Home / Romansa / Istri Dadakan Paman Nathen / 07 - Maaf yang Terlambat

Share

07 - Maaf yang Terlambat

Setelah mendengar perkataan Andrew yang menyerupai sebuah bisikan, sebab semakin memelan menuju penghujung kalimat, Nathen tampak sedikit tertegun.

Pribadi tampan itu spontan membelalakan mata, menatap pada Andrew dengan tatapan yang mengisyaratkan sebuah peringatan.

"Ada apa dengan Vivian dan Davian?" Noah yang agaknya menjadi orang yang paling tidak mengerti sama sekali terhadap perkataan Andrew, bertanya sembari menatap nanar ketiga sahabatnya secara bergantian.

Andrew menoleh ke arah Noah. "Kau tidak tahu ji-" "kita bahas masalah ini lain kali," pungkas Hayden, tidak membiarkan Andrew merampungkan perkataan.

"Hemmm." Nathen ikut menimpali. Mengatupkan bibir cukup rapat, ia mengambil langkah mendekat ke arah Andrew. Ia tersenyum simpul penuh arti, lantas merangkul sahabatnya itu, juga tak lupa melabuhkan rematan gemas di bahunya. "Ini bukan saat yang tepat untuk membahas Vivian dan Davian, okey?"

Kening Andrew sontak mengernyit, membersamai matanya yang agak memicing. Ia menatap Nathen dan Hayden yang anehnya cukup terlihat kompak hari ini, dengan tatapan heran.

"Apa ada sesuatu yang sama sekali tidak aku ketahui?" Noah bertanya lagi, seraya menatap Hayden, Nathen dan Andrew secara bergantian.

Tiga pria yang ditatap oleh Noah itu saling bertukar pandang. Hayden dan Nathen bahkan kompak menebar senyum, mengabaikan kenyataan bahwa sikap mereka, cukup membuat Andrew bingung melihatnya.

"Tidak ada." Nathen membuang napas kasar. Melepaskan rangkulan dari tubuh Andrew, ia menundukan pandangannya sesaat. "Kalian pasti lapar, kan? Kenapa tidak pergi menikmati jamuan yang sudah disajikan saja? Daripada terus bergosip seperti ibu-ibu di sini, dan mengacaukan acaraku, hemmm?"

Hayden bertepuk tangan satu kali. "Ide bagus. Andrew, Noah, ayo kita pergi. Biarkan Nathen menikmati hari besarnya yang sangat sibuk ini. Masih banyak tamu yang harus ia temui."

***

Sudah sekitar lebih kurang sepuluh menit Feli mendudukan diri di salah satu kursi yang tertata mengitari meja yang sama, dengan dua sahabatnya. Namun, masih belum ada satupun dari mereka yang angkat suara.

Sesekali mengedarkan pandangan, Feli menatap dua sahabat cantik yang duduk mengapit dirinya itu dengan tatapan heran. "Sampai kapan kalian akan mendiamkanku seperti ini? Tidak ada kata selamat, atau semacamnya untukku, yang telah resmi diperistri seseorang hari ini ini?"

Memutuskan untuk memecahkan kebisuan yang cukup tarasa canggung, Feli menaikan alis sebelah kirinya, saat tiba-tiba kedua sahabatnya tampak memasang air muka serius.

"Tepatnya diperistri pamanmu sendiri, Nona Felicia," ujar Helena - gadis cantik berusia dua puluh tiga tahun yang duduk tepat di samping sebelah kanan Feli.

Andrea - sahabat Feli yang lain, melirik Helena sambil mengangguk setuju. "Tepat sekali."

Membuang napas kasar, Feli menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia menundukan pandangan sebentar, lantas tersenyum saat netra teduhnya bertemu pandang dengan manik mata Andrea. "Kalian memiliki masalah dengan hal itu?"

Andrea dan Helena saling bertukar pandang, sebelum kemudian mereka serempak mencondongkan tubuh ke arah meja, guna mengurangi jarak yang terbentang dengan Feli.

"Kau mengundang kami untuk datang ke acara pernikahan pamanmu, karena takut kau akan bosan, kau ingat tidak?" Helena menekankan.

Mengindikan bahu kelewat acuh, Feli mengangguk sembari sedikit mencebikan bibir. "Itu memang benar."

"The what the fu-" "Helen!" seru Andrea, memberi peringatan, tepat pada saat sahabatnya itu hampir saja mengumpat dengan suara yang cukup lantang.

Bahkan bukan hanya itu ... Helena sudah tanpa sadar menggebrak permukaan meja, sampai menghasilkan dentuman cukup nyaring, menyebabkan atensi orang sekitar jadi tertuju ke arahnya.

Menebarkan pandangan, Helena tersenyum kikuk sembari membungkukan sedikit tubuhnya beberapa kali, pada pemilik setiap pasang mata yang menujukan atensi ke arahnya.

Feli berdecih sembari menggeleng tak habis pikir. "Aku mengerti, kalian pasti terkejut, karena alih-alih melihat Vivian yang dinikahi pamanku, malah jadi aku."

"Kami bukan hanya terkejut, Feli. Kami hampir mengalami serangan jantung dan mati berdiri saat melihat ternyata malah kau yang berdiri di altar pernikahan, bukannya Vivian," tutur Andrea, menerangkan dengan apa adanya.

Ya, fakta bahwa Andrea dan Helena datang ke pernikahan Nathen, karena Feli yang mengundang mereka, dengan alasan takut bosan karena tidak ada teman untuk mengobrol atau hanya menemani, lalu mendapati Feli sendiri lah yang menjadi mempelai wanitanya, membuat mereka terkejut bukan main.

"Ceritanya panjang. Aku pasti akan memberi kalian penjelasan, tapi tidak untuk sekarang, okey?" Feli menatap Helena dan Andrea dengan tatapan lugu secara bergantian.

"Lalu kapan kau akan memberi kami penjelasan?"

"Eummmm." Mengatupkan bingkai birai cukup rapat, Feli mengedarkan pandangannya untuk sesaat. "Mungkin besok, saat kita bertemu di kampus. Untuk sekarang ...," menjeda perkataan, Feli agak sedikit kepayahan, membangkitkan diri. "aku harus menemani suamiku menyapa beberapa tamu."

Memberi senyum manis terbaik pada Helen dan Andrea, tanpa menunggu kedua sahabat cantiknya itu memberi respon, Feli berlalu begitu saja.

"Kau berhutang banyak penjelasan pada kami, Feli!" celetuk Helena, cukup lantang.

Feli yang masih berada tidak jauh dari meja yang Helena dan Andrea tempati, menoleh sambil terkekeh. "Ya. Akan kubayar hutangku secepatnya pada kalian."

***

Sebuah senyum getir memeta di bingkai birai milik gadis cantik yang saat ini tampak tengah duduk di mobik, kursi depan - samping kemudi.

Manik matanya tampak gemetar dan mulai berkaca, selagi dibiarkan menatap permukaan layar ponsel yang menyala dalam genggaman.

Membuang napas kasar, gadis cantik itu menyandarkan tengkuknya ke sandaran kursi, membiarkan kepalanya agak mendongak, sementara pelupuk mata berbulu lentiknya memejam cukup rapat.

Buliran air bersuhu agak hangat itu berderai, membasahi wajah cantik si gadis. Ia menangis, meratapi kesedihan yang saat ini tengah menghunus dalam hati.

Membuang napas kasar lagi, gadis cantik itu menundukan pandangan sembari menyeka buliran air mata yang terlanjur berlinang, menggunakan punggung tangan.

Menoleh, ke arah kursi kemudi di mana seorang pria tengah duduk dengan pandangan yang mengarah lurus ke depan, gadis itu tersenyum getir, begitu syarat akan rasa pedih. "Maafkan aku."

Pria yang duduk di kursi kemudi itu mengerjap. Menunduk sesaat, ia lantas menoleh, mempertemukan pandangan dengan si gadis. Semburat senyum lirih penuh arti, memeta di bibirnya. "Kau tahu, maafmu sama sekali tidak berguna dan tidak akan bisa merubah apa yang sudah terlanjur terjadi."

Si gadis mengangguk setuju pada penuturan bernada pelan, tapi ternyata menjelma menjadi belati tajam yang semakin menghunus relungnya itu. "Aku tahu."

Si pria membuang napas kasar, lalu kembali meluruskan pandangan. "Meskipun begitu, aku turut bahagia atas pernikahan mereka. Setidaknya ... mereka berhasil terselamatkan. Tidak berakhir bersatu dengan orang-orang yang tidak punya hati nurani sepertiku."

"Ini semua salahku."

Melirik si gadis, si pria terkekeh sinis, meremehkan. "Tentu saja, ini semua salahmu. Jika saja kau cukup sadar diri sejak awal, mungkin semuanya tidak akan seberantakan seperti sekarang ini, Vivian."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status