Home / Rumah Tangga / Istri Baru untuk Suamiku / Bab2 : Bara di Balik Diamku

Share

Bab2 : Bara di Balik Diamku

Author: RiQueena
last update Last Updated: 2024-12-24 10:12:24

Aku memandangi layar ponselku yang tergeletak di meja. Pesan dari Mas Rey masuk beberapa jam yang lalu, tapi aku belum membukanya. Pesan itu pasti berisi permintaan maaf atau alasan lain untuk mencoba menenangkan hatiku. Mas Rey selalu begitu. Suamiku bukan tipe laki-laki yang pandai berkonfrontasi, apalagi jika itu menyangkut ibunya.

Namun kali ini, aku tidak yakin permintaan maafnya cukup. Aku merasa sendirian di medan perang ini, berjuang melawan ombak yang semakin besar tanpa pelindung. Aku mencintai Mas Rey, tapi aku tidak bisa terus-menerus bertahan sendirian.

“Kalau aku lemah, apa artinya cinta ini?” gumamku pada diri sendiri.

Kepalaku berdenyut memikirkan kejadian tadi pagi. Kehadiran Citra di ruang makan bukanlah kebetulan. Ibu mertua sengaja membawa dia ke rumah untuk mempermalukanku, untuk menunjukkan bahwa aku bisa digantikan kapan saja. Dan Mas Rey? Meski Mas Rey membelaku di depan ibunya, aku tahu suamiku tidak sepenuhnya mampu mengatasi ini.

Aku mengambil ponsel itu dan membuka pesan dari Mas Rey.

"Sayang, aku tahu ini sulit. Mas minta maaf karena ibu begitu keras padamu. Tapi Mas mencintaimu, dan Mas ingin kita tetap bersama. Tolong beri Mas cukup waktu untuk mencari solusi."

Aku mendesah. Kata-kata itu manis, tapi kosong. Ini bukan pertama kalinya Mas Rey mengatakan hal semacam itu. Dan setiap kali, aku yang harus menunggu. Menunggu Mas Rey untuk melawan ibunya, menunggu Mas Rey untuk menunjukkan bahwa aku lebih penting dari keinginan keluarganya.

Aku menutup pesan itu tanpa membalas.

---

Pagi berikutnya, aku memutuskan untuk menghadiri sebuah pertemuan di kantor lama tempatku bekerja. Meski sudah lama aku berhenti bekerja demi fokus pada rumah tangga, aku masih diundang ke acara-acara tertentu. Rasanya seperti pelarian dari kacaunya rumah tangga yang sedang kubina.

Aku tiba di aula kantor dengan senyum kecil yang dipaksakan. Teman-teman lamaku menyambutku dengan hangat, beberapa bahkan memelukku dengan antusias. Namun, di tengah keramaian, aku mendengar seseorang memanggil namaku dengan nada yang berbeda.

“Alnaira?”

Aku berbalik dan melihat seorang pria berdiri di sana. Dia tinggi, dengan rambut hitam yang sedikit berantakan, dan senyumnya yang hangat langsung membuatku merasa nyaman.

“Raka?” tanyaku, sedikit ragu.

Dia tertawa kecil. “Sudah lama sekali, ya. Aku tidak menyangka kau masih ingat aku.”

Bagaimana mungkin aku melupakan Raka? Dia adalah teman dekatku di masa kuliah. Kami sering belajar bersama, berbagi cerita, bahkan saling mendukung saat salah satu dari kami merasa putus asa. Tapi setelah wisuda, kami kehilangan kontak.

“Apa kabar?” tanyaku, mencoba terdengar santai meskipun hatiku berdegup kencang.

“Baik,” jawabnya sambil tersenyum. “Dan kamu? Bagaimana hidupmu setelah menikah?”

Pertanyaannya membuatku terdiam sejenak. Aku tidak ingin berbicara tentang pernikahanku, apalagi dengan seseorang yang sudah lama tidak kutemui.

“Baik,” jawabku akhirnya, dengan senyum tipis yang aku tahu tidak meyakinkan.

Raka menatapku sejenak, seolah-olah dia bisa melihat melalui topengku. Tapi dia tidak bertanya lebih lanjut. Sebaliknya, dia mulai bercerita tentang hidupnya, tentang pekerjaannya, dan bagaimana dia akhirnya kembali ke kota ini setelah beberapa tahun bekerja di luar negeri.

Kami berbicara selama hampir satu jam, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, aku merasa … tenang. Bersama Raka, aku bisa melupakan semua masalahku untuk sementara waktu.

---

Ketika aku pulang ke rumah sore itu, suasana langsung berubah tegang. Mas Rey sedang duduk di sofa, dan dari sorot matanya, aku tahu dia sedang kesal.

“Dari mana saja, Yang?” tanyanya, suaranya terdengar lebih tajam dari biasanya.

“Aku pergi ke pertemuan di kantor lama,” jawabku, berusaha agar tetap tenang.

“Kenapa tidak bilang?”

“Apa pentingnya aku bilang, Mas?” Aku tidak bisa menahan nada defensif dalam suaraku. “Aku hanya pergi sebentar, Mas. Aku tidak pergi kemana-mana.”

Mas Rey menghela napas, lalu berdiri dan berjalan mendekatiku. “Sayang, Mas hanya ingin tahu ke mana sayang pergi. Mas khawatir.”

Aku menatapnya, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. Kekhawatiran? Atau mungkin … ketidakpercayaan? Ah sungguh teganya kalau demikian adanya.

“Aku tidak melakukan apa pun yang salah, Mas Rey,” kataku pelan.

“Mas tahu.” Mas Rey mengusap wajahnya dengan tangannya, terlihat sangat jelas frustrasi. “Mas hanya … Mas merasa kita semakin jauh akhir-akhir ini, Yang.”

Aku ingin menjawab, ingin memberitahunya bahwa aku juga merasa begitu. Tapi aku tahu, kata-kata saja tidak akan mengubah apa pun.

---

Hari-hari berikutnya berlalu dengan suasana yang sama tegangnya. Mas Rey semakin sering diam, sementara aku mencoba menghindarinya. Aku tahu ini bukan cara yang sehat untuk menghadapi masalah, tapi aku juga tidak tahu harus berbuat apa.

Suatu sore, aku kembali bertemu dengan Raka secara kebetulan di sebuah kafe dekat taman. Tidak ada janjian untuk bertemu. Dia sedang duduk sendirian, membaca buku, dan ketika melihatku, dia tersenyum lebar.

“Alnaira! Apa kamu ada waktu?”

Aku ragu sejenak, tapi akhirnya aku memutuskan untuk duduk bersamanya. Kami mulai berbicara lagi, dan seperti sebelumnya, kehadirannya membuatku merasa tenang.

Namun, aku tidak bisa mengabaikan perasaan bersalah yang perlahan-lahan hinggap di hatiku. Aku tahu aku tidak melakukan apa pun yang salah, tapi kedekatanku dengan Raka terasa seperti sesuatu yang tidak seharusnya aku lakukan.

“Alnaira, kamu baik-baik saja?” tanya Raka tiba-tiba, memecah lamunanku.

Aku terkejut mendengar pertanyaannya. “Kenapa kamu bertanya begitu?”

“Karena aku mengenalmu, Alnaira. Kamu mungkin mencoba terlihat kuat, tapi aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Terbuka saja ... seperti dulu pernah kamu melakukannya.”

Aku ingin menyangkalnya, tapi matanya yang jujur membuatku merasa tidak bisa berbohong. Akhirnya, aku menceritakan sedikit tentang masalahku—tentang ibu mertuaku, tentang pernikahanku yang terasa semakin rapuh.

Raka mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menyela. Ketika aku selesai, dia hanya berkata, “Alnaira, kamu pantas mendapatkan kebahagiaan. Jangan pernah lupa akan hal itu.”

Kata-katanya sangat sederhana, tapi entah bagaimana, itu sangat menyentuh hatiku. Aku merasa dihargai, sesuatu yang sudah lama tidak aku rasakan.

---

Malam itu, ketika aku kembali ke rumah, Mas Rey sedang menungguku di ruang tamu.

“Kok terlambat lagi, Yang?” ucapnya tanpa basa-basi.

“Aku bertemu teman lama,Mas.” jawabku singkat.

“Teman lama?” Mas Rey berdiri, menatapku dengan ekspresi yang sulit kubaca. “Siapa?”

“Raka,” jawabku, tanpa berniat menyembunyikannya. “Dia teman kuliahku.”

Mas Rey terdiam sejenak, lalu berkata, “Apa sering bertemu dengannya akhir-akhir ini, Yang?”

Aku mengerutkan kening. “Apa maksudmu, Mas?”

“Apa … kamu masih mencintaiku, Yang?”

Pertanyaannya membuatku terkejut. Aku menatapnya, mencari tanda-tanda bahwa suamiku bercanda, tapi wajahnya serius.

“Tentu saja aku mencintaimu, Mas Rey,” jawabku akhirnya. “Tapi cinta itu tidak cukup jika aku harus terus menghadapi semua ini sendirian.”

Mas Rey terlihat terkejut mendengar jawabanku. Kemudian, mulutnya dibuka sedikit seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata yang keluar.

Aku menghela napas panjang, lalu berkata, “Mas Rey, aku lelah. Aku lelah mencoba bertahan sementara Mas hanya diam saja. Aku butuh Mas untuk berdiri di sampingku, menyadarkan ibu, melindungi aku. Tapi selama ini, aku merasa Mas tidak pernah benar-benar ada untukku.”

“Kamu tahu aku mencintaimu, Sayang,” bisiknya.

“Kalau begitu buktikan, Mas,” jawabku dengan suara tegas.

Malam itu, aku tidur lebih awal, meninggalkan Mas Rey di ruang tamu dengan pikirannya sendiri. Aku tahu aku baru saja mengambil langkah besar, dan aku tidak tahu ke mana itu akan membawaku. Tapi satu hal yang pasti: aku tidak bisa terus hidup seperti ini!

Related chapters

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 3 : Pilihan yang Menyakitkan

    Pagi itu, mendung terlihat menggantung di langit, seolah ingin memberi peringatan bahwa hari ini tidak akan berjalan dengan baik. Aku duduk di sofa ruang tamu, secangkir kopi yang mulai dingin tergeletak di meja. Aku memandangi jam dinding yang berdetak perlahan, seperti mengejek kebingunganku. Mas Rey sudah berangkat lebih awal, seperti biasanya. Suamiku tidak berkata banyak, hanya sebuah statment, "Mas pergi" yang terdengar kaku sebelum menutup pintu. Aku tidak tahu apakah Mas Rey sadar aku terjaga sepanjang malam, menangis pelan di sampingnya. Keheningan di antara kami semakin hari semakin sulit untuk dijembatani, seperti jurang yang terus melebar. Aku menghela napas panjang, mencoba mengalihkan pikiranku dengan membereskan rumah. Namun, tak sampai setengah jam, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak kukenal. "Bu Ira, saya dr. Laila dari klinik kesuburan yang Bapak Rey kunjungi kemarin. Kami ingin menjadwalkan pertemuan lanjutan untuk membahas hasil tes."

    Last Updated : 2024-12-24
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 4 : Kepercayaan yang Terguncang

    Pagi itu terasa berat. Aku duduk di meja makan, menatap cangkir teh yang sudah dingin, mencoba mencari alasan untuk tidak berpikir terlalu banyak. Keheningan yang mengisi rumah tangga kami semakin mencekik, dan setiap detik terasa semakin berat. Mas Rey sudah pergi bekerja, meninggalkan aku dengan pikiran yang berlarian. Ke mana perginya kedamaian yang dulu kami miliki? Apa yang terjadi dengan kami? Rasanya aku sudah berusaha terlalu keras untuk mempertahankan hubungan ini, namun aku hanya semakin merasa jauh dari suamiku. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari nomor yang sudah tidak asing lagi: dokter Laila dari klinik kesuburan. "Bu Ira, kami ingin mengonfirmasi jadwal pertemuan lanjutan untuk hasil tes. Mohon konfirmasi segera." Aku terdiam sejenak. Mas Rey belum memberitahuku apa-apa tentang hasil tes ini. Aku merasa seperti sebuah bagian dari hidupnya yang disembunyikan dariku, dan itu memicu rasa sakit yang kucoba untuk tidak rasakan. Aku menekan nomor Mas Rey. Panggilan

    Last Updated : 2024-12-24
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 5 : Jalan Terpecah

    Hari ini terasa lebih panas dari biasanya. Aku berdiri di balkon rumah kami, menatap pemandangan kota yang tampak sibuk dengan rutinitas penduduknya. Udara terasa lembap, dan aroma aspal yang terkena paparan sinar matahari berhembus ke dalam ruangan. Hati ini penuh dengan prasangka, namun tak ada yang bisa kuungkapkan. Bahkan angin yang berhembus pun tidak bisa menenangkan pikiranku. Mas Rey belum pulang sampai saat ini. Pikiranku kembali berlarian, mencoba mencari cara agar semuanya kembali normal, tetapi setiap kali aku berpikir begitu, kenyataan datang seperti sebuah tamparan yang sangat keras. Hubungan kami yang dulu penuh dengan canda tawa, kini terasa hampa. Setiap percakapan terasa seperti adu argumen yang tak pernah selesai. Klinik kesuburan telah memberikan hasil tes terakhir, dan semuanya sudah jelas—kami berdua memiliki masalah. Namun, ada satu hal yang semakin menyakitkan, yang tak pernah kami bicarakan secara jujur: ibu mertuaku. Aku memikirkan kata-kata ibu mertuaku

    Last Updated : 2024-12-24
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 6 : Pertemuan yang Membuka Luka

    Malam itu, udara terasa dingin menusuk. Hujan rintik-rintik menambah kesan muram yang menyelimuti hatiku. Aku duduk di ruang tamu sendirian, memandangi jendela kaca yang dipenuhi butiran air. Rasanya seperti melihat pantulan diriku—buram dan tak jelas. Mas Rey baru saja keluar rumah, pergi dengan alasan yang terdengar biasa, tapi entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Perasaan itu menghantui sejak beberapa hari terakhir, dan aku tak bisa mengabaikannya. Ketika waktu terus berlalu, pikiranku mulai dipenuhi oleh berbagai spekulasi. Ke mana Mas Rey pergi? Mengapa Mas Rey semakin sering keluar tanpa memberitahuku? Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. "Ira, aku ingin bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan." Pengirimnya adalah Karin, seorang wanita yang selama ini kerap disebut-sebut ibu mertua sebagai "pilihan yang lebih baik" untuk Mas Rey. Aku tak pernah benar-benar berurusan dengannya secara langsung, tetapi setiap kali nama itu muncul, hatiku ter

    Last Updated : 2024-12-24
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 7 : Kebenaran yang Menyesakkan

    Aku duduk seorang diri didalam kamar, menatap kosong jendela yang buram oleh hujan. Rasanya seperti ada jurang pemisah antara aku dan Mas Rey sejak percakapan terakhir kami. Kata-kata Mas Rey terus terngiang di kepalaku, seperti potongan puzzle yang tak bisa kususun kembali. Hari ini, aku memutuskan untuk tidak membiarkan semua masalah ini hanya berputar di pikiranku. Aku harus mencari jawaban. Bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi untuk pernikahan kami yang perlahan mulai retak. Ditengah kebimbangan yang melanda, aku mendengar suara dering ponsel yang sangat familiar. Mas Rey meninggalkan ponselnya di meja ruang tamu sebelum berangkat bekerja. Aku tidak pernah punya kebiasaan mengutak-atik ponsel Mas Rey, tapi pagi ini ada sesuatu yang membuatku ragu. Nama pengirim pesan itu membuat tubuhku seketika menegang: Citra. Pesannya singkat, tapi cukup untuk membuat pikiranku liar. "Mas Rey, aku ingin bicara denganmu empat mata. Jangan lupa temui aku malam ini. Penting." Dadaku b

    Last Updated : 2024-12-25
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 8 : Batas Kesabaran

    Hujan masih turun dengan deras, memberikan irama khas yang mengisi keheningan malam. Dingin mulai merambat masuk ke dalam rumah, seolah menyusup melalui setiap celah, mengiringi perasaan beku di relung hatiku. Sudah beberapa hari sejak percakapan terakhir yang terasa menyakitkan dengan suamiku, dan hingga kini ketegangan masih terasa di antara kami. Pagi ini, aku berdiri di dapur dengan tangan gemetar saat menuangkan air ke dalam cangkir. Suara dering ponsel Mas Rey di ruang tamu terdengar masuk ke telingaku, memecah konsentrasi pikiranku yang sudah penuh dengan prasangka. Aku melihatnya dari sudut jendela dapur, duduk di sofa dengan tatapan serius. Mas Rey menjawab panggilan itu dengan nada rendah dan berbisik. “Aku mengerti, aku akan mengurusnya. Jangan khawatir,” katanya sambil melirikku sekilas. Hati ini semakin tergores, dan aku tahu aku tidak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Aku meletakkan cangkirku dengan kasar, membuat suara denting yang menarik perhatian M

    Last Updated : 2024-12-25
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 9 : Retakan yang Kian Dalam

    Hari-hari berlalu dengan keheningan yang membunuh. Aku dan Mas Rey menjalani rutinitas seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada tawa kecil yang dulu selalu mengisi ruangan ini. Yang tersisa hanyalah keheningan, diisi dengan ketegangan yang terus membayangi. Aku masih mencoba memahami semuanya—tentang Mas Rey, tentang Citra, dan tentang bagaimana pernikahan kami perlahan-lahan seperti benang yang hampir putus. Setiap kali aku melihat Mas Rey, ada rasa kecewa dan marah yang sulit kuhilangkan. Namun, di tengah kekacauan ini, hidup tetap berjalan. Pagi ini, aku memutuskan untuk pergi ke pasar, mencoba mencari udara segar. Aku membutuhkan waktu untuk berpikir, untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang terus menghantuiku. Pasar pagi ini ramai seperti biasanya. Suara pedagang yang menawarkan barang dagangan mereka bercampur dengan langkah kaki para pembeli. Aku berjalan melewati kios demi kios, mencoba menikmati suasana, teta

    Last Updated : 2024-12-25
  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 10 : Citra yang Menghantui

    Aku memutuskan untuk mengunjungi rumah orangtuaku, selepas mas Rey berangkat kerja. Sudah lama aku tidak bertemu mereka, dan suasana rumah mungkin bisa memberiku sedikit ketenangan. Namun, di perjalanan menuju rumah, pikiranku terus saja memutar ulang percakapan terakhir dengan Mas Rey. Ketidakpastian yang suamiku tunjukkan semakin membuatku merasa kecil. Bagaimana mungkin aku, yang sudah mencurahkan segalanya untuk pernikahan ini, tetap berada di bawah bayang-bayang wanita bernama Citra? Wanita itu bagai hantu yang terus hadir di tengah hubungan kami. Setibanya di rumah, Ibu menyambutku dengan pelukan hangat seperti biasa. "Nduk, kamu kelihatan lebih kurus. Apa pola makanmu tidak teratur?" tanya ibu dengan cemas. Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegundahan hatiku. "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit lelah karena pekerjaan." Tapi Ibu selalu tahu ada sesuatu yang tidak kukatakan. Sepanjang makan siang bersama, aku berusaha mengalihkan perhatian dengan bercerita te

    Last Updated : 2024-12-26

Latest chapter

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 50

    Setelah percakapan panjang mereka di kafe, Rey melirik jam tangannya. Hari sudah mulai gelap. Ia menatap Ira yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya."Mas antar pulang, Yang," kata Rey tiba-tiba.Ira menoleh, ragu sejenak. "Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri."Rey menghela napas, menatapnya serius. "Yang, ini sudah malam. Mas nggak akan tenang kalau kamu pulang sendirian."Ira terdiam tidak menjawab.Rey melirik meja di samping mereka, matanya menyapu permukaannya dengan cepat. Dahinya mengernyit. "Sayang ga bawa mobil, kan?" tanyanya pelan, tapi penuh arti.Ira mengangkat bahu, berusaha tetap santai. "Memangnya kenapa?"Rey menatapnya lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. "Sayang selalu naruh kunci mobil di atas meja. Sekarang nggak ada." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Berarti Sayang nggak bawa mobil, kan?"Ira menelan ludah, tidak langsung menjawab. Rey masih mengingat kebiasaannya dengan baik.Rey tersenyum kecil, sedikit menggel

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 49

    Alnaira Riquina duduk di meja kerjanya, menatap dokumen-dokumen yang belum tersentuh. Namun, pikirannya melayang kepada sosok Reyvaldo Anggara, lelaki yang masih menghantuinya meskipun mereka tidak lagi tinggal seatap.Suara ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar—nama Karin muncul di sana. Dengan ragu, ia mengangkat telepon."Halo, assalamualaikum, Karin.""Waalaikumsalam, Ra, kamu sudah dengar kabar tentang Rey?" Suara Karin terdengar khawatir.Ira mengernyitkan dahi. "Kabar apa?""Rapat dewan direksi tadi pagi ... Aku dengar posisinya semakin terancam. Ada banyak pihak yang ingin menjatuhkannya."Ira menghela napas panjang. "Aku sudah menduga. Sejak masalah merger itu, semuanya pasti menjadi semakin sulit baginya.""Ya, tapi ini lebih dari sekadar merger. Ada pihak yang ingin menyingkirkannya secara permanen. Aku dengar beberapa pemegang saham mulai goyah."Ira menggigit bibirnya. "Rey itu orang yang sangat ambisius dalam pekerjaannya, tapi selalu profesional. Kalau sampa

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 48

    Rapat yang berlangsung selama lebih dari dua jam akhirnya ditunda. Para direksi meninggalkan ruangan satu per satu, menyisakan Rey yang masih duduk sambil menatap layar laptopnya. Ia merasa lega karena merger tidak diputuskan secara tergesa-gesa, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa tekanan dari berbagai pihak akan semakin besar.Pintu ruangan terbuka pelan, dan Nia masuk sambil membawa secangkir kopi di atas nampan. Ia melangkah dengan hati-hati, lalu meletakkan kopi di meja kerja Rey.Nia tersenyum kecil. “Kopi hitam tanpa gula, seperti biasa.”Rey menoleh ke arah Nia, menghela napas panjang sebelum meraih cangkir itu. “Terima kasih."Nia memperhatikan wajah Rey yang tampak lelah. “Rapat tadi cukup berat, ya, Pak?”Rey mengangguk sambil mengaduk kopinya pelan. “Lebih dari itu. Aku sudah menduga kalau mereka akan berusaha menekanku, tapi tidak kusangka sampai seintens ini.”Nia menarik kursi dan duduk sebentar. “Sepertinya Pak Rendra dan beberapa direksi benar-benar ingin merger ini se

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 47

    Pak Surya mengetuk meja layaknya pak hakim memutuskan perkara. "Setelah mendengar berbagai pertimbangan, saya rasa kita perlu waktu lebih banyak untuk menganalisis semua kemungkinan. Keputusan sebesar ini tidak bisa diambil dalam satu pertemuan.”Pak Arman mengangguk setuju. “Saya juga merasa kita terlalu terburu-buru. Ada terlalu banyak hal yang belum jelas. Saya usul kita menunda rapat ini selama satu minggu agar semua pihak bisa mengkaji ulang proposal merger dengan lebih mendalam.”Rey menyambut usulan itu dengan tenang. “Saya setuju. Dalam waktu satu minggu, saya dan tim keuangan akan menyusun proyeksi dampak merger ini dalam berbagai skenario, termasuk risiko jangka panjangnya.”Pak Rendra terlihat tidak senang, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. “Baik, kalau itu keputusan mayoritas, kita tunda dulu.”Pak Surya menutup rapat dengan ketukan meja. “Baiklah, rapat ditunda dan akan dilanjutkan minggu depan. Saya harap semua tim bisa membawa analisis yang lebih detail.”---Seming

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 46

    Rey berjalan menuju ruang rapat dengan langkah tegap. Di tangannya, ia membawa dokumen yang telah direvisi oleh timnya. Ia tahu, pertemuan ini akan menjadi momen krusial. Dewan direksi sudah menunggu, begitu juga dengan beberapa pemegang saham utama yang memiliki pengaruh besar dalam keputusan merger.Begitu Rey memasuki ruang rapat, ia langsung menangkap pemandangan yang membuatnya sedikit waspada. Pak Rendra, kepala divisi hukum, sedang berbisik dengan beberapa anggota direksi lainnya, terutama dari pembelian dan investasi. Sesekali, mereka melirik ke arahnya sebelum kembali berbisik.Pak Surya, ketua dewan direksi, mengetuk meja sebagai tanda rapat dimulai. “Baiklah, kita langsung ke pokok pembahasan. Pak Rendra, Anda ingin menyampaikan sesuatu sebelum kita mulai membahas revisi proposal merger?”Pak Rendra menyunggingkan senyum tipis sebelum menatap Rey. “Tentu, Pak Surya. Sebelum Pak Rey menyampaikan analisanya, saya ingin menekankan bahwa revisi ini dibuat dengan mempertimbangka

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 45

    BAB 45Bab 77Di ruangan kantornya yang luas, Reyvaldo Anggara duduk dengan wajah tegang. Berkas-berkas berserakan di atas mejanya, dan layar laptopnya menampilkan laporan keuangan yang masih belum ia selesaikan. Kepalanya terasa berat. Masalah pribadinya dengan Alnaira Riquina, istrinya, sudah cukup menguras pikirannya, tapi kini pekerjaannya juga mulai terancam.Pintu diketuk. Rey mendongak dan melihat Nia, asistennya, masuk dengan ekspresi ragu.“Pak Rey, rapat dengan dewan direksi dimajukan satu jam lebih cepat. Dan … ada beberapa revisi dalam proposal merger yang harus segera Bapak tinjau,” ucap Nia setelah masuk ruangan.Rey mengerutkan kening, meletakkan pulpen yang sedari tadi ia putar-putar di jarinya. “Dimajukan? Kenapa?”Nia meletakkan dokumen di meja atasannya, kemudian menghela napas pelan. “Dari informasi yang saya dapat, ada tekanan dari beberapa pemangku saham utama. Mereka ingin merger ini segera dieksekusi tanpa hambatan, Pak."Rey menyandarkan punggungnya, menatap d

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 44

    Bab 76Ira duduk di sofa ruang tamu apartemen miliknya, jemarinya sibuk memijat pelipisnya yang terasa pusing. Semua perkataan Reyvaldo Anggara masih terngiang di pikirannya, membuatnya sulit berpikir jernih. Sidang pengadilan agama terakhir akan segera berlangsung, keputusan akhir ada di tangannya—melanjutkan perceraian atau memberi kesempatan untuk mediasi kembali.Mata wanita cantik itu terpejam mengingat percakapan tadi malam antara dirinya dan suaminya, Rey, melalui telepon."Sayang, kita harus bicara sebelum sidang terakhir," ajak laki-laki di seberang telepon dengan nada lembut tapi tegas.Ira menghela napas, suaranya datar, “Apa lagi yang perlu dibicarakan, Mas? Semuanya sudah jelas.”“Belum tentu. Kita masih bisa mencoba mediasi lagi. Mas yakin, kita bisa memperbaiki semuanya ini satu-persatu.” Suara Rey terdengar meyakinkan.Ira tertawa sinis, “Kita? Memperbaiki? Mas Rey, kita sudah sampai di titik ini bukan karena aku tidak mencoba. Aku sudah cukup lelah berusaha sendirian.

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 43

    Bab 71Ira masih terdiam, memikirkan kata-kata Rizal."Aku tidak bisa terus seperti ini, Rizal. Aku butuh jawaban, tapi aku juga takut."Rizal tersenyum. "Takut bahwa jawaban itu bukan yang ingin kamu dengar?"Ira menatapnya dengan mata bimbang. "Aku takut, Rizal. Takut kalau pada akhirnya Mas Rey akhirnya memilih mendengarkan ibunya.""Maksudmu?" Rizal bertanya, meskipun ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.Ira menggigit bibirnya, menunduk. "Ibunya selalu ingin dia bersama wanita yang bisa memberinya anak. Aku ... aku tidak tahu apakah Mas Rey cukup kuat untuk melawan keinginan ibunya."Rizal mengangguk pelan. "Dan kamu takut dia menyerah dan memilih wanita lain?"Ira mengangguk. "Aku takut dia memilih Erica. Dia pintar, datang dari keluarga sukses, dan sekarang bahkan membantu Mas Rey di bisnisnya. Itu seperti pasangan sempurna di mata ibunya."Rizal menarik napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Ira, kamu tahu bahwa kebahagiaan sebuah pernikahan tidak hanya be

  • Istri Baru untuk Suamiku    Bab 42

    Bab 42Ira dan Rizal masih duduk berhadapan di dalam cafe. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, membahas banyak hal, mulai dari pekerjaan hingga kenangan masa lalu."Jadi, bagaimana rasanya menjadi penasihat keuangan?" Rizal bertanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Ira tersenyum tipis, menatap cangkir kopinya sebelum akhirnya menjawab. "Awalnya, aku tidak pernah berpikir akan sampai di titik ini. Dulu, aku hanyalah seorang manajer keuangan di perusahaan tempat aku dan Mas Rey bekerja."Rizal mengangkat alis, tertarik. "Oh? Jadi kamu dan Rey dulu satu kantor?"Ira mengangguk. "Iya. Aku dulu adalah atasan suamiku. Dia masih seorang staf keuangan waktu itu, dan aku yang membimbingnya dalam banyak hal. Aku ingat betul betapa keras kepalanya saat itu."Rizal terkekeh. "Jadi sejak awal kamu sudah terbiasa menghadapi sifat keras kepala Rey?"Ira tertawa kecil. "Bisa dibilang begitu. Tapi justru karena itulah kami semakin dekat. Aku melihat bagaimana dia berusaha membuktikan diriny

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status