Disuguhkan fakta, hati Davian mencelos membersamai sikap arogan yang ditunjukannya perlahan mulai meluluh.
Membuang napas kasar, Davian menggigit agak kuat bibir bawahnya sembari menundukan pandangan, memutuskan kontak mata yang masih berlangsung antara dirinya dan Nathen, meski hanya sesaat."Hei, sudahlah. Kalian jangan beradu argumen dan merusak suasana seperti ini." Hayden mencoba menengahi.Davian melirik Hayden, lantas tersenyum hambar saat kembali membiarkan manik matanya beradu tatap dengan mata Nathen. "Apa Feli baik-baik saja?""Dia baik-baik saja. Sangat baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir," ucap Nathen."Aku serius, Nathen." Davian membuang napas kasar. "Kapan kira-kira aku bisa bertemu dengan Feli?""Entah." Membenarkan posisi duduk, Nathen meletakan satu tangannya di permukaan meja, membiarkan manik matanya menatap telapak tangannya yang sengaja ia mainkan tersebut, kemudian membuang napas kasar. "Tunggu sampai"Feli?"Seruan dengan suara rendah dan parau itu berhasil mengait atensi Feli yang sedang berdiri di samping tempat tidur dekat nakas - tengah memeriksa ponsel yang beberapa menit lalu berdering, karena mendapat notifikasi panggilan masuk dari Andrea.Sahabat Feli yang satu itu bertanya, apakah hari ini Feli akan datang ke kampus seperti kemarin atau tidak, karena ia dan dua sahabat Feli yang lain, masih sangat menantikan penjelasan yang lagi-lagi tertunda dari Feli."Iya, Paman. Sebentar." Feli menjawab seruan Nathen sembari meletakan ponsel yang saat itu masih ia genggam kembali ke atas nakas, sebelum kemudian bergegas menghampiri pintu kamar yang kali ini sengaja ia kunci dan hanya bisa dibuka dari arah dalam.Feli baru selesai membersihkan diri, belum sempat mengenakan pakaian. Tubuh moleknya saat ini hanya terbalut bathrobe berwarna putih saja, sebab saat ponselnya berdering tadi, Feli baru sedang memilih pakaian yang hendak ia kenakan untuk
"Habis dari mana?"Kemunculan kembali Feli di ruang walk in closet disambut oleh Nathen yang langsung melemparkan pertanyaan, begitu ia melihat sang istri masuk.Feli menutup pintu dari ruang walk in closet tersebut, menoleh ke arah Nathen yang tengah berdiri di dekat nakas yang berada di tengah-tengah ruangan tersebut, lantas tersenyum simpul. "Habis mengambil makanan yang aku pesan."Wanita cantik itu melenggang melewati Nathen yang sedang memasang jam tangan, berjalan menuju meja rias. "Aku memesankan sup pereda mabuk untuk Paman. Paman bisa sarapan duluan jika sudah selesai bersiapnya. Tidak perlu menungguku.""Kau tahu dari mana jika aku mabuk?"Langkah Feli stagnan, tepat satu meter saja jauhnya dari tempat di mana saat ini Nathen tengah berdiri. Menelan ludah kasar dengan sedikit kepayahan, ia menggigit gugup bibir bawahnya sebelum kemudian agak memutar tubuh, memposisikan diri untuk berdiri menghadap ke arah Nathen secara utuh.
Feli terhenyak. Seketika memejamkan pelupuk matanya rapat-rapat saat penuturan Nathen itu mengudara.Sentuhan-sentuhan kelewat lembut dan pelan itu masih berlabuh di permukaan ceruk lehernya. Lebih tepatnya, di mana letak bercak merah kepemilikan yang Nathen maksudkan itu berada.Padahal bercak merah tersebut sebelumnya juga sudah ada. Tapi mungkin karena kesadaran Nathen sebelumnya masih belum terkumpul secara penuh, ia jadi tidak sempat menyadarinya.Setelah bisa melihatnya dengan begitu jelas, Nathen jadi marah. Hatinya terbakar rasa cemburu, sebab di benaknya, ia memiliki fantasi liar, membayangkan jika kemarin, Feli habis bermesraan dengan laki-laki lain di belakangnya.Hal tersebutlah yang menyebabkan ekpresi juga sikaf Nathen jadi berubah, meski hanya dalam waktu hitungan detik saja."Paman, jangan seperti ini. Bi-biarkan aku memberi pe-penjelasan terlebih dahulu.""Penjelasan?" Nathen terkekeh meremehkan. Ia menatap wajah
Ya, apa yang dikatakan Feli itu memang benar adanya. Bercak merah tanda kepemilikan yang ada di tubuhnya memanglah ditinggalkan oleh Nathen semalam, saat suami tampannya itu kembali ke apartemen dalam keadaan mabuk berat.Selepas Nathen mengatakan, "aku haus akan kasih sayang darimu, Istriku." Nathen tidak memberi waktu bagi Feli untuk merespon, padahal saat itu hampir saja Feli menguarkan gelak tawa, sebab perkataan Nathen tersebut, terdengar begitu menggelikan di telinga.Lucu sekaligus menggelitik saja, mendapati Nathen yang hampir tidak pernah menunjukan sisi manja, semalam justru mengadu dengan nada merengek, seperti anak kecil.Akan tetapi, sejurus kemudian, Feli sukses dibuat terkejut bukan main oleh suami tampannya itu. Pasalnya ... Nathen tiba-tiba saja menengkup tengkuknya, memberi tekanan berarti di sana, membuat Feli kesusahan sekali menahan kepalanya agak tidak berhasil dibawa mendekat oleh sang suami.Kendati begitu, pastinya Feli ga
"Maaf, ya."Nathen bersimpuh di hadapan Feli yang duduk di kursi yang sengaja diatur menghadap ke arahhnya - memunggungi meja rias.Ruang walk in closet yang kini ditempati pasangan suami istri baru itu didominasi oleh suara tangisan Feli, sesekali diselingi isakan juga senggukan dalam yang terdengar cukup menyesakan.Air mata Feli masih saja terus berderai, mengalir membentuk aliran anak sungai yang membasahi kedua sisi pipinya."Paman jahat!" Feli memberi penghardikan dengan suaranya yang terdengar gemetar dan mulai parau.Di pangkuannya sudah siap sedia satu kotak tissue berukuran sedang yang isinya sebagian sudah Feli hamburkan untuk menyeka ingus yang tidak mau diam."Iya aku tahu. Aku memang jahat." Lemah lembut sekali Nathen berucap, selagi membiarkan manik mata jelaganya menatap sendu sosok Feli.Air muka dan sorot mata Nathen jelas menunjukan betapa merasa bersalahnya ia terhadap istri kecilnya itu.Mel
"Feli, ada apa dengan matamu? Kau baik-baik saja?" cerca Andrea begitu melihat Feli mendudukan diri di kursi kosong yang sengaja ia siapkan dalam kelas pertama mereka.Feli melirik Andrea. Tersenyum simpul, lalu mulai menata barang-barang yang mungkin akan ia butuhkan untuk menyimak mata kuliahnya."Kau habis menangis, ya?" tanya Andrea lagi. Tak henti-hentinya ia menilik Feli, menatap sahabatnya itu dengan tatapan penuh selidik.Membuang napas kasar sembari memejamkan pelupuk mata yang memang sembab, kedua telapak tangan Feli yang berada di tepian meja mengepal cukup kuat, sebab ia serang berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi menderaikan air mata di sana.Feli mengulum pelan bibir bawahnya sebelum agak memutar tubuh, guna memposisikan diri untuk duduk menghadap ke arah Andrea secara utuh. "Kapan kelas kita ini akan dimulai?"Sengaja sekali Feli mengalihkan topik pembicaraan, bukannya memberi jawaban pada pertanyaan yang sudah Andrea paparkan, ia malah balik bertanya.Andrea menged
Diam sejenak, Feli tidak langsung menimpali penuturan Andrea. Ia termenung, tanpa mengalihkan sedikitpun pandangan.Sejurus kemudian, wanita cantik itu berdehem sembari mengerjap. "Entah. Mungkin bisa saja dia marah." Feli membuang napas kasar. "Sudahlah, jangan membahas soal pamanku. Aku sedang marah padanya. Mendengar namanya saja, aku kesal."Andrea menatap Feli, nanar. "Apa gara-gara ini, matamu sembab? Kau habis menangis, karena sedang bertengkar dengan paman Nathen ya?"Feli mengindikan bahunya, acuh. "Ya, bisa dibilang begitu.""Kenapa kalian bisa bertengkar?""Dia menuduhku sudah bermesraan dengan pria lain." Feli mendengkus. "Sudahlah, Andrea. Ini masalah pribadiku dengan pamanku. Selain karena aku kesal jika membahasnya, aku juga merasa, tidak seharusnya aku membicarakan masalah rumah tanggaku dengan orang lain.""Wah!" Andrea menyedekapkan kedua lengannya di dada. Mata gadis itu memicing, menatap Feli, kecewa. "Orang lain, katamu? Jadi kau menganggapku orang asing? Sampai-s
Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bingkai birai Feli yang berjarak begitu wanita cantik itu menjatuhkan diri ke permukaan tempat tidur queen size milik Andrea.Andrea, Velyn, Feli dan Helen baru saja tiba di rumah Andrea sehabis pulang dari kampus tempat mereka sama-sama berkuliah.Tidak memiliki niatan sedikitpun untuk pulang, mengingat ia masih merajuk terhadap sikap Nathen pagi tadi, Feli memilih untuk ikut bersama Andrea saja.Toh, sekitar dua jam lagi, Feli juga harus pergi ke luar bersama Andrea untuk mengerjakan tugas dari Dosen mereka. Jadi ... anggap saja ia sedang lebih menghemat waktu."Jadi ... kau akan menceritakan semuanya sekarang?" Helen yang duduk di kursi yang terletak di dekat meja belajar bertanya sembari menyandarkan tubuh ke sandaran kursi tersebut.Kedua lengannya menyilang, sedang manik matanya agak menyalang, terfokuskan ke arah Feli.Feli menoleh ke arah Helen. Keningnya mengernyit samar.
"Feli?" Nathen menyeru seraya melangkah, mendekati Feli yang masih duduk, menikmati film yang diputar pada layar kaca di hadapannya."Siapa yang datang, Paman?" Feli menengadah, menatap nanar sosok sang suami yang berdiri tepat di samping sofa yang ia duduki.Nathen tersenyum. "Ikut denganku. Ada yang ingin bertemu denganmu. Mereka sudah menunggu di ruang tamu."Pribadi tampan itu mengulurkan tangan ke arah Feli, membuat Feli menunduk, menatap tangan sang suami, bingung."Siapa?" tanyanya Feli, sembari menengadah, mempertemukan lagi pandangannya dengan Nathen.Nathen mendesis pelan, membungkukan tubuh, mencondongkannya ke arah Feli, sebab istri cantiknya itu tak kunjung menerima uluran tangannya. Ia menepikan remot kontrol yang kala itu berada dalam genggaman Feli, meraih telapak tangan istri cantiknya, membuatnya membangkitkan diri."Lihat saja sendiri," tukas Nathen sambil tersenyum hangat, menuntun Feli menuju ruang tamu.Dengan rasa penasaran pun bingung yang mulai mendera relung,
Akhir pekan lain ... satu minggu setelah akhirnya Feli dan Nathen saling mengakui perasaan yang telah bersemayam dalam hati mereka, yakni mencintai satu sama lain.Seperti akhir pekan sebelumnya ... hari ini, Feli dan Nathen kembali memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Tidak pergi ke mana-mana, hanya diam di rumah, menonton rendetan film yang sudah Feli list menjadi jadwal kegiatan wajib, ketika memiliki cukup banyak waktu luang.Sepasang suami istri yang tengah hangat-hangatnya menikmati kehidpan berumah tangga itu, kini saling duduk berdampingan. Lebih tepatnya, Feli berada dalam dekapan hangat tubuh gagah Nathen di bawah naungan selimut yang sama. Semenjak malam setelah perayaan hari ulang tahun Feli, Nathen memang jadi semakin lebih sering menunjukan sikap manjanya yang suka sekali menempel pada sang istri. Suka sekali berdekatan dengan Feli, seperti sering tiba-tiba memeluk, tak jarang membuat Feli terkejut. Meski dari sebelumnya ia memang sudah begitu, tapi kini frekuen
"Paman?" Feli menyeru pelan setelah dirinya yang saat ini tengah duduk di salah satu kursi yang tertata mengitari meja makan, sedikit memutar tubuh, begitu mendengar suara derap langkah dan manik matanya berhasil menangkap sosok Nathen, si pelaku."Hemmm?" Nathen menyahut sambil tersenyum sumbringah, berjalan menghampiri sang istri dan menatapnya dengan tatapah penuh cinta."Paman habis melakukan apa dulu? Kenapa lama sekali turunnya?"Nathen menghentikan langkah, tepat di samping kursi yang Feli duduki. Mengusap kelewat lembut punggung bagian atas Feli lantas membungkukan tubuh, untuk melabuhi puncak kepala sang istri kecupan sayang. Melempar senyum manis, pribadi tampan berusia sepertiga abad itu tidak langsung memberi jawaban pada Feli, meski sempat membiarkan manik mata mereka saling bersitatap, sebelum kemudian menoleh.Nathen menilik area dapur, mendapati di sana hanya ada Aira ‐ salah satu asisten rumah tangga yang ia perkajaan, sedang sibuk sendiri, membersihkan meja pantry.
Dada Nathen ikut sesak rasanya selepas mendengar perkataan Feli, seakan ada kepalan tangan besar seseorang yang seketika mendaratkan bogeman mentah di sana.Mendapati Feli seketika menundukan pandangan, sengaja sekali memutuskan kontak mata dengan dirinya, buru-buru Nathen merubah posisi berbaring jadi memiring, menghadap ke arah Feli secara utuh, sebelum kemudian mempererat rengkuhan pada tubuh istri kecilnya itu.Tak lupa, Nathen juga melabuhkan kecupan sayang di puncak kepala Feli, pun memberi punggung istri kecilnya itu usapan lembut penuh makna secara berkala.Sementara Feli ... wanita cantik itu berusaha meredam mati-matian rasa sesaknya, tetapi berakhir dengan menghadirkan air mata yang menggenang, memenuhi pelupuknya.Membenamkan wajah di permukaan dada bidang Nathen sembari balas memeluk suami tampannya itu, ia memejam, membuat air matanya seketika tumpah ruah di sana.Tangis sedih Feli pecah dalam keheningan, mengakibatkan tubuhnya gemetaran dalam pelukan sang suami."Apa pu
Manik mata hitam Liam tampak gemetar, menilik sosok gadis cantik yang sedang berjalan menujunya yang saat ini tengah duduk di salah satu sofa panjang yang tertata di ruang utama dari unit apartemennya.Gadis cantik itu bernama Kesha. Ia merupakan sahabat masa kecil Liam yang dalam beberapa waktu terakhir ini sudah resmi menjadi kekasih dari teman satu universitas Feli itu.Kesha melempar senyum manis, manakala pandangannya bersitatap dengan Liam. "Ada apa?" tanyanya seraya ikut mendudukan diri, tepat di samping sang kekasih, "kenapa menatapku seperti itu?"Liam berdesis pelan sembari memiringkan kepalanya, sekilas. "Kau mengenal Felicia?"Permukaan kening Kesha mengernyit, hingga nyaris membuat kedua alisnya yang bersebrangan, jadi saling bertautan. Matanya memicing, menatap Liam, nanar.Tawa kecil menguar dari mulut gadis cantik berusia dua puluh dua tahun itu. "Maksudmu, Felicia yang tadi kita hadiri acara pesta ulang tahunnya?"Kepala Liam mengangguk. "Hemmm. Felicia yang itu. Tadi
"Paman benar-banar mau mengerjaiku, ya?" celoteh Feli, bertanya dengan nada setengah merengek, ketika ia harus berjalan dengan perasaan takut juga was-was, sebab matanya ditutup menggunakan kain veil oleh Nathen.Sudah dari semenjak separuh perjalanan sebenarnya Feli terus merengek, menanyakan hal yang sama pada Nathen, ke mana suaminya itu akan membawanya, apakah sedang merencanakan sesuatu untuk mengerjainya.Pertanyaan yang sama terus saja menguar dari mulut Feli, apa lagi setelah tiba-tiba Nathen sempat menghentikan laju mobil, hanya untuk sekadar menutupi matanya, tadi.Meski setengah ogah-ogahan, juga harus sedikit kesusahan Nathen membujuk Feli agar mau matanya ditutup, pada akhirnya ... istri kecilnya itu manut saja, dengan konsekuensi, kerewelannya berlipat ganda.Mulut Feli jadi benar-benar semakin tidak mau diam, setelah matanya ditutup. Bukan hanya sekadar melontarkan kalimat-kalimat tanya bernada rengekan, wanita cantik itu juga bahkan tak segan, melontarkan segala pradu
"Paman ini mau membawaku ke mana, sih?" tanya Feli dengan nada setengah merengek, selagi dirinya berjalan dengan agak sedikit ogah-ogahan, ketika Nathen menuntunnya berjalan, ke luar dari sebuah salon mewah, menuju mobilnya.Tidak terasa, nyaris dua minggu sudah berlalu dari malam di mana akhirnya Feli mengetahui fakta jika ternyata Vivian memiliki hubungan gelap dengan Davian, bahkan mereka berencana melakukan sebuah pernikahan.Dua minggu berjalan, sungguh Nathen sama sekali tidak mengira, jika alih-alih marah atau merasa kecewa pada dirinya, Feli malah menunjukan, jika istri cantiknya itu merasa cukup tersentuh atas apa yang telah dilakukannya.Hubungan pernikahan mereka bahkan bisa dikatakan berjalan sangat baik-baik saja, terutama setelah akhirnya mereka sepakat untuk menempati rumah baru mereka.Hampir seharian ini, Feli dibuat sibuk juga kebingungan dalam satu waktu, ditemani oleh Helen yang mendadak mengajaknya berbelanja baju baru, hingga mempercantik diri di salon.Feli sung
Masih terbayang kelewat jelas dalam ingatan Nathen, ayalnya rekaman video yang diputar di depan pelupuk mata dengan resolusi tinggi, bagaimana tiga minggu sebelum pernikahannya dan Feli dilangsungkan, ia bertemu lebih dulu dengan Vivian.Pertemuan pertama selepas nyaris satu bulan Nathen sama sekali tidak mendapat kabar dari calon istrinya itu, karena seakan menghilang tanpa jejak, ayalnya ditelan bumi.Itu pun terjadi secara mendadak sekali, di kediaman Hayden, ketika sahabat dari Nathen itu tiba-tiba meminta Nathen datang, katanya ada hal darurat yang musti dibahas.Begitu tiba dikediaman Hayden, Nathen malah dikagetkan dengan keberadaan Davian dan Vivian di sana, duduk saling berdampingan di ruang tamu.Nathen yang kala itu berjalan sambil dirangkul oleh Hayden, gegas menghentikan langkah, mencoba menelaah, apa sebenarnya yang sedang terjadi.Keterkejutan yang dirasakannya, mungkin nyaris sama, seperti bagaimana terkejutnya Feli melihat Davian membawa serta Vivian di pertemuan mere
Keheningan canggung itu tak terelakan, terjadi begitu saja, menyelimuti kebersamaan antara Nathen dan Feli, begitu keduanya memasuki mobil.Acara makan malam – lebih ke pertemuan yang Nathen adakan secara khusus dengan Davian, telah berakhir.Kini, Feli yang sudah mengetahui segala kebenarannya, sedari tadi telah sukses dibuat tidak bisa berkata-kata.Selepas Davian memberi penjelasan pada dirinya, dari mulai alasan sebenarnya mengapa Vivian memilih urung untuk menikah dengan Nathen, sampai Nathen yang rupanya telah membayar Jane untuk menutupi fakta bahwa Davian dan Vivian bersama – untuk sementara darinya, membuat Feli jadi lebih banyak diam.Tidak banyak kata yang terlontar dari mulut wanita cantik itu. Bukan karena tidak ada kalimat yang ingin ia utarakan, hanya saja ... Feli lebih ke merasa bingung, harus memulainya dari yang mana terlebih dahulu.Terlalu banyak kalimat berbentuk tanya yang saat ini tengah berkecamuk dengan begitu hebatnya dalam benak Feli, membuat perasaannya ja