“A-apa? Kamu mengusirku?” tanya Gracia tidak percaya. "Kita belum selesai bicara, Adrian. Kita harus menyelesaikan masalah ini saat ini juga!"
"Aku ingin bicara dengan dia!" tegas Adrian sekali lagi. "Ya sudah bicara saja. Kenapa harus menyuruhku untuk pergi?" Greesel menelan ludah. Ia benar-benar merasa tidak berdaya karena terjebak di antara sepasang kekasih yang tak sepaham ini. Rasanya, ia ingin pergi saja. Tapi Adrian masih menahan tangannya dengan erat seolah tak akan pernah melepaskannya. "Aku bilang keluarlah!" Suara Adrian terdengar menahan amarah, tatapan tajamnya tertuju pada Gracia. "Aku tidak mau! Aku tidak akan pergi sebelum kamu setuju dengan semua ini!" ujar Gracia tetap menolak dengan keras kepala. “Kamu hanya perlu—” "Aku bilang pergi!" bentak Adrian dengan suara yang menggelegar. Tidak hanya Gracia, tapi Greesel juga tersentak kaget. Suasana hening melingkupi mereka selama beberapa detik sampai akhirnya Gracia mendenguskan napas gusar. "Baiklah, aku akan keluar. Tapi aku harap kamu bisa pikirkan semua ini baik-baik. Hanya ini jalan satu-satunya. Pikirkan apa yang akan terjadi jika kamu tidak menuruti apa kata Eyang," ucap Gracia mengingatkan Adrian. Setelah itu, Gracia langsung pergi. Langkahnya sempat terhenti saat berada di hadapan Greesel. Ia menatapnya lekat, tapi tidak mengatakan apapun. "Bu Gracia!" panggil Greesel panik, ingin mengejar Gracia. Ia takut jika ditinggalkan berdua dengan pria yang sejak tadi berteriak-teriak seperti monster. "Aku tidak mungkin menikah denganmu!" Suara berat pria itu terdengar sangat dekat membuat atensi Greesel kini kembali padanya. Ia menarik tangannya dan mundur beberapa langkah menjauh dari pria itu. Greesel menelan salivanya. "Apa mungkin seorang pria sepertiku menikah dengan pelayan sepertimu? Apa menurutmu itu pantas?" tanya Adrian sinis. Bukannya mendapatkan persetujuan, Greesel malah mendapatkan hinaan. Tetapi hal seperti itu mungkin adalah hal yang lumrah bagi Greesel. Dia sudah terbiasa mendapatkan kata-kata seperti itu. Nyatanya, dia memang seorang pelayan. Greesel yang tidak mampu menyangkal hanya bisa menundukkan kepala, tidak berani menatap Adrian. "Aku tidak peduli apa yang kau dapatkan dengan menikah denganku. Aku hanya tidak ingin berurusan denganmu. Jadi, apapun yang ditawarkan Gracia, kau harus menolaknya!" ujar Adrian penuh peringatan. Deg! Greesel yang begitu terkejut kembali mengangkat kepala dan memberanikan diri untuk menatap pria yang masih terlihat sangat marah. Bahkan tatapan mata itu semakin tajam menusuk sampai ke ulu hatinya. "Aku tidak akan mungkin menikah denganmu. Apalagi harus mendapatkan keturunan dari wanita sepertimu.” Kata-kata Adrian begitu merendahkan hingga Greesel tak sanggup berkata-kata. “Kalaupun terpaksa, aku akan memilih wanita yang pantas dan layak untuk melahirkan anakku!" Bibir Greesel tampak bergetar menahan tangis atas penghinaan Adrian padanya. Meskipun hatinya menolak untuk menikah dengan pria ini, tapi ia benar-benar tidak punya pilihan lain. Greesel tidak punya cara lain untuk mendapatkan banyak uang dalam waktu singkat. "Tapi, Pak..." "Tapi apa?” sela Adrian. “Kau sangat berharap bisa menikah denganku, heh? Apa kau pikir ini dunia dongeng?" sahut Adrian yang tidak memberikan kesempatan apa-apa pada Greesel untuk mengeluarkan pendapat. Greesel terdiam, tidak bisa berbicara apa-apa. Ia menggigit bibir gelisah. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Air mata terlihat menggenang di pelupuk matanya. Greesel sudah merendahkan diri untuk menikah kontrak demi mendapatkan uang. Tapi pria yang dijanjikan kepadanya justru tidak menginginkan hal itu, membuat dia semakin tidak punya harga diri. "Tolak apapun yang diberikan Gracia padamu sebagai imbalan, dan jangan pernah muncul lagi di hadapanku!" ujar Adrian lagi karena Greesel tak kunjung bersuara. "Kau mendengarku?" Greesel lantas hanya menjawab dengan anggukan kepala. Dia tidak punya pilihan dan mau tidak mau harus menuruti apa yang dikatakan Adrian. Greesel juga tidak mungkin memaksa Adrian. "Sekarang, pergi dari sini!” usir Adrian dengan suara rendah. Greesel yang merasa sudah tidak ada harapan memejamkan mata dan membuang perlahan nafasnya. Dengan perlahan, wanita yang tidak memiliki semangat itu membalikkan tubuh dan melangkahkan kakinya ke arah pintu. ‘Maafkan kakak Vano!’ batin Greesel penuh sesal, air mata yang sudah ia tahan-tahan akhirnya jatuh membasahi pipinya. Di belakangnya, Greesel mendengar Adrian berbicara di telepon. Entah apa yang ia bicarakan dengan orang di seberang sambungan, yang pasti Greesel masih menangkap nada gusar dalam suaranya. "Kau bilang apa?" tanya Adrian. “Gibran membawa calon istrinya pada Nenek?” "...." "Kurang ajar! Jadi dia ingin mendahuluiku," gumam Adrian. "Sial!" umpat pria itu frustasi. Greesel terkejut saat Adrian tiba-tiba membanting ponselnya ke lantai. Ia sempat menoleh ke belakang sebelum buru-buru melanjutkan langkahnya. Gadis itu tidak ingin ikut campur. Greesel sudah memegang kenop pintu saat mendengar suara Adrian. "Tunggu!" Gadis itu menoleh, melihat Adrian berjalan ke arahnya dengan langkah lebar. Adrian tiba-tiba memegang kenop pintu dengan tangan Greesel yang masih ada di sana, lalu menutup pintu itu kembali. Greesel menatap pria itu bingung. Mulutnya sedikit terbuka, hendak bertanya ada apa. Namun, kata-katanya tertahan di tenggorokan saat mendengar Adrian tiba-tiba bersuara. “Kau harus menikah denganku.” Bersambung"A-apa?” Greesel bertanya dengan suara tercekat. Terlalu terkejut dengan ucapan Adrian. Bukankah sesaat yang lalu pria itu menolak keras untuk menikah dengannya? Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?! "Kita bicara di dalam," kata Adrian sambil lalu, masuk kembali ke dalam apartemen mewah itu. Sedangkan Greesel tetap bergeming di ambang pintu."Mau sampai kau berdiri di sana?" tegur Adrian membuat Greesel sedikit kaget.Dengan kebingungan, Greesel kembali melangkahkan kakinya mengikuti Adrian ke ruang tamu."Duduklah!" titah Adrian.Seperti robot yang patuh, Greesel pun duduk. Wajahnya tampak bingung dan juga gugup. "Tunggu di sini!" kata Adrian. Sepasang mata Greesel mengikuti kemana pria itu pergi. Adrian ternyata memasuki sebuah ruangan, meninggalkan Greesel sendirian di ruang tamu dengan perasaan gelisah. Gadis itu masih menerka-nerka apa yang akan dilakukan Adrian.Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Adrian keluar dari ruangan itu sambil membawa map berwarna biru. Ia duduk di ha
Adrian dan Greesel yang masih berada di restaurant itu. Tetapi Eyang yang sudah pamit pulang terlebih dahulu."Dengar. Semua keputusan ada padaku. Kau hanya mengikut saja dengan apa yang sudah di atur," ucap Adrian menegaskan."Ba-baik!" sahut Greesel tergagap. Berada di sekitar pria ini benar-benar membuat nyalinya menciut. Entah bagaimana ia akan bertahan selama satu tahun ke depan."Pertemuan kita sudah cukup. Selanjutnya kita akan bertemu di pernikahan, jadi jangan menimbulkan masalah apapun," tegas Adrian, gegas berdiri dari tempat duduknya hendak pergi."Tunggu!" Greesel tiba-tiba menahan tangan Adrian. Pria itu menatap tangan kecil Greesel, membuat gadis itu lekas melepaskan genggamannya."Maaf!" ucapnya kikuk."Ada apa?" tanya Adrian dengan alis mengerut. Ekspresinya masih sama dingin."Kita sudah menandatangani kontrak pernikahan itu,” ujar Greesel pelan. “A-apa aku boleh meminta uang 120 juta di awal?" tanyanya hati-hati.Dia sudah mengumpulkan keberanian yang luar biasa unt
Sampai detik berikutnya Adrian yang sudah berada di atas tubuh Greesel, menindih tubuh mungil itu yang membuat Greesel semakin gugup dan refleks memalingkan wajah ke kiri. Dia sangat tidak berani menatap Adrian yang sejak tadi memancarkan aura wajah yang sangat dingin."T- tuan mau apa?" tanya Greesel dengan terbata-bata."Cih! Pertanyaan macam apa itu!" sahut Adrian dengan mendengus kasar yang memperhatikan wajah gugup Greesel yang harus diakui memang sangat cantik."Kau jangan lupa dan pura-pura bodoh. Jika malam ini kau akan berada di bawah kekuasaan ku, bukankah tujuanku menikah dengan mu hanya untuk ini dan kau sudah mendapatkan bayaran pertamamu. Jadi sudah menjadi tugasmu untuk menjalan kewajibanmu," Adrian menjelaskan sekali lagi.Kata-kata yang terdengar dengan suara berat itu cukup membuat Greesel takut, hal ini menjadi yang pertama kali untuknya dan dia juga tidak tahu harus melakukan apa. Dia sudah mendapatkan uang, adiknya di operasi dan mereka sudah menikah. Sebenarnya
Adrian yang terlihat gelisah berdiri di depan pintu kamar dan tidak lama seseorang keluar dari kamar."Bagaimana? tanya Adrian."Nona Greesel yang memang sedang datang bulan dan hal itu juga menyebabkan nyeri pada perutnya," jawab wanita itu.Adrian yang memang tidak percaya sama sekali dengan Greesel dan sampai Adrian membawa Dokter untuk memeriksa kondisi yang sebenarnya Greesel.'Jadi dia benar-benar berhalangan,' batin Gavin yang terlihat masih kesal."Baiklah tuan, kalau begitu saya permisi dulu!" ucap wanita itu. Adrian hanya menganggukkan kepala dan wanita itu langsung pergi.Adrian membuang kasar nafas dengan mengusap kasar wajahnya. Dia masih terlihat begitu frustasi dengan gagalnya malam pertama mereka berdua. Bukan karena Adrian ngebet dengan malam pertama itu. Tetapi Adrian hanya ingin semua berjalan dengan cepat dan tidak ingin waktu terbuang sia-sia.Jika Adrian yang masih frustasi berbeda dengan Greesel yang sudah berganti pakaian dan dia juga sudah mandi. Greesel yang
Sampai akhirnya Greesel memasuki rumah mewah dan luas tersebut. Kepalanya tidak hentinya berkeliling. Harus mengakui takjub dengan kediaman Adrian yang memang seperti istana."Silahkan, tuan!" langkah Adrian berhenti di dekat meja makan.Di sana terlihat Eyang besar dan juga seorang pemuda yang sebaya dengan Adrian."Kalian baru sampai?" sapa Eyang."Iya!" sahut Adrian datar dan menghampiri meja makan. Mata pria yang duduk di samping Eyang melihat genggaman tangan Adrian dan Greesel."Ayo! kita sarapan bersama," sahut Eyang. Pelayan itu yang sudah meninggalkan tempat tersebut."Kami tadi sudah sarapan," jawab Adrian yang sepertinya sangat malas bergabung.'Kenapa tuan Adrian berbohong. Kapan aku sarapan bersama dia,'batin Greesel bingung. Mungkin juga perutnya yang lapar. Karena saat pesta pernikahan dia juga tidak makan dan di tambah lagi dengan tadi pagi yang juga belum memakan apapun."Tapi tidak ada salahnya. Kamu dan istri kamu sarapan untuk pertama kali di rumah ini," tegas Eyan
Greesel dan Adrian yang sudah berada di dalam kamar yang disiapkan oleh Eyang. Kamar yang begitu sangat luas dengan tempat tidur king size lemari yang panjang berwarna putih ditambah lagi dengan furniture mewah yang berada di dalam kamar itu dari sofa, televisi, dan yang lainnya. Tidak seperti ruang rumah Adrian saat pertama kali Greesel masuk, yang mana Greesel masih punya kesempatan untuk melihat di sekitarnya, tetapi sekarang justru dia tertunduk berdiri di depan Adrian dengan kedua tangannya yang saling mengatup dengan memencet jarinya. "S-saya benar-benar minta maaf, tuan! dengan apa yang sudah saya lakukan di meja makan tadi," ucapnya terbata. Dia sangat menyadari kesalahan yang sudah membuat malu Adrian. Untung saja Adrian jujur dengan asal usul Greesel. Jadi tidak ada yang harus diperbaiki dan pasti Eyang mengerti. "Kau seharusnya bisa menempatkan dirimu dan jangan membawa tabiatmu ke rumah ini!" tegas Adrian. "Maafkan saya tuan!" Greesel kembali mengucapkan kata maaf
Setelah membeli roti itu. Greesel yang kembali menghampiri Ibunya yang masih menunggu di luar. "Maaf Greesel lama, Bu!" ucap Greesel. "Tidak apa-apa, Nduk," sahut Asti. "Ini Ibu makan dulu," ucap Greesel yang memberikan roti itu. Asti mengangguk kepala. Wajah Asti masih terlihat tidak tenang yang pasti masih kepikiran dengan pernikahan yang dikatakan Greesel. "Ibu kenapa tidak di makan?" tanya Greesel yang melihat makanan itu tidak di sentuh sama sekali. "Kamu makanlah, Ibu tidak lapar," jawab Asti. "Ada apa, Bu? apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu?" tanya Greesel. "Ibu hanya khawatir dengan kamu, Ibu tahu. Jika kamu tidak bahagia dengan pernikahanku," ucap Asti. Firasat seorang Ibu memang pasti akan ada ada. Perasannya yang tidak tenang, walau Greesel yang sudah berusaha untuk meyakinkan Asti. "Ibu, harus percaya pada Greesel dan semua akan baik-baik saja. Ibu tidak perlu mengkhawatirkan apapun!" ucap Greesel yang terus meyakinkan. Asti tersenyum dengan meme
Greesel dan Adrian yang sudah kembali di rumah Eyang. Mereka berdua yang memasuki kamar. "Aku akan tidur di ranjang dan kamu di sofa!" tegas Adrian yang langsung menentukan peraturan. Mata Greesel melihat sofa berwarna navy itu. Untuk sofa itu bisa di stel menjadi tempat tidur. Jadi pasti nyaman untuk Greesel. Sofa orang kaya jauh lebih empuk dari pada ranjang di rumahnya "Kau keberatan?" tanya Adrian. "Tidak!" Greesel menjawab dengan cepat sembari menggelengkan kepala. "Aku bahkan tidak mengatakan apa-apa sama sekali," jawab Greesel. "Bagus kalau begitu. Kau memang harus tahu diri dan tahu tempatmu di mana!" tegas Adrian. Greesel hanya mengangguk. "Siap-siaplah! Eyang menunggu kita makan malam!" tegas Adrian yang hendak pergi. "Tunggu sebentar!" Greesel menahan tangan Adrian dan langsung dengan cepat melepasnya yang merasa terlalu lancang. "Aku belum mengambil pakaianku di rumah! kapan aku bisa mengambil pakaianku?" tanya Greesel. "Kau tidak perlu membawa pakaian kotor dan