Setelah mendengar perkataan Andrew yang menyerupai sebuah bisikan, sebab semakin memelan menuju penghujung kalimat, Nathen tampak sedikit tertegun.
Pribadi tampan itu spontan membelalakan mata, menatap pada Andrew dengan tatapan yang mengisyaratkan sebuah peringatan."Ada apa dengan Vivian dan Davian?" Noah yang agaknya menjadi orang yang paling tidak mengerti sama sekali terhadap perkataan Andrew, bertanya sembari menatap nanar ketiga sahabatnya secara bergantian.Andrew menoleh ke arah Noah. "Kau tidak tahu ji-" "kita bahas masalah ini lain kali," pungkas Hayden, tidak membiarkan Andrew merampungkan perkataan."Hemmm." Nathen ikut menimpali. Mengatupkan bibir cukup rapat, ia mengambil langkah mendekat ke arah Andrew. Ia tersenyum simpul penuh arti, lantas merangkul sahabatnya itu, juga tak lupa melabuhkan rematan gemas di bahunya. "Ini bukan saat yang tepat untuk membahas Vivian dan Davian, okey?"Kening Andrew sontak mengernyit, membersamai matanya yang agak memicing. Ia menatap Nathen dan Hayden yang anehnya cukup terlihat kompak hari ini, dengan tatapan heran."Apa ada sesuatu yang sama sekali tidak aku ketahui?" Noah bertanya lagi, seraya menatap Hayden, Nathen dan Andrew secara bergantian.Tiga pria yang ditatap oleh Noah itu saling bertukar pandang. Hayden dan Nathen bahkan kompak menebar senyum, mengabaikan kenyataan bahwa sikap mereka, cukup membuat Andrew bingung melihatnya."Tidak ada." Nathen membuang napas kasar. Melepaskan rangkulan dari tubuh Andrew, ia menundukan pandangannya sesaat. "Kalian pasti lapar, kan? Kenapa tidak pergi menikmati jamuan yang sudah disajikan saja? Daripada terus bergosip seperti ibu-ibu di sini, dan mengacaukan acaraku, hemmm?"Hayden bertepuk tangan satu kali. "Ide bagus. Andrew, Noah, ayo kita pergi. Biarkan Nathen menikmati hari besarnya yang sangat sibuk ini. Masih banyak tamu yang harus ia temui."***Sudah sekitar lebih kurang sepuluh menit Feli mendudukan diri di salah satu kursi yang tertata mengitari meja yang sama, dengan dua sahabatnya. Namun, masih belum ada satupun dari mereka yang angkat suara.Sesekali mengedarkan pandangan, Feli menatap dua sahabat cantik yang duduk mengapit dirinya itu dengan tatapan heran. "Sampai kapan kalian akan mendiamkanku seperti ini? Tidak ada kata selamat, atau semacamnya untukku, yang telah resmi diperistri seseorang hari ini ini?"Memutuskan untuk memecahkan kebisuan yang cukup tarasa canggung, Feli menaikan alis sebelah kirinya, saat tiba-tiba kedua sahabatnya tampak memasang air muka serius."Tepatnya diperistri pamanmu sendiri, Nona Felicia," ujar Helena - gadis cantik berusia dua puluh tiga tahun yang duduk tepat di samping sebelah kanan Feli.Andrea - sahabat Feli yang lain, melirik Helena sambil mengangguk setuju. "Tepat sekali."Membuang napas kasar, Feli menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia menundukan pandangan sebentar, lantas tersenyum saat netra teduhnya bertemu pandang dengan manik mata Andrea. "Kalian memiliki masalah dengan hal itu?"Andrea dan Helena saling bertukar pandang, sebelum kemudian mereka serempak mencondongkan tubuh ke arah meja, guna mengurangi jarak yang terbentang dengan Feli."Kau mengundang kami untuk datang ke acara pernikahan pamanmu, karena takut kau akan bosan, kau ingat tidak?" Helena menekankan.Mengindikan bahu kelewat acuh, Feli mengangguk sembari sedikit mencebikan bibir. "Itu memang benar.""The what the fu-" "Helen!" seru Andrea, memberi peringatan, tepat pada saat sahabatnya itu hampir saja mengumpat dengan suara yang cukup lantang.Bahkan bukan hanya itu ... Helena sudah tanpa sadar menggebrak permukaan meja, sampai menghasilkan dentuman cukup nyaring, menyebabkan atensi orang sekitar jadi tertuju ke arahnya.Menebarkan pandangan, Helena tersenyum kikuk sembari membungkukan sedikit tubuhnya beberapa kali, pada pemilik setiap pasang mata yang menujukan atensi ke arahnya.Feli berdecih sembari menggeleng tak habis pikir. "Aku mengerti, kalian pasti terkejut, karena alih-alih melihat Vivian yang dinikahi pamanku, malah jadi aku.""Kami bukan hanya terkejut, Feli. Kami hampir mengalami serangan jantung dan mati berdiri saat melihat ternyata malah kau yang berdiri di altar pernikahan, bukannya Vivian," tutur Andrea, menerangkan dengan apa adanya.Ya, fakta bahwa Andrea dan Helena datang ke pernikahan Nathen, karena Feli yang mengundang mereka, dengan alasan takut bosan karena tidak ada teman untuk mengobrol atau hanya menemani, lalu mendapati Feli sendiri lah yang menjadi mempelai wanitanya, membuat mereka terkejut bukan main."Ceritanya panjang. Aku pasti akan memberi kalian penjelasan, tapi tidak untuk sekarang, okey?" Feli menatap Helena dan Andrea dengan tatapan lugu secara bergantian."Lalu kapan kau akan memberi kami penjelasan?""Eummmm." Mengatupkan bingkai birai cukup rapat, Feli mengedarkan pandangannya untuk sesaat. "Mungkin besok, saat kita bertemu di kampus. Untuk sekarang ...," menjeda perkataan, Feli agak sedikit kepayahan, membangkitkan diri. "aku harus menemani suamiku menyapa beberapa tamu."Memberi senyum manis terbaik pada Helen dan Andrea, tanpa menunggu kedua sahabat cantiknya itu memberi respon, Feli berlalu begitu saja."Kau berhutang banyak penjelasan pada kami, Feli!" celetuk Helena, cukup lantang.Feli yang masih berada tidak jauh dari meja yang Helena dan Andrea tempati, menoleh sambil terkekeh. "Ya. Akan kubayar hutangku secepatnya pada kalian."***Sebuah senyum getir memeta di bingkai birai milik gadis cantik yang saat ini tampak tengah duduk di mobik, kursi depan - samping kemudi.Manik matanya tampak gemetar dan mulai berkaca, selagi dibiarkan menatap permukaan layar ponsel yang menyala dalam genggaman.Membuang napas kasar, gadis cantik itu menyandarkan tengkuknya ke sandaran kursi, membiarkan kepalanya agak mendongak, sementara pelupuk mata berbulu lentiknya memejam cukup rapat.Buliran air bersuhu agak hangat itu berderai, membasahi wajah cantik si gadis. Ia menangis, meratapi kesedihan yang saat ini tengah menghunus dalam hati.Membuang napas kasar lagi, gadis cantik itu menundukan pandangan sembari menyeka buliran air mata yang terlanjur berlinang, menggunakan punggung tangan.Menoleh, ke arah kursi kemudi di mana seorang pria tengah duduk dengan pandangan yang mengarah lurus ke depan, gadis itu tersenyum getir, begitu syarat akan rasa pedih. "Maafkan aku."Pria yang duduk di kursi kemudi itu mengerjap. Menunduk sesaat, ia lantas menoleh, mempertemukan pandangan dengan si gadis. Semburat senyum lirih penuh arti, memeta di bibirnya. "Kau tahu, maafmu sama sekali tidak berguna dan tidak akan bisa merubah apa yang sudah terlanjur terjadi."Si gadis mengangguk setuju pada penuturan bernada pelan, tapi ternyata menjelma menjadi belati tajam yang semakin menghunus relungnya itu. "Aku tahu."Si pria membuang napas kasar, lalu kembali meluruskan pandangan. "Meskipun begitu, aku turut bahagia atas pernikahan mereka. Setidaknya ... mereka berhasil terselamatkan. Tidak berakhir bersatu dengan orang-orang yang tidak punya hati nurani sepertiku.""Ini semua salahku."Melirik si gadis, si pria terkekeh sinis, meremehkan. "Tentu saja, ini semua salahmu. Jika saja kau cukup sadar diri sejak awal, mungkin semuanya tidak akan seberantakan seperti sekarang ini, Vivian."Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bingkai birai tipis Feli yang berjarak, begitu wanita cantik itu memasuki kamar, sehabis membersihkan diri. Kedua lengannya spontan bersedekap di area dada, selagi manik mata hazel indahnya dibiarkan untuk menatap Nathen yang sudah terbaring di permukaan ranjang. Feli menggeleng tak habis pikir. "Ck, tidak akan memberi ampun apanya? Ditinggal mandi sebentar saja, sudah tepar seperti itu." Mengayunkan tungkai yang terbalut slipper berwarna putih tulang, Feli berjalan perlahan, menghampiri tempat tidur, lantas mendudukan diri di tepian benda persegi tersebut. "Paman!" Feli menyeru pelan. Melepaskan sedakepan lengan, telapak tangan sebelah kiri wanita cantik itu melayang, hingga melabuhkan sebuah pukulan yang tak seberapa kencang ke permukaan lengan Nathen.Tidak mendapatkan respon maupun gubrisan, Feli membungkuk, mencondongkan dirinya ke arah paman tampan yang kini sudah resmi menjadi suaminya itu."Paman!" Feli kembali menyeru seray
Tidak langsung menimpali, tiga detik Nathen diam, selagi membiarkan manik matanya menatap kosong ke arah Feli. "Kau mengatakan apa?" tanyanya, tidak percaya.Feli mengulurkan tangan, menarik lengan Nathen, mengguncangnya pelan beberapa kali. "Ayo, kita bercerai, Paman!" rengeknya."Kau sakit, ya?" Nathen mengernyitkan kening, bertanya sembari melabuhkan telapak tangannya di permukaan kening Feli.Feli berdesis pelan seraya menyingkirkan tangan Nathen, lalu menggenggamnya agar tetap diam. "Aku tidak sakit.""Jika kau tidak sakit, itu artinya saat ini kau sedang mengigau.""Aku serius, Paman. Ayo kita bercerai."Nathen menatap Feli, tidak percaya. "Kita baru menikah hari ini, Feli.""Maka dari itu. Karena baru sehari, jadinya belum banyak hal yang kita lakukan. Ayo bercerai, hemm?"Memejam, Nathen memijat pelipisnya yang mulai berdenyut nyeri untuk beberapa saat. "Tidur. Ini sudah malam. Kau butuh banyak istirahat."Nathen membenarkan selimut yang membalut tubuh Feli, lantas memberi tepu
Masih terbaring di permukaan tempat tidur yang sama, dengan tempat tidur semalam, Nathen sudah memiliki kesadaran penuh dalam dirinya, sedang Feli masih pulas sekali, tidur di sampingnya.Enggan beranjak, Nathen membaringkan tubuh dalam posisi miring, menghadap ke arah Feli secara utuh, selagi membiarkan manik mata jelaga indahnya, menatap gemas paras cantik tanpa polesan make up milik istri mungilnya itu.Sesekali permukaan bingkai birai Nathen merenggang, memetakan senyum simpul, membersamai jemari tangan yang tidak mau diam, mencolek pelan ujung hidung sang istri.Feli mengerang beberapa kali dan hal itu tak gagal membuat rasa gemas yang Nathen rasakan, memuncak setiap detiknya.Tidur Feli yang semula begitu pulas dan damai, perhalan mulai terusik oleh sikap usil Nathen."Eung." Feli menggaruk pelan ujung hidungnya yang terasa geli, membuat Nathen refleks menjauhkan jemari tangannya sambil tersenyum."Feli?" Nathen menyeru pel
Mengabaikan Feli yang menjerit kaget, Nathen terkekeh kecil. Menunduk, pribadi tampan itu menyingkab selimut yang membalut setengah kakinya, sebelum kemudian membangkitkan diri.Feli memperhatikan setiap gerik yang dilakukan suami tampannya itu dengan mata yang membulat, juga mulut dalam keadaan sedikit terbuka.Melihat Nathen mulai melangkah menjauhi tempat tidur, Feli bergegas, ikut membangkitkan diri, menyusul kepergian sang suami. "Paman mau ke mana? Tega sekali pergi meninggalkanku begitu saja setelah mencuri ciuman dariku," ocehnya sembari mengekori Nathen.Nathen melirik Feli melalui ekor matanya. Ia tersenyum miring, lebih ke menyeringai, tanpa menghentikan langkah, ataupun menimpali ocehan istri cantiknya itu."Paman kenapa diam? Paman tidak mau menjawabku? Paman ini sebenarnya maunya apa, sih? Sikap Paman sudah aneh sejak kemarin malam, Paman ta- Aduh!" Ocehan Feli kali ini berganti menjadi sebuah aduhan, tepat saat kepalanya terbentur d
Suara dentingan pelan yang berasal dari beradunya peralatan makan yang sedang digunakan, menjadi satu-satunya suara yang terdengar begitu mendominasi di ruang makan kediman Sebastian Jefferson Smith - kakak Felicia.Annatasia Addilyn Murphy - istri Bastian yang duduk di kursi yang letaknya bersebrangan dengan kursi yang Bastian duduki,, menengadahkan pandangan, menilik Bastian yang tengah memainkan sepiring makanan yang ada di hadapan.Membuang napas kasar, Anna menyimpan peralatan makan dari genggaman, memokuskan seluruh atensi yang dimiliki untuk sang suami. "Honey?" serunya, pelan sekali.Bastian bergeming, sama sekali tidak mendengar seruan Anna. Ia masih saja memainkan sendok untuk mengaduk-aduk makanan yang seharusnya sudah ia santap sedari tadi.Menatap lamat Bastian yang agaknya sudah terlalu larut dalam sekelumit pemikiran yang menghinggapi benak, Anna lantas berdehem.Bingkai birai wanita cantik berusia dua puluh enam tahun itu
"Paman!" Feli menjerit kaget saat tiba-tiba Nathen mengangkat tubuhnya menggunakan kedua lengan hanya dengan satu kali ayunan ringan.Refleks ia mengalungkan kedua tangan di tengkuk Nathen sembari menatap suami tampannya yang tengah menunjukan senyum seringai itu dengan mata yang membulat."Mari kita mandi," tukas Nathen sebelum kemudian memutar tubuh dan mulai mengayunkan tungkai untuk berjalan ke arah pintu kamar mandi.Feli sedikit meronta sambil buru-buru menggelengkan kepala. "Tidak, tidak. Aku mandi sendiri saja, Paman."Nathen menghentikan langkah. Menunduk, pribadi tampan itu mempertemukan pandangannya dengan Feli. Alis sebelah kirinya terangkat. "Kau yakin? Tidak mau aku mandikan saja?"Sungguh, melihat perubahan sikap Nathen yang cukup seginifikan pasca mencuatnya rencana pernikahan mereka, acap kali membuat Feli merasa amat gugup, bahkan mendekati takut, apabila mereka sedang berdekatan, apalagi berduaan seperti sekarang ini.
"Ibu?" Zeana terheran-heran, menatap sosok sang ibu yang berjalan begitu saja melewati dirinya yang berdiri di dekat ambang pintu, setelah membukakan pintu utama rumahnya.Pagi menjelang siang, tiba-tiba ada yang bertamu ke kediamannya dan sang suami. Akan tetapi, ia sama sekali tidak mengira jika Elena lah yang datang.Gegas kembali menutup pintu, Zea berjalan cepat, menyusul Elena yang berjalan ke arah di mana ruang tamu berada."Ibu kenapa tidak memberi kabar padaku lebih dulu, sebelum datang kemari?"Elena melirik Zea sebelum menghentikan langkah, lantas mendudukan diri di sofa tunggal yang tertata di ruang tamu yang didatanginya. "Apa Ibu harus memberi kabar dulu, hanya untuk berkunjung ke rumah putrinya sendiri?"Zea ikut mendudukan diri di sofa panjang yang terletak saling bersebelahan dengan sofa tunggal yang sang ibu duduki, tanpa mengalihkan sedikitpun pandangan dari beliau. "Tentu tidak. Tidak seperti itu maksudku, Bu. Aku hany
"Paman, berhenti tidak?!" Feli menjerit kesal sembari bergegas melepaskan diri dari cekalan Nathen.Tidak mau terus berdiri saling berhadapan dengan jarak yang bisa dikatakan kelewat dekat, Feli lantas berjalan begitu saja melewati suami tampannya itu.Feli berlari kecil menuju sofa yang tertata di ruang utama, kemudian mendudukan dirinya di salah satu sofa panjang yang ada di sana.Menoleh, Feli membiarkan manik matanya bersirobok dengan manik mata Nathen. "Sepertinya kita harus mengobrol dengan lebih serius, Paman."Nathen menaikan alis sebelah kirinya. "Mengobrol dengan lebih serius?"Feli mengangguk. "Iya."Bingkai birai Nathen merenggang dengan sendirinya, memetakan senyum simpul yang cukup sulit diartikan. "Baiklah."Pribadi tampan itu lantas berjalan menghampiri Feli dan ikut mendudukan diri di sofa yang sama, meski tidak terlalu berdekatan, sebab Feli sengaja sekali menjaga jarak darinya."Jadi ... apa t