Feli masih tidak percaya, bahwa hanya dalam hitungan detik, kini dirinya sudah memiliki status yang berbeda, yakni istri sah dari seorang Nathen Shawn Wilson.
Hari di mana seharusnya Vivian yang menikah, dirinya terpaksa menjadi pengantin pengganti untuk paman angkatnya sendiri itu tak terelakan lagi.Acara pernikahan sudah terampungkan. Kini gadis yang sudah menjelma menjadi seorang wanita itu tengah berdiri tepat di samping Nathen yang sibuk berbincang bersama rekan bisnisnya yang datang, menghandiri undangan.Sudah merasa cukup lelah sekali sebenarnya, ingin mengeluh, tapi tidak bisa. Sebab harus terus bersandiwara di hadapan khalayak agar terlihat seperti pasangan pengantin baru yang bahagia. Dan hal itu, nyatanya sama sekali tidak mudah dan cukup menguras banyak tenaga.Diwajibkan menebar senyum hangat pada setiap tamu yang datang menghampiri untuk berbincang, atau sekadar memberi selamat, Feli mati-matian menahan rasa lelah bercampur sesak.Embusan napas kasar mencelos dari mulut wanita muda cantik itu, kala rekan bisnis Nathen akhirnya pergi dari hadapan, meninggalkan dirinya dan sang suami.Nathen yang mendengar hal itu bergegas menoleh, menatap Feli yang tengah mencebikan bibir dengan tatapan gemas, ia tersenyum simpul. "Lelah ya?"Feli yang menundukan pandangan, seketika menengadah. Wanita cantik itu terkekeh sinis. "Tidak. Aku sama sekali tidak merasa lelah sedikitpun, Paman," sarkasnya, diakhiri dengan tatapan mata yang agak memicing, serta air muka yang berubah masam.Terkekeh gemas, Nathen menepuk pelan puncak kepala Feli, beberapa kali. "Bersabarlah. Sebentar lagi kita bisa beristirahat."Feli mendengkus, lantas meluruskan pandangan, memutuskan kontak mata dengan Nathen. Bibir kecilnya hampir kembali mencebik, jika saja netra lelahnya tidak berhasil menangkap tiga pria tampan yang kala itu tengah berjalan ke arah di mana dirinya dan Nathen sedang berdiri.Buru-buru mengganti air muka yang masih tampak masam, Feli memaksakan bingkai birainya untuk merenggang, mengulas senyum ramah, sebagai tanda penyambutan."Bro!" Salah satu dari tiga pria tampan itu menyeru dengan antusias sembari tersenyum senang dan menepuk bahu sebelah kanan Nathen, begitu ia dan dua rekannya menghentikan langkah.Feli dan Nathen sama-sama meluruskan pandangan, menatap tiga pria tampan yang kini berdiri tepat di hadapan."Selamat untuk pernikahan kalian, Nathen, Feli." Hayden - sahabat dekat sekaligus rekan bisnis Nathen membuka pembicaraan terlebih dahulu.Nathen dan Feli saling bertukar pandang sekilas, lantas melempar senyum pada Hayden. "Terima kasih," ucap Nathen."Paman memberi kado pernikahan yang bagus kan, untukku?" celetuk Feli.Hayden terkekeh sambil menundukan pandangannya sekilas. Melirik Nathen, ia lalu memokuskan atensi ke arah Feli dan tersenyum manis. "Tentu saja, Cantik."Nathen menatap Feli, lalu menggeleng samar. Di bibirnya terpeta senyum simpul pertanda gemas, sedang tatapannya menyiratkan banyak arti.Senyuman yang kali ini tampak begitu tulus, menyembul di bibir Feli. "Terima kasih, Paman. Aku akan mengeceknya nanti. Jika sampai kado dari Paman tidak cukup bagus bagiku, aku akan meminta lagi," tegasnya, menyelipkan sedikit kesan jenaka.Hayden terkekeh. "Tentu." Mengangguk, ia mengambil satu langkah kecil untuk mendekat ke arah Feli, lantas mengulurkan satu tangan, sampai telapaknya mendarat lembut di puncak kepala wanita muda itu, memberinya usapan sayang. "Kau boleh meminta apapun dariku.""Tolong jaga tanganmu!" titah Nathen sembari gegas menepis tangan Hayden. "Jangan menyentuh istri orang sembarangan," imbuhnya.Hayden menoleh ke arah Nathen, ia melempar senyum miring sembari menatap sahabat tampannya itu dengan tatapan sinis. "Mulai menunjukan sikap posesif, ha?" ledeknya."Kalian perlu ku bookingkan ring tinju, agar bisa berkelahi dengan puas dan lebih leluasa?" Andrew - sahabat Nathen dan juga Hayden menimpali dengan nada sarkastik.Nathen, Hayden, Feli serta satu pria lainnya kompak mengalihkan atensi mereka, menoleh ke arah Andrew yang seketika melempar senyum lugu sembari menebarkan pandangan."Aku akan menyumbangkan waktuku, agar kalian bisa lebih puas berkelahi, nanti," celetuk Feli lagi sambil menatap Hayden dan Nathen secara bergantian dengan tatapan lugu.Saat empat pasang mata milik empat pria yang ada di hadapan mengalihkan pandangan, memokuskan atensi ke arahnya, Feli terkekeh kikuk dan mengerjapkan pelupuk matanya beberapa kali."Apa maksud dari perkataanmu itu, Manis?" Noah - yang sedari tadi hanya diam, memperhatikan apa yang terjadi di hadapan, akhirnya angkat suara.Merasakan atmosfer yang mengelilingi mendadak jadi agak serius, Feli menelan ludah dengan sedikit kepayahan. "Ya ... siapa tahu, Paman Hayden dan Paman Nathen ingin berkelahi dengan durasi yang agak lama, jadi aku akan menyerahkan waktuku malam ini pada mereka.""Maksudmu ... kau akan membiarkan Hayden menggantikan posisimu sebagai pengantin baru, malam ini?" tanya Andrew.Feli mengangguk dengan begitu lugunya. "Ya. Apa tidak boleh?""Tentu saja tidak boleh!" tegas Nathen, membuat Feli agak terkesiap, juga seketika memokuskan seluruh atensi ke arahnya.Nathen berdehem. Melirik Hayden dan dua sahabatnya yang lain, serta Feli yang sedang menatap dirinya, ia mendengkus. "Aku lebih tertarik untuk berkelahi dengan istriku di atas tempat tidur semalaman nanti, daripada harus berkelahi dengan Hayden," imbuhnya.Hayden, Noah dan Andrew yang jelas amat sangat mengerti maksud dari perkataan Nathen, saling bertukar pandang sambil tersenyum, bersandiwara seakan sedang tersipu.Mencolek satu sama lain dengan gelagat gemulai yang tentu saja sengaja dibuat-buat dalam rangka menggoda sang sahabat, tiga serangkai itu lakukan tanpa ragu."Aku juga ingin ikut berkelahi di atas tempat tidur," cicit Noah.Sementara empat pria tampan di hadapan sibuk bergurau, Feli yang sama sekali tidak menangkap jelas maksud dari perkataan Nathen, hanya bisa melongo sambil menatap mereka, keheranan. "Paman sungguh akan mengajakku berkelahi nanti malam?" celetuknya, bertanya dengan begitu lugu.Air muka wanita cantik itu tampak begitu polos, disertai dengan tatapan yang terlihat menggemaskan, ayalnya seekor anak anjing.Serempak, Nathen dan ketiga sahabatnya menoleh ke arah Feli."Tentu saja!" timpal Andrew begitu bersemangat. Ia lantas sedikit memiringkan tubuh, mendekatkan diri ke arah Feli. "Tapi cara berkelahi khusus untuk pengantin baru," bisiknya."Memangnya, setiap pengantin baru, harus berkelahi ya?" Felicia menatap empat pria tampan di hadapannya secara bergantian."Hemmmm. Setiap pengantin baru, memang harus berke-" "tutup mulutmu!" Nathen tidak mengijinkan Andrew merampungkan perkataan, ia menampar pelan mulut sahabatnya itu, seketika membuatnya bungkam.Memokuskan pandangan ke arah Feli, Nathen tersenyum manis. "Jangan khiraukan perkataan mereka, karena otakmu tidak akan bisa mencernanya."Feli memicingkan mata, menatap Nathen dengan tatapan sebal. Wanita cantik itu mendengkus, lantas mencebikan bibirnya, kesal. "Paman menyebalkan!"Alih-alih merespon rengekan Feli dengan serius, Nathen malah tersenyum manis. "Selagi aku berbincang dengan tiga cecunguk ini, kau bisa pergi menemui sahabatmu, yang sepertinya sedari tadi sudah menunggu."Air muka Feli yang semula tampak agak masam, seketika terlihat penuh semangat. Tersenyum senang, setelah mendengar perkataan Nathen, Feli mengedarkan pandangan. "Sahabatku? Di mana?""Itu, di meja dekat area masuk."Senyum yang memeta di bibir Feli semakin merekah indah, saat netra teduhnya berhasil menangkap sosok dua gadis cantik yang tengah menatap ke arahnya. "Kalau begitu, aku pergi dulu, Paman!"Begitu bersemangat, tanpa menoleh lagi ke arah Nathen dan ketiga sahabat tampan suaminya itu, Feli beringsut meninggalkan mereka.Berjalan agak tergesa, wanita cantik itu menyingkab gaun panjang yang sedikit mengganggu kakinya.Nathen yang memperhatikan setiap gerik yang dilakukan sang istri, hanya menggeleng tak habis pikir sambil tersenyum. "Hati-hati. Jangan sampai kau jatuh!"Tidak dikhiraukan sama sekali, perkataan berisi peringatan yang Nathen lontarkan bak hanyalah sebuah angin lalu bagi Feli.Nathen berdecih pelan. "Gadis nakal ini."Andrew terkekeh gemas setelah memperhatikan tingkah kekanakan yang Feli tunjukan. Menundukan pandangan sebentar, ia lantas menengadah, menatap Nathen dengan tatapan sendu yang cukup sulit diartikan. "Kau sudah memberitahu Feli?"Nathen, Noah dan Hayden, serempak mengalihkan pandangan mereka yang semula tertuju ke arah di mana sosok Feli berlalu. Ketiganya menoleh ke arah Andrew.Permukaan kening Nathen mengkerut samar, bersamaan dengan matanya yang memicing, sampai membuat kedua alisnya yang bersebrangan, jadi hampir bertaut. "Memberitahunya soal apa?"Menatap Noah dan Hayden secara bergantian, Andrew membuang napas kasar sebelum memokuskan pandangannya lagi ke arah Nathen. "Tentang Vivian dan juga Davian."Setelah mendengar perkataan Andrew yang menyerupai sebuah bisikan, sebab semakin memelan menuju penghujung kalimat, Nathen tampak sedikit tertegun.Pribadi tampan itu spontan membelalakan mata, menatap pada Andrew dengan tatapan yang mengisyaratkan sebuah peringatan."Ada apa dengan Vivian dan Davian?" Noah yang agaknya menjadi orang yang paling tidak mengerti sama sekali terhadap perkataan Andrew, bertanya sembari menatap nanar ketiga sahabatnya secara bergantian.Andrew menoleh ke arah Noah. "Kau tidak tahu ji-" "kita bahas masalah ini lain kali," pungkas Hayden, tidak membiarkan Andrew merampungkan perkataan."Hemmm." Nathen ikut menimpali. Mengatupkan bibir cukup rapat, ia mengambil langkah mendekat ke arah Andrew. Ia tersenyum simpul penuh arti, lantas merangkul sahabatnya itu, juga tak lupa melabuhkan rematan gemas di bahunya. "Ini bukan saat yang tepat untuk membahas Vivian dan Davian, okey?"Kening Andrew sontak mengernyit, membersamai matanya yang agak memicing. Ia menatap Na
Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bingkai birai tipis Feli yang berjarak, begitu wanita cantik itu memasuki kamar, sehabis membersihkan diri. Kedua lengannya spontan bersedekap di area dada, selagi manik mata hazel indahnya dibiarkan untuk menatap Nathen yang sudah terbaring di permukaan ranjang. Feli menggeleng tak habis pikir. "Ck, tidak akan memberi ampun apanya? Ditinggal mandi sebentar saja, sudah tepar seperti itu." Mengayunkan tungkai yang terbalut slipper berwarna putih tulang, Feli berjalan perlahan, menghampiri tempat tidur, lantas mendudukan diri di tepian benda persegi tersebut. "Paman!" Feli menyeru pelan. Melepaskan sedakepan lengan, telapak tangan sebelah kiri wanita cantik itu melayang, hingga melabuhkan sebuah pukulan yang tak seberapa kencang ke permukaan lengan Nathen.Tidak mendapatkan respon maupun gubrisan, Feli membungkuk, mencondongkan dirinya ke arah paman tampan yang kini sudah resmi menjadi suaminya itu."Paman!" Feli kembali menyeru seray
Tidak langsung menimpali, tiga detik Nathen diam, selagi membiarkan manik matanya menatap kosong ke arah Feli. "Kau mengatakan apa?" tanyanya, tidak percaya.Feli mengulurkan tangan, menarik lengan Nathen, mengguncangnya pelan beberapa kali. "Ayo, kita bercerai, Paman!" rengeknya."Kau sakit, ya?" Nathen mengernyitkan kening, bertanya sembari melabuhkan telapak tangannya di permukaan kening Feli.Feli berdesis pelan seraya menyingkirkan tangan Nathen, lalu menggenggamnya agar tetap diam. "Aku tidak sakit.""Jika kau tidak sakit, itu artinya saat ini kau sedang mengigau.""Aku serius, Paman. Ayo kita bercerai."Nathen menatap Feli, tidak percaya. "Kita baru menikah hari ini, Feli.""Maka dari itu. Karena baru sehari, jadinya belum banyak hal yang kita lakukan. Ayo bercerai, hemm?"Memejam, Nathen memijat pelipisnya yang mulai berdenyut nyeri untuk beberapa saat. "Tidur. Ini sudah malam. Kau butuh banyak istirahat."Nathen membenarkan selimut yang membalut tubuh Feli, lantas memberi tepu
Masih terbaring di permukaan tempat tidur yang sama, dengan tempat tidur semalam, Nathen sudah memiliki kesadaran penuh dalam dirinya, sedang Feli masih pulas sekali, tidur di sampingnya.Enggan beranjak, Nathen membaringkan tubuh dalam posisi miring, menghadap ke arah Feli secara utuh, selagi membiarkan manik mata jelaga indahnya, menatap gemas paras cantik tanpa polesan make up milik istri mungilnya itu.Sesekali permukaan bingkai birai Nathen merenggang, memetakan senyum simpul, membersamai jemari tangan yang tidak mau diam, mencolek pelan ujung hidung sang istri.Feli mengerang beberapa kali dan hal itu tak gagal membuat rasa gemas yang Nathen rasakan, memuncak setiap detiknya.Tidur Feli yang semula begitu pulas dan damai, perhalan mulai terusik oleh sikap usil Nathen."Eung." Feli menggaruk pelan ujung hidungnya yang terasa geli, membuat Nathen refleks menjauhkan jemari tangannya sambil tersenyum."Feli?" Nathen menyeru pel
Mengabaikan Feli yang menjerit kaget, Nathen terkekeh kecil. Menunduk, pribadi tampan itu menyingkab selimut yang membalut setengah kakinya, sebelum kemudian membangkitkan diri.Feli memperhatikan setiap gerik yang dilakukan suami tampannya itu dengan mata yang membulat, juga mulut dalam keadaan sedikit terbuka.Melihat Nathen mulai melangkah menjauhi tempat tidur, Feli bergegas, ikut membangkitkan diri, menyusul kepergian sang suami. "Paman mau ke mana? Tega sekali pergi meninggalkanku begitu saja setelah mencuri ciuman dariku," ocehnya sembari mengekori Nathen.Nathen melirik Feli melalui ekor matanya. Ia tersenyum miring, lebih ke menyeringai, tanpa menghentikan langkah, ataupun menimpali ocehan istri cantiknya itu."Paman kenapa diam? Paman tidak mau menjawabku? Paman ini sebenarnya maunya apa, sih? Sikap Paman sudah aneh sejak kemarin malam, Paman ta- Aduh!" Ocehan Feli kali ini berganti menjadi sebuah aduhan, tepat saat kepalanya terbentur d
Suara dentingan pelan yang berasal dari beradunya peralatan makan yang sedang digunakan, menjadi satu-satunya suara yang terdengar begitu mendominasi di ruang makan kediman Sebastian Jefferson Smith - kakak Felicia.Annatasia Addilyn Murphy - istri Bastian yang duduk di kursi yang letaknya bersebrangan dengan kursi yang Bastian duduki,, menengadahkan pandangan, menilik Bastian yang tengah memainkan sepiring makanan yang ada di hadapan.Membuang napas kasar, Anna menyimpan peralatan makan dari genggaman, memokuskan seluruh atensi yang dimiliki untuk sang suami. "Honey?" serunya, pelan sekali.Bastian bergeming, sama sekali tidak mendengar seruan Anna. Ia masih saja memainkan sendok untuk mengaduk-aduk makanan yang seharusnya sudah ia santap sedari tadi.Menatap lamat Bastian yang agaknya sudah terlalu larut dalam sekelumit pemikiran yang menghinggapi benak, Anna lantas berdehem.Bingkai birai wanita cantik berusia dua puluh enam tahun itu
"Paman!" Feli menjerit kaget saat tiba-tiba Nathen mengangkat tubuhnya menggunakan kedua lengan hanya dengan satu kali ayunan ringan.Refleks ia mengalungkan kedua tangan di tengkuk Nathen sembari menatap suami tampannya yang tengah menunjukan senyum seringai itu dengan mata yang membulat."Mari kita mandi," tukas Nathen sebelum kemudian memutar tubuh dan mulai mengayunkan tungkai untuk berjalan ke arah pintu kamar mandi.Feli sedikit meronta sambil buru-buru menggelengkan kepala. "Tidak, tidak. Aku mandi sendiri saja, Paman."Nathen menghentikan langkah. Menunduk, pribadi tampan itu mempertemukan pandangannya dengan Feli. Alis sebelah kirinya terangkat. "Kau yakin? Tidak mau aku mandikan saja?"Sungguh, melihat perubahan sikap Nathen yang cukup seginifikan pasca mencuatnya rencana pernikahan mereka, acap kali membuat Feli merasa amat gugup, bahkan mendekati takut, apabila mereka sedang berdekatan, apalagi berduaan seperti sekarang ini.
"Ibu?" Zeana terheran-heran, menatap sosok sang ibu yang berjalan begitu saja melewati dirinya yang berdiri di dekat ambang pintu, setelah membukakan pintu utama rumahnya.Pagi menjelang siang, tiba-tiba ada yang bertamu ke kediamannya dan sang suami. Akan tetapi, ia sama sekali tidak mengira jika Elena lah yang datang.Gegas kembali menutup pintu, Zea berjalan cepat, menyusul Elena yang berjalan ke arah di mana ruang tamu berada."Ibu kenapa tidak memberi kabar padaku lebih dulu, sebelum datang kemari?"Elena melirik Zea sebelum menghentikan langkah, lantas mendudukan diri di sofa tunggal yang tertata di ruang tamu yang didatanginya. "Apa Ibu harus memberi kabar dulu, hanya untuk berkunjung ke rumah putrinya sendiri?"Zea ikut mendudukan diri di sofa panjang yang terletak saling bersebelahan dengan sofa tunggal yang sang ibu duduki, tanpa mengalihkan sedikitpun pandangan dari beliau. "Tentu tidak. Tidak seperti itu maksudku, Bu. Aku hany