Hari-hari berlalu dengan keheningan yang membunuh. Aku dan Rey menjalani rutinitas seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama. Tidak ada percakapan hangat, tidak ada tawa kecil yang dulu selalu mengisi ruangan ini. Yang tersisa hanyalah keheningan, diisi dengan ketegangan yang terus membayangi.Aku masih mencoba memahami semuanya—tentang Rey, tentang Citra, dan tentang bagaimana pernikahan kami perlahan-lahan seperti benang yang hampir putus. Setiap kali aku melihat Rey, ada rasa kecewa dan marah yang sulit kuhilangkan.Namun, di tengah kekacauan ini, hidup tetap berjalan. Pagi itu, aku memutuskan untuk pergi ke pasar, mencoba mencari udara segar. Aku membutuhkan waktu untuk berpikir, untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang terus menghantuiku.Pasar pagi itu ramai seperti biasanya. Suara pedagang yang menawarkan barang dagangan mereka bercampur dengan langkah kaki para pembeli. Aku berjalan melewati kios demi kios, mencoba menikmati suasana, tetapi pikiranku teta
Hari itu aku memutuskan untuk mengunjungi rumah orangtuaku. Sudah lama aku tidak bertemu mereka, dan suasana rumah mungkin bisa memberiku sedikit ketenangan. Namun, di perjalanan menuju rumah, pikiranku terus saja memutar ulang percakapan terakhir dengan Rey. Ketidakpastian yang dia tunjukkan semakin membuatku merasa kecil.Bagaimana mungkin aku, yang sudah mencurahkan segalanya untuk pernikahan ini, tetap berada di bawah bayang-bayang wanita bernama Citra? Wanita itu bagai hantu yang terus hadir di tengah hubungan kami.Setibanya di rumah, Ibu menyambutku dengan pelukan hangat seperti biasa. "Ira, kamu kelihatan lebih kurus, Nak. Apa kamu makan dengan benar?" tanyanya cemas.Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegundahan hatiku. "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit lelah karena pekerjaan."Tapi Ibu selalu tahu ada sesuatu yang tidak kukatakan. Sepanjang makan siang bersama, aku berusaha mengalihkan perhatian dengan bercerita tentang pekerjaanku. Namun, ketika aku selesai b
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai jendela kamarku, tapi kehangatannya tak mampu mengusir dingin yang merasuki hati ini. Aku bangun dengan perasaan berat, seperti membawa beban yang semakin hari semakin tak tertahankan.Rey sudah tidak ada di rumah saat aku turun ke ruang makan. Meja makan kosong, hanya menyisakan secangkir kopi dingin yang mungkin dia tinggalkan dalam terburu-buru. Ada kelegaan kecil karena aku tak perlu menghadapi tatapannya yang selalu penuh penyesalan. Namun, di sisi lain, keheningan ini semakin menyiksa.Aku menatap layar ponselku, memikirkan pesan dari Karin malam sebelumnya.Kalau kamu butuh tempat untuk berpikir, datanglah ke sini. Aku akan selalu ada untukmu.Aku tahu Karin benar. Aku butuh ruang, jauh dari Rey, jauh dari semua tekanan yang terus menghimpitku. Dengan keputusan mendadak, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Karin.---Karin tinggal di sebuah rumah kecil yang nyaman di pinggiran kota. Begitu aku tiba, dia langsung menyambutku dengan pelukan
Pagi itu, hujan turun deras membasahi kota. Dedaunan di taman kecil depan rumah bergoyang ditiup angin, sementara aku duduk di meja makan, menatap cangkir kopi yang sudah mendingin. Hari ini adalah hari yang menentukan. Aku dan Rey memutuskan untuk pergi bersama menemui konselor pernikahan untuk terakhir kalinya, sesuatu yang selama ini memang selalu kami hindari.Rey turun dari lantai atas, mengenakan kemeja putih dan celana jeans. Penampilannya rapi, tapi garis-garis di wajahnya menunjukkan bahwa dia sama tegangnya denganku.“Kamu siap?” tanyanya, suaranya pelan namun penuh makna.Aku mengangguk, walaupun jauh di dalam hati, aku merasa belum benar-benar siap menghadapi apa yang akan kami bicarakan.---Di Ruang KonselingRuang konseling itu sederhana namun nyaman, dengan sofa empuk dan dinding yang dihiasi lukisan-lukisan abstrak. Konselor kami, seorang wanita paruh baya bernama Bu Lestari, duduk di depan kami dengan senyum lembut.“Selamat datang, Rey dan Ira,” sapanya hangat. “Say
Hujan kembali turun deras malam itu, membuat suasana rumah semakin dingin dan sunyi. Di luar, kilat sesekali menerangi langit, diikuti oleh suara guntur yang bergemuruh. Aku duduk di ruang tamu, menatap surat Rey yang masih terlipat rapi di meja. Kata-katanya, meski sederhana, terus terngiang di pikiranku: "Aku tidak tahu apakah aku bisa memperbaiki semua ini, tapi aku akan mencoba."Tapi apakah mencoba cukup?Aku tahu ada sesuatu yang berubah sejak sesi konseling terakhir. Rey mulai lebih sering di rumah, berusaha lebih banyak bicara denganku, dan bahkan mengambil inisiatif untuk membantu pekerjaan rumah—sesuatu yang hampir tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Tapi setiap kali aku ingin percaya bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik, bayangan masa lalu kembali menghantui pikiranku.Salah satu bayangan itu bernama Citra.---Tamu yang Tak TerdugaMalam itu, suara bel pintu memecah kesunyian. Aku mengernyit, bertanya-tanya siapa yang datang larut malam seperti ini. Dengan h
Pagi itu, aku terbangun dengan perasaan berat. Matahari yang biasanya memancarkan kehangatan kini terasa seperti beban di atas bahuku. Di sisi tempat tidur, Rey masih tertidur. Wajahnya terlihat damai, seperti tidak ada badai yang melanda pernikahan kami. Tapi di dalam diriku, badai itu masih berkecamuk, mencabik-cabik rasa percaya dan harapan yang tersisa.Hari ini adalah hari kami kembali menemui Bu Lestari untuk sesi konseling berikutnya. Kami sepakat menambah waktu konseling meskipun beberapa hari sebelumnya sudah berakhir. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi aku tahu ini adalah salah satu langkah terakhir untuk menentukan apakah pernikahan kami bisa bertahan atau harus diakhiri.---Di ruang konseling, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Rey duduk di sebelahku, tangannya bertaut di atas meja. Aku bisa merasakan dia ingin meraih tanganku, tetapi dia menahan diri.Bu Lestari membuka percakapan dengan senyum lembut. “Bagaimana minggu kalian setelah sesi terakhir?”Re
Malam itu, hujan turun deras, menyelimuti rumah kami dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Aku duduk di ruang tamu, memandang ke luar jendela. Di tangan, secangkir teh yang kini sudah dingin, sama seperti hatiku yang terasa beku setelah membaca surat Rey kemarin.Aku merasa terjebak di persimpangan besar. Ada jalan yang mengarah pada upaya untuk memperbaiki hubungan kami, dan ada jalan lain yang mengarah pada kebebasan dari rasa sakit yang telah lama menggerogoti hatiku.Rey telah mencoba bicara denganku sejak semalam, tapi aku belum siap untuk benar-benar mendengarkan. Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini.---Pagi harinya, aku duduk di meja makan dengan segelas kopi di tangan. Rey masuk ke ruang makan, tampak cemas. Dia duduk di seberangku, wajahnya penuh kelelahan, seolah dia tidak tidur semalaman.“Ira, kita perlu bicara,” katanya, memecah keheningan.Aku menatapnya sekilas. “Tentang apa lagi, Rey? Tentang kebohongan yang kamu sembunyikan dariku? Atau tentang janji-jan
Hujan deras membasahi jalanan kota, menggambarkan suasana hatiku yang kacau. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi ponsel di tanganku. Pesan dari Citra yang diteruskan Karin masih terngiang di benakku. Pesan itu bukan sekadar kata-kata, melainkan pukulan telak yang membuatku mempertanyakan segalanya—pernikahanku, kepercayaan, bahkan harga diriku.Hari ini, aku memutuskan untuk menghadapi Rey. Aku tidak bisa terus hidup dalam keraguan dan rasa sakit. Apapun yang terjadi, aku harus mendapatkan jawaban darinya.---Rey duduk di ruang tamu ketika aku turun dari kamar. Dia sedang membaca koran, seolah-olah tidak ada yang salah di dunia ini. Aku berdiri di depannya, menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.“Rey, kita perlu bicara,” kataku, suaraku terdengar tegas meski hatiku bergetar.Dia meletakkan koran dan menatapku dengan ekspresi bingung. “Ada apa, Ira?”Aku menunjukkan ponselku padanya. “Ini.”Dia mengambil ponsel itu, membaca pesan yang kutunjukkan. Wajahnya langsung berubah. “I
GN Bab 28 : Pendirian yang Tak Tergoyahkan(49-50)Kamar rawat inap dengan dinding berwarna pastel lembut, lengkap dengan tirai putih yang terbuka sedikit hingga sinar matahari pun masuk dengan leluasa, membuat suasana sedikit lebih hangat. Namun, suasana hatiku tetap suram, tidak ada kehangatan didalamnya. Aku berdiri di lorong rumah sakit, menatap pintu kamar Citra dengan perasaan bercampur aduk."Ibu mohon, Rey." Suara Ibu terdengar tegas namun penuh tekanan. Ibu berdiri persis di sebelahku dengan tangan kanan menyentuh lenganku. "Masuklah. Temani Citra. Tunjukkan bahwa kamu peduli."Aku menoleh, mencoba membaca ekspresi wajahnya. "Ibu, ini bukan tentang kepedulian. Aku ...""Apa pun yang ingin kamu katakan, simpan untuk nanti," potongnya cepat. "Sekarang yang penting adalah menunjukkan bahwa kita mendukung Citra. Tidak ada salahnya kamu berada di sisinya, setidaknya untuk sementara waktu."Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan gemuruh di dalam dadaku. Kata-kata Ibu selalu p
Aku berdiri di depan cermin kamar mandi toilet rumah sakit, menatap bayanganku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Setelah berbagai pertengkaran, aku harus menghadapi ibu lagi. Tapi kali ini, aku bertekad untuk mengatakan sesuatu yang mungkin mengubah pandangannya, atau setidaknya membuatnya berpikir ulang tentang Ira.Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri."Ibu," kataku pelan, mengambil tempat di kursi ruang tunggu seberangnya.Ibu mengangkat alis. "Apa lagi, Rey? Kamu ingin membicarakan istrimu lagi?"Aku mengangguk. "Ya, Bu. Tapi kali ini, aku ingin ibu tahu semuanya.""Ira bukan hanya wanita biasa, Bu. Sebelum kami menikah, dia adalah seorang Manager Keuangan di perusahaan tempat aku bekerja. Posisi yang tidak mudah dicapai, apalagi oleh seorang wanita muda." Kuulangi lagi ucapanku tentang prestasi Ira.Ibu tampak skeptis. "Dan itu membuatnya istimewa? Banyak wanita karier di luar sana, Rey."Aku mengangguk. "Tapi Ira bukan sekadar wanita karier, Bu. Dia adalah se
Rumah sakit malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Aku duduk di kursi ruang tunggu, masih memikirkan kondisi Citra yang belum sadar. Ibu duduk di sebelahku, wajahnya masih terlihat lelah dan sembab setelah menangis seharian. Aku mencoba fokus pada apa pun untuk mengalihkan pikiranku, tetapi rasanya mustahil.Ketika suasana seolah mulai tenang, Ibu tiba-tiba membuka pembicaraan.“Rey,” katanya dengan nada pelan namun tegas, “Ibu ingin bicara serius denganmu.”Aku menoleh ke arahnya. “Tentang apa lagi, Bu?” tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.“Ini tentang Citra,” jawabnya, menghela napas berat. “Dan tentang Ira.”Aku menghela napas panjang. “Bu, apa lagi yang Ibu ingin sampaikan? Aku sudah lelah.”“Rey, dengar dulu,” potong Ibu. “Ibu hanya ingin kamu sadar. Ibu ingin kamu melihat kenyataan.”---Ibu menatapku dengan mata yang penuh tekanan. “Rey, kamu tahu Citra itu seperti apa. Dia berasal dari keluarga yang luar biasa. Ayahnya memiliki perusahaan be
Rumahku terasa lebih sunyi dari biasanya. Sejak Ira pergi, tempat ini seolah kehilangan nyawanya. Semua benda di sekelilingku masih sama, tapi atmosfernya berubah—dingin, sepi, dan penuh kenangan yang menghantui.Ketika suara bel pintu berbunyi, aku berjalan ke depan dengan setengah hati. Aku tidak mengharapkan siapa pun. Ketika kubuka pintu, Ibu berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak.“Bu?” tanyaku, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.“Aku masuk,” katanya tanpa basa-basi, berjalan melewatiku dan langsung duduk di sofa ruang tamu.Aku menghela napas panjang, menutup pintu, dan mengikutinya ke ruang tamu. Ini bukan pertanda baik. Setiap kali Ibu datang tanpa pemberitahuan, selalu ada sesuatu yang tidak menyenangkan.---Ibu menatapku dengan sorot mata tajam. “Rey, aku punya sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu.”“Ada apa, Bu?” tanyaku sambil duduk di seberangnya.“Ini tentang Ira,” katanya langsung, membuat dadaku merasa sesak seketika.“Apa lagi, Bu?” Aku menc
Waktu tak terasa kian berlalu dengan cepat. Aku menatap satu bendel berkas di depanku, tak terasa tanganku gemetar. Sebuah surat dengan kop pengadilan agama, isinya jelas: Ira telah mengajukan gugatan cerai. Matahari yang masuk melalui jendela hanya membuat huruf-huruf di atas kertas itu semakin jelas dan menyakitkan.Aku memejamkan mata, mencoba mencerna semuanya. Hatiku seolah diperas, sesak yang tak tertahankan. Ira benar-benar melangkah sejauh ini. Apa yang membuatnya sampai pada keputusan yang sangat berani ini?---Hari itu aku harus menghadapi kenyataan. Aku datang ke pengadilan agama dengan setelan gelap, berharap bisa menunjukkan ketenangan yang sesungguhnya tidak kurasakan. Ira sudah ada di sana, duduk dengan wajah tegas yang membuat jantungku semakin berat.Dia tampak anggun dengan balutan gaun yang juga berwarna hitam. Meskipun tampak serasi denganku saat ini, sorot matanya menunjukkan kelelahan. Kami bertatapan sejenak sebelum dia mengalihkan pandangannya, seolah-olah aku
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiran tentang Ira terus menghantui. Suara pintu yang tertutup ketika dia meninggalkan pesta tadi malam terus terngiang di telingaku. Aku mencoba mencari jawaban atas semua kesalahanku, tetapi semakin aku merenung, semakin aku merasa tersesat.Pagi datang terlalu cepat. Matahari mulai naik, tapi kehangatannya tidak mampu menenangkan hatiku. Aku duduk di sofa ruang tamu, memandangi ponselku yang tergeletak di meja. Aku ingin menelepon Ira, memintanya pulang.---Di tengah kebimbanganku, sebuah pesan masuk. Itu dari Adrian.“Rey, aku minta maaf soal kemarin. Aku tidak tahu Citra akan datang ke acara itu. Dia datang tanpa diundang,” tulisnya.Aku membaca pesan itu berulang kali, mencoba meredakan amarah yang perlahan membara. Aku tidak tahu apakah Ira akan mempercayaiku jika aku memberitahunya tentang ini.Tanpa berpikir panjang, aku menelepon Adrian. “Halo, Adrian. Aku butuh bicara denganmu.”“Rey, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu situasinya s
POV ReyAku duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tanganku, tetapi rasa pahitnya terasa hambar dibandingkan perasaan yang terus menghantui pikiranku. Matahari baru saja naik, menyinari ruang tamu dengan cahaya keemasan. Suasana rumah tampak tenang, tapi ada kekosongan yang menyakitkan di dalam hatiku.Ira sudah pergi sejak pagi. Dia tidak mengatakan banyak saat berangkat, hanya ucapan singkat, “Aku ada urusan,” tanpa menoleh ke arahku. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi aku bisa merasakan jarak di antara kami semakin melebar.Di meja, surat dari pengacara perihal bisnis yang sedang aku urus tergeletak di samping ponselku. Namun, pikiranku tidak bisa fokus pada pekerjaan. Bayang-bayang semalam—tatapan Ira yang penuh keraguan, ucapannya yang menyiratkan ketidakpercayaan—terus menghantui.---Pukul sembilan pagi, ponselku berbunyi. Aku mengangkatnya tanpa melihat nama yang muncul di layar, berharap itu Ira.“Rey?” Suara di seberang membuatku terdiam sejenak. Itu suara
POV ReyPagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Semalam, percakapan kami—walau berat—menyisakan sedikit kelegaan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa Ira bersedia memberiku ruang untuk membuktikan niatku. Tapi aku tahu, kepercayaan yang telah hancur tidak bisa dibangun kembali dalam semalam.Aku berdiri di depan cermin, memandangi bayanganku sendiri. Wajah yang menatap balik padaku adalah seseorang yang merasa lelah tapi bertekad. Hari ini adalah hari yang penting. Aku akan melakukan sesuatu yang mungkin bisa menjadi langkah awal dalam membuktikan keseriusanku kepada Ira.---Setelah mandi, aku duduk di ruang kerja, mencoba menyusun rencana. Aku ingin menunjukkan kepada Ira bahwa aku mendengarkan setiap keluh kesahnya semalam. Salah satu hal yang dia katakan adalah betapa dia merasa tidak dihargai selama ini—seolah-olah semua pengorbanannya untuk pernikahan ini tidak pernah berarti bagiku.Aku memutuskan untuk membuat kejutan kecil untuknya. Bukan sesuatu yan
POV ReyPagi itu aku duduk di meja kerja dengan gelas kopi yang sudah dingin di tangan. Pikiran tentang percakapanku dengan Ira beberapa hari yang lalu masih mengganggu. Dia bilang dia butuh waktu untuk percaya padaku lagi, dan aku memahaminya. Tapi tidak ada yang mengatakan seberapa sulit rasanya menunggu, apalagi ketika aku tahu dia masih menyimpan luka yang aku buat.Aku membuka laptop, mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaan. Namun, pikiranku terus kembali ke masa lalu, mengingat bagaimana semuanya bermula. Pernikahan kami tidak pernah sempurna, tapi aku pikir cinta kami cukup untuk melewati semua badai. Ternyata aku salah.---Saat aku tenggelam dalam pikiranku, teleponku berdering. Nama yang muncul di layar membuatku terdiam sejenak—Citra.Aku menarik napas panjang sebelum menjawab. “Halo?”“Rey,” suaranya terdengar tegas tetapi lembut. “Aku butuh bicara denganmu.”“Sekarang bukan waktu yang tepat, Cit,” jawabku, mencoba menahan ketegangan dalam suaraku.“Ini penting,” ka