Hari itu terasa lebih panas dari biasanya. Aku berdiri di balkon rumah kami, menatap kota yang tampak hiruk-pikuk di bawah. Udara terasa lembap, dan aroma aspal yang terbakar oleh matahari memancar ke dalam ruangan. Hati ini penuh, tetapi tak ada yang bisa kuungkapkan. Bahkan angin yang berhembus pun tidak bisa menenangkan pikiranku.
Rey belum pulang. Pikiranku kembali berlarian, mencoba mencari cara agar semuanya kembali normal, tetapi setiap kali aku berpikir begitu, kenyataan datang seperti tamparan. Hubungan kami yang dulu penuh dengan tawa, kini terasa hampa. Setiap percakapan terasa seperti adu argumen yang tak pernah selesai. Klinik kesuburan telah memberikan hasil tes terakhir, dan semuanya sudah jelas—kami berdua memiliki masalah. Namun, ada satu hal yang semakin menyakitkan, yang tak pernah kami bicarakan secara jujur: ibu mertuaku. Aku memikirkan kata-katanya yang seringkali menusuk, kata-kata yang terus bergema di kepala. “Istri yang tidak berguna.” “Kenapa kamu tidak bisa memberikan apa yang diinginkan keluarga?” Kata-kata itu seperti luka lama yang semakin membusuk. Rey tidak pernah benar-benar menghadapinya, dan aku—aku merasa seperti berada di tengah-tengah medan perang yang tak bisa kuhindari. Langkah kaki yang terdengar di belakangku membuyarkan lamunan. Aku menoleh, dan melihat Rey berdiri di ambang pintu, dengan wajah yang lelah, namun kosong. “Kamu lagi-lagi tidak makan?” tanyanya dengan nada yang sedikit kesal. Aku menatapnya, mencoba menyamarkan perasaan yang berkecamuk. “Aku tidak lapar,” jawabku datar, meskipun aku tahu itu bukan alasan yang sebenarnya. Dia mendekat, lalu duduk di sebelahku, memandang ke arah kota yang sama. “Apa yang terjadi, Ira? Kenapa kau tidak pernah mau berbicara dengan aku?” Suara itu—suara yang dulu menenangkan, kini hanya terdengar seperti sebuah permintaan yang terlambat. Aku menarik napas panjang, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. “Kita selalu berputar di tempat, Rey. Aku merasa kamu semakin jauh dariku, dan aku… aku lelah.” “Lelah? Lelah dengan apa?” Rey tampaknya tidak mengerti. “Dengan semuanya, Rey. Dengan perasaan bahwa aku tidak pernah cukup. Dengan kenyataan bahwa aku merasa selalu dipersalahkan,” jawabku, dengan suara yang semakin bergetar. “Aku lelah merasa seperti tidak ada tempat untukku di sini.” Aku bisa melihat ekspresi di wajahnya berubah. Ada campuran antara bingung dan marah yang tergambar jelas. “Kamu tahu itu tidak benar. Kamu bukanlah orang yang salah dalam hubungan ini.” “Tapi aku merasa seperti itu, Rey. Aku merasa seperti kamu lebih memilih keluargamu daripada aku. Setiap kali kita menghadapi masalah, yang selalu datang adalah keluargamu, bukan kita,” kataku, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang. Dia terdiam, seolah terjebak antara dua pilihan—mendengarkan atau membela keluarganya. “Aku mencoba menyeimbangkan semuanya, Ira. Kamu harus mengerti. Ibu…” “Cukup dengan ibu, Rey!” potongku keras, suaraku mulai pecah. “Setiap kali kita berbicara, ibu selalu ada di antara kita. Aku merasa seperti aku tidak pernah bisa cukup baik di mata keluarga ini. Apa kamu tidak pernah merasa seperti itu? Apa kamu tidak pernah merasa bahwa kita harus memilih—antara aku dan keluargamu?” Rey menunduk, tak bisa menjawab. Aku bisa merasakan ketegangan yang memuncak antara kami. Aku ingin dia mengerti. Aku ingin dia bisa melihat betapa aku berjuang untuk tetap bertahan, meskipun aku merasa begitu terasing. “Apa yang kamu inginkan, Ira?” tanya Rey akhirnya, suaranya terdengar putus asa. “Kamu ingin aku memilih? Kamu ingin aku memilih antara kamu dan keluargaku?” Aku menggigit bibir, berusaha menahan tangis. “Aku tidak ingin dipilih, Rey. Aku hanya ingin kamu berada di sini, dengan aku. Aku hanya ingin kamu hadir untukku, bukan hanya tubuhmu yang ada, tetapi hatimu.” Rey menarik napas dalam-dalam, dan aku bisa melihat dia mulai merasakan beratnya kata-kataku. “Aku... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Semua ini terasa semakin rumit. Aku rasa kita berdua sudah terlalu jauh dari apa yang seharusnya.” Aku menunduk, mencoba menahan isak yang mulai mengguncang tubuhku. “Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali, Rey. Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan lagi.” Dia mengulurkan tangannya, menyentuh bahuku dengan lembut. “Ira, jangan bilang seperti itu. Aku mencintaimu. Tapi aku juga takut kehilangan semuanya.” Aku menatapnya, mencoba mencari kejujuran dalam matanya, namun yang aku temui hanya ketakutan yang sama. “Tapi apa yang sudah kita bangun ini, Rey? Apa yang kita bangun jika kita terus seperti ini? Hanya dua orang yang terjebak dalam ketakutan mereka sendiri?” Dia menarik napas lagi, kali ini lebih panjang. “Kita bisa memperbaikinya. Kita harus memperbaikinya, Ira.” Aku ingin percaya padanya. Aku ingin merasakan ada harapan dalam kata-katanya, tetapi entah kenapa, rasanya semua itu hanya janji kosong. Kami telah berjanji sebelumnya, banyak sekali janji yang terlontar tanpa pernah terwujud. “Aku ingin percaya padamu, Rey. Tetapi setiap kali aku mencoba, kamu selalu pergi. Setiap kali kita mencoba, kita selalu terhenti di tempat yang sama.” Dia diam, dan untuk beberapa detik, kami hanya duduk bersama dalam keheningan. Tidak ada kata-kata yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi. --- Beberapa hari kemudian, aku kembali ke rumah orang tuaku untuk mencoba mencari ketenangan. Sambil melihat ke luar jendela kamar, aku memikirkan tentang Rey dan semua yang terjadi. Apakah ini akhir dari semuanya? Apakah kami benar-benar tidak bisa lagi menemukan jalan keluar? Pikiran itu membuatku merasa bingung. Setiap percakapan yang kami lakukan, setiap upaya yang kami coba, terasa seperti menambah jarak di antara kami. Aku merasa seolah-olah Rey semakin terperangkap dalam kebisuan, terhimpit antara aku dan keluarganya. Malam itu, ketika aku kembali ke rumah, Rey menungguku di ruang tamu. Wajahnya penuh penyesalan. “Ira, aku tahu aku sudah banyak salah. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita kembali seperti dulu.” “Dulu, Rey, itu sudah lama sekali. Aku tidak tahu apakah kita bisa kembali ke sana. Apa kamu siap untuk melepaskan semua yang menghalangimu? Apakah kamu siap untuk memilih aku?” tanyaku, menatap matanya dengan serius. Dia terdiam. “Aku…” “Apa kamu mencintaiku, Rey?” aku memotong, kali ini suaraku penuh keraguan. “Apa kamu benar-benar mencintaiku, atau hanya takut kehilangan?” Rey tampaknya terkejut dengan pertanyaanku, tetapi akhirnya dia menjawab, “Aku mencintaimu, Ira. Aku takut kehilanganmu.” “Tapi jika cinta itu hanya berdasarkan ketakutan, Rey, apakah itu benar-benar cinta?” tanyaku, hatiku terasa kosong. “Aku tidak ingin cinta yang didasarkan pada ketakutan. Aku ingin cinta yang kuat, yang bisa bertahan menghadapi apa pun.” Dia menatapku dengan mata yang penuh penyesalan. “Aku tidak tahu apakah kita bisa melewati ini, Ira.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Mungkin kita sudah terlalu jauh dari itu, Rey. Mungkin kita sudah tidak bisa lagi menemukan jalan kembali.” Keheningan yang lama mengisi ruangan. Dan aku tahu, tanpa kata-kata yang keluar dari bibir kami, kami berdua telah tiba di persimpangan jalan yang tak bisa lagi kami persatukan.Malam itu, udara terasa dingin menusuk. Hujan rintik-rintik menambah kesan muram yang menyelimuti hatiku. Aku duduk di ruang tamu sendirian, memandangi jendela kaca yang dipenuhi butiran air. Rasanya seperti melihat pantulan diriku—buram dan tak jelas.Rey baru saja keluar rumah, pergi dengan alasan yang terdengar biasa, tapi entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang lebih. Perasaan itu menghantui sejak beberapa hari terakhir, dan aku tak bisa mengabaikannya.Ketika waktu terus berlalu, pikiranku mulai dipenuhi oleh berbagai spekulasi. Ke mana dia pergi? Mengapa dia semakin sering keluar tanpa memberitahuku?Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk."Ira, aku ingin bertemu denganmu. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan."Pengirimnya adalah Karin, seorang wanita yang selama ini kerap disebut-sebut ibu mertua sebagai "pilihan yang lebih baik" untuk Rey. Aku tak pernah benar-benar berurusan dengannya secara langsung, tetapi setiap kali nama itu muncul, hatiku terasa diremas.Aku terdiam,
Aku duduk di kamar, menatap kosong ke arah jendela yang buram oleh hujan. Rasanya seperti ada jarak yang tak terjembatani antara aku dan Rey sejak percakapan terakhir kami. Kata-katanya terus terngiang di kepalaku, seperti potongan puzzle yang tak bisa kususun.Hari itu, aku memutuskan untuk tidak membiarkan semua ini hanya berputar di pikiranku. Aku harus mencari jawaban. Bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi untuk pernikahan kami yang perlahan retak.---Pagi-pagi sekali, aku mendengar suara dering ponsel Rey. Dia meninggalkannya di meja ruang tamu sebelum berangkat bekerja. Aku tidak pernah punya kebiasaan mengutak-atik ponselnya, tapi pagi ini ada sesuatu yang membuatku ragu.Nama pengirim pesan itu membuat tubuhku seketika menegang: Citra.Pesannya singkat, tapi cukup untuk membuat pikiranku liar."Rey, aku ingin bicara. Jangan lupa temui aku malam ini. Penting."Dadaku berdegup kencang. Citra? Nama itu sudah lama tak kudengar, tetapi aku tahu dia adalah bagian dari masa lalu
Hujan masih mengguyur deras di luar jendela, memberikan irama latar yang mengisi keheningan malam. Dingin mulai merayap masuk ke dalam rumah, seolah menyusup melalui setiap celah, mengiringi perasaan beku di hatiku. Sudah beberapa hari sejak percakapan menyakitkan dengan Rey, dan ketegangan masih terasa di antara kami.Pagi ini, aku berdiri di dapur dengan tangan gemetar saat menuangkan air ke dalam cangkir. Suara dering ponsel Rey terdengar dari ruang tamu, memecah pikiranku yang sudah penuh dengan prasangka. Aku melihatnya dari sudut mata, duduk di sofa dengan tatapan serius. Dia menjawab panggilan itu dengan nada rendah dan berbisik.“Aku mengerti, aku akan mengurusnya. Jangan khawatir,” katanya sambil melirikku sekilas.Hati ini semakin tergores, dan aku tahu aku tidak bisa lagi berpura-pura semuanya baik-baik saja. Aku meletakkan cangkirku dengan kasar, membuat suara denting yang menarik perhatian Rey. Dia menoleh, ekspresinya berubah tegang.“Ira, ada apa?” tanyanya pelan.Aku m
Hari-hari berlalu dengan keheningan yang membunuh. Aku dan Rey menjalani rutinitas seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada tawa kecil yang dulu selalu mengisi ruangan ini. Yang tersisa hanyalah keheningan, diisi dengan ketegangan yang terus membayangi.Aku masih mencoba memahami semuanya—tentang Rey, tentang Citra, dan tentang bagaimana pernikahan kami perlahan-lahan seperti benang yang hampir putus. Setiap kali aku melihat Rey, ada rasa kecewa dan marah yang sulit kuhilangkan.Namun, di tengah kekacauan ini, hidup tetap berjalan. Pagi itu, aku memutuskan untuk pergi ke pasar, mencoba mencari udara segar. Aku membutuhkan waktu untuk berpikir, untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang terus menghantuiku.Pasar pagi itu ramai seperti biasanya. Suara pedagang yang menawarkan barang dagangan mereka bercampur dengan langkah kaki para pembeli. Aku berjalan melewati kios demi kios, mencoba menikmati suasana, tetapi pikiranku teta
Hari itu aku memutuskan untuk mengunjungi rumah orangtuaku. Sudah lama aku tidak bertemu mereka, dan suasana rumah mungkin bisa memberiku sedikit ketenangan. Namun, di perjalanan menuju rumah, pikiranku terus saja memutar ulang percakapan terakhir dengan Rey. Ketidakpastian yang dia tunjukkan semakin membuatku merasa kecil.Bagaimana mungkin aku, yang sudah mencurahkan segalanya untuk pernikahan ini, tetap berada di bawah bayang-bayang wanita bernama Citra? Wanita itu bagai hantu yang terus hadir di tengah hubungan kami.Setibanya di rumah, Ibu menyambutku dengan pelukan hangat seperti biasa. "Ira, kamu kelihatan lebih kurus, Nak. Apa kamu makan dengan benar?" tanyanya cemas.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegundahan hatiku. "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit lelah karena pekerjaan."Tapi Ibu selalu tahu ada sesuatu yang tidak kukatakan. Sepanjang makan siang bersama, aku berusaha mengalihkan perhatian dengan bercerita tentang pekerjaanku. Namun, ketika aku selesai b
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamarku, tapi kehangatannya tak mampu mengusir dingin yang merasuki hati ini. Aku bangun dengan perasaan berat, seperti membawa beban yang semakin hari semakin tak tertahankan.Rey sudah tidak ada di rumah saat aku turun ke ruang makan. Meja makan kosong, hanya menyisakan secangkir kopi dingin yang mungkin dia tinggalkan dalam terburu-buru. Ada kelegaan kecil karena aku tak perlu menghadapi tatapannya yang selalu penuh penyesalan. Namun, di sisi lain, keheningan ini semakin menyiksa.Aku menatap layar ponselku, memikirkan pesan dari Karin malam sebelumnya.Kalau kamu butuh tempat untuk berpikir, datanglah ke sini. Aku akan selalu ada untukmu.Aku tahu Karin benar. Aku butuh ruang, jauh dari Rey, jauh dari semua tekanan yang terus menghimpitku. Dengan keputusan mendadak, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Karin.---Karin tinggal di sebuah rumah kecil yang nyaman di pinggiran kota. Begitu aku tiba, dia langsung menyambutku dengan pelukan
Pagi itu, hujan turun deras membasahi kota. Dedaunan di taman kecil depan rumah bergoyang ditiup angin, sementara aku duduk di meja makan, menatap cangkir kopi yang sudah mendingin. Hari ini adalah hari yang menentukan. Aku dan Rey memutuskan untuk pergi bersama menemui konselor pernikahan untuk terakhir kalinya, sesuatu yang selama ini memang selalu kami hindari.Rey turun dari lantai atas, mengenakan kemeja putih dan celana jeans. Penampilannya rapi, tapi garis-garis di wajahnya menunjukkan bahwa dia sama tegangnya denganku.“Kamu siap?” tanyanya, suaranya pelan namun penuh makna.Aku mengangguk, walaupun jauh di dalam hati, aku merasa belum benar-benar siap menghadapi apa yang akan kami bicarakan.---Di Ruang KonselingRuang konseling itu sederhana namun nyaman, dengan sofa empuk dan dinding yang dihiasi lukisan-lukisan abstrak. Konselor kami, seorang wanita paruh baya bernama Bu Lestari, duduk di depan kami dengan senyum lembut.“Selamat datang, Rey dan Ira,” sapanya hangat. “Say
Hujan kembali turun deras malam itu, membuat suasana rumah semakin dingin dan sunyi. Di luar, kilat sesekali menerangi langit, diikuti oleh suara guntur yang bergemuruh. Aku duduk di ruang tamu, menatap surat Rey yang masih terlipat rapi di meja. Kata-katanya, meski sederhana, terus terngiang di pikiranku: "Aku tidak tahu apakah aku bisa memperbaiki semua ini, tapi aku akan mencoba."Tapi apakah mencoba cukup?Aku tahu ada sesuatu yang berubah sejak sesi konseling terakhir. Rey mulai lebih sering di rumah, berusaha lebih banyak bicara denganku, dan bahkan mengambil inisiatif untuk membantu pekerjaan rumah—sesuatu yang hampir tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Tapi setiap kali aku ingin percaya bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik, bayangan masa lalu kembali menghantui pikiranku.Salah satu bayangan itu bernama Citra.---Tamu yang Tak TerdugaMalam itu, suara bel pintu memecah kesunyian. Aku mengernyit, bertanya-tanya siapa yang datang larut malam seperti ini. Dengan h
GN Bab 28 : Pendirian yang Tak Tergoyahkan(49-50)Kamar rawat inap dengan dinding berwarna pastel lembut, lengkap dengan tirai putih yang terbuka sedikit hingga sinar matahari pun masuk dengan leluasa, membuat suasana sedikit lebih hangat. Namun, suasana hatiku tetap suram, tidak ada kehangatan didalamnya. Aku berdiri di lorong rumah sakit, menatap pintu kamar Citra dengan perasaan bercampur aduk."Ibu mohon, Rey." Suara Ibu terdengar tegas namun penuh tekanan. Ibu berdiri persis di sebelahku dengan tangan kanan menyentuh lenganku. "Masuklah. Temani Citra. Tunjukkan bahwa kamu peduli."Aku menoleh, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Ibu, ini bukan tentang kepedulian. Aku ...""Apa pun yang ingin kamu katakan, simpan untuk nanti," potongnya cepat. "Sekarang yang penting adalah menunjukkan bahwa kita mendukung Citra. Tidak ada salahnya kamu berada di sisinya, setidaknya untuk sementara waktu."Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dalam dadaku. Kata-kata Ibu selalu p
Aku berdiri di depan cermin kamar mandi toilet rumah sakit, menatap bayanganku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Setelah berbagai pertengkaran, aku harus menghadapi ibu lagi. Tapi kali ini, aku bertekad untuk mengatakan sesuatu yang mungkin mengubah pandangannya, atau setidaknya membuatnya berpikir ulang tentang Ira.Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri."Ibu," kataku pelan, mengambil tempat di kursi ruang tunggu seberangnya.Ibu mengangkat alis. "Apa lagi, Rey? Kamu ingin membicarakan istrimu lagi?"Aku mengangguk. "Ya, Bu. Tapi kali ini, aku ingin ibu tahu semuanya.""Ira bukan hanya wanita biasa, Bu. Sebelum kami menikah, dia adalah seorang Manager Keuangan di perusahaan tempat aku bekerja. Posisi yang tidak mudah dicapai, apalagi oleh seorang wanita muda." Kuulangi lagi ucapanku tentang prestasi Ira.Ibu tampak skeptis. "Dan itu membuatnya istimewa? Banyak wanita karier di luar sana, Rey."Aku mengangguk. "Tapi Ira bukan sekadar wanita karier, Bu. Dia adalah se
Rumah sakit malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Aku duduk di kursi ruang tunggu, masih memikirkan kondisi Citra yang belum sadar. Ibu duduk di sebelahku, wajahnya masih terlihat lelah dan sembab setelah menangis seharian. Aku mencoba fokus pada apa pun untuk mengalihkan pikiranku, tetapi rasanya mustahil.Ketika suasana seolah mulai tenang, Ibu tiba-tiba membuka pembicaraan.“Rey,” katanya dengan nada pelan namun tegas, “Ibu ingin bicara serius denganmu.”Aku menoleh ke arahnya. “Tentang apa lagi, Bu?” tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.“Ini tentang Citra,” jawabnya, menghela napas berat. “Dan tentang Ira.”Aku menghela napas panjang. “Bu, apa lagi yang Ibu ingin sampaikan? Aku sudah lelah.”“Rey, dengar dulu,” potong Ibu. “Ibu hanya ingin kamu sadar. Ibu ingin kamu melihat kenyataan.”---Ibu menatapku dengan mata yang penuh tekanan. “Rey, kamu tahu Citra itu seperti apa. Dia berasal dari keluarga yang luar biasa. Ayahnya memiliki perusahaan be
Rumahku terasa lebih sunyi dari biasanya. Sejak Ira pergi, tempat ini seolah kehilangan nyawanya. Semua benda di sekelilingku masih sama, tapi atmosfernya berubah—dingin, sepi, dan penuh kenangan yang menghantui.Ketika suara bel pintu berbunyi, aku berjalan ke depan dengan setengah hati. Aku tidak mengharapkan siapa pun. Ketika kubuka pintu, Ibu berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak.“Bu?” tanyaku, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.“Aku masuk,” katanya tanpa basa-basi, berjalan melewatiku dan langsung duduk di sofa ruang tamu.Aku menghela napas panjang, menutup pintu, dan mengikutinya ke ruang tamu. Ini bukan pertanda baik. Setiap kali Ibu datang tanpa pemberitahuan, selalu ada sesuatu yang tidak menyenangkan.---Ibu menatapku dengan sorot mata tajam. “Rey, aku punya sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu.”“Ada apa, Bu?” tanyaku sambil duduk di seberangnya.“Ini tentang Ira,” katanya langsung, membuat dadaku merasa sesak seketika.“Apa lagi, Bu?” Aku menc
Waktu tak terasa kian berlalu dengan cepat. Aku menatap satu bendel berkas di depanku, tak terasa tanganku gemetar. Sebuah surat dengan kop pengadilan agama, isinya jelas: Ira telah mengajukan gugatan cerai. Matahari yang masuk melalui jendela hanya membuat huruf-huruf di atas kertas itu semakin jelas dan menyakitkan.Aku memejamkan mata, mencoba mencerna semuanya. Hatiku seolah diperas, sesak yang tak tertahankan. Ira benar-benar melangkah sejauh ini. Apa yang membuatnya sampai pada keputusan yang sangat berani ini?---Hari itu aku harus menghadapi kenyataan. Aku datang ke pengadilan agama dengan setelan gelap, berharap bisa menunjukkan ketenangan yang sesungguhnya tidak kurasakan. Ira sudah ada di sana, duduk dengan wajah tegas yang membuat jantungku semakin berat.Dia tampak anggun dengan balutan gaun yang juga berwarna hitam. Meskipun tampak serasi denganku saat ini, sorot matanya menunjukkan kelelahan. Kami bertatapan sejenak sebelum dia mengalihkan pandangannya, seolah-olah aku
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiran tentang Ira terus menghantui. Suara pintu yang tertutup ketika dia meninggalkan pesta tadi malam terus terngiang di telingaku. Aku mencoba mencari jawaban atas semua kesalahanku, tetapi semakin aku merenung, semakin aku merasa tersesat.Pagi datang terlalu cepat. Matahari mulai naik, tapi kehangatannya tidak mampu menenangkan hatiku. Aku duduk di sofa ruang tamu, memandangi ponselku yang tergeletak di meja. Aku ingin menelepon Ira, memintanya pulang.---Di tengah kebimbanganku, sebuah pesan masuk. Itu dari Adrian.“Rey, aku minta maaf soal kemarin. Aku tidak tahu Citra akan datang ke acara itu. Dia datang tanpa diundang,” tulisnya.Aku membaca pesan itu berulang kali, mencoba meredakan amarah yang perlahan membara. Aku tidak tahu apakah Ira akan mempercayaiku jika aku memberitahunya tentang ini.Tanpa berpikir panjang, aku menelepon Adrian. “Halo, Adrian. Aku butuh bicara denganmu.”“Rey, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu situasinya s
POV ReyAku duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tanganku, tetapi rasa pahitnya terasa hambar dibandingkan perasaan yang terus menghantui pikiranku. Matahari baru saja naik, menyinari ruang tamu dengan cahaya keemasan. Suasana rumah tampak tenang, tapi ada kekosongan yang menyakitkan di dalam hatiku.Ira sudah pergi sejak pagi. Dia tidak mengatakan banyak saat berangkat, hanya ucapan singkat, “Aku ada urusan,” tanpa menoleh ke arahku. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi aku bisa merasakan jarak di antara kami semakin melebar.Di meja, surat dari pengacara perihal bisnis yang sedang aku urus tergeletak di samping ponselku. Namun, pikiranku tidak bisa fokus pada pekerjaan. Bayang-bayang semalam—tatapan Ira yang penuh keraguan, ucapannya yang menyiratkan ketidakpercayaan—terus menghantui.---Pukul sembilan pagi, ponselku berbunyi. Aku mengangkatnya tanpa melihat nama yang muncul di layar, berharap itu Ira.“Rey?” Suara di seberang membuatku terdiam sejenak. Itu suara
POV ReyPagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Semalam, percakapan kami—walau berat—menyisakan sedikit kelegaan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa Ira bersedia memberiku ruang untuk membuktikan niatku. Tapi aku tahu, kepercayaan yang telah hancur tidak bisa dibangun kembali dalam semalam.Aku berdiri di depan cermin, memandangi bayanganku sendiri. Wajah yang menatap balik padaku adalah seseorang yang merasa lelah tapi bertekad. Hari ini adalah hari yang penting. Aku akan melakukan sesuatu yang mungkin bisa menjadi langkah awal dalam membuktikan keseriusanku kepada Ira.---Setelah mandi, aku duduk di ruang kerja, mencoba menyusun rencana. Aku ingin menunjukkan kepada Ira bahwa aku mendengarkan setiap keluh kesahnya semalam. Salah satu hal yang dia katakan adalah betapa dia merasa tidak dihargai selama ini—seolah-olah semua pengorbanannya untuk pernikahan ini tidak pernah berarti bagiku.Aku memutuskan untuk membuat kejutan kecil untuknya. Bukan sesuatu yan
POV ReyPagi itu aku duduk di meja kerja dengan gelas kopi yang sudah dingin di tangan. Pikiran tentang percakapanku dengan Ira beberapa hari yang lalu masih mengganggu. Dia bilang dia butuh waktu untuk percaya padaku lagi, dan aku memahaminya. Tapi tidak ada yang mengatakan seberapa sulit rasanya menunggu, apalagi ketika aku tahu dia masih menyimpan luka yang aku buat.Aku membuka laptop, mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaan. Namun, pikiranku terus kembali ke masa lalu, mengingat bagaimana semuanya bermula. Pernikahan kami tidak pernah sempurna, tapi aku pikir cinta kami cukup untuk melewati semua badai. Ternyata aku salah.---Saat aku tenggelam dalam pikiranku, teleponku berdering. Nama yang muncul di layar membuatku terdiam sejenak—Citra.Aku menarik napas panjang sebelum menjawab. “Halo?”“Rey,” suaranya terdengar tegas tetapi lembut. “Aku butuh bicara denganmu.”“Sekarang bukan waktu yang tepat, Cit,” jawabku, mencoba menahan ketegangan dalam suaraku.“Ini penting,” ka