Beranda / Rumah Tangga / Istri Baru untuk Suamiku / Bab 4 : Kepercayaan yang Terguncang

Share

Bab 4 : Kepercayaan yang Terguncang

Penulis: RiQueena
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-24 10:37:54

Pagi itu terasa berat. Aku duduk di meja makan, menatap cangkir teh yang sudah dingin, mencoba mencari alasan untuk tidak berpikir terlalu banyak. Keheningan yang mengisi rumah kami semakin mencekik, dan setiap detik terasa semakin berat. Rey sudah pergi bekerja, meninggalkan aku dengan pikiran yang berlarian.

Ke mana perginya kedamaian yang dulu kami miliki? Apa yang terjadi dengan kami? Rasanya aku sudah berusaha terlalu keras untuk mempertahankan hubungan ini, namun aku hanya semakin merasa jauh darinya.

Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari nomor yang sudah tidak asing lagi: dokter Laila dari klinik kesuburan.

"Bu Ira, kami ingin mengonfirmasi jadwal pertemuan lanjutan untuk hasil tes. Mohon konfirmasi segera."

Aku terdiam sejenak. Rey belum memberitahuku apa-apa tentang hasil tes ini. Aku merasa seperti sebuah bagian dari hidupnya yang disembunyikan dariku, dan itu memicu rasa sakit yang aku coba untuk tidak rasakan.

Aku menekan nomor Rey. Panggilan diterima setelah beberapa dering.

“Ira, ada apa?” suara Rey terdengar datar, seolah-olah tidak ada yang penting di ujung sana.

“Rey, aku baru saja mendapat pesan dari klinik kesuburan. Kenapa kau tidak memberitahuku tentang pertemuan besok?” tanyaku, suaraku bergetar karena campuran rasa kecewa dan bingung.

“Oh, itu,” jawabnya tanpa nada penyesalan. “Aku hanya lupa memberitahumu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kita bisa bicara nanti.”

Aku bisa merasakan ketegangan yang menambah jarak antara kami. “Lupa? Rey, ini masalah besar. Aku ingin kau lebih terbuka padaku, aku ingin tahu apa yang terjadi.”

“Aku hanya ingin memastikan semuanya, Ira. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan,” jawabnya. Namun nada suaranya terdengar seperti seseorang yang mencoba menenangkan diri sendiri, bukan aku.

“Rey, jika kau ingin aku ikut serta, kau harus memberi tahu aku. Kita sedang menghadapi masalah besar dalam hubungan kita, dan aku tidak akan merasa dihargai jika kau terus menyembunyikan hal-hal ini dariku.”

Keheningan kembali mengisi ruang percakapan. Aku bisa merasakan dia menarik napas panjang di sisi sana. “Aku tahu aku salah. Aku akan memberitahumu lebih banyak, aku janji. Tapi sekarang, aku harus pergi. Kita bicarakan lagi nanti, oke?”

Aku hanya mengangguk meskipun tidak ada yang benar-benar selesai. Panggilan itu berakhir, dan aku duduk dengan hati yang penuh keraguan.

---

Sepanjang hari, aku merasa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada kegelisahan yang menggerogoti, dan meskipun aku mencoba tetap sibuk dengan pekerjaan rumah, pikiranku tidak bisa berhenti melayang ke sana—ke pertemuan dengan ibu mertuaku yang penuh ketegangan, ke dokter yang tidak aku kenal, dan ke perasaan semakin hilangnya ikatan antara aku dan Rey.

Sore harinya, ketika aku sedang duduk di ruang tamu, Rey pulang lebih larut dari biasanya. Aku memutuskan untuk memulai percakapan yang sudah tertunda lama.

Ketika dia membuka pintu, aku berdiri dan menatapnya langsung. “Rey, kita perlu bicara.”

Dia mengangkat alis, sedikit terkejut dengan nada serius yang aku gunakan. “Tentang apa, Ira?” tanyanya sambil melepas jas kerjanya.

“Bukan tentang apa, Rey. Tentang kita. Tentang hubungan ini,” jawabku dengan tegas. Aku tidak bisa lagi menunggu. Hatiku terlalu penuh.

Dia menatapku, lalu meletakkan jasnya di sofa. “Kita sudah bicara banyak, Ira. Apa lagi yang perlu kita bicarakan?” jawabnya, berusaha terdengar tenang, meskipun ada kerutan di dahinya.

“Aku merasa semakin jauh darimu,” kataku, mencoba mengatur suara agar tidak pecah. “Kenapa kau tidak bisa berbicara dengan aku, Rey? Kenapa kau selalu menghindari masalah ini?”

Dia terdiam. Matanya tampak menghindari pandanganku. “Aku tidak menghindar, Ira. Aku hanya... Aku tidak ingin menambah bebanmu.”

“Beban? Rey, kamu tidak melihatku seperti seseorang yang bisa kamu percayai? Kita menikah. Kita seharusnya menghadapi masalah ini bersama-sama. Tapi kau justru semakin menjauh. Kau pergi ke klinik tanpa memberitahuku, kamu diam tentang apa yang terjadi. Aku merasa seperti aku bukan lagi bagian dari hidupmu,” kataku, hampir tidak bisa menahan air mata yang ingin keluar.

Dia menghela napas panjang, kemudian berjalan mendekat. “Ira, aku mencoba untuk melakukan yang terbaik. Aku ingin kita berhasil. Tapi aku juga bingung. Aku tidak tahu bagaimana cara berbicara denganmu tentang hal-hal ini.”

“Jadi kau memilih untuk bersembunyi dariku?” tanyaku, suaraku semakin keras. “Aku tidak mau merasa seperti ini lagi, Rey. Aku tidak bisa terus berjuang sendirian.”

Dia menundukkan kepala, terlihat seperti seseorang yang sangat lelah. “Aku tidak tahu harus bagaimana. Ini bukan hanya tentang kita, Ira. Ini tentang keluarga, tentang ibu, tentang harapan yang sudah begitu lama aku pertahankan.”

“Apa maksudmu?” tanyaku, hampir tidak percaya dengan apa yang dia katakan.

“Aku... Aku takut mengecewakan mereka. Mereka sudah terlalu berharap, Ira. Aku takut kalau aku gagal, semuanya akan berakhir. Kau tahu betapa kerasnya ibu.”

Aku merasakan sakit itu langsung menembus hatiku. “Jadi ini semua karena ibu? Jadi kamu memilih untuk menyembunyikan segalanya dari aku, hanya karena takut mengecewakan mereka?”

“Bukan begitu, Ira. Aku hanya tidak ingin memaksamu untuk memilih antara aku dan keluargaku. Aku ingin kita baik-baik saja tanpa harus melibatkan mereka terlalu banyak.”

“Tapi kita adalah keluargaku, Rey,” kataku, air mata mulai menetes di pipiku. “Aku tidak akan memilih mereka di atasmu. Aku akan selalu ada untukmu, bahkan jika itu sulit.”

Rey terlihat bingung, wajahnya penuh keraguan. “Aku tidak tahu bagaimana melanjutkannya, Ira. Aku merasa... terjebak.”

“Aku juga merasa terjebak, Rey. Kita sudah lama terjebak dalam kebisuan ini,” jawabku dengan penuh kesedihan.

Dia mendekat, mencoba meraih tanganku. “Aku tidak ingin kita berpisah, Ira. Aku benar-benar mencintaimu.”

“Tapi kau tidak tahu apa yang benar-benar aku butuhkan, Rey. Aku butuh lebih dari sekadar kata-kata kosong. Aku butuh kejujuran. Aku butuh kamu, bukan hanya bayanganmu yang ada di sampingku,” kataku, menyeka air mataku dengan punggung tangan.

Keheningan kembali mengisi ruang itu. Kami berdua saling menatap, namun rasanya semakin sulit untuk menjembatani jarak yang ada. Tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki semuanya.

---

Saat malam datang, aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang gelap. Aku merasa terombang-ambing antara cinta dan kebingungannya Rey. Di satu sisi, aku tahu dia tidak bermaksud menyakitiku. Namun, di sisi lain, aku merasa semakin jauh darinya. Setiap detik yang berlalu seperti semakin menegaskan bahwa kami tidak lagi berjalan seiring.

Jika kepercayaan itu sudah terguncang, apakah ada yang tersisa untuk diperbaiki?

Bab terkait

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 5 : Jalan Terpecah

    Hari itu terasa lebih panas dari biasanya. Aku berdiri di balkon rumah kami, menatap kota yang tampak hiruk-pikuk di bawah. Udara terasa lembap, dan aroma aspal yang terbakar oleh matahari memancar ke dalam ruangan. Hati ini penuh, tetapi tak ada yang bisa kuungkapkan. Bahkan angin yang berhembus pun tidak bisa menenangkan pikiranku.Rey belum pulang. Pikiranku kembali berlarian, mencoba mencari cara agar semuanya kembali normal, tetapi setiap kali aku berpikir begitu, kenyataan datang seperti tamparan. Hubungan kami yang dulu penuh dengan tawa, kini terasa hampa. Setiap percakapan terasa seperti adu argumen yang tak pernah selesai.Klinik kesuburan telah memberikan hasil tes terakhir, dan semuanya sudah jelas—kami berdua memiliki masalah. Namun, ada satu hal yang semakin menyakitkan, yang tak pernah kami bicarakan secara jujur: ibu mertuaku.Aku memikirkan kata-katanya yang seringkali menusuk, kata-kata yang terus bergema di kepala. “Istri yang tidak berguna.” “Kenapa kamu tidak bisa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 6 : Pertemuan yang Membuka Luka

    Malam itu, udara terasa dingin menusuk. Hujan rintik-rintik menambah kesan muram yang menyelimuti hatiku. Aku duduk di ruang tamu sendirian, memandangi jendela kaca yang dipenuhi butiran air. Rasanya seperti melihat pantulan diriku—buram dan tak jelas.Rey baru saja keluar rumah, pergi dengan alasan yang terdengar biasa, tapi entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang lebih. Perasaan itu menghantui sejak beberapa hari terakhir, dan aku tak bisa mengabaikannya.Ketika waktu terus berlalu, pikiranku mulai dipenuhi oleh berbagai spekulasi. Ke mana dia pergi? Mengapa dia semakin sering keluar tanpa memberitahuku?Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk."Ira, aku ingin bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan."Pengirimnya adalah Karin, seorang wanita yang selama ini kerap disebut-sebut ibu mertua sebagai "pilihan yang lebih baik" untuk Rey. Aku tak pernah benar-benar berurusan dengannya secara langsung, tetapi setiap kali nama itu muncul, hatiku terasa diremas.Aku terdiam,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 7 : Kebenaran yang Menyesakkan

    Aku duduk di kamar, menatap kosong ke arah jendela yang buram oleh hujan. Rasanya seperti ada jarak yang tak terjembatani antara aku dan Rey sejak percakapan terakhir kami. Kata-katanya terus terngiang di kepalaku, seperti potongan puzzle yang tak bisa kususun.Hari itu, aku memutuskan untuk tidak membiarkan semua ini hanya berputar di pikiranku. Aku harus mencari jawaban. Bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi untuk pernikahan kami yang perlahan retak.---Pagi-pagi sekali, aku mendengar suara dering ponsel Rey. Dia meninggalkannya di meja ruang tamu sebelum berangkat bekerja. Aku tidak pernah punya kebiasaan mengutak-atik ponselnya, tapi pagi ini ada sesuatu yang membuatku ragu.Nama pengirim pesan itu membuat tubuhku seketika menegang: Citra.Pesannya singkat, tapi cukup untuk membuat pikiranku liar."Rey, aku ingin bicara. Jangan lupa temui aku malam ini. Penting."Dadaku berdegup kencang. Citra? Nama itu sudah lama tak kudengar, tetapi aku tahu dia adalah bagian dari masa lalu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-25
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 8 : Batas Kesabaran

    Hujan masih mengguyur deras di luar jendela, memberikan irama latar yang mengisi keheningan malam. Dingin mulai merayap masuk ke dalam rumah, seolah menyusup melalui setiap celah, mengiringi perasaan beku di hatiku. Sudah beberapa hari sejak percakapan menyakitkan dengan Rey, dan ketegangan masih terasa di antara kami.Pagi ini, aku berdiri di dapur dengan tangan gemetar saat menuangkan air ke dalam cangkir. Suara dering ponsel Rey terdengar dari ruang tamu, memecah pikiranku yang sudah penuh dengan prasangka. Aku melihatnya dari sudut mata, duduk di sofa dengan tatapan serius. Dia menjawab panggilan itu dengan nada rendah dan berbisik.“Aku mengerti, aku akan mengurusnya. Jangan khawatir,” katanya sambil melirikku sekilas.Hati ini semakin tergores, dan aku tahu aku tidak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Aku meletakkan cangkirku dengan kasar, membuat suara denting yang menarik perhatian Rey. Dia menoleh, ekspresinya berubah tegang.“Ira, ada apa?” tanyanya pelan.Aku m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-25
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 9 : Retakan yang Kian Dalam

    Hari-hari berlalu dengan keheningan yang membunuh. Aku dan Rey menjalani rutinitas seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada tawa kecil yang dulu selalu mengisi ruangan ini. Yang tersisa hanyalah keheningan, diisi dengan ketegangan yang terus membayangi.Aku masih mencoba memahami semuanya—tentang Rey, tentang Citra, dan tentang bagaimana pernikahan kami perlahan-lahan seperti benang yang hampir putus. Setiap kali aku melihat Rey, ada rasa kecewa dan marah yang sulit kuhilangkan.Namun, di tengah kekacauan ini, hidup tetap berjalan. Pagi itu, aku memutuskan untuk pergi ke pasar, mencoba mencari udara segar. Aku membutuhkan waktu untuk berpikir, untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang terus menghantuiku.Pasar pagi itu ramai seperti biasanya. Suara pedagang yang menawarkan barang dagangan mereka bercampur dengan langkah kaki para pembeli. Aku berjalan melewati kios demi kios, mencoba menikmati suasana, tetapi pikiranku teta

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-25
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 10 : Citra yang Menghantui

    Hari itu aku memutuskan untuk mengunjungi rumah orangtuaku. Sudah lama aku tidak bertemu mereka, dan suasana rumah mungkin bisa memberiku sedikit ketenangan. Namun, di perjalanan menuju rumah, pikiranku terus saja memutar ulang percakapan terakhir dengan Rey. Ketidakpastian yang dia tunjukkan semakin membuatku merasa kecil.Bagaimana mungkin aku, yang sudah mencurahkan segalanya untuk pernikahan ini, tetap berada di bawah bayang-bayang wanita bernama Citra? Wanita itu bagai hantu yang terus hadir di tengah hubungan kami.Setibanya di rumah, Ibu menyambutku dengan pelukan hangat seperti biasa. "Ira, kamu kelihatan lebih kurus, Nak. Apa kamu makan dengan benar?" tanyanya cemas.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegundahan hatiku. "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit lelah karena pekerjaan."Tapi Ibu selalu tahu ada sesuatu yang tidak kukatakan. Sepanjang makan siang bersama, aku berusaha mengalihkan perhatian dengan bercerita tentang pekerjaanku. Namun, ketika aku selesai b

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 11 : Di Ambang Keputusan

    Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamarku, tapi kehangatannya tak mampu mengusir dingin yang merasuki hati ini. Aku bangun dengan perasaan berat, seperti membawa beban yang semakin hari semakin tak tertahankan.Rey sudah tidak ada di rumah saat aku turun ke ruang makan. Meja makan kosong, hanya menyisakan secangkir kopi dingin yang mungkin dia tinggalkan dalam terburu-buru. Ada kelegaan kecil karena aku tak perlu menghadapi tatapannya yang selalu penuh penyesalan. Namun, di sisi lain, keheningan ini semakin menyiksa.Aku menatap layar ponselku, memikirkan pesan dari Karin malam sebelumnya.Kalau kamu butuh tempat untuk berpikir, datanglah ke sini. Aku akan selalu ada untukmu.Aku tahu Karin benar. Aku butuh ruang, jauh dari Rey, jauh dari semua tekanan yang terus menghimpitku. Dengan keputusan mendadak, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Karin.---Karin tinggal di sebuah rumah kecil yang nyaman di pinggiran kota. Begitu aku tiba, dia langsung menyambutku dengan pelukan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 12 : Di Balik Harapan

    Pagi itu, hujan turun deras membasahi kota. Dedaunan di taman kecil depan rumah bergoyang ditiup angin, sementara aku duduk di meja makan, menatap cangkir kopi yang sudah mendingin. Hari ini adalah hari yang menentukan. Aku dan Rey memutuskan untuk pergi bersama menemui konselor pernikahan untuk terakhir kalinya, sesuatu yang selama ini memang selalu kami hindari.Rey turun dari lantai atas, mengenakan kemeja putih dan celana jeans. Penampilannya rapi, tapi garis-garis di wajahnya menunjukkan bahwa dia sama tegangnya denganku.“Kamu siap?” tanyanya, suaranya pelan namun penuh makna.Aku mengangguk, walaupun jauh di dalam hati, aku merasa belum benar-benar siap menghadapi apa yang akan kami bicarakan.---Di Ruang KonselingRuang konseling itu sederhana namun nyaman, dengan sofa empuk dan dinding yang dihiasi lukisan-lukisan abstrak. Konselor kami, seorang wanita paruh baya bernama Bu Lestari, duduk di depan kami dengan senyum lembut.“Selamat datang, Rey dan Ira,” sapanya hangat. “Say

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26

Bab terbaru

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 28 : Pendirian yang Tak Tergoyahkan

    GN Bab 28 : Pendirian yang Tak Tergoyahkan(49-50)Kamar rawat inap dengan dinding berwarna pastel lembut, lengkap dengan tirai putih yang terbuka sedikit hingga sinar matahari pun masuk dengan leluasa, membuat suasana sedikit lebih hangat. Namun, suasana hatiku tetap suram, tidak ada kehangatan didalamnya. Aku berdiri di lorong rumah sakit, menatap pintu kamar Citra dengan perasaan bercampur aduk."Ibu mohon, Rey." Suara Ibu terdengar tegas namun penuh tekanan. Ibu berdiri persis di sebelahku dengan tangan kanan menyentuh lenganku. "Masuklah. Temani Citra. Tunjukkan bahwa kamu peduli."Aku menoleh, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Ibu, ini bukan tentang kepedulian. Aku ...""Apa pun yang ingin kamu katakan, simpan untuk nanti," potongnya cepat. "Sekarang yang penting adalah menunjukkan bahwa kita mendukung Citra. Tidak ada salahnya kamu berada di sisinya, setidaknya untuk sementara waktu."Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dalam dadaku. Kata-kata Ibu selalu p

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 27 : Pilihan yang Sulit

    Aku berdiri di depan cermin kamar mandi toilet rumah sakit, menatap bayanganku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Setelah berbagai pertengkaran, aku harus menghadapi ibu lagi. Tapi kali ini, aku bertekad untuk mengatakan sesuatu yang mungkin mengubah pandangannya, atau setidaknya membuatnya berpikir ulang tentang Ira.Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri."Ibu," kataku pelan, mengambil tempat di kursi ruang tunggu seberangnya.Ibu mengangkat alis. "Apa lagi, Rey? Kamu ingin membicarakan istrimu lagi?"Aku mengangguk. "Ya, Bu. Tapi kali ini, aku ingin ibu tahu semuanya.""Ira bukan hanya wanita biasa, Bu. Sebelum kami menikah, dia adalah seorang Manager Keuangan di perusahaan tempat aku bekerja. Posisi yang tidak mudah dicapai, apalagi oleh seorang wanita muda." Kuulangi lagi ucapanku tentang prestasi Ira.Ibu tampak skeptis. "Dan itu membuatnya istimewa? Banyak wanita karier di luar sana, Rey."Aku mengangguk. "Tapi Ira bukan sekadar wanita karier, Bu. Dia adalah se

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 26 : Luka Lama yang Terungkit

    Rumah sakit malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Aku duduk di kursi ruang tunggu, masih memikirkan kondisi Citra yang belum sadar. Ibu duduk di sebelahku, wajahnya masih terlihat lelah dan sembab setelah menangis seharian. Aku mencoba fokus pada apa pun untuk mengalihkan pikiranku, tetapi rasanya mustahil.Ketika suasana seolah mulai tenang, Ibu tiba-tiba membuka pembicaraan.“Rey,” katanya dengan nada pelan namun tegas, “Ibu ingin bicara serius denganmu.”Aku menoleh ke arahnya. “Tentang apa lagi, Bu?” tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.“Ini tentang Citra,” jawabnya, menghela napas berat. “Dan tentang Ira.”Aku menghela napas panjang. “Bu, apa lagi yang Ibu ingin sampaikan? Aku sudah lelah.”“Rey, dengar dulu,” potong Ibu. “Ibu hanya ingin kamu sadar. Ibu ingin kamu melihat kenyataan.”---Ibu menatapku dengan mata yang penuh tekanan. “Rey, kamu tahu Citra itu seperti apa. Dia berasal dari keluarga yang luar biasa. Ayahnya memiliki perusahaan be

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 25 : Bayangan yang Menghantui

    Rumahku terasa lebih sunyi dari biasanya. Sejak Ira pergi, tempat ini seolah kehilangan nyawanya. Semua benda di sekelilingku masih sama, tapi atmosfernya berubah—dingin, sepi, dan penuh kenangan yang menghantui.Ketika suara bel pintu berbunyi, aku berjalan ke depan dengan setengah hati. Aku tidak mengharapkan siapa pun. Ketika kubuka pintu, Ibu berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak.“Bu?” tanyaku, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.“Aku masuk,” katanya tanpa basa-basi, berjalan melewatiku dan langsung duduk di sofa ruang tamu.Aku menghela napas panjang, menutup pintu, dan mengikutinya ke ruang tamu. Ini bukan pertanda baik. Setiap kali Ibu datang tanpa pemberitahuan, selalu ada sesuatu yang tidak menyenangkan.---Ibu menatapku dengan sorot mata tajam. “Rey, aku punya sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu.”“Ada apa, Bu?” tanyaku sambil duduk di seberangnya.“Ini tentang Ira,” katanya langsung, membuat dadaku merasa sesak seketika.“Apa lagi, Bu?” Aku menc

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 24 : Akhir Basa-Basi

    Waktu tak terasa kian berlalu dengan cepat. Aku menatap satu bendel berkas di depanku, tak terasa tanganku gemetar. Sebuah surat dengan kop pengadilan agama, isinya jelas: Ira telah mengajukan gugatan cerai. Matahari yang masuk melalui jendela hanya membuat huruf-huruf di atas kertas itu semakin jelas dan menyakitkan.Aku memejamkan mata, mencoba mencerna semuanya. Hatiku seolah diperas, sesak yang tak tertahankan. Ira benar-benar melangkah sejauh ini. Apa yang membuatnya sampai pada keputusan yang sangat berani ini?---Hari itu aku harus menghadapi kenyataan. Aku datang ke pengadilan agama dengan setelan gelap, berharap bisa menunjukkan ketenangan yang sesungguhnya tidak kurasakan. Ira sudah ada di sana, duduk dengan wajah tegas yang membuat jantungku semakin berat.Dia tampak anggun dengan balutan gaun yang juga berwarna hitam. Meskipun tampak serasi denganku saat ini, sorot matanya menunjukkan kelelahan. Kami bertatapan sejenak sebelum dia mengalihkan pandangannya, seolah-olah aku

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 23 : Jalan yang Terjal

    Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiran tentang Ira terus menghantui. Suara pintu yang tertutup ketika dia meninggalkan pesta tadi malam terus terngiang di telingaku. Aku mencoba mencari jawaban atas semua kesalahanku, tetapi semakin aku merenung, semakin aku merasa tersesat.Pagi datang terlalu cepat. Matahari mulai naik, tapi kehangatannya tidak mampu menenangkan hatiku. Aku duduk di sofa ruang tamu, memandangi ponselku yang tergeletak di meja. Aku ingin menelepon Ira, memintanya pulang.---Di tengah kebimbanganku, sebuah pesan masuk. Itu dari Adrian.“Rey, aku minta maaf soal kemarin. Aku tidak tahu Citra akan datang ke acara itu. Dia datang tanpa diundang,” tulisnya.Aku membaca pesan itu berulang kali, mencoba meredakan amarah yang perlahan membara. Aku tidak tahu apakah Ira akan mempercayaiku jika aku memberitahunya tentang ini.Tanpa berpikir panjang, aku menelepon Adrian. “Halo, Adrian. Aku butuh bicara denganmu.”“Rey, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu situasinya s

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 22 : Jalan di Antara Kepedihan

    POV ReyAku duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tanganku, tetapi rasa pahitnya terasa hambar dibandingkan perasaan yang terus menghantui pikiranku. Matahari baru saja naik, menyinari ruang tamu dengan cahaya keemasan. Suasana rumah tampak tenang, tapi ada kekosongan yang menyakitkan di dalam hatiku.Ira sudah pergi sejak pagi. Dia tidak mengatakan banyak saat berangkat, hanya ucapan singkat, “Aku ada urusan,” tanpa menoleh ke arahku. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi aku bisa merasakan jarak di antara kami semakin melebar.Di meja, surat dari pengacara perihal bisnis yang sedang aku urus tergeletak di samping ponselku. Namun, pikiranku tidak bisa fokus pada pekerjaan. Bayang-bayang semalam—tatapan Ira yang penuh keraguan, ucapannya yang menyiratkan ketidakpercayaan—terus menghantui.---Pukul sembilan pagi, ponselku berbunyi. Aku mengangkatnya tanpa melihat nama yang muncul di layar, berharap itu Ira.“Rey?” Suara di seberang membuatku terdiam sejenak. Itu suara

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 21 : Cahaya di Ujung Terowongan

    POV ReyPagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Semalam, percakapan kami—walau berat—menyisakan sedikit kelegaan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa Ira bersedia memberiku ruang untuk membuktikan niatku. Tapi aku tahu, kepercayaan yang telah hancur tidak bisa dibangun kembali dalam semalam.Aku berdiri di depan cermin, memandangi bayanganku sendiri. Wajah yang menatap balik padaku adalah seseorang yang merasa lelah tapi bertekad. Hari ini adalah hari yang penting. Aku akan melakukan sesuatu yang mungkin bisa menjadi langkah awal dalam membuktikan keseriusanku kepada Ira.---Setelah mandi, aku duduk di ruang kerja, mencoba menyusun rencana. Aku ingin menunjukkan kepada Ira bahwa aku mendengarkan setiap keluh kesahnya semalam. Salah satu hal yang dia katakan adalah betapa dia merasa tidak dihargai selama ini—seolah-olah semua pengorbanannya untuk pernikahan ini tidak pernah berarti bagiku.Aku memutuskan untuk membuat kejutan kecil untuknya. Bukan sesuatu yan

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 20 : Bayangan Masa Lalu

    POV ReyPagi itu aku duduk di meja kerja dengan gelas kopi yang sudah dingin di tangan. Pikiran tentang percakapanku dengan Ira beberapa hari yang lalu masih mengganggu. Dia bilang dia butuh waktu untuk percaya padaku lagi, dan aku memahaminya. Tapi tidak ada yang mengatakan seberapa sulit rasanya menunggu, apalagi ketika aku tahu dia masih menyimpan luka yang aku buat.Aku membuka laptop, mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaan. Namun, pikiranku terus kembali ke masa lalu, mengingat bagaimana semuanya bermula. Pernikahan kami tidak pernah sempurna, tapi aku pikir cinta kami cukup untuk melewati semua badai. Ternyata aku salah.---Saat aku tenggelam dalam pikiranku, teleponku berdering. Nama yang muncul di layar membuatku terdiam sejenak—Citra.Aku menarik napas panjang sebelum menjawab. “Halo?”“Rey,” suaranya terdengar tegas tetapi lembut. “Aku butuh bicara denganmu.”“Sekarang bukan waktu yang tepat, Cit,” jawabku, mencoba menahan ketegangan dalam suaraku.“Ini penting,” ka

DMCA.com Protection Status