Beranda / Rumah Tangga / Istri Baru untuk Suamiku / Bab 3 : Pilihan yang Menyakitkan

Share

Bab 3 : Pilihan yang Menyakitkan

Penulis: RiQueena
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-24 10:21:35

Pagi itu, mendung terlihat menggantung di langit, seolah ingin memberi peringatan bahwa hari ini tidak akan berjalan dengan baik. Aku duduk di sofa ruang tamu, secangkir kopi yang mulai dingin tergeletak di meja. Aku memandangi jam dinding yang berdetak perlahan, seperti mengejek kebingunganku.

Mas Rey sudah berangkat lebih awal, seperti biasanya. Suamiku tidak berkata banyak, hanya sebuah statment, "Mas pergi" yang terdengar kaku sebelum menutup pintu. Aku tidak tahu apakah Mas Rey sadar aku terjaga sepanjang malam, menangis pelan di sampingnya. Keheningan di antara kami semakin hari semakin sulit untuk dijembatani, seperti jurang yang terus melebar.

Aku menghela napas panjang, mencoba mengalihkan pikiranku dengan membereskan rumah. Namun, tak sampai setengah jam, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak kukenal.

"Bu Ira, saya dr. Laila dari klinik kesuburan yang Bapak Rey kunjungi kemarin. Kami ingin menjadwalkan pertemuan lanjutan untuk membahas hasil tes."

Aku membaca pesan itu berulang kali, memastikan bahwa aku tidak salah paham. Mas Rey pergi ke klinik kesuburan? Sendirian? Kenapa Mas tidak memberitahuku? Dadaku terasa sesak, dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang tidak kunjung terjawab.

Aku mencoba menahan diri, tetapi rasa penasaran dan sakit hati akhirnya memaksaku untuk menghubungi Mas Rey. Tanganku gemetar ketika menekan nomor di ponsel.

"Assalamualaikum, Mas Rey."

“Waalaikumsalam, Sayang,” suara suamiku terdengar dari ujung sana, bercampur dengan suara ketikan keyboard yang cepat.

“Mas Rey, aku dapat pesan dari klinik kesuburan,” kataku, tanpa membuang waktu untuk basa-basi.

Mas Rey terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, “Oh, itu. Mas hanya ingin memastikan semuanya. Tidak ada yang perlu Sayang khawatirkan.”

Aku mengernyit, mencoba memahami nada suaranya yang datar. “Tidak perlu aku khawatirkan? Mas Rey, kenapa tidak memberitahuku? Bukankah ini tentang kita, Mas?”

“Mas tidak ingin membebanimu, Yang,” jawabnya tenang. “Lagipula, Mas hanya ingin memastikan saja, tidak lebih.”

Kata-kata Mas Rey terdengat tenang namun terasa seperti pisau yang menghujam. Apakah Mas Rey benar-benar berpikir aku adalah beban? Apakah Mas Rey menyalahkan aku sepenuhnya atas masalah ini?

“Mas Rey, tidak perlu melindungi aku dari hal seperti ini. Kita yang seharusnya menghadapi situasi ini bersama,” balasku, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak.

“Aku tahu, Sayang,” jawabnya singkat. “Tapi aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar tanpa menambah tekanan untukmu.”

“Apa Mas berpikir ini hanya tentang aku? Bahwa aku satu-satunya yang perlu dipastikan?” tanyaku dengan suara bergetar.

Mas Rey terdiam lagi, dan keheningan itu terasa lebih menyakitkan daripada kata-kata apa pun yang mungkin Mas Rey ucapkan.

“Sayang, aku tidak ingin kita bertengkar tentang ini,” katanya akhirnya. “Mas hanya ingin kita fokus mencari solusi.”

“Tapi kita bahkan tidak melakukannya bersama,” jawabku dengan suara pelan.

Akhirnya sambungan telepon itu berakhir tanpa adanya solusi, meninggalkan aku dengan lebih banyak kebingungan dan rasa sakit.

---

Sore harinya, aku menerima pesan lain dari ibu mertua, memintaku datang ke rumahnya. Meski hatiku enggan, aku tahu aku tidak punya pilihan lain. Mengabaikan permintaannya hanya akan memperburuk hubungan kami yang sudah buruk.

Rumah ibu mertua adalah rumah besar dengan arsitektur modern yang mencolok. Meski demikian, setiap sudutnya terasa dingin dan tidak ramah, mencerminkan hubunganku dengannya selama ini. Ketika aku tiba, ibu mertua sudah menungguku di ruang tamu, bersama seorang wanita yang sangat familiar—Citra.

Detak jantungku mendadak naik turun tak beraturan. Citra, teman lama Rey dari masa kuliah berada di dekat ibu mertua. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi dalam situasi seperti ini.

“Ira, duduklah,” kata ibu mertua dengan nada datar, meskipun ada senyum tipis di wajahnya yang terasa seperti ejekan.

Aku duduk dengan kaku, mencoba menenangkan diriku.

“Ira, kamu tahu Ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk Rey,” katanya, membuka pembicaraan.

Aku hanya mengangguk, tidak tahu harus menjawab apa.

“Lima tahun menikah, dan ibu tidak melihat ada perkembangan. Keluarga ini membutuhkan penerus, dan ibu tidak bisa terus menunggu.”

Aku meremas tangan di pangkuanku, mencoba menahan emosi yang sebentar lagi mencapai puncaknya.

“Dan Ibu terka, aku tidak berusaha?” tanyaku akhirnya, suaraku bergetar.

Ibu tersenyum tipis. “Usaha itu tidak cukup jika tidak ada hasil. Rey butuh seseorang yang bisa memberikan apa yang dia butuhkan.”

Aku menoleh ke arah Citra, yang hanya duduk diam dengan senyuman canggung. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi kehadirannya sudah cukup untuk membuatku merasa terpojok.

“Aku tidak akan menyerah begitu saja,” kataku, mencoba terdengar tegas meskipun hatiku hancur.

“Kita lihat saja,” jawab ibu mertua sambil melirik Citra, seolah memberikan isyarat bahwa Ibu sudah punya rencana lain.

---

Ketika aku kembali ke rumah malam ini, Mas Rey sudah ada di ruang tamu, menatap layar laptopnya. Seringkali pekerjaan kantor dibawanya pulang.

“Baru pulang, Yang?” tanyanya tanpa menoleh.

“Dari rumah ibumu, Mas,” jawabku datar sambil meletakkan tas di sofa.

Mas Rey menutup laptopnya dan menatapku. “Apa lagi yang Ibu katakan?”

Aku menatapnya tajam, mencoba membaca ekspresinya. “Mas tahu Ibu mengundang Citra ke sana?”

Mas Rey terkejut sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

“Dan Mas tidak melakukan apa pun?” tanyaku, suaraku mulai meninggi.

“Sayang, Mas tidak bisa terus melawan ibu,” jawabnya dengan nada lelah. “Sayang tahu bagaimana watak ibu.”

“Mas tidak melawan. Mas hanya diam. Mas membiarkan aku menghadapi semuanya sendirian!”

Mas Rey berdiri, berjalan mendekat. “Sayang, Mas tidak ingin kita terus begini. Mas ingin kita fokus pada solusi.”

“Tapi bagaimana kita bisa menemukan solusi jika Mas bahkan tidak mau berdiri di pihakku?” tanyaku dengan air mata yang mulai mengalir.

Mas Rey mencoba meraih tanganku, tetapi aku mundur. “Mas mencintaimu, Sayang. Tapi Mas juga mencintai ibu. Mas tidak tahu harus bagaimana."

“Harus memilih, Mas. Mas tidak bisa terus-menerus berdiri di tengah tanpa arah.”

Keheningan kembali mengisi ruangan, dan itu terasa lebih menghancurkan daripada kata-kata apa pun yang mungkin Mas Rey ucapkan.

---

Malam itu, aku duduk sendirian di kamar, memeluk lututku dan merenungi apa yang telah terjadi. Cinta ini adalah pilihanku, tetapi apakah aku salah memilih untuk bertahan?

Namun, aku tahu satu hal pasti—aku tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Jika ini adalah awal dari pertempuran, maka aku akan melawannya dengan seluruh kekuatanku.

Bab terkait

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 4 : Kepercayaan yang Terguncang

    Pagi itu terasa berat. Aku duduk di meja makan, menatap cangkir teh yang sudah dingin, mencoba mencari alasan untuk tidak berpikir terlalu banyak. Keheningan yang mengisi rumah tangga kami semakin mencekik, dan setiap detik terasa semakin berat. Mas Rey sudah pergi bekerja, meninggalkan aku dengan pikiran yang berlarian. Ke mana perginya kedamaian yang dulu kami miliki? Apa yang terjadi dengan kami? Rasanya aku sudah berusaha terlalu keras untuk mempertahankan hubungan ini, namun aku hanya semakin merasa jauh dari suamiku. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari nomor yang sudah tidak asing lagi: dokter Laila dari klinik kesuburan. "Bu Ira, kami ingin mengonfirmasi jadwal pertemuan lanjutan untuk hasil tes. Mohon konfirmasi segera." Aku terdiam sejenak. Mas Rey belum memberitahuku apa-apa tentang hasil tes ini. Aku merasa seperti sebuah bagian dari hidupnya yang disembunyikan dariku, dan itu memicu rasa sakit yang kucoba untuk tidak rasakan. Aku menekan nomor Mas Rey. Panggilan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 5 : Jalan Terpecah

    Hari ini terasa lebih panas dari biasanya. Aku berdiri di balkon rumah kami, menatap pemandangan kota yang tampak sibuk dengan rutinitas penduduknya. Udara terasa lembap, dan aroma aspal yang terkena paparan sinar matahari berhembus ke dalam ruangan. Hati ini penuh dengan prasangka, namun tak ada yang bisa kuungkapkan. Bahkan angin yang berhembus pun tidak bisa menenangkan pikiranku. Mas Rey belum pulang sampai saat ini. Pikiranku kembali berlarian, mencoba mencari cara agar semuanya kembali normal, tetapi setiap kali aku berpikir begitu, kenyataan datang seperti sebuah tamparan yang sangat keras. Hubungan kami yang dulu penuh dengan canda tawa, kini terasa hampa. Setiap percakapan terasa seperti adu argumen yang tak pernah selesai. Klinik kesuburan telah memberikan hasil tes terakhir, dan semuanya sudah jelas—kami berdua memiliki masalah. Namun, ada satu hal yang semakin menyakitkan, yang tak pernah kami bicarakan secara jujur: ibu mertuaku. Aku memikirkan kata-kata ibu mertuaku

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 6 : Pertemuan yang Membuka Luka

    Malam itu, udara terasa dingin menusuk. Hujan rintik-rintik menambah kesan muram yang menyelimuti hatiku. Aku duduk di ruang tamu sendirian, memandangi jendela kaca yang dipenuhi butiran air. Rasanya seperti melihat pantulan diriku—buram dan tak jelas. Mas Rey baru saja keluar rumah, pergi dengan alasan yang terdengar biasa, tapi entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Perasaan itu menghantui sejak beberapa hari terakhir, dan aku tak bisa mengabaikannya. Ketika waktu terus berlalu, pikiranku mulai dipenuhi oleh berbagai spekulasi. Ke mana Mas Rey pergi? Mengapa Mas Rey semakin sering keluar tanpa memberitahuku? Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. "Ira, aku ingin bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan." Pengirimnya adalah Karin, seorang wanita yang selama ini kerap disebut-sebut ibu mertua sebagai "pilihan yang lebih baik" untuk Mas Rey. Aku tak pernah benar-benar berurusan dengannya secara langsung, tetapi setiap kali nama itu muncul, hatiku ter

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 7 : Kebenaran yang Menyesakkan

    Aku duduk seorang diri didalam kamar, menatap kosong jendela yang buram oleh hujan. Rasanya seperti ada jurang pemisah antara aku dan Mas Rey sejak percakapan terakhir kami. Kata-kata Mas Rey terus terngiang di kepalaku, seperti potongan puzzle yang tak bisa kususun kembali. Hari ini, aku memutuskan untuk tidak membiarkan semua masalah ini hanya berputar di pikiranku. Aku harus mencari jawaban. Bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi untuk pernikahan kami yang perlahan mulai retak. Ditengah kebimbangan yang melanda, aku mendengar suara dering ponsel yang sangat familiar. Mas Rey meninggalkan ponselnya di meja ruang tamu sebelum berangkat bekerja. Aku tidak pernah punya kebiasaan mengutak-atik ponsel Mas Rey, tapi pagi ini ada sesuatu yang membuatku ragu. Nama pengirim pesan itu membuat tubuhku seketika menegang: Citra. Pesannya singkat, tapi cukup untuk membuat pikiranku liar. "Mas Rey, aku ingin bicara denganmu empat mata. Jangan lupa temui aku malam ini. Penting." Dadaku b

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-25
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 8 : Batas Kesabaran

    Hujan masih turun dengan deras, memberikan irama khas yang mengisi keheningan malam. Dingin mulai merambat masuk ke dalam rumah, seolah menyusup melalui setiap celah, mengiringi perasaan beku di relung hatiku. Sudah beberapa hari sejak percakapan terakhir yang terasa menyakitkan dengan suamiku, dan hingga kini ketegangan masih terasa di antara kami. Pagi ini, aku berdiri di dapur dengan tangan gemetar saat menuangkan air ke dalam cangkir. Suara dering ponsel Mas Rey di ruang tamu terdengar masuk ke telingaku, memecah konsentrasi pikiranku yang sudah penuh dengan prasangka. Aku melihatnya dari sudut jendela dapur, duduk di sofa dengan tatapan serius. Mas Rey menjawab panggilan itu dengan nada rendah dan berbisik. “Aku mengerti, aku akan mengurusnya. Jangan khawatir,” katanya sambil melirikku sekilas. Hati ini semakin tergores, dan aku tahu aku tidak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Aku meletakkan cangkirku dengan kasar, membuat suara denting yang menarik perhatian M

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-25
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 9 : Retakan yang Kian Dalam

    Hari-hari berlalu dengan keheningan yang membunuh. Aku dan Mas Rey menjalani rutinitas seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada tawa kecil yang dulu selalu mengisi ruangan ini. Yang tersisa hanyalah keheningan, diisi dengan ketegangan yang terus membayangi. Aku masih mencoba memahami semuanya—tentang Mas Rey, tentang Citra, dan tentang bagaimana pernikahan kami perlahan-lahan seperti benang yang hampir putus. Setiap kali aku melihat Mas Rey, ada rasa kecewa dan marah yang sulit kuhilangkan. Namun, di tengah kekacauan ini, hidup tetap berjalan. Pagi ini, aku memutuskan untuk pergi ke pasar, mencoba mencari udara segar. Aku membutuhkan waktu untuk berpikir, untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang terus menghantuiku. Pasar pagi ini ramai seperti biasanya. Suara pedagang yang menawarkan barang dagangan mereka bercampur dengan langkah kaki para pembeli. Aku berjalan melewati kios demi kios, mencoba menikmati suasana, teta

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-25
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 10 : Citra yang Menghantui

    Aku memutuskan untuk mengunjungi rumah orangtuaku, selepas mas Rey berangkat kerja. Sudah lama aku tidak bertemu mereka, dan suasana rumah mungkin bisa memberiku sedikit ketenangan. Namun, di perjalanan menuju rumah, pikiranku terus saja memutar ulang percakapan terakhir dengan Mas Rey. Ketidakpastian yang suamiku tunjukkan semakin membuatku merasa kecil. Bagaimana mungkin aku, yang sudah mencurahkan segalanya untuk pernikahan ini, tetap berada di bawah bayang-bayang wanita bernama Citra? Wanita itu bagai hantu yang terus hadir di tengah hubungan kami. Setibanya di rumah, Ibu menyambutku dengan pelukan hangat seperti biasa. "Nduk, kamu kelihatan lebih kurus. Apa pola makanmu tidak teratur?" tanya ibu dengan cemas. Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegundahan hatiku. "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit lelah karena pekerjaan." Tapi Ibu selalu tahu ada sesuatu yang tidak kukatakan. Sepanjang makan siang bersama, aku berusaha mengalihkan perhatian dengan bercerita te

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 11 : Di Ambang Keputusan

    Sinar matahari pagi yang cerah menembus tirai jendela kamarku, tapi kehangatannya tak mampu mengusir dingin yang merasuki hati ini. Aku bangun dengan perasaan berat, seperti membawa beban yang semakin hari semakin tak tertahankan. Mas Rey sudah tidak ada di rumah saat aku turun ke ruang makan. Meja makan terlihat kosong, hanya menyisakan secangkir kopi dingin yang mungkin dia tinggalkan dalam terburu-buru. Ada kelegaan kecil karena aku tak perlu menghadapi tatapannya yang selalu penuh penyesalan. Namun, di sisi lain, keheningan ini semakin menyiksa. Berbeda dengan tahun-tahun awal pernikahan kami, tiap pagi menjelang kami kompak untuk sarapan pagi bersama. Bercanda tentang apapun itu. Namun, semuanya kini tinggal kenangan yang ada. Aku menatap layar ponselku, memikirkan pesan dari Karin malam sebelumnya. Kalau kamu butuh tempat untuk berpikir, datanglah ke sini. Aku akan selalu ada untukmu. Aku tahu Karin benar. Aku butuh ruang, jauh dari suamiku, jauh dari semua tekanan yang t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-26

Bab terbaru

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 45

    BAB 45Bab 77Di ruangan kantornya yang luas, Reyvaldo Anggara duduk dengan wajah tegang. Berkas-berkas berserakan di atas mejanya, dan layar laptopnya menampilkan laporan keuangan yang masih belum ia selesaikan. Kepalanya terasa berat. Masalah pribadinya dengan Alnaira Riquina, istrinya, sudah cukup menguras pikirannya, tapi kini pekerjaannya juga mulai terancam.Pintu diketuk. Rey mendongak dan melihat Nia, asistennya, masuk dengan ekspresi ragu.“Pak Rey, rapat dengan dewan direksi dimajukan satu jam lebih cepat. Dan … ada beberapa revisi dalam proposal merger yang harus segera Bapak tinjau,” ucap Nia setelah masuk ruangan.Rey mengerutkan kening, meletakkan pulpen yang sedari tadi ia putar-putar di jarinya. “Dimajukan? Kenapa?”Nia meletakkan dokumen di meja atasannya, kemudian menghela napas pelan. “Dari informasi yang saya dapat, ada tekanan dari beberapa pemangku saham utama. Mereka ingin merger ini segera dieksekusi tanpa hambatan, Pak."Rey menyandarkan punggungnya, menatap d

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 44

    Bab 76Ira duduk di sofa ruang tamu apartemen miliknya, jemarinya sibuk memijat pelipisnya yang terasa pusing. Semua perkataan Reyvaldo Anggara masih terngiang di pikirannya, membuatnya sulit berpikir jernih. Sidang pengadilan agama terakhir akan segera berlangsung, keputusan akhir ada di tangannya—melanjutkan perceraian atau memberi kesempatan untuk mediasi kembali.Mata wanita cantik itu terpejam mengingat percakapan tadi malam antara dirinya dan suaminya, Rey, melalui telepon."Sayang, kita harus bicara sebelum sidang terakhir," ajak laki-laki di seberang telepon dengan nada lembut tapi tegas.Ira menghela napas, suaranya datar, “Apa lagi yang perlu dibicarakan, Mas? Semuanya sudah jelas.”“Belum tentu. Kita masih bisa mencoba mediasi lagi. Mas yakin, kita bisa memperbaiki semuanya ini satu-persatu.” Suara Rey terdengar meyakinkan.Ira tertawa sinis, “Kita? Memperbaiki? Mas Rey, kita sudah sampai di titik ini bukan karena aku tidak mencoba. Aku sudah cukup lelah berusaha sendirian.

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 43

    Bab 71Ira masih terdiam, memikirkan kata-kata Rizal."Aku tidak bisa terus seperti ini, Rizal. Aku butuh jawaban, tapi aku juga takut."Rizal tersenyum. "Takut bahwa jawaban itu bukan yang ingin kamu dengar?"Ira menatapnya dengan mata bimbang. "Aku takut, Rizal. Takut kalau pada akhirnya Mas Rey akhirnya memilih mendengarkan ibunya.""Maksudmu?" Rizal bertanya, meskipun ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.Ira menggigit bibirnya, menunduk. "Ibunya selalu ingin dia bersama wanita yang bisa memberinya anak. Aku ... aku tidak tahu apakah Mas Rey cukup kuat untuk melawan keinginan ibunya."Rizal mengangguk pelan. "Dan kamu takut dia menyerah dan memilih wanita lain?"Ira mengangguk. "Aku takut dia memilih Erica. Dia pintar, datang dari keluarga sukses, dan sekarang bahkan membantu Mas Rey di bisnisnya. Itu seperti pasangan sempurna di mata ibunya."Rizal menarik napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Ira, kamu tahu bahwa kebahagiaan sebuah pernikahan tidak hanya be

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 42

    Bab 42Ira dan Rizal masih duduk berhadapan di dalam cafe. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, membahas banyak hal, mulai dari pekerjaan hingga kenangan masa lalu."Jadi, bagaimana rasanya menjadi penasihat keuangan?" Rizal bertanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Ira tersenyum tipis, menatap cangkir kopinya sebelum akhirnya menjawab. "Awalnya, aku tidak pernah berpikir akan sampai di titik ini. Dulu, aku hanyalah seorang manajer keuangan di perusahaan tempat aku dan Mas Rey bekerja."Rizal mengangkat alis, tertarik. "Oh? Jadi kamu dan Rey dulu satu kantor?"Ira mengangguk. "Iya. Aku dulu adalah atasan suamiku. Dia masih seorang staf keuangan waktu itu, dan aku yang membimbingnya dalam banyak hal. Aku ingat betul betapa keras kepalanya saat itu."Rizal terkekeh. "Jadi sejak awal kamu sudah terbiasa menghadapi sifat keras kepala Rey?"Ira tertawa kecil. "Bisa dibilang begitu. Tapi justru karena itulah kami semakin dekat. Aku melihat bagaimana dia berusaha membuktikan diriny

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 41

    Rey sedang duduk di kursi kantornya, matanya menatap layar komputer yang penuh dengan angka dan grafik. Pikirannya bercabang antara pekerjaan dan permasalahan pribadinya. Lelaki tampan itu telah mengirim pesan tadi malam ke istrinya, tapi hingga kini belum ada balasan.Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk pelan."Ya ... masuk," ujar Rey tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Nia, asistennya, masuk dengan membawa beberapa berkas di tangannya. Langkahnya cepat dan rapi, menunjukkan profesionalismenya sebagai asisten eksekutif yang sudah lama bekerja dengannya, meski vakum beberapa bulan karena cuti melahirkan."Pak Rey, ini dokumen untuk proyek merger minggu depan. Juga ada beberapa laporan keuangan yang perlu Bapak tinjau," ujar Nia sambil meletakkan dokumen di meja kerja Rey.Rey mengangguk, mengambil dokumen teratas dan membolak-balik halamannya."Terima kasih, Nia. Seberapa jauh progres merger ini?" tanyanya tanpa mengangkat wajahnya.Nia merapikan berkas lain yang ada di meja Rey s

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 40

    Rey duduk termenung di ruang kerjanya, menatap tumpukan berkas yang berserakan di meja. Rasa penyesalan dan kegelisahan menyelimuti dirinya, membuat fokusnya terpecah. Ira, sosok yang selama ini menjadi penyemangatnya, terasa semakin jauh. Rey tahu bahwa kesalahannya terlalu besar untuk ditebus hanya dengan permintaan maaf. Ia menghela napas panjang, menyadari betapa rumitnya masalah yang sedang dihadapinya.Namun, tumpukan pekerjaan di depannya tidak menunggu. Deadline proyek terus menghantui pikirannya, seolah berteriak meminta penyelesaian. Rey memijat pelipisnya, mencoba mengusir kelelahan yang mulai menguasai tubuhnya. Ia memutuskan untuk memanggil asisten pribadinya lagi untuk membantu menyelesaikan pekerjaan yang tertunda.Beberapa menit kemudian, Nia, asistennya, masuk ke ruang kerja dengan tumpukan dokumen di tangan. Penampilannya tetap rapi seperti biasa, meski pakaian yang dikenakannya terlihat sedikit ketat dan menarik perhatian. Rey melirik sekilas, lalu kembali memusatka

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 39

    Rizal mengetuk pintu apartemen Ira dengan sopan. Suara ketukan itu terdengar keras namun tidak berlebihan, cukup untuk memastikan penghuni di dalam menyadarinya. Dari dalam, terdengar langkah kaki yang terburu-buru mendekat, seolah pemiliknya sedang tergesa-gesa menyelesaikan sesuatu sebelum membuka pintu.Setelah beberapa saat, suara kunci yang diputar terdengar pelan, dan pintu perlahan terbuka. Di balik pintu itu, seorang wanita cantik bernama Alnaira Riquina berdiri. Meski demikian, kerut di wajah cantiknya menampilkan ekspresi campuran antara terkejut dan bingung. Ia tidak menyangka akan menemukan Rizal berdiri di sana dengan senyum lembut di wajahnya.Rizal, seperti biasa, tampil rapi. Jas yang dikenakannya tampak sempurna tanpa satu pun lipatan, sementara jam tangan di pergelangan kirinya berkilauan samar di bawah cahaya lorong apartemen. Ada aura tenang dan percaya diri dalam sikapnya, membuat siapa pun yang melihatnya merasa bahwa kehadirannya selalu membawa kesan yang mendal

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 38

    Cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui celah tirai yang sedikit terbuka. Sinarnya yang terasa hangat menerpa wajah cantik Ira yang duduk di meja makan, menatap cangkir kopinya yang masih mengepul asap tipis. Di seberangnya duduk seorang sahabat yang setia menemaninya untuk bertukar pikiran, Karin, yang memandangnya dengan perasaan cemas."Jadi, bagaimana pembicaraanmu dengan Rizal semalam?" tanya Karin sambil menyeruput kopinya.Ira menghela napas panjang. "Dia memberiku perspektif baru. Aku merasa sedikit lebih tenang, meski masalahku dengan Mas Rey masih menjadi beban berat."Karin mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kamu harus jujur pada dirimu sendiri, Ra. Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Apakah kamu masih mencintai suamimu?"Ira terdiam sejenak. Kata-kata Karin membuatnya teringat pada ucapan Rizal semalam. "Aku ... aku tidak tahu, Rin. Rasanya seperti ada tembok besar di antara kami sekarang. Dan Erica, dia seperti bayangan yang terus menghantui pernikahan kami.""Aku menge

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 37

    Ruangan kantor Reyvaldo Anggara dipenuhi dengan dokumen yang berserakan di atas meja kerja, mencerminkan kekacauan yang sama dengan pikirannya saat ini. Lelaki berwajah rupawan itu memutuskan untuk tidak menunda lagi pemecahan masalah yang sedang dihadapinya. Hubungan dengan Ira, wanita yang sangat dicintainya harus segera diperbaiki, meskipun gugatan cerai dari istrinya sudah dilakukan, ditambah lagi dengan kehadiran Erica yang terus menjadi penghalang besar hubungan di antara mereka.Rey menatap ponselnya yang tergeletak di meja, diantara dokumen-dokumen yang terlihat masih berhamburan. Nama Ayang Alnaira masih ada di layar dari panggilan terakhirnya yang tidak terjawab. Kali ini, ia memutuskan untuk mencobanya lagi. Berusaha untuk menjelaskan pertemuan sebelumnya yang masih belum menemui titik terang.Setelah beberapa kali nada sambung terhubung, suara Ira terdengar di ujung sana. "Ada apa lagi, Mas?" tanyanya dengan nada dingin."Sayang, Mas perlu bicara lagi denganmu," kata Rey d

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status