Share

Bab 7

Gita menceritakan keseluruhan cerita dengan ekspresi sok naifnya.

Di otak Clara, dia sudah menganggap sosok Gita adalah seorang saudara licik yang narsistik dan suka menghasut adik perempuannya.

Clara berdiri di samping Gita dan menatap dingin Gita yang tanpa ekspresi. Clara pun hanya bisa diam ketika ditatap dengan tatapan jijik dan hina oleh Tante Amina.

Karena Clara tahu betul, mencoba menjelaskan hal itu kepada Tante Amina adalah hal yang sia-sia. Apalagi sudah jelas bahwa Tante Amina tidak menyukainya dan mempercayainya.

Benar saja, Tante Amina menatapnya dengan tatapan hina dan berkata, “Pantas saja kamu menolak untuk pergi. Jadi kamu datang ke sini demi kekayaan Keluarga Xander. Dasar wanita jalang yang licik dan tak berguna!”

Setelah melihat hal itu, Gita dengan bangga sambil mengerutkan bibirnya dan mendekati Clara, berkata dengan suara liciknya, “Ayah berkata bahwa kamu harus bekerja sama denganku.”

Clara tiba-tiba menoleh dan pupil matanya mengecil, di dalam hatinya berkata, “Apa yang ingin kamu lakukan?”

Gita memahami bahasa isyaratnya, tersenyum dan berbisik, “Kamu tidak perlu khawatir, bekerja sama saja denganku, jika tidak … aku akan adukan kamu kepada Ayah.”

Tante Amina melihat keduanya berkomunikasi dan memandang Gita, dengan bingung, bertanya, “Apa yang Clara katakan padamu?”

Gita pun menghela napas, dengan pura-pura sedih, berkata, “Kakakku membenciku sekarang. Aku meminta maaf kepadanya dan memberi tahu kalau aku tidak bermaksud apa-apa.”

Tante Amina mendengus dingin dan berkata, “Kebajikan macam apa yang dia miliki! Aku telah melihat banyak macam versi wanita licik yang hanya mengincar reputasi. Ini pertama kalinya, aku melihat orang bisu yang begitu menyebalkan.”

Karena sudah sering mendengar banyak kata-kata menyakitkan, hati Clara sudah mati rasa.

Kemudian, sikap Tante Amina terhadap Gita perlahan melunak dan keduanya dalam waktu singkat mulai mengobrol dan tertawa bersama.

Lagi pula, dibandingkan dengan Clara yang bisu, Gita lebih bisa memenangkan hati Tante Amina dan juga sangat pandai berbicara. Hanya dengan beberapa kata, Gita bisa membuat suasana hati Tante Amina menjadi bahagia.

Sebaliknya, Clara dianggap seperti orang luar yang tidak mempunyai hubungan apa-apa.

Malam hari tiba, Leo akhirnya pulang.

Memakai jas hitam rapi tanpa kerutan dengan rambut pendek yang bersih menjuntai, memperlihatkan dahi yang seksi serta memancarkan aura seorang pebisnis sukses.

Meski bekas luka di wajahnya terlihat menakutkan, cara dia mengerutkan bibir tipisnya itu memancarkan aura maskulin yang kuat dan berwibawa.

Saat melihatnya, Gita langsung terpana.

Kata orang-orang, Leo adalah orang yang jauh dari kata tampan. Gita pun dulu mempercayai hal itu, tetapi dia tidak menyangka bahwa Leo ternyata begitu tampan meski dengan bekas luka di wajahnya.

Dalam hatinya, Gita sangat menyesal. Jika dia tahu dari awal kalau Leo memiliki aura karismatik, dia tidak akan pernah membiarkan Clara mengambil kesempatan darinya.

Tetapi dia teringat dengan perintah ayahnya.

Hatinya dipenuhi rasa bingung, tetapi pada akhirnya, Gita pun mengikuti kata hatinya sendiri.

Entah itu Leo atau David, dia akan berhubungan seks dengan kedua pria itu.

Selama kedua pria itu bisa dia taklukkan, tujuan sang ayah bisa dianggap tercapai secara tidak langsung.

“Kak Leo, akhirnya kamu pulang,” ujar Gita.

Gita menghampirinya dengan gestur tubuh yang anggun dan pemalu, merasa sangat bangga bahwa pria keren ini awalnya ingin menikah dengannya.

Namun, yang mengejutkan, tatapan Leo ke arahnya sangat dingin.

Bukan hanya Gita yang bingung, Tante Amina pun juga ikut bingung.

Padahal, Leo sendiri yang dulu berinisiatif menikahi Gita dan pasti Leo punya sedikit rasa suka kepadanya, tetapi kenapa reaksinya malah seperti ini?

Apakah ini karena perjodohannya dengan Clara?

Itu sebabnya, Leo kesal pada Gita dan sengaja mengabaikannya?

Gita pun mengerti, dengan santai, berkata, “Kak Leo, ada sesuatu yang sangat penting yang ingin aku sampaikan.”

Leo tahu, Gita datang ke sini untuk keperluan ayahnya. Leo pun berkata, “Ikuti aku.”

Wajah Gita pun berseri-seri dan dia segera mengikuti Leo.

Clara berdiri di dekat sofa, tatapannya selalu tertuju kepada Leo.

Leo langsung naik ke lantai dua tanpa melirik Clara.

Tante Amina melirik Clara, yang kehadirannya selalu dipandang sebelah mata, dan mencibir, “Lihat, Leo jelas-jelas lebih menyukai Gita. Di mana lagi kamu mau memosisikan dirimu? Kalau kamu memang cerdas, cepatlah pergi. Jangan tunggu sampai kamu berakhir di situasi yang menyedihkan dan mempermalukan diri sendiri.”

Lagi-lagi, Clara pun sudah mati rasa dan kata-kata kasar Tante Amina sudah tidak mempan baginya.

Clara hanya memikirkan sesuatu yang tidak bisa dia pahami.

Sebelum menikah, keluarganya Leo selalu mengira bahwa Gitalah yang menjadi calon istri, tetapi kenapa waktu itu belum ada juga pesta pernikahan?

Padahal, Leo sendiri yang berinisiatif untuk menikahi Gita.

Keanehan-keanehan itu sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Clara dan dia tidak ingin memikirkan hal-hal yang tidak penting itu.

Clara pun kembali ke kamarnya, lalu tiba-tiba dia melihat beberapa panggilan tak terjawab di ponselnya.

Setelah diperiksa, ternyata itu adalah panggilan dari rumah sakit.

Clara pun menelepon balik.

“Apakah benar ini dengan Nyonya Clara? Pasien saat ini sedang dalam kondisi yang kurang baik, harap datang ke rumah sakit sesegera mungkin,” ujar petugas rumah sakit.

Apakah sesuatu terjadi kepada neneknya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status