Habis dari mana?"Kemunculan kembali Feli di ruang walk in closet disambut oleh Nathen yang langsung melemparkan pertanyaan, begitu ia melihat sang istri masuk.Feli menutup pintu dari ruang walk in closet tersebut, menoleh ke arah Nathen yang tengah berdiri di dekat nakas yang berada di tengah-tengah ruangan tersebut, lantas tersenyum simpul. "Habis mengambil makanan yang aku pesan."Wanita cantik itu melenggang melewati Nathen yang sedang memasang jam tangan, berjalan menuju meja rias. "Aku memesankan sup pereda mabuk untuk Paman. Paman bisa sarapan duluan jika sudah selesai bersiapnya. Tidak perlu menungguku.""Kau tahu dari mana jika aku mabuk?"Langkah Feli stagnan, tepat satu meter saja jauhnya dari tempat di mana saat ini Nathen tengah berdiri. Menelan ludah kasar dengan sedikit kepayahan, ia menggigit gugup bibir bawahnya sebelum kemudian agak memutar tubuh, memposisikan diri untuk berdiri menghadap ke arah Nathen secara utuh.
Feli terhenyak. Seketika memejamkan pelupuk matanya rapat-rapat saat penuturan Nathen itu mengudara.Sentuhan-sentuhan kelewat lembut dan pelan itu masih berlabuh di permukaan ceruk lehernya. Lebih tepatnya, di mana letak bercak merah kepemilikan yang Nathen maksudkan itu berada.Padahal bercak merah tersebut sebelumnya juga sudah ada. Tapi mungkin karena kesadaran Nathen sebelumnya masih belum terkumpul secara penuh, ia jadi tidak sempat menyadarinya.Setelah bisa melihatnya dengan begitu jelas, Nathen jadi marah. Hatinya terbakar rasa cemburu, sebab di benaknya, ia memiliki fantasi liar, membayangkan jika kemarin, Feli habis bermesraan dengan laki-laki lain di belakangnya.Hal tersebutlah yang menyebabkan ekpresi juga sikaf Nathen jadi berubah, meski hanya dalam waktu hitungan detik saja."Paman, jangan seperti ini. Bi-biarkan aku memberi pe-penjelasan terlebih dahulu.""Penjelasan?" Nathen terkekeh meremehkan. Ia menatap wajah
Ya, apa yang dikatakan Feli itu memang benar adanya. Bercak merah tanda kepemilikan yang ada di tubuhnya memanglah ditinggalkan oleh Nathen semalam, saat suami tampannya itu kembali ke apartemen dalam keadaan mabuk berat.Selepas Nathen mengatakan, "aku haus akan kasih sayang darimu, Istriku." Nathen tidak memberi waktu bagi Feli untuk merespon, padahal saat itu hampir saja Feli menguarkan gelak tawa, sebab perkataan Nathen tersebut, terdengar begitu menggelikan di telinga.Lucu sekaligus menggelitik saja, mendapati Nathen yang hampir tidak pernah menunjukan sisi manja, semalam justru mengadu dengan nada merengek, seperti anak kecil.Akan tetapi, sejurus kemudian, Feli sukses dibuat terkejut bukan main oleh suami tampannya itu. Pasalnya ... Nathen tiba-tiba saja menengkup tengkuknya, memberi tekanan berarti di sana, membuat Feli kesusahan sekali menahan kepalanya agak tidak berhasil dibawa mendekat oleh sang suami.Kendati begitu, pastinya Feli ga
"Maaf, ya."Nathen bersimpuh di hadapan Feli yang duduk di kursi yang sengaja diatur menghadap ke arahhnya - memunggungi meja rias.Ruang walk in closet yang kini ditempati pasangan suami istri baru itu didominasi oleh suara tangisan Feli, sesekali diselingi isakan juga senggukan dalam yang terdengar cukup menyesakan.Air mata Feli masih saja terus berderai, mengalir membentuk aliran anak sungai yang membasahi kedua sisi pipinya."Paman jahat!" Feli memberi penghardikan dengan suaranya yang terdengar gemetar dan mulai parau.Di pangkuannya sudah siap sedia satu kotak tissue berukuran sedang yang isinya sebagian sudah Feli hamburkan untuk menyeka ingus yang tidak mau diam."Iya aku tahu. Aku memang jahat." Lemah lembut sekali Nathen berucap, selagi membiarkan manik mata jelaganya menatap sendu sosok Feli.Air muka dan sorot mata Nathen jelas menunjukan betapa merasa bersalahnya ia terhadap istri kecilnya itu.Mel
"Feli, ada apa dengan matamu? Kau baik-baik saja?" cerca Andrea begitu melihat Feli mendudukan diri di kursi kosong yang sengaja ia siapkan dalam kelas pertama mereka.Feli melirik Andrea. Tersenyum simpul, lalu mulai menata barang-barang yang mungkin akan ia butuhkan untuk menyimak mata kuliahnya."Kau habis menangis, ya?" tanya Andrea lagi. Tak henti-hentinya ia menilik Feli, menatap sahabatnya itu dengan tatapan penuh selidik.Membuang napas kasar sembari memejamkan pelupuk mata yang memang sembab, kedua telapak tangan Feli yang berada di tepian meja mengepal cukup kuat, sebab ia serang berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi menderaikan air mata di sana.Feli mengulum pelan bibir bawahnya sebelum agak memutar tubuh, guna memposisikan diri untuk duduk menghadap ke arah Andrea secara utuh. "Kapan kelas kita ini akan dimulai?"Sengaja sekali Feli mengalihkan topik pembicaraan, bukannya memberi jawaban pada pertanyaan yang sudah Andrea paparkan, ia malah balik bertanya.Andrea menged
Diam sejenak, Feli tidak langsung menimpali penuturan Andrea. Ia termenung, tanpa mengalihkan sedikitpun pandangan.Sejurus kemudian, wanita cantik itu berdehem sembari mengerjap. "Entah. Mungkin bisa saja dia marah." Feli membuang napas kasar. "Sudahlah, jangan membahas soal pamanku. Aku sedang marah padanya. Mendengar namanya saja, aku kesal."Andrea menatap Feli, nanar. "Apa gara-gara ini, matamu sembab? Kau habis menangis, karena sedang bertengkar dengan paman Nathen ya?"Feli mengindikan bahunya, acuh. "Ya, bisa dibilang begitu.""Kenapa kalian bisa bertengkar?""Dia menuduhku sudah bermesraan dengan pria lain." Feli mendengkus. "Sudahlah, Andrea. Ini masalah pribadiku dengan pamanku. Selain karena aku kesal jika membahasnya, aku juga merasa, tidak seharusnya aku membicarakan masalah rumah tanggaku dengan orang lain.""Wah!" Andrea menyedekapkan kedua lengannya di dada. Mata gadis itu memicing, menatap Feli, kecewa. "Orang lain, katamu? Jadi kau menganggapku orang asing? Sampai-s
Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bingkai birai Feli yang berjarak begitu wanita cantik itu menjatuhkan diri ke permukaan tempat tidur queen size milik Andrea.Andrea, Velyn, Feli dan Helen baru saja tiba di rumah Andrea sehabis pulang dari kampus tempat mereka sama-sama berkuliah.Tidak memiliki niatan sedikitpun untuk pulang, mengingat ia masih merajuk terhadap sikap Nathen pagi tadi, Feli memilih untuk ikut bersama Andrea saja.Toh, sekitar dua jam lagi, Feli juga harus pergi ke luar bersama Andrea untuk mengerjakan tugas dari Dosen mereka. Jadi ... anggap saja ia sedang lebih menghemat waktu."Jadi ... kau akan menceritakan semuanya sekarang?" Helen yang duduk di kursi yang terletak di dekat meja belajar bertanya sembari menyandarkan tubuh ke sandaran kursi tersebut.Kedua lengannya menyilang, sedang manik matanya agak menyalang, terfokuskan ke arah Feli.Feli menoleh ke arah Helen. Keningnya mengernyit samar.
"Kalian menungguku?" Helen bertanya dengan santainya sembari menatap Feli, Andrea dan Felin yang berdiri di dekat mobil milik Andrea.Helen menjadi orang terakhir yang ke luar dari kediaman Andrea, karena tadi ponselnya sempat tertinggal di kamar tidur sahabat cantiknya itu."Kenapa tidak bilang, kalau kau ingin ditinggalkan?" sarkas Feli sembari menyedekapkan lengan di dada.Mata Feli mendelik, menatap Helen setengah dongkol.Helen terkrkeh. "Lucu sekali."Feli membuang napas kasar. "Kalau begitu, aku dan Andrea akan pergi sekarang. Tolong kau antarkan Velyn pulang, ya?""Hemmm. Aku pasti melakukannya. Tidak perlu mengingatkanku secara berulang seperti itu," cicit Helen."Karena kau seringnya tidak mengantarkan Velyn langsung pulang. Kalau mau tersesat di dunia malam, tersesat sendiri saja. Jangan menyeret orang lain untuk tersesat bersama." Feli bertutur sembari menatap Helen dengan tatapan yang terkesan mencibir.