"Nona Greesel, kondisi adik Anda semakin memburuk. Kami harus melakukan operasi sumsum tulang belakang secepatnya."
Ucapan dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD membuat gadis berpakaian kucel itu lemas seketika. Air mata jatuh membasahi pipinya yang tampak pucat. Sesaat yang lalu, adiknya mengalami kecelakaan hingga langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Masih jelas dalam benak Greesel bagaimana tubuh Vano—adiknya yang berusia 10 tahun—berlumuran darah dan tidak sadarkan diri. "O-operasi, Dokter?" sahut Greesel terbata. Pikirannya langsung kalut. "Kalau memang operasi bisa menyelamatkan nyawa adik saya, maka lakukan saja, Dokter!” Namun, pria berjubah putih itu menggeleng samar. “Anda harus menyelesaikan biayanya terlebih dahulu, Nona.” “Biaya…” ujar Greesel membeku. Matanya yang berair mengerjap beberapa kali. “Be-berapa banyak biaya yang dibutuhkan, Dokter?" tanyanya harap-harap cemas. Ia tak memiliki banyak uang dalam tabungannya saat ini. "Untuk donor sendiri kami masih harus mencari yang cocok dan pasti dengan biaya yang cukup mahal. Untuk operasi pasien membutuhkan biaya 120 juta. Tapi itu baru operasi saja, belum yang lainnya," jawab Dokter. Deg! Bagai disambar petir, tubuh Greesel seketika menjadi kaku. Kakinya gemetar kehilangan daya. Jumlah uang sebanyak itu … dari mana ia mendapatkannya? "Nona Greesel, jika kita tidak melakukan operasi secepatnya, saya khawatir kondisi adik Anda tidak bisa diselamatkan," ujar Dokter, menarik atensi gadis muda di hadapannya. "Dokter, kalau begitu cepat lakukan operasi pada adik saya. Saya berjanji akan membayar biaya pengobatan itu secepatnya!" ucap Greesel dengan bibir bergetar. Terbayang dalam benak kondisi adiknya yang sedang sekarat, berjuang untuk tetap hidup. Greesel tidak sanggup membayangkan kehilangan satu-satunya keluarga tersisa yang dia punya. "Maaf Nona, operasi akan dilanjutkan jika biayanya sudah dibayarkan dan semua prosedur sudah dijalankan," jelas Dokter. "Tolong beri saya waktu, Dokter, saya janji akan membayarnya secepatnya. Tolong selamatkan nyawa adik saya!" pinta Greesel putus asa. Wajahnya sudah basah bersimbah air mata. Dokter itu tampak bersimpati. Namun, ia tak bisa melakukan apapun. "Maaf Nona, kami tetap tidak bisa melakukannya karena itu sudah kebijakan di rumah sakit ini. Silakan urus biaya administrasi terlebih dahulu agar operasi bisa dijalankan," jelasnya sekali lagi, lalu pergi meninggalkan Greesel yang tercenung di tempatnya berdiri. "Dokter..." lirih Greesel. Hatinya benar-benar nelangsa. Dari mana ia bisa mendapatkan uang ratusan juta dalam waktu singkat?! Greesel berlutut dengan menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Greesel terisak-isak dalam tangisannya di tengah-tengah beberapa orang yang lewat yang memperhatikan dirinya. Greesel sudah tidak peduli yang menjadi tontonan, dia hanya memikirkan kondisi Vano. "Hotel!" gumam Greesel yang tiba-tiba kepikiran sesuatu. Greesel tidak menunggu lama, ia langsung berdiri dengan tegak dan berlari menyusuri koridor rumah sakit. Ia tahu ke mana harus pergi untuk mendapatkan bantuan! ** Grand Hotel. Greesel berdiri dengan kepala tertunduk di depan seorang pria berjas rapi yang berusia sekitar 40 tahun. Pria dengan perut yang sedikit membuncit itu menatapnya dengan ekspresi tak suka. "Kamu bilang mau meminjam uang?" tanyanya dengan alis menungkik tajam. "I-iya, Pak. Saya membutuhkan uang untuk biaya operasi adik saya.” "Memang kamu butuh berapa?" tanya pria yang merupakan manager di hotel tersebut. Ia adalah atasan Greesel. "120 juta, Pak," jawab Greesel, masih dengan kepala tertunduk segan. "120 juta?!" pekik pria itu. “Hahaha!” Suara tawanya langsung membahana, membuat Greesel bingung sekaligus merasa terhina. "Hey, Greesel! Apa saya tidak salah dengar? Kamu pikir uang segitu nilainya tidak banyak, ha?!” Pria itu menatapnya dengan tatapan merendahkan. “Kamu itu hanya karyawan yang kerjanya bersih-bersih! Kamu mau ganti pakai apa uang sebanyak itu? Kamu kerja 10 tahun saja belum tentu bisa membayar hutang itu!" Air mata jatuh membasahi pipi gadis itu. Bukannya mendapatkan bantuan, dia malah mendapatkan hinaan. “Tapi, pak, saya akan berusaha untuk mengembalikannya secepat mungkin!” ujar Greesel, masih berusaha untuk meyakinkan sang manager dan mengharap belas kasihan darinya. "Hal itu sangat mustahil! Ck, kamu sudah membuang waktu saya!" ujar pria itu kesal, lalu berbalik dan langsung pergi sambil geleng-geleng kepala. "Pak, tunggu!" Greesel mencoba untuk menahan pria itu, tetapi tidak dipedulikan. "Ya Allah, dari mana lagi aku harus mendapatkan uang?" lirihnya sedih. Kedua bahunya turun. Ia benar-benar merasa putus asa. "Kamu butuh uang?" Tiba-tiba terdengar sebuah suara lembut, membuat Greesel menoleh ke belakang. Seorang wanita dengan penampilan yang sangat elegan, berjalan mendekati Greesel dengan kedua tangan dilipat di dada. "Bu Gracia…" lirih Greesel, tak percaya dengan apa yang dilihatnya di depan mata. Dia adalah orang yang dihormati oleh semua karyawan di hotel ini karena menjalin kasih dengan pemilik hotel. Walau berita itu belum ada klarifikasi kebenarannya. "Saya tidak sengaja mendengar pembicaraan kamu dengan manager barusan,” ujar wanita cantik itu dengan ekspresi tak terbaca. “Kamu membutuhkan uang yang banyak untuk biaya operasi adik kamu, bukan begitu?" tanyanya memastikan. "Be-benar Bu," sahut Greesel dengan kepala tertunduk. "Saya akan memberikan kamu uang itu tanpa meminjam, tetapi kamu harus melakukan pekerjaan yang saya inginkan!" kata Gracia tanpa basa-basi. Kepala Greesel langsung mendongak menatap wanita di hadapannya. Dia tampak kaget mendengar pernyataan dari Gracia. "Apa yang harus saya kerjakan?" tanyanya. Secercah harap timbul dalam benaknya. Gadis yang sudah hampir putus asa ini sanggup melakukan apa saja asal bisa mendapatkan uang demi menyelamatkan adiknya. "Kamu harus menikah dengan Adrian Brawijaya!" jawab Gracia yang seketika membuat Greesel membelalak. Jantungnya berdebar begitu kencang saat mendapatkan syarat yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "A-Adrian Brawijaya? Bukankah beliau adalah pemilik hotel ini?" tanya Greesel tampak kebingungan. “Dan bukankah beliau—” "Kamu benar,” sela Gracia. “Kamu cukup menikah dengannya selama satu tahun. Setelah melahirkan anaknya, kalian langsung bercerai," lanjutnya. "Maksud Ibu?" tanya Greesel yang masih dilanda kebingungan. "Kalian menikah kontrak dengan nilai yang bukan hanya 120 juta, tetapi 3 miliar. Saya akan berikan setengahnya di awal dan sisanya akan diberikan di akhir setelah kontrak itu berakhir." Greesel tercengang mendengarnya. "T-tapi itu tidak mungkin Bu! Saya tidak mungkin menikah dengan seorang pimpinan, apalagi beliau adalah kekasih Bu Gracia—” "Terserah kamu,” sela Gracia, ekspresi wajahnya masih sama datar. “Saya hanya memberimu penawaran, dan saya rasa itu bukan hal yang sulit. Keputusan ada padamu!" tegas wanita itu. Ia tampak tidak ingin basa-basi dan langsung berlalu dari hadapan Greesel. Gadis itu seketika panik. Ia bingung sekaligus tergiur dengan penawaran yang diberikan. Kapan lagi ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat? Tapi menikah kontrak? Greesel tidak bisa membayangkannya! Greesel menggigit bibir gelisah. Bayangan Vano yang berlumuran darah kembali terngiang dalam benaknya. Demi Vano…. Greesel berbalik dan mengejar Gracia yang sudah beberapa langkah di depan. Ia menahan tangan Gracia yang langsung menatapnya. "Sa-saya terima tawaran Ibu…” Bersambung"Jika memang saya bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi adik saya dengan pekerjaan yang Ibu berikan, maka saya akan bersedia melakukannya," ucap Greesel sembari melepas tangan Gracia."Baiklah,” ujar Gracia sambil tersenyum tipis. “Kalau begitu kamu ikut saya sekarang.” Greesel menganggukkan kepala tanpa banyak tanya dan mengikuti wanita yang sudah berjalan terlebih dahulu itu.Greesel dibawa ke salah satu salon dan butik mewah. Tanpa buang-buang waktu, gadis itu langsung didandani sesuai perintah Gracia, sementara ia duduk di sofa dengan kakinya yang menyilang sembari membaca majalah.Mata Greesel melihat wanita yang baru saja memberikan bantuan itu kepadanya dari bayangan cermin."Aku tidak tahu kenapa Bu Gracia memberikan pekerjaan ini kepadaku. Tetapi aku memang tidak punya pilihan lain," batin Greesel yang terlihat begitu pasrah."Sudah selesai Nona!" ucap wanita yang sejak tadi menata rambutnya. Gracia yang juga mendengar hal itu langsung melihat ke arah Greesel yang berdir
“A-apa? Kamu mengusirku?” tanya Gracia tidak percaya. "Kita belum selesai bicara, Adrian. Kita harus menyelesaikan masalah ini saat ini juga!" "Aku ingin bicara dengan dia!" tegas Adrian sekali lagi."Ya sudah bicara saja. Kenapa harus menyuruhku untuk pergi?" Greesel menelan ludah. Ia benar-benar merasa tidak berdaya karena terjebak di antara sepasang kekasih yang tak sepaham ini. Rasanya, ia ingin pergi saja. Tapi Adrian masih menahan tangannya dengan erat seolah tak akan pernah melepaskannya."Aku bilang keluarlah!" Suara Adrian terdengar menahan amarah, tatapan tajamnya tertuju pada Gracia. "Aku tidak mau! Aku tidak akan pergi sebelum kamu setuju dengan semua ini!" ujar Gracia tetap menolak dengan keras kepala. “Kamu hanya perlu—”"Aku bilang pergi!" bentak Adrian dengan suara yang menggelegar. Tidak hanya Gracia, tapi Greesel juga tersentak kaget. Suasana hening melingkupi mereka selama beberapa detik sampai akhirnya Gracia mendenguskan napas gusar."Baiklah, aku akan keluar
"A-apa?” Greesel bertanya dengan suara tercekat. Terlalu terkejut dengan ucapan Adrian. Bukankah sesaat yang lalu pria itu menolak keras untuk menikah dengannya? Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?! "Kita bicara di dalam," kata Adrian sambil lalu, masuk kembali ke dalam apartemen mewah itu. Sedangkan Greesel tetap bergeming di ambang pintu."Mau sampai kau berdiri di sana?" tegur Adrian membuat Greesel sedikit kaget.Dengan kebingungan, Greesel kembali melangkahkan kakinya mengikuti Adrian ke ruang tamu."Duduklah!" titah Adrian.Seperti robot yang patuh, Greesel pun duduk. Wajahnya tampak bingung dan juga gugup. "Tunggu di sini!" kata Adrian. Sepasang mata Greesel mengikuti kemana pria itu pergi. Adrian ternyata memasuki sebuah ruangan, meninggalkan Greesel sendirian di ruang tamu dengan perasaan gelisah. Gadis itu masih menerka-nerka apa yang akan dilakukan Adrian.Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Adrian keluar dari ruangan itu sambil membawa map berwarna biru. Ia duduk di ha
Adrian dan Greesel yang masih berada di restaurant itu. Tetapi Eyang yang sudah pamit pulang terlebih dahulu."Dengar. Semua keputusan ada padaku. Kau hanya mengikut saja dengan apa yang sudah di atur," ucap Adrian menegaskan."Ba-baik!" sahut Greesel tergagap. Berada di sekitar pria ini benar-benar membuat nyalinya menciut. Entah bagaimana ia akan bertahan selama satu tahun ke depan."Pertemuan kita sudah cukup. Selanjutnya kita akan bertemu di pernikahan, jadi jangan menimbulkan masalah apapun," tegas Adrian, gegas berdiri dari tempat duduknya hendak pergi."Tunggu!" Greesel tiba-tiba menahan tangan Adrian. Pria itu menatap tangan kecil Greesel, membuat gadis itu lekas melepaskan genggamannya."Maaf!" ucapnya kikuk."Ada apa?" tanya Adrian dengan alis mengerut. Ekspresinya masih sama dingin."Kita sudah menandatangani kontrak pernikahan itu,” ujar Greesel pelan. “A-apa aku boleh meminta uang 120 juta di awal?" tanyanya hati-hati.Dia sudah mengumpulkan keberanian yang luar biasa unt
Sampai detik berikutnya Adrian yang sudah berada di atas tubuh Greesel, menindih tubuh mungil itu yang membuat Greesel semakin gugup dan refleks memalingkan wajah ke kiri. Dia sangat tidak berani menatap Adrian yang sejak tadi memancarkan aura wajah yang sangat dingin."T- tuan mau apa?" tanya Greesel dengan terbata-bata."Cih! Pertanyaan macam apa itu!" sahut Adrian dengan mendengus kasar yang memperhatikan wajah gugup Greesel yang harus diakui memang sangat cantik."Kau jangan lupa dan pura-pura bodoh. Jika malam ini kau akan berada di bawah kekuasaan ku, bukankah tujuanku menikah dengan mu hanya untuk ini dan kau sudah mendapatkan bayaran pertamamu. Jadi sudah menjadi tugasmu untuk menjalan kewajibanmu," Adrian menjelaskan sekali lagi.Kata-kata yang terdengar dengan suara berat itu cukup membuat Greesel takut, hal ini menjadi yang pertama kali untuknya dan dia juga tidak tahu harus melakukan apa. Dia sudah mendapatkan uang, adiknya di operasi dan mereka sudah menikah. Sebenarnya
Adrian yang terlihat gelisah berdiri di depan pintu kamar dan tidak lama seseorang keluar dari kamar."Bagaimana? tanya Adrian."Nona Greesel yang memang sedang datang bulan dan hal itu juga menyebabkan nyeri pada perutnya," jawab wanita itu.Adrian yang memang tidak percaya sama sekali dengan Greesel dan sampai Adrian membawa Dokter untuk memeriksa kondisi yang sebenarnya Greesel.'Jadi dia benar-benar berhalangan,' batin Gavin yang terlihat masih kesal."Baiklah tuan, kalau begitu saya permisi dulu!" ucap wanita itu. Adrian hanya menganggukkan kepala dan wanita itu langsung pergi.Adrian membuang kasar nafas dengan mengusap kasar wajahnya. Dia masih terlihat begitu frustasi dengan gagalnya malam pertama mereka berdua. Bukan karena Adrian ngebet dengan malam pertama itu. Tetapi Adrian hanya ingin semua berjalan dengan cepat dan tidak ingin waktu terbuang sia-sia.Jika Adrian yang masih frustasi berbeda dengan Greesel yang sudah berganti pakaian dan dia juga sudah mandi. Greesel yang
Sampai akhirnya Greesel memasuki rumah mewah dan luas tersebut. Kepalanya tidak hentinya berkeliling. Harus mengakui takjub dengan kediaman Adrian yang memang seperti istana."Silahkan, tuan!" langkah Adrian berhenti di dekat meja makan.Di sana terlihat Eyang besar dan juga seorang pemuda yang sebaya dengan Adrian."Kalian baru sampai?" sapa Eyang."Iya!" sahut Adrian datar dan menghampiri meja makan. Mata pria yang duduk di samping Eyang melihat genggaman tangan Adrian dan Greesel."Ayo! kita sarapan bersama," sahut Eyang. Pelayan itu yang sudah meninggalkan tempat tersebut."Kami tadi sudah sarapan," jawab Adrian yang sepertinya sangat malas bergabung.'Kenapa tuan Adrian berbohong. Kapan aku sarapan bersama dia,'batin Greesel bingung. Mungkin juga perutnya yang lapar. Karena saat pesta pernikahan dia juga tidak makan dan di tambah lagi dengan tadi pagi yang juga belum memakan apapun."Tapi tidak ada salahnya. Kamu dan istri kamu sarapan untuk pertama kali di rumah ini," tegas Eyan
Greesel dan Adrian yang sudah berada di dalam kamar yang disiapkan oleh Eyang. Kamar yang begitu sangat luas dengan tempat tidur king size lemari yang panjang berwarna putih ditambah lagi dengan furniture mewah yang berada di dalam kamar itu dari sofa, televisi, dan yang lainnya. Tidak seperti ruang rumah Adrian saat pertama kali Greesel masuk, yang mana Greesel masih punya kesempatan untuk melihat di sekitarnya, tetapi sekarang justru dia tertunduk berdiri di depan Adrian dengan kedua tangannya yang saling mengatup dengan memencet jarinya. "S-saya benar-benar minta maaf, tuan! dengan apa yang sudah saya lakukan di meja makan tadi," ucapnya terbata. Dia sangat menyadari kesalahan yang sudah membuat malu Adrian. Untung saja Adrian jujur dengan asal usul Greesel. Jadi tidak ada yang harus diperbaiki dan pasti Eyang mengerti. "Kau seharusnya bisa menempatkan dirimu dan jangan membawa tabiatmu ke rumah ini!" tegas Adrian. "Maafkan saya tuan!" Greesel kembali mengucapkan kata maaf