Home / Rumah Tangga / Istri Baru untuk Suamiku / Bab 4 : Kepercayaan yang Terguncang

Share

Bab 4 : Kepercayaan yang Terguncang

Author: RiQueena
last update Last Updated: 2024-12-24 10:37:54

Pagi itu terasa berat. Aku duduk di meja makan, menatap cangkir teh yang sudah dingin, mencoba mencari alasan untuk tidak berpikir terlalu banyak. Keheningan yang mengisi rumah tangga kami semakin mencekik, dan setiap detik terasa semakin berat. Mas Rey sudah pergi bekerja, meninggalkan aku dengan pikiran yang berlarian.

Ke mana perginya kedamaian yang dulu kami miliki? Apa yang terjadi dengan kami? Rasanya aku sudah berusaha terlalu keras untuk mempertahankan hubungan ini, namun aku hanya semakin merasa jauh dari suamiku.

Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari nomor yang sudah tidak asing lagi: dokter Laila dari klinik kesuburan.

"Bu Ira, kami ingin mengonfirmasi jadwal pertemuan lanjutan untuk hasil tes. Mohon konfirmasi segera."

Aku terdiam sejenak. Mas Rey belum memberitahuku apa-apa tentang hasil tes ini. Aku merasa seperti sebuah bagian dari hidupnya yang disembunyikan dariku, dan itu memicu rasa sakit yang kucoba untuk tidak rasakan.

Aku menekan nomor Mas Rey. Panggilan diterima setelah beberapa nada dering berbunyi.

“Sayang, ada apa?” suara Mas Rey terdengar datar, seolah-olah tidak ada yang penting di ujung sana.

“Mas, aku baru saja mendapat pesan dari klinik kesuburan. Kenapa Mas tidak memberitahuku tentang pertemuan besok?” tanyaku, suaraku bergetar karena bercampur rasa kecewa dan bingung.

“Oh, itu,” jawabnya tanpa tersirat nada penyesalan. “Aku hanya lupa memberitahumu, Sayang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita bisa bicara nanti.”

Aku bisa merasakan ketegangan yang menambah jarak antara kami. “Lupa? Mas, ini masalah besar. Aku ingin Mas lebih terbuka padaku, aku ingin tahu apa yang terjadi.”

“Mas hanya ingin memastikan semuanya, Sayang. Tidak ada yang perlu Sayang khawatirkan,” jawabnya. Namun nada suaranya terdengar seperti seseorang yang mencoba menenangkan diri sendiri, bukan aku.

“Mas, jika kamu ingin aku ikut serta, Mas harus memberi tahu aku. Kita sedang menghadapi masalah besar dalam hubungan kita, dan aku tidak akan merasa dihargai jika Mas terus menyembunyikan hal-hal ini dariku.”

Keheningan kembali mengisi ruang percakapan. Aku bisa merasakan Mas Rey menarik napas panjang di sisi sana. “Mas tahu ini salah. Mas akan memberitahumu lebih banyak, Mas janji. Tapi sekarang, Mas harus pergi. Kita bicarakan lagi nanti, Yang.”

Aku hanya mengangguk meskipun tidak ada yang benar-benar selesai. Panggilan itu berakhir, dan aku duduk dengan hati yang penuh keraguan.

---

Sepanjang hari, aku merasa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada kegelisahan yang menggerogoti, dan meskipun aku mencoba tetap sibuk dengan pekerjaan rumah, pikiranku tidak bisa berhenti melayang ke sana—ke pertemuan dengan ibu mertuaku yang penuh ketegangan, ke dokter yang tidak aku kenal, dan ke perasaan semakin hilangnya ikatan antara aku dan Mas Rey.

Sore harinya, ketika aku sedang duduk di ruang tamu, Mas Rey pulang lebih larut dari biasanya. Aku memutuskan untuk memulai percakapan yang sudah tertunda lama.

Ketika Mas membuka pintu, aku berdiri dan menatapnya langsung. “Mas, kita perlu bicara.”

Mas Rey mengangkat alis, sedikit terkejut dengan nada serius yang aku gunakan. “Tentang apa, Sayang?” tanyanya sambil melepas jas kerjanya, berusaha tenang.

“Bukan tentang apa, Mas. Tentang kita. Tentang hubungan ini,” jawabku dengan tegas. Aku tidak bisa lagi menunggu. Hatiku terlalu penuh.

Mas Rey menatapku, lalu meletakkan jasnya di sofa. “Kita sudah bicara banyak, Yang. Apa lagi yang perlu kita bicarakan?” jawabnya, berusaha terdengar tenang, meskipun ada kerutan di dahinya.

“Aku merasa semakin jauh darimu, Mas,” kataku, mencoba mengatur suara agar tidak pecah. “Kenapa Mas tidak bisa berbicara dengan aku? Kenapa Mas selalu menghindari masalah ini?”

Mas Rey terdiam. Matanya tampak menghindari pandanganku. “Mas tidak menghindar, Yang. Mas hanya ... Mas tidak ingin menambah bebanmu, Yang."

“Beban? Mas, kamu tidak melihatku seperti seseorang yang bisa kamu percayai? Kita menikah, Mas. Kita seharusnya menghadapi masalah ini bersama-sama. Tapi Mas justru semakin menjauh. Mas pergi ke klinik tanpa memberitahuku, Mas diam tentang apa yang terjadi. Aku merasa seperti aku bukan lagi bagian dari hidupmu, Mas," kataku, hampir tidak bisa menahan air mata yang menyembul ingin keluar.

Mas Rey menghela napas panjang, kemudian berjalan mendekat. “Yang ... Mas mencoba untuk melakukan yang terbaik. Mas ingin kita berhasil. Tapi Mas juga bingung. Mas tidak tahu bagaimana cara berbicara denganmu tentang hal-hal ini.”

“Jadi Mas memilih untuk bersembunyi dariku?” tanyaku, suaraku semakin keras. “Aku tidak mau merasa seperti ini lagi, Mas. Aku tidak bisa terus berjuang sendirian.”

Mas Rey menundukkan kepala, terlihat seperti seseorang yang sangat lelah. “Mas tidak tahu harus bagaimana. Ini bukan hanya tentang kita, Yang. Ini tentang keluarga, tentang ibu, tentang harapan yang sudah begitu lama aku pertahankan.”

“Apa maksudmu, Mas?” tanyaku, hampir tidak percaya dengan apa yang dia katakan.

“Mas ... Mas takut mengecewakan mereka. Mereka sudah terlalu berharap, Sayang. Mas takut kalau Mas gagal, semuanya akan berakhir. Sayang tahu betapa kerasnya ibu.”

Aku merasakan rasa sakit ini langsung menembus hatiku. “Jadi ini semua karena ibu? Jadi Mas memilih untuk menyembunyikan segalanya dari aku, hanya karena takut mengecewakan mereka?”

“Bukan begitu, Sayang. Mas hanya tidak ingin memaksamu untuk memilih antara aku dan keluargaku. Mas ingin kita baik-baik saja tanpa harus melibatkan mereka terlalu banyak.”

“Tapi Mas adalah suamiku,” kataku, air mata mulai menetes di pipiku. “Aku tidak akan memilih mereka di atasmu. Aku akan selalu ada untukmu, bahkan jika itu sulit, Mas.”

Mas Rey terlihat bingung, wajahnya penuh keraguan. “Mas tidak tahu bagaimana melanjutkannya, Sayang. Mas merasa ... terjebak.”

“Aku juga merasa terjebak, Mas. Kita sudah lama terjebak dalam kebisuan ini,” jawabku dengan penuh kesedihan.

Mas Rey mendekat, mencoba meraih tanganku. “Mas tidak ingin kita berpisah, Sayang. Mas benar-benar mencintaimu, Yang.”

“Tapi Mas tidak tahu apa yang benar-benar aku butuhkan, Mas. Aku butuh lebih dari sekadar kata-kata kosong. Aku butuh kejujuran. Aku butuh Mas, bukan hanya bayanganmu yang ada di sampingku, Mas,” kataku, menyeka air mata di pipiku dengan punggung tangan.

Keheningan kembali mengisi ruang itu. Kami berdua saling menatap, namun rasanya semakin sulit untuk menjembatani jarak yang ada. Tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki semuanya.

---

Saat malam datang, aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang gelap. Aku merasa terombang-ambing antara cinta dan kebingungannya Mas Rey. Di satu sisi, aku tahu Mas Rey tidak bermaksud menyakitiku. Namun, di sisi lain, aku merasa semakin jauh darinya. Setiap detik yang berlalu seperti semakin menegaskan bahwa kami tidak lagi berjalan seiring.

Jika kepercayaan itu sudah terguncang, apakah ada yang tersisa untuk diperbaiki?

Related chapters

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 5 : Jalan Terpecah

    Hari ini terasa lebih panas dari biasanya. Aku berdiri di balkon rumah kami, menatap pemandangan kota yang tampak sibuk dengan rutinitas penduduknya. Udara terasa lembap, dan aroma aspal yang terkena paparan sinar matahari berhembus ke dalam ruangan. Hati ini penuh dengan prasangka, namun tak ada yang bisa kuungkapkan. Bahkan angin yang berhembus pun tidak bisa menenangkan pikiranku. Mas Rey belum pulang sampai saat ini. Pikiranku kembali berlarian, mencoba mencari cara agar semuanya kembali normal, tetapi setiap kali aku berpikir begitu, kenyataan datang seperti sebuah tamparan yang sangat keras. Hubungan kami yang dulu penuh dengan canda tawa, kini terasa hampa. Setiap percakapan terasa seperti adu argumen yang tak pernah selesai. Klinik kesuburan telah memberikan hasil tes terakhir, dan semuanya sudah jelas—kami berdua memiliki masalah. Namun, ada satu hal yang semakin menyakitkan, yang tak pernah kami bicarakan secara jujur: ibu mertuaku. Aku memikirkan kata-kata ibu mertuaku

    Last Updated : 2024-12-24
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 6 : Pertemuan yang Membuka Luka

    Malam itu, udara terasa dingin menusuk. Hujan rintik-rintik menambah kesan muram yang menyelimuti hatiku. Aku duduk di ruang tamu sendirian, memandangi jendela kaca yang dipenuhi butiran air. Rasanya seperti melihat pantulan diriku—buram dan tak jelas. Mas Rey baru saja keluar rumah, pergi dengan alasan yang terdengar biasa, tapi entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Perasaan itu menghantui sejak beberapa hari terakhir, dan aku tak bisa mengabaikannya. Ketika waktu terus berlalu, pikiranku mulai dipenuhi oleh berbagai spekulasi. Ke mana Mas Rey pergi? Mengapa Mas Rey semakin sering keluar tanpa memberitahuku? Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. "Ira, aku ingin bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan." Pengirimnya adalah Karin, seorang wanita yang selama ini kerap disebut-sebut ibu mertua sebagai "pilihan yang lebih baik" untuk Mas Rey. Aku tak pernah benar-benar berurusan dengannya secara langsung, tetapi setiap kali nama itu muncul, hatiku ter

    Last Updated : 2024-12-24
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 7 : Kebenaran yang Menyesakkan

    Aku duduk seorang diri didalam kamar, menatap kosong jendela yang buram oleh hujan. Rasanya seperti ada jurang pemisah antara aku dan Mas Rey sejak percakapan terakhir kami. Kata-kata Mas Rey terus terngiang di kepalaku, seperti potongan puzzle yang tak bisa kususun kembali. Hari ini, aku memutuskan untuk tidak membiarkan semua masalah ini hanya berputar di pikiranku. Aku harus mencari jawaban. Bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi untuk pernikahan kami yang perlahan mulai retak. Ditengah kebimbangan yang melanda, aku mendengar suara dering ponsel yang sangat familiar. Mas Rey meninggalkan ponselnya di meja ruang tamu sebelum berangkat bekerja. Aku tidak pernah punya kebiasaan mengutak-atik ponsel Mas Rey, tapi pagi ini ada sesuatu yang membuatku ragu. Nama pengirim pesan itu membuat tubuhku seketika menegang: Citra. Pesannya singkat, tapi cukup untuk membuat pikiranku liar. "Mas Rey, aku ingin bicara denganmu empat mata. Jangan lupa temui aku malam ini. Penting." Dadaku b

    Last Updated : 2024-12-25
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 8 : Batas Kesabaran

    Hujan masih turun dengan deras, memberikan irama khas yang mengisi keheningan malam. Dingin mulai merambat masuk ke dalam rumah, seolah menyusup melalui setiap celah, mengiringi perasaan beku di relung hatiku. Sudah beberapa hari sejak percakapan terakhir yang terasa menyakitkan dengan suamiku, dan hingga kini ketegangan masih terasa di antara kami. Pagi ini, aku berdiri di dapur dengan tangan gemetar saat menuangkan air ke dalam cangkir. Suara dering ponsel Mas Rey di ruang tamu terdengar masuk ke telingaku, memecah konsentrasi pikiranku yang sudah penuh dengan prasangka. Aku melihatnya dari sudut jendela dapur, duduk di sofa dengan tatapan serius. Mas Rey menjawab panggilan itu dengan nada rendah dan berbisik. “Aku mengerti, aku akan mengurusnya. Jangan khawatir,” katanya sambil melirikku sekilas. Hati ini semakin tergores, dan aku tahu aku tidak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Aku meletakkan cangkirku dengan kasar, membuat suara denting yang menarik perhatian M

    Last Updated : 2024-12-25
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 9 : Retakan yang Kian Dalam

    Hari-hari berlalu dengan keheningan yang membunuh. Aku dan Mas Rey menjalani rutinitas seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada tawa kecil yang dulu selalu mengisi ruangan ini. Yang tersisa hanyalah keheningan, diisi dengan ketegangan yang terus membayangi. Aku masih mencoba memahami semuanya—tentang Mas Rey, tentang Citra, dan tentang bagaimana pernikahan kami perlahan-lahan seperti benang yang hampir putus. Setiap kali aku melihat Mas Rey, ada rasa kecewa dan marah yang sulit kuhilangkan. Namun, di tengah kekacauan ini, hidup tetap berjalan. Pagi ini, aku memutuskan untuk pergi ke pasar, mencoba mencari udara segar. Aku membutuhkan waktu untuk berpikir, untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang terus menghantuiku. Pasar pagi ini ramai seperti biasanya. Suara pedagang yang menawarkan barang dagangan mereka bercampur dengan langkah kaki para pembeli. Aku berjalan melewati kios demi kios, mencoba menikmati suasana, teta

    Last Updated : 2024-12-25
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 10 : Citra yang Menghantui

    Aku memutuskan untuk mengunjungi rumah orangtuaku, selepas mas Rey berangkat kerja. Sudah lama aku tidak bertemu mereka, dan suasana rumah mungkin bisa memberiku sedikit ketenangan. Namun, di perjalanan menuju rumah, pikiranku terus saja memutar ulang percakapan terakhir dengan Mas Rey. Ketidakpastian yang suamiku tunjukkan semakin membuatku merasa kecil. Bagaimana mungkin aku, yang sudah mencurahkan segalanya untuk pernikahan ini, tetap berada di bawah bayang-bayang wanita bernama Citra? Wanita itu bagai hantu yang terus hadir di tengah hubungan kami. Setibanya di rumah, Ibu menyambutku dengan pelukan hangat seperti biasa. "Nduk, kamu kelihatan lebih kurus. Apa pola makanmu tidak teratur?" tanya ibu dengan cemas. Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegundahan hatiku. "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit lelah karena pekerjaan." Tapi Ibu selalu tahu ada sesuatu yang tidak kukatakan. Sepanjang makan siang bersama, aku berusaha mengalihkan perhatian dengan bercerita te

    Last Updated : 2024-12-26
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 11 : Di Ambang Keputusan

    Sinar matahari pagi yang cerah menembus tirai jendela kamarku, tapi kehangatannya tak mampu mengusir dingin yang merasuki hati ini. Aku bangun dengan perasaan berat, seperti membawa beban yang semakin hari semakin tak tertahankan. Mas Rey sudah tidak ada di rumah saat aku turun ke ruang makan. Meja makan terlihat kosong, hanya menyisakan secangkir kopi dingin yang mungkin dia tinggalkan dalam terburu-buru. Ada kelegaan kecil karena aku tak perlu menghadapi tatapannya yang selalu penuh penyesalan. Namun, di sisi lain, keheningan ini semakin menyiksa. Berbeda dengan tahun-tahun awal pernikahan kami, tiap pagi menjelang kami kompak untuk sarapan pagi bersama. Bercanda tentang apapun itu. Namun, semuanya kini tinggal kenangan yang ada. Aku menatap layar ponselku, memikirkan pesan dari Karin malam sebelumnya. Kalau kamu butuh tempat untuk berpikir, datanglah ke sini. Aku akan selalu ada untukmu. Aku tahu Karin benar. Aku butuh ruang, jauh dari suamiku, jauh dari semua tekanan yang t

    Last Updated : 2024-12-26
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 12 : Di Balik Harapan

    Hujan turun deras membasahi kota. Dedaunan di taman kecil depan rumah bergoyang ditiup angin, sementara aku duduk di meja makan, menatap cangkir kopi yang sudah dingin. Hari ini adalah hari yang menentukan. Aku dan Mas Rey memutuskan untuk pergi bersama menemui konselor pernikahan untuk terakhir kalinya, sesuatu yang selama ini memang selalu kami hindari. Rey turun dari lantai atas, mengenakan kemeja putih dan celana jeans. Penampilannya rapi, tapi garis-garis di wajahnya menunjukkan bahwa dia sama tegangnya denganku. “Siap, Yang?” tanyanya, suaranya pelan namun penuh makna. Aku mengangguk, walaupun jauh di dalam hati, aku merasa belum benar-benar siap menghadapi apa yang akan kami bicarakan. Ruang konseling itu sederhana namun nyaman, dengan sofa empuk dan dinding yang dihiasi lukisan-lukisan abstrak. Konselor kami, seorang wanita paruh baya duduk di depan kami dengan senyum lembut. “Selamat datang, Pak Rey dan Bu Ira,” sapanya hangat. “Saya senang kalian memutuskan untuk me

    Last Updated : 2024-12-26

Latest chapter

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 50

    Setelah percakapan panjang mereka di kafe, Rey melirik jam tangannya. Hari sudah mulai gelap. Ia menatap Ira yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya."Mas antar pulang, Yang," kata Rey tiba-tiba.Ira menoleh, ragu sejenak. "Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri."Rey menghela napas, menatapnya serius. "Yang, ini sudah malam. Mas nggak akan tenang kalau kamu pulang sendirian."Ira terdiam tidak menjawab.Rey melirik meja di samping mereka, matanya menyapu permukaannya dengan cepat. Dahinya mengernyit. "Sayang ga bawa mobil, kan?" tanyanya pelan, tapi penuh arti.Ira mengangkat bahu, berusaha tetap santai. "Memangnya kenapa?"Rey menatapnya lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. "Sayang selalu naruh kunci mobil di atas meja. Sekarang nggak ada." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Berarti Sayang nggak bawa mobil, kan?"Ira menelan ludah, tidak langsung menjawab. Rey masih mengingat kebiasaannya dengan baik.Rey tersenyum kecil, sedikit menggel

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 49

    Alnaira Riquina duduk di meja kerjanya, menatap dokumen-dokumen yang belum tersentuh. Namun, pikirannya melayang kepada sosok Reyvaldo Anggara, lelaki yang masih menghantuinya meskipun mereka tidak lagi tinggal seatap.Suara ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar—nama Karin muncul di sana. Dengan ragu, ia mengangkat telepon."Halo, assalamualaikum, Karin.""Waalaikumsalam, Ra, kamu sudah dengar kabar tentang Rey?" Suara Karin terdengar khawatir.Ira mengernyitkan dahi. "Kabar apa?""Rapat dewan direksi tadi pagi ... Aku dengar posisinya semakin terancam. Ada banyak pihak yang ingin menjatuhkannya."Ira menghela napas panjang. "Aku sudah menduga. Sejak masalah merger itu, semuanya pasti menjadi semakin sulit baginya.""Ya, tapi ini lebih dari sekadar merger. Ada pihak yang ingin menyingkirkannya secara permanen. Aku dengar beberapa pemegang saham mulai goyah."Ira menggigit bibirnya. "Rey itu orang yang sangat ambisius dalam pekerjaannya, tapi selalu profesional. Kalau sampa

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 48

    Rapat yang berlangsung selama lebih dari dua jam akhirnya ditunda. Para direksi meninggalkan ruangan satu per satu, menyisakan Rey yang masih duduk sambil menatap layar laptopnya. Ia merasa lega karena merger tidak diputuskan secara tergesa-gesa, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa tekanan dari berbagai pihak akan semakin besar.Pintu ruangan terbuka pelan, dan Nia masuk sambil membawa secangkir kopi di atas nampan. Ia melangkah dengan hati-hati, lalu meletakkan kopi di meja kerja Rey.Nia tersenyum kecil. “Kopi hitam tanpa gula, seperti biasa.”Rey menoleh ke arah Nia, menghela napas panjang sebelum meraih cangkir itu. “Terima kasih."Nia memperhatikan wajah Rey yang tampak lelah. “Rapat tadi cukup berat, ya, Pak?”Rey mengangguk sambil mengaduk kopinya pelan. “Lebih dari itu. Aku sudah menduga kalau mereka akan berusaha menekanku, tapi tidak kusangka sampai seintens ini.”Nia menarik kursi dan duduk sebentar. “Sepertinya Pak Rendra dan beberapa direksi benar-benar ingin merger ini se

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 47

    Pak Surya mengetuk meja layaknya pak hakim memutuskan perkara. "Setelah mendengar berbagai pertimbangan, saya rasa kita perlu waktu lebih banyak untuk menganalisis semua kemungkinan. Keputusan sebesar ini tidak bisa diambil dalam satu pertemuan.”Pak Arman mengangguk setuju. “Saya juga merasa kita terlalu terburu-buru. Ada terlalu banyak hal yang belum jelas. Saya usul kita menunda rapat ini selama satu minggu agar semua pihak bisa mengkaji ulang proposal merger dengan lebih mendalam.”Rey menyambut usulan itu dengan tenang. “Saya setuju. Dalam waktu satu minggu, saya dan tim keuangan akan menyusun proyeksi dampak merger ini dalam berbagai skenario, termasuk risiko jangka panjangnya.”Pak Rendra terlihat tidak senang, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. “Baik, kalau itu keputusan mayoritas, kita tunda dulu.”Pak Surya menutup rapat dengan ketukan meja. “Baiklah, rapat ditunda dan akan dilanjutkan minggu depan. Saya harap semua tim bisa membawa analisis yang lebih detail.”---Seming

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 46

    Rey berjalan menuju ruang rapat dengan langkah tegap. Di tangannya, ia membawa dokumen yang telah direvisi oleh timnya. Ia tahu, pertemuan ini akan menjadi momen krusial. Dewan direksi sudah menunggu, begitu juga dengan beberapa pemegang saham utama yang memiliki pengaruh besar dalam keputusan merger.Begitu Rey memasuki ruang rapat, ia langsung menangkap pemandangan yang membuatnya sedikit waspada. Pak Rendra, kepala divisi hukum, sedang berbisik dengan beberapa anggota direksi lainnya, terutama dari pembelian dan investasi. Sesekali, mereka melirik ke arahnya sebelum kembali berbisik.Pak Surya, ketua dewan direksi, mengetuk meja sebagai tanda rapat dimulai. “Baiklah, kita langsung ke pokok pembahasan. Pak Rendra, Anda ingin menyampaikan sesuatu sebelum kita mulai membahas revisi proposal merger?”Pak Rendra menyunggingkan senyum tipis sebelum menatap Rey. “Tentu, Pak Surya. Sebelum Pak Rey menyampaikan analisanya, saya ingin menekankan bahwa revisi ini dibuat dengan mempertimbangka

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 45

    BAB 45Bab 77Di ruangan kantornya yang luas, Reyvaldo Anggara duduk dengan wajah tegang. Berkas-berkas berserakan di atas mejanya, dan layar laptopnya menampilkan laporan keuangan yang masih belum ia selesaikan. Kepalanya terasa berat. Masalah pribadinya dengan Alnaira Riquina, istrinya, sudah cukup menguras pikirannya, tapi kini pekerjaannya juga mulai terancam.Pintu diketuk. Rey mendongak dan melihat Nia, asistennya, masuk dengan ekspresi ragu.“Pak Rey, rapat dengan dewan direksi dimajukan satu jam lebih cepat. Dan … ada beberapa revisi dalam proposal merger yang harus segera Bapak tinjau,” ucap Nia setelah masuk ruangan.Rey mengerutkan kening, meletakkan pulpen yang sedari tadi ia putar-putar di jarinya. “Dimajukan? Kenapa?”Nia meletakkan dokumen di meja atasannya, kemudian menghela napas pelan. “Dari informasi yang saya dapat, ada tekanan dari beberapa pemangku saham utama. Mereka ingin merger ini segera dieksekusi tanpa hambatan, Pak."Rey menyandarkan punggungnya, menatap d

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 44

    Bab 76Ira duduk di sofa ruang tamu apartemen miliknya, jemarinya sibuk memijat pelipisnya yang terasa pusing. Semua perkataan Reyvaldo Anggara masih terngiang di pikirannya, membuatnya sulit berpikir jernih. Sidang pengadilan agama terakhir akan segera berlangsung, keputusan akhir ada di tangannya—melanjutkan perceraian atau memberi kesempatan untuk mediasi kembali.Mata wanita cantik itu terpejam mengingat percakapan tadi malam antara dirinya dan suaminya, Rey, melalui telepon."Sayang, kita harus bicara sebelum sidang terakhir," ajak laki-laki di seberang telepon dengan nada lembut tapi tegas.Ira menghela napas, suaranya datar, “Apa lagi yang perlu dibicarakan, Mas? Semuanya sudah jelas.”“Belum tentu. Kita masih bisa mencoba mediasi lagi. Mas yakin, kita bisa memperbaiki semuanya ini satu-persatu.” Suara Rey terdengar meyakinkan.Ira tertawa sinis, “Kita? Memperbaiki? Mas Rey, kita sudah sampai di titik ini bukan karena aku tidak mencoba. Aku sudah cukup lelah berusaha sendirian.

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 43

    Bab 71Ira masih terdiam, memikirkan kata-kata Rizal."Aku tidak bisa terus seperti ini, Rizal. Aku butuh jawaban, tapi aku juga takut."Rizal tersenyum. "Takut bahwa jawaban itu bukan yang ingin kamu dengar?"Ira menatapnya dengan mata bimbang. "Aku takut, Rizal. Takut kalau pada akhirnya Mas Rey akhirnya memilih mendengarkan ibunya.""Maksudmu?" Rizal bertanya, meskipun ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.Ira menggigit bibirnya, menunduk. "Ibunya selalu ingin dia bersama wanita yang bisa memberinya anak. Aku ... aku tidak tahu apakah Mas Rey cukup kuat untuk melawan keinginan ibunya."Rizal mengangguk pelan. "Dan kamu takut dia menyerah dan memilih wanita lain?"Ira mengangguk. "Aku takut dia memilih Erica. Dia pintar, datang dari keluarga sukses, dan sekarang bahkan membantu Mas Rey di bisnisnya. Itu seperti pasangan sempurna di mata ibunya."Rizal menarik napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Ira, kamu tahu bahwa kebahagiaan sebuah pernikahan tidak hanya be

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 42

    Bab 42Ira dan Rizal masih duduk berhadapan di dalam cafe. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, membahas banyak hal, mulai dari pekerjaan hingga kenangan masa lalu."Jadi, bagaimana rasanya menjadi penasihat keuangan?" Rizal bertanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Ira tersenyum tipis, menatap cangkir kopinya sebelum akhirnya menjawab. "Awalnya, aku tidak pernah berpikir akan sampai di titik ini. Dulu, aku hanyalah seorang manajer keuangan di perusahaan tempat aku dan Mas Rey bekerja."Rizal mengangkat alis, tertarik. "Oh? Jadi kamu dan Rey dulu satu kantor?"Ira mengangguk. "Iya. Aku dulu adalah atasan suamiku. Dia masih seorang staf keuangan waktu itu, dan aku yang membimbingnya dalam banyak hal. Aku ingat betul betapa keras kepalanya saat itu."Rizal terkekeh. "Jadi sejak awal kamu sudah terbiasa menghadapi sifat keras kepala Rey?"Ira tertawa kecil. "Bisa dibilang begitu. Tapi justru karena itulah kami semakin dekat. Aku melihat bagaimana dia berusaha membuktikan diriny

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status