Malam itu, udara terasa dingin menusuk. Hujan rintik-rintik menambah kesan muram yang menyelimuti hatiku. Aku duduk di ruang tamu sendirian, memandangi jendela kaca yang dipenuhi butiran air. Rasanya seperti melihat pantulan diriku—buram dan tak jelas.
Mas Rey baru saja keluar rumah, pergi dengan alasan yang terdengar biasa, tapi entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Perasaan itu menghantui sejak beberapa hari terakhir, dan aku tak bisa mengabaikannya. Ketika waktu terus berlalu, pikiranku mulai dipenuhi oleh berbagai spekulasi. Ke mana Mas Rey pergi? Mengapa Mas Rey semakin sering keluar tanpa memberitahuku? Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. "Ira, aku ingin bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan." Pengirimnya adalah Karin, seorang wanita yang selama ini kerap disebut-sebut ibu mertua sebagai "pilihan yang lebih baik" untuk Mas Rey. Aku tak pernah benar-benar berurusan dengannya secara langsung, tetapi setiap kali nama itu muncul, hatiku terasa diremas. Aku terdiam, mencoba mencerna maksud pesan itu. Untuk apa dia ingin bertemu denganku? Aku pun memutuskan untuk menemui Karin di sebuah kafe kecil di pusat kota. Tempat itu cukup ramai, dengan suara obrolan orang-orang yang bercampur dengan dentingan cangkir kopi. Aku merasa canggung, tetapi mencoba menahan diri. Karin sudah ada di sana ketika aku tiba. Dia mengenakan blus putih rapi, dengan senyum tipis agar terlihat sikap ramahnya. Aku mendekatinya dengan perlahan, mencoba menenangkan detak jantungku yang terasa tak beraturan. “Ira,” katanya ketika aku duduk di depannya. Suaranya lembut, tapi ada nada dingin yang sulit aku abaikan. “Karin,” jawabku singkat. Aku menatapnya, mencoba membaca maksud dari pertemuan ini. Dia mengaduk cangkir kopinya sebelum akhirnya berbicara. “Aku tahu ini mungkin tidak mudah untukmu. Tapi aku merasa kita perlu berbicara, secara langsung.” “Ada apa?” tanyaku, mencoba bersikap tenang meskipun hatiku penuh dengan pertanyaan. Karin menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. “Ibu Rey sudah lama memintaku untuk mendekatinya. Kamu pasti tahu itu.” Aku mengangguk pelan, menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak. Tentu saja aku tahu. Ibu mertuaku tidak pernah menyembunyikan ketidaksukaannya padaku. “Tapi aku tidak pernah sekalipun berniat untuk mencampuri pernikahan kalian,” lanjutnya. “Aku menghormati keputusan Mas Rey untuk menikah denganmu. Hanya saja, aku rasa kamu perlu tahu sesuatu.” Kata-katanya menggantung di udara, membuatku semakin resah. “Apa maksudmu?” tanyaku akhirnya. Dia menarik napas panjang sebelum menjawab. “Mas Rey... sering datang ke tempatku belakangan ini. Kami tidak melakukan apa-apa yang salah, aku hanya ingin membantunya. Dia terlihat sangat tertekan, Ira. Dia membutuhkan seseorang untuk berbicara.” Aku merasakan sesuatu yang tajam menusuk hatiku. “Membantunya? Apa maksudmu, Karin?” Karin menunduk sejenak, lalu kembali menatapku. “Aku tidak tahu apakah Mas Rey memberitahumu, tapi dia merasa sangat terbebani dengan semua yang terjadi. Mas Rey bilang, dia tidak tahu bagaimana menghadapi semua ini, dan ... sepertinya mulai mempertimbangkan apa yang diinginkan oleh ibunya.” Kata-kata yang meluncur dari bibir Karin membuat kepalaku berputar. “Apa yang kamu maksud? Apa Mas Rey ... Apa berpikiran untuk meninggalkan aku?” Karin tampak ragu sejenak sebelum menjawab. “Aku tidak tahu pasti. Tapi aku pikir kamu harus berbicara dengannya. Mas Rey terlihat sangat bingung, dan aku tidak ingin ada kesalahpahaman di antara kita.” Aku menatapnya dengan campuran rasa marah dan sakit hati. “Kenapa kamu memberitahuku semua ini? Apa kamu ingin aku pergi? Apa ini yang ibu mertuaku inginkan?” “Tidak, Ira,” jawabnya cepat. “Aku hanya berpikir kamu berhak tahu apa yang sedang terjadi. Aku tidak ingin menjadi alasan kehancuran pernikahan kalian.” Aku tertawa pahit. “Kamu mungkin tidak ingin menjadi alasan, tapi kamu sudah ada di tengah-tengah kami, Karin. Apa kamu tahu bagaimana rasanya mendengar ini darimu? Apa kamu tahu bagaimana rasanya menjadi aku?” Karin terdiam, tampak tidak tahu harus menjawab apa. Aku bangkit dari kursi, tidak bisa lagi menahan rasa sakit dan amarah yang berkecamuk di dalam diriku. “Kamu ingin aku berbicara dengan Mas Rey? Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi jangan pernah berpikir bahwa ini semua karena kamu peduli. Kamu tidak tahu apa yang aku alami selama ini.” Tanpa menunggu jawaban darinya, aku meninggalkan kafe itu. Langkahku cepat, tetapi dadaku terasa sesak. --- Ketika aku tiba di rumah, Mas Rey sudah ada di ruang tamu. Mas Rey terlihat kaget melihatku masuk dengan wajah yang penuh emosi. “Sayang bertemu Karin?” tanya Mas Rey sebelum aku sempat mengatakan apa-apa. Aku menatapnya tajam. “Mas tahu?” Mas Rey mengangguk pelan, tetapi tidak berusaha mendekat. “Dia bilang dia ingin berbicara denganmu, Yang. Mas tidak menghentikannya karena Mas pikir mungkin itu yang terbaik.” “Yang terbaik?” tanyaku, suaraku mulai meninggi. “Apa Mas pikir aku akan merasa lebih baik setelah mendengar bahwa Mas mempertimbangkan untuk menyerah pada semua ini?” “Sayang, bukan seperti itu maksud Mas,” jawabnya cepat. “Mas hanya ... Mas merasa bingung. Mas tidak tahu harus bagaimana menghadapi semua ini.” Aku mendekat, menatap matanya dengan penuh kemarahan. “Mas bingung? Mas merasa tertekan? Bagaimana dengan aku, Mas? Bagaimana dengan aku yang setiap hari harus menghadapi ibu Mas yang terus menyalahkanku? Bagaimana dengan aku yang terus berusaha mempertahankan pernikahan ini meskipun aku tahu Mas semakin jauh dariku?” Mas Rey terdiam, tampak terpojok. “Mas tidak pernah ingin menyakitimu, Yang. Mas hanya mencoba mencari jalan keluar.” “Tapi jalan keluar apa yang Mas cari? Jalan keluar yang melibatkan Karin? Jalan keluar yang berarti menyerah pada pernikahan kita?” tanyaku dengan nada penuh luka. Dia menunduk, tak mampu menjawab. Aku merasa air mataku mulai mengalir, tetapi aku tidak peduli lagi. “Jika Mas benar-benar mencintaiku, Mas tidak akan membiarkan ini terjadi. Mas tidak akan membiarkan ibu atau siapa pun menghancurkan kita.” “Mas mencintaimu, Yang,” kata Mas Rey akhirnya, suaranya terdengar putus asa. “Tapi cinta itu tidak cukup, Mas. Tidak jika Mas tidak berjuang untuk itu,” jawabku sebelum berbalik dan meninggalkannya di ruang tamu. Malam itu, aku berbaring sendirian di kamar, mencoba menenangkan hatiku yang hancur. Tetapi aku tahu, ini adalah salah satu malam yang akan terus menghantui pikiranku.Aku duduk seorang diri didalam kamar, menatap kosong jendela yang buram oleh hujan. Rasanya seperti ada jurang pemisah antara aku dan Mas Rey sejak percakapan terakhir kami. Kata-kata Mas Rey terus terngiang di kepalaku, seperti potongan puzzle yang tak bisa kususun kembali. Hari ini, aku memutuskan untuk tidak membiarkan semua masalah ini hanya berputar di pikiranku. Aku harus mencari jawaban. Bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi untuk pernikahan kami yang perlahan mulai retak. Ditengah kebimbangan yang melanda, aku mendengar suara dering ponsel yang sangat familiar. Mas Rey meninggalkan ponselnya di meja ruang tamu sebelum berangkat bekerja. Aku tidak pernah punya kebiasaan mengutak-atik ponsel Mas Rey, tapi pagi ini ada sesuatu yang membuatku ragu. Nama pengirim pesan itu membuat tubuhku seketika menegang: Citra. Pesannya singkat, tapi cukup untuk membuat pikiranku liar. "Mas Rey, aku ingin bicara denganmu empat mata. Jangan lupa temui aku malam ini. Penting." Dadaku b
Hujan masih turun dengan deras, memberikan irama khas yang mengisi keheningan malam. Dingin mulai merambat masuk ke dalam rumah, seolah menyusup melalui setiap celah, mengiringi perasaan beku di relung hatiku. Sudah beberapa hari sejak percakapan terakhir yang terasa menyakitkan dengan suamiku, dan hingga kini ketegangan masih terasa di antara kami. Pagi ini, aku berdiri di dapur dengan tangan gemetar saat menuangkan air ke dalam cangkir. Suara dering ponsel Mas Rey di ruang tamu terdengar masuk ke telingaku, memecah konsentrasi pikiranku yang sudah penuh dengan prasangka. Aku melihatnya dari sudut jendela dapur, duduk di sofa dengan tatapan serius. Mas Rey menjawab panggilan itu dengan nada rendah dan berbisik. “Aku mengerti, aku akan mengurusnya. Jangan khawatir,” katanya sambil melirikku sekilas. Hati ini semakin tergores, dan aku tahu aku tidak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Aku meletakkan cangkirku dengan kasar, membuat suara denting yang menarik perhatian M
Hari-hari berlalu dengan keheningan yang membunuh. Aku dan Mas Rey menjalani rutinitas seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada tawa kecil yang dulu selalu mengisi ruangan ini. Yang tersisa hanyalah keheningan, diisi dengan ketegangan yang terus membayangi. Aku masih mencoba memahami semuanya—tentang Mas Rey, tentang Citra, dan tentang bagaimana pernikahan kami perlahan-lahan seperti benang yang hampir putus. Setiap kali aku melihat Mas Rey, ada rasa kecewa dan marah yang sulit kuhilangkan. Namun, di tengah kekacauan ini, hidup tetap berjalan. Pagi ini, aku memutuskan untuk pergi ke pasar, mencoba mencari udara segar. Aku membutuhkan waktu untuk berpikir, untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang terus menghantuiku. Pasar pagi ini ramai seperti biasanya. Suara pedagang yang menawarkan barang dagangan mereka bercampur dengan langkah kaki para pembeli. Aku berjalan melewati kios demi kios, mencoba menikmati suasana, teta
Aku memutuskan untuk mengunjungi rumah orangtuaku, selepas mas Rey berangkat kerja. Sudah lama aku tidak bertemu mereka, dan suasana rumah mungkin bisa memberiku sedikit ketenangan. Namun, di perjalanan menuju rumah, pikiranku terus saja memutar ulang percakapan terakhir dengan Mas Rey. Ketidakpastian yang suamiku tunjukkan semakin membuatku merasa kecil. Bagaimana mungkin aku, yang sudah mencurahkan segalanya untuk pernikahan ini, tetap berada di bawah bayang-bayang wanita bernama Citra? Wanita itu bagai hantu yang terus hadir di tengah hubungan kami. Setibanya di rumah, Ibu menyambutku dengan pelukan hangat seperti biasa. "Nduk, kamu kelihatan lebih kurus. Apa pola makanmu tidak teratur?" tanya ibu dengan cemas. Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegundahan hatiku. "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit lelah karena pekerjaan." Tapi Ibu selalu tahu ada sesuatu yang tidak kukatakan. Sepanjang makan siang bersama, aku berusaha mengalihkan perhatian dengan bercerita te
Sinar matahari pagi yang cerah menembus tirai jendela kamarku, tapi kehangatannya tak mampu mengusir dingin yang merasuki hati ini. Aku bangun dengan perasaan berat, seperti membawa beban yang semakin hari semakin tak tertahankan. Mas Rey sudah tidak ada di rumah saat aku turun ke ruang makan. Meja makan terlihat kosong, hanya menyisakan secangkir kopi dingin yang mungkin dia tinggalkan dalam terburu-buru. Ada kelegaan kecil karena aku tak perlu menghadapi tatapannya yang selalu penuh penyesalan. Namun, di sisi lain, keheningan ini semakin menyiksa. Berbeda dengan tahun-tahun awal pernikahan kami, tiap pagi menjelang kami kompak untuk sarapan pagi bersama. Bercanda tentang apapun itu. Namun, semuanya kini tinggal kenangan yang ada. Aku menatap layar ponselku, memikirkan pesan dari Karin malam sebelumnya. Kalau kamu butuh tempat untuk berpikir, datanglah ke sini. Aku akan selalu ada untukmu. Aku tahu Karin benar. Aku butuh ruang, jauh dari suamiku, jauh dari semua tekanan yang t
Hujan turun deras membasahi kota. Dedaunan di taman kecil depan rumah bergoyang ditiup angin, sementara aku duduk di meja makan, menatap cangkir kopi yang sudah dingin. Hari ini adalah hari yang menentukan. Aku dan Mas Rey memutuskan untuk pergi bersama menemui konselor pernikahan untuk terakhir kalinya, sesuatu yang selama ini memang selalu kami hindari. Rey turun dari lantai atas, mengenakan kemeja putih dan celana jeans. Penampilannya rapi, tapi garis-garis di wajahnya menunjukkan bahwa dia sama tegangnya denganku. “Siap, Yang?” tanyanya, suaranya pelan namun penuh makna. Aku mengangguk, walaupun jauh di dalam hati, aku merasa belum benar-benar siap menghadapi apa yang akan kami bicarakan. Ruang konseling itu sederhana namun nyaman, dengan sofa empuk dan dinding yang dihiasi lukisan-lukisan abstrak. Konselor kami, seorang wanita paruh baya duduk di depan kami dengan senyum lembut. “Selamat datang, Pak Rey dan Bu Ira,” sapanya hangat. “Saya senang kalian memutuskan untuk me
Hujan kembali turun deras malam ini, membuat suasana rumah semakin dingin dan sunyi. Di luar, kilat sesekali menerangi langit, diikuti oleh suara guntur yang bergemuruh saling bersahutan. Aku duduk di ruang tamu, menatap surat dari Mas Rey yang masih terlipat rapi di atas meja. Kata-katanya, meski sederhana, terus terngiang di pikiranku: "Mas tidak tahu apakah Mas bisa memperbaiki semua ini, tapi Mas akan mencoba." Tapi apakah mencoba cukup? Aku tahu ada sesuatu yang berubah sejak sesi konseling terakhir. Mas Rey mulai lebih sering di rumah, berusaha lebih banyak bicara denganku, dan bahkan mengambil inisiatif untuk membantu pekerjaan rumah—sesuatu yang hampir tidak pernah Mas Rey lakukan sebelumnya. Tapi setiap kali aku ingin percaya bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik, bayangan masa lalu kembali menghantui pikiranku. Salah satu bayangan itu bernama Citra. Suara bel pintu memecah kesunyian malam. Aku mengernyit, bertanya-tanya siapa yang datang larut malam seper
Aku terbangun dengan perasaan berat. Matahari yang biasanya memancarkan kehangatan kini terasa seperti beban di atas bahuku. Di sisi tempat tidur, Mas Rey masih tertidur pulas. Wajahnya terlihat tenang, seperti tidak ada badai yang melanda pernikahan kami. Tapi di dalam diriku, badai itu masih berkecamuk, mencabik-cabik rasa percaya dan harapan yang tersisa. Hari ini adalah hari kami kembali menuju konselor pernikahan untuk sesi konseling berikutnya. Kami sepakat menambah waktu konseling meskipun beberapa hari sebelumnya sudah berakhir. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi aku tahu ini adalah salah satu langkah terakhir untuk menentukan apakah pernikahan kami bisa bertahan atau harus diakhiri. --- Di ruang konseling, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Mas Rey duduk di sebelahku, tangannya bertaut di atas meja. Aku bisa merasakan suamiku ingin meraih tanganku, tetapi terlihat menahan diri. Konselor kami membuka percakapan dengan senyum lembut. “Bagaimana minggu P
Setelah percakapan panjang mereka di kafe, Rey melirik jam tangannya. Hari sudah mulai gelap. Ia menatap Ira yang masih tampak tenggelam dalam pikirannya."Mas antar pulang, Yang," kata Rey tiba-tiba.Ira menoleh, ragu sejenak. "Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri."Rey menghela napas, menatapnya serius. "Yang, ini sudah malam. Mas nggak akan tenang kalau kamu pulang sendirian."Ira terdiam tidak menjawab.Rey melirik meja di samping mereka, matanya menyapu permukaannya dengan cepat. Dahinya mengernyit. "Sayang ga bawa mobil, kan?" tanyanya pelan, tapi penuh arti.Ira mengangkat bahu, berusaha tetap santai. "Memangnya kenapa?"Rey menatapnya lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. "Sayang selalu naruh kunci mobil di atas meja. Sekarang nggak ada." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih pelan. "Berarti Sayang nggak bawa mobil, kan?"Ira menelan ludah, tidak langsung menjawab. Rey masih mengingat kebiasaannya dengan baik.Rey tersenyum kecil, sedikit menggel
Alnaira Riquina duduk di meja kerjanya, menatap dokumen-dokumen yang belum tersentuh. Namun, pikirannya melayang kepada sosok Reyvaldo Anggara, lelaki yang masih menghantuinya meskipun mereka tidak lagi tinggal seatap.Suara ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar—nama Karin muncul di sana. Dengan ragu, ia mengangkat telepon."Halo, assalamualaikum, Karin.""Waalaikumsalam, Ra, kamu sudah dengar kabar tentang Rey?" Suara Karin terdengar khawatir.Ira mengernyitkan dahi. "Kabar apa?""Rapat dewan direksi tadi pagi ... Aku dengar posisinya semakin terancam. Ada banyak pihak yang ingin menjatuhkannya."Ira menghela napas panjang. "Aku sudah menduga. Sejak masalah merger itu, semuanya pasti menjadi semakin sulit baginya.""Ya, tapi ini lebih dari sekadar merger. Ada pihak yang ingin menyingkirkannya secara permanen. Aku dengar beberapa pemegang saham mulai goyah."Ira menggigit bibirnya. "Rey itu orang yang sangat ambisius dalam pekerjaannya, tapi selalu profesional. Kalau sampa
Rapat yang berlangsung selama lebih dari dua jam akhirnya ditunda. Para direksi meninggalkan ruangan satu per satu, menyisakan Rey yang masih duduk sambil menatap layar laptopnya. Ia merasa lega karena merger tidak diputuskan secara tergesa-gesa, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa tekanan dari berbagai pihak akan semakin besar.Pintu ruangan terbuka pelan, dan Nia masuk sambil membawa secangkir kopi di atas nampan. Ia melangkah dengan hati-hati, lalu meletakkan kopi di meja kerja Rey.Nia tersenyum kecil. “Kopi hitam tanpa gula, seperti biasa.”Rey menoleh ke arah Nia, menghela napas panjang sebelum meraih cangkir itu. “Terima kasih."Nia memperhatikan wajah Rey yang tampak lelah. “Rapat tadi cukup berat, ya, Pak?”Rey mengangguk sambil mengaduk kopinya pelan. “Lebih dari itu. Aku sudah menduga kalau mereka akan berusaha menekanku, tapi tidak kusangka sampai seintens ini.”Nia menarik kursi dan duduk sebentar. “Sepertinya Pak Rendra dan beberapa direksi benar-benar ingin merger ini se
Pak Surya mengetuk meja layaknya pak hakim memutuskan perkara. "Setelah mendengar berbagai pertimbangan, saya rasa kita perlu waktu lebih banyak untuk menganalisis semua kemungkinan. Keputusan sebesar ini tidak bisa diambil dalam satu pertemuan.”Pak Arman mengangguk setuju. “Saya juga merasa kita terlalu terburu-buru. Ada terlalu banyak hal yang belum jelas. Saya usul kita menunda rapat ini selama satu minggu agar semua pihak bisa mengkaji ulang proposal merger dengan lebih mendalam.”Rey menyambut usulan itu dengan tenang. “Saya setuju. Dalam waktu satu minggu, saya dan tim keuangan akan menyusun proyeksi dampak merger ini dalam berbagai skenario, termasuk risiko jangka panjangnya.”Pak Rendra terlihat tidak senang, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. “Baik, kalau itu keputusan mayoritas, kita tunda dulu.”Pak Surya menutup rapat dengan ketukan meja. “Baiklah, rapat ditunda dan akan dilanjutkan minggu depan. Saya harap semua tim bisa membawa analisis yang lebih detail.”---Seming
Rey berjalan menuju ruang rapat dengan langkah tegap. Di tangannya, ia membawa dokumen yang telah direvisi oleh timnya. Ia tahu, pertemuan ini akan menjadi momen krusial. Dewan direksi sudah menunggu, begitu juga dengan beberapa pemegang saham utama yang memiliki pengaruh besar dalam keputusan merger.Begitu Rey memasuki ruang rapat, ia langsung menangkap pemandangan yang membuatnya sedikit waspada. Pak Rendra, kepala divisi hukum, sedang berbisik dengan beberapa anggota direksi lainnya, terutama dari pembelian dan investasi. Sesekali, mereka melirik ke arahnya sebelum kembali berbisik.Pak Surya, ketua dewan direksi, mengetuk meja sebagai tanda rapat dimulai. “Baiklah, kita langsung ke pokok pembahasan. Pak Rendra, Anda ingin menyampaikan sesuatu sebelum kita mulai membahas revisi proposal merger?”Pak Rendra menyunggingkan senyum tipis sebelum menatap Rey. “Tentu, Pak Surya. Sebelum Pak Rey menyampaikan analisanya, saya ingin menekankan bahwa revisi ini dibuat dengan mempertimbangka
BAB 45Bab 77Di ruangan kantornya yang luas, Reyvaldo Anggara duduk dengan wajah tegang. Berkas-berkas berserakan di atas mejanya, dan layar laptopnya menampilkan laporan keuangan yang masih belum ia selesaikan. Kepalanya terasa berat. Masalah pribadinya dengan Alnaira Riquina, istrinya, sudah cukup menguras pikirannya, tapi kini pekerjaannya juga mulai terancam.Pintu diketuk. Rey mendongak dan melihat Nia, asistennya, masuk dengan ekspresi ragu.“Pak Rey, rapat dengan dewan direksi dimajukan satu jam lebih cepat. Dan … ada beberapa revisi dalam proposal merger yang harus segera Bapak tinjau,” ucap Nia setelah masuk ruangan.Rey mengerutkan kening, meletakkan pulpen yang sedari tadi ia putar-putar di jarinya. “Dimajukan? Kenapa?”Nia meletakkan dokumen di meja atasannya, kemudian menghela napas pelan. “Dari informasi yang saya dapat, ada tekanan dari beberapa pemangku saham utama. Mereka ingin merger ini segera dieksekusi tanpa hambatan, Pak."Rey menyandarkan punggungnya, menatap d
Bab 76Ira duduk di sofa ruang tamu apartemen miliknya, jemarinya sibuk memijat pelipisnya yang terasa pusing. Semua perkataan Reyvaldo Anggara masih terngiang di pikirannya, membuatnya sulit berpikir jernih. Sidang pengadilan agama terakhir akan segera berlangsung, keputusan akhir ada di tangannya—melanjutkan perceraian atau memberi kesempatan untuk mediasi kembali.Mata wanita cantik itu terpejam mengingat percakapan tadi malam antara dirinya dan suaminya, Rey, melalui telepon."Sayang, kita harus bicara sebelum sidang terakhir," ajak laki-laki di seberang telepon dengan nada lembut tapi tegas.Ira menghela napas, suaranya datar, “Apa lagi yang perlu dibicarakan, Mas? Semuanya sudah jelas.”“Belum tentu. Kita masih bisa mencoba mediasi lagi. Mas yakin, kita bisa memperbaiki semuanya ini satu-persatu.” Suara Rey terdengar meyakinkan.Ira tertawa sinis, “Kita? Memperbaiki? Mas Rey, kita sudah sampai di titik ini bukan karena aku tidak mencoba. Aku sudah cukup lelah berusaha sendirian.
Bab 71Ira masih terdiam, memikirkan kata-kata Rizal."Aku tidak bisa terus seperti ini, Rizal. Aku butuh jawaban, tapi aku juga takut."Rizal tersenyum. "Takut bahwa jawaban itu bukan yang ingin kamu dengar?"Ira menatapnya dengan mata bimbang. "Aku takut, Rizal. Takut kalau pada akhirnya Mas Rey akhirnya memilih mendengarkan ibunya.""Maksudmu?" Rizal bertanya, meskipun ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.Ira menggigit bibirnya, menunduk. "Ibunya selalu ingin dia bersama wanita yang bisa memberinya anak. Aku ... aku tidak tahu apakah Mas Rey cukup kuat untuk melawan keinginan ibunya."Rizal mengangguk pelan. "Dan kamu takut dia menyerah dan memilih wanita lain?"Ira mengangguk. "Aku takut dia memilih Erica. Dia pintar, datang dari keluarga sukses, dan sekarang bahkan membantu Mas Rey di bisnisnya. Itu seperti pasangan sempurna di mata ibunya."Rizal menarik napas panjang, mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Ira, kamu tahu bahwa kebahagiaan sebuah pernikahan tidak hanya be
Bab 42Ira dan Rizal masih duduk berhadapan di dalam cafe. Percakapan mereka mengalir dengan mudah, membahas banyak hal, mulai dari pekerjaan hingga kenangan masa lalu."Jadi, bagaimana rasanya menjadi penasihat keuangan?" Rizal bertanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Ira tersenyum tipis, menatap cangkir kopinya sebelum akhirnya menjawab. "Awalnya, aku tidak pernah berpikir akan sampai di titik ini. Dulu, aku hanyalah seorang manajer keuangan di perusahaan tempat aku dan Mas Rey bekerja."Rizal mengangkat alis, tertarik. "Oh? Jadi kamu dan Rey dulu satu kantor?"Ira mengangguk. "Iya. Aku dulu adalah atasan suamiku. Dia masih seorang staf keuangan waktu itu, dan aku yang membimbingnya dalam banyak hal. Aku ingat betul betapa keras kepalanya saat itu."Rizal terkekeh. "Jadi sejak awal kamu sudah terbiasa menghadapi sifat keras kepala Rey?"Ira tertawa kecil. "Bisa dibilang begitu. Tapi justru karena itulah kami semakin dekat. Aku melihat bagaimana dia berusaha membuktikan diriny