Pluk!
"Lauren?"
Merasakan tepukan di tangannya yang berada di atas meja, membuat lamunan Lauren terhenti. Ia berdehem pelan berusaha menghilangkan rasa gugup, lalu memfokuskan pandangan lagi pada mertuanya. "A-aku gak papa kok Mah," jawabnya sambil berusaha tersenyum.
Alisya pun membalas senyumannya manis. "Kalau memang Mathhew belum ngabarin kamu, nanti selesai sarapan telepon saja dia. Dasar dia itu, masa saja sama istri gak minta izin dulu mau pergi keluar kota. Nanti Mama tegur deh," kata nya yang terlihat sangat membela menantu nya. Alisya memang sangat menyayangi Lauren.
Lauren hanya berdehem pelan lalu melanjutkan kembali sarapannya walau terlihat tidak bernafsu. Kepalanya terus menunduk, berusaha menghindari kontak mata dengan Matthias. Entah kenapa Ia gugup sekali, padahal biasanya tidak pernah seperti ini. Semua gara-gara prasangka buruknya.
Merasakan tenggorokannya kering, Lauren membawa segelas susu di depan lalu meminum nya perlahan. Tetapi mata nya ini malah dengan lancang kembali melirik Matthias, dan sialnya Ia ketahuan membuatnya pun tersedak terbatuk-batuk sampai susu nya sedikit muncrat.
"Ya ampun Lauren, pelan-pelan minum nya sayang, sampai kesedak begitu," pekik Alisya ikut panik dan memberikan beberapa lembar tisu pada menantu nya.
Lauren pun menyimpan segelas susu itu dan mengambil alih tisu di tangan mertuanya sambil berterima kasih. Ia mengusap dagu dan bibir nya yang belepotan dengan tisu, untungnya hanya sedikit mengotori bagian atas dress nya. Sambil membersihkan bagian atas dada nya, Lauren terus menggerutu mengutuk kebodohan dirinya sendiri.
Kalau bersikap seperti ini terus, bukankah Matthias akan tahu jika Lauren sedang gugup? Menyebalkan memang.
Merasa lengket karena noda susu di sekitar leher dan dada atas nya, Lauren pun memutuskan beranjak untuk membersihkan nya di kamar mandi yang tidak terlalu jauh dari ruang makan. Alisya hanya tersenyum membiarkan, lalu kembali melanjutkan makan.
"Ahh sial, kenapa aku gugup banget ya kalau lihat Kak Matthias? Enggak mungkin, masa saja dia yang tadi malam datang ke kamar dan.. " Lauren tidak melanjutkan perkataan nya karena merasa malu sendiri, berubah menjadi ringisan pelan.
Tangannya lalu bertumpu di wastafel, seraya Ia menatap wajahnya di depan cermin. Bukan sedang mengagumi wajahnya yang cantik, melainkan memperhatikan sekitar leher nya yang bersih tanpa noda dan mulus. Bukankah biasanya melakukan hubungan seks selalu ada adegan meninggalkan bekas di tubuh? Alias kiss mark.
Tetapi setelah Lauren perhatikan lagi, tidak ada satu pun kiss mark di tubuh nya. Kepalanya terasa pusing memikirkan apakah kejadian tadi malam itu nyata atau hanya mimpi nya saja. Hembusan nafas kasar keluar lewat celah bibir Lauren, tidak mau terlalu memikirkan, Ia pun keluar dari kamar mandi itu.
Namun betapa terkejut nya Lauren karena di depan pintu ada Matthias. Hampir saja mereka bertabrakan. "Astaga, Kak Matthias. Ke-kenapa di sini? Ada apa?" tanyanya gagap tanda sedang gugup. Lauren tanpa sadar meremas pegangan pintu yang masih setengah terbuka.
"Gak apa-apa, cuman mau ke kamar mandi. Kamu sudah selesai belum?" Matthias malah bertanya balik, jika di perhatikan mata nya terlihat memperhatikan bagian atas dada Ipar nya yang terbuka dan sedikit basah karena air, membuatnya menelan ludah kasar.
"Oh su-sudah kok, maaf kalau agak lama," jawab Lauren sambil tersenyum kikuk. Bukannya menyingkir, Lauren malah masih terdiam mematung di ambang pintu. Sekarang Lauren terlihat bodoh, percayalah semua terjadi karena rasa gugup nya.
Matthias terlihat dua langkah mendekat, membuat Lauren harus menahan nafas karena kali ini posisi berdiri mereka sangat dekat. Bahkan hidung Lauren bisa mencium wangi parfume khas Kakak Ipar nya itu yang sangat maskulin. Entah kenapa, wangi ini terasa tidak asing, seperti sudah Lauren cium cukup lama.
"Kakak mau apa?" Pertanyaan konyol itu meluncur begitu saja dari bibir Lauren karena Matthias terus menatap nya dalam dari posisi sedekat ini.
Tidak tahukah pria itu jika sekarang Lauren sangat gugup? Tangannya bahkan sudah berkeringat dingin.
Matthias pun kembali membuka suara, namun kali ini suaranya terdengar agak serak. "Bagaimana saya bisa masuk kalau kamu halangin jalannya?"
Menyadari itu membuat Lauren melotot dan segera keluar dari kamar mandi. Tingkahnya itu terlihat menggemaskan di mata Matthias, walau begitu pria itu dengan sekuat tenaga berusaha menahan senyumannya dan tetap menunjukkan ekspresi datar. Sebelum menutup pintu, Matthias dan Lauren sempat bertatapan lagi, sorot mata mereka terlihat mengandung banyak arti.
"Sayang, kamu lagi ngapain di sana?"
Suara menggema yang sangat familiar itu, membuat Lauren menolehkan kepala ke belakang untuk melihat. Senyuman lebar langsung terukir di bibir nya melihat kepulangan suaminya, dengan berlari riang Ia pun mendekat dan langsung berhambur memeluk tubuh tegap itu. "Akhirnya kamu pulang juga, aku kangen banget. Dasar jahat kenapa gak ngabarin sih kalau mau pergi keluar kota?!"
Matthew terdengar terkekeh kecil, Ia pun mengusap punggung ringkih itu berusaha menenangkan. "Maaf sayang, aku gak ngabarin kamu dari telepon, tapi aku sudah minta ke Kak Matthias untuk ngasih tahu kamu kok. Apa dia gak sampain ke kamu?"
Dengan pelan Lauren pun menggeleng karena memang Ia tidak diberi tahu Matthias soal hal ini. Malahan Ia tahu dari Mama mertuanya tadi, ya memang yang memberi tahu pertama adalah Matthias, namun tetap saja Kakak Ipar nya itu salah karena tidak memberitahu dirinya langsung padahal sudah diberi amanat oleh suaminya.
Bibir nya yang sempat tertekuk ke bawah karena ngambek berubah menjadi senyuman cerah melihat Matthew menunjukkan buket bunga mawar yang ternyata dari tadi disembunyikan di belakang punggung nya. Lauren pun langsung menerimanya dan menghirup wangi bunga itu dengan rakus.
"Pas di perjalanan pulang tiba-tiba aku kepikiran untuk beliin kamu bunga, ternyata feeling aku benar. Jangan ngambek lagi ya, aku benar-benar minta maaf gak ngabarin kamu langsung, nanti gak akan begini lagi, aku janji," kata Matthew seraya mengusap puncak kepalanya. "Sekarang aku mau minta hadiah nya dong."
Perhatian Lauren dari bunga teralih, tertuju pada Matthew dengan pandangan bingung. Belum sempat membuka suara untuk bertanya, bibir nya sudah dibungkam oleh ciuman dari Matthew. Sepertinya hadiah yang dimaksud adalah ciuman, dan dengan senang hati Lauren menerima bahkan memeluk leher Matthew dengan sebelah tangannya yang tidak memegang buket bunga.
"Emmh!" Lauren sedikit mendesah saat merasakan bokong nya di remas oleh tangan nakal Matthew, dan pria itu belum mau menghentikan ciumannya yang semakin dalam.
Ceklek!
Mendengar suara kamar mandi terbuka, barulah ciuman mereka terhenti dan langsung berdiri kikuk sambil berusaha mengatur nafas yang memburu. Lauren memilih menundukkan pandangan sambil mengusap sekitar bibir nya yang basah karena ciuman tadi.
"Hai Kak tumben belum ke kantor, aku kira tadi siapa yang keluar hehe," sapa Matthew sambil mengusap tengkuk nya tanda sedang gugup, tapi Kakak nya itu hanya berdehem pelan dan memilih melenggang pergi membuat Matthew bingung karena tidak biasanya di cuekin.
Pasangan suami itu naik ke lantai dua, Lauren harus menyiapkan pakaian untuk Matthew yang akan berangkat kerja lagi. Kasihan sekali pikirnya suaminya itu sangat sibuk, padahal baru pulang dari luar kota. Walaupun perusahaan milik keluarga, tapi tidak bisa bekerja leha-leha. Apalagi Matthias sekarang yang menjadi Direktur Utama, dikenal sebagai Bos yang tegas dan kompeten. Melihat Matthew yang akan masuk ke kamar mandi, Lauren terlebih dahulu bertanya, "Kamu mau pakai jas warna apa hari ini? Biar aku siapin."Matthew pun menoleh dan terlihat mengusap dagunya seperti sedang berpikir keras. "Apa saja deh, selera kamu kan bagus, pasti aku pakai kok. Aku mandi dulu ya, gerah banget badan aku, lengket." Setelah mengatakan itu, Matthew pun baru masuk ke kamar mandi. Lauren sendiri masuk ke ruangan ward drobe mulai mencari setelan jas dan juga dasi warna senada yang menurut nya cocok. Memang selera nya tentang fashion cukup bagus, ya karena dulu saat kuliah pun mengambil jurusan desainer. S
Ternyata Matthias membawa Lauren ke ruang kerja nya. Perasaan Lauren mulai tidak enak, Ia lalu memperhatikan pria itu yang duduk di sofa sambil memperhatikannya dalam. Tanpa sadar Lauren menelan ludah kasar, tidak bohong jika Matthias terlihat sangat gagah dengan gaya duduk nya yang seperti bos itu.Lauren berdehem pelan dan berucap memecah keheningan. "Ekhem sebenarnya Kak Matthias mau bicara apa? Bisa langsung saja? Aku tidak bisa lama-lama karena ada urusan lain." Lauren berusaha tidak terlihat gugup, berdiri di depan meja yang berhadapan dengan Matthias. "Urusan apa memangnya?" tanya Matthias balik, sebelah sudut bibir pria itu terlihat tertarik. "Seharusnya kamu berterima kasih pada saya karena sudah nyelamatin kamu tadi," lanjut nya. Kernyitan dalam terlihat di kening Lauren mendengar itu, membuatnya bingung. "Menyelamatkan apa?""Menurut kamu? Saya tahu kamu pintar, pasti bisa langsung menduga sendiri maksud saya. Kamu pasti curiga kan pada Matthew? Ya kecurigaan kamu itu ben
Lauren kembali menolehkan kepala ke belakang, menatap tidak percaya Kakak Ipar nya yang berani mengatakan itu. Senyuman sinis terukir di bibir nya, perlahan mulai merasa putus asa. "Apa sebenarnya mau Kakak?" tanyanya dengan suara serak karena menahan tangisan. Matthias memilih memasukan terlebih dahulu tangannya ke dalam saku celana, tatapannya terlihat terhunus pada wanita itu. "Saya tidak minta yang aneh-aneh Lauren, saya bukan orang jahat yang mau memanfaatkan kamu. Lagian saya sadar sikap saya kurang ajar karena sudah menyentuh adik Ipar sendiri. Jadi ayo duduk, masih banyak hal yang harus kita bicarakan," ujar nya dengan suara berat. Dengusan kasar keluar lewat celah bibir Lauren, tidak lama kekehan kecil terdengar dari nya. "Bukan orang jahat? Lalu kenapa Kakak malah masuk ke kamar aku dan menyentuh aku? Demi Tuhan aku kira malam itu adalah Matthew, jadi aku biarkan saja. Kalau aku tahu yang menyentuh malam itu adalah Kakak, sudah pasti aku tendang Kakak keluar," cerca nya be
Setelah turun dari lantai atas menuju lantai dua belas, langkah Lauren terlihat mantap menuju ruang kerja Matthew. Ia tetap pada tujuan utamanya untuk bertemu suaminya itu, sekaligus ingin melihat juga apakah pria itu masih bermesraan dengan sekertaris nya atau tidak. Tatapannya langsung tajam pada Anne, ternyata mereka sudah selesai. Anne pun terlihat terkejut melihat kedatangan istri dari Bos nya, segera Ia berdiri dan tersenyum canggung. "Selamat siang Bu Lauren, apa anda mau bertemu dengan Pak Matthew? Beliau belum keluar untuk makan siang, masih ada pekerjaan," sapa nya berusaha ramah. Padahal di dalam hati ogah-ogahan sekali, tapi Anne harus menjaga citra baik. Bukannya menjawab menanggapi perkataan wanita yang satu tahun lebih muda darinya itu, Lauren malah memperhatikan penampilan Anne dari bawah sampai ke wajah. Bibir Lauren terlihat mengernyit tidak suka dengan dandanan sekertaris itu. "Kamu tidak malu Anne pakai baju terbuka seperti ini ke kantor? Ini kantor loh, bukan Ba
Rumah menjadi tempat nyaman bagi Lauren untuk pulang, bisa menenangkan hati juga pikirannya yang sekarang sedang suntuk. Baru saja akan menaiki tangga menuju kamar nya, matanya tidak sengaja melihat mertuanya yang sedang bersantai di halaman belakang. Melihat itu, Lauren pun memutuskan menghampiri nya. "Mama jangan panas-panasan, nanti sakit lagi," tegur nya setelah dekat. Alisya menoleh dan langsung tersenyum melihat kedatangan menantunya itu. Sebelah tangannya terulur, dan Lauren yang mengerti pun langsung menggenggam nya. Bisa merasakan telapak tangan Alisya yang dingin. "Mama kenapa gak tidur siang? Biasanya jam segini suka tidur. Tadi sudah makan dan minum obat, belum?" Karena biasanya Lauren yang suapin, tapi kan hari ini Ia sudah dari kantor suaminya. "Sudah kok, tadi sama mbok Tati yang suapin. Kamu cepat juga pulang dari kantor nya, Mama kira akan lama. Gimana tadi sama Matthew, apa dia sedang sibuk?" Lauren tanpa sadar mendengus pelan saat mendengar satu nama itu. "Iya dia
Ditanyai seperti itu tentu saja Matthew gelagapan. Tengkuknya yang berkeringat pun Ia usap, tanda jika dirinya memang sedang gugup. "Kamu bicara apa sih, kok nuduh aku begitu? Aku pikir pakaian Anne biasa saja, maksudnya.. Aku gak terlalu sering perhatiin cara pakaian ataupun dandanan dia. Yang penting kan cara kerja dia yang bagus untuk perusahaan," ucap nya membela diri. Dengusan kasar keluar lewat celah bibir Lauren mendengar jawaban suaminya yang menurut nya tidak masuk akal. Dadanya terasa panas karena Matthew seperti sedang membela Anne sekarang. "Lain kali kalau kamu mau tegur dia jangan terlalu keras, tidak enak kalau ada karyawan lain lihat, nanti kan jadi bahan pembicaraan. Aku cuman gak mau mereka bicarain kamu aneh-aneh di belakang," kata Matthew mencari alasan lain. Setelah mengatakan itu, Matthew pun masuk ke kamar mandi. Tanpa sadar tangan Lauren sudah terkepal dari tadi, awas saja pikirnya si Anne itu, pasti akan Ia balas. Padahal Lauren merasa sikapnya ini benar, en
Melihat Matthias yang turun dari kursi Bar dan mendekati nya, membuat Lauren tanpa sadar meremas gelas di tangannya. Setelah pria itu berdiri di depannya dengan jarak satu langkah, baru lah Ia bisa melihat wajahnya dengan jelas. "Tidak, aku kebangun karena ingin minum. Kakak sendiri kenapa belum tidur?" tanyanya balik. Matthias terlihat mengedikkan bahu nya. "Saya gak bisa tidur, terus mikirin kamu," jawab nya lalu menyeringai kecil. "Ternyata kamu malah turun, apa tahu kalau saya sedang di sini?" Lauren langsung mencebikkan bibir tidak suka, sok percaya diri sekali pikir nya Kakak Ipar nya ini. Lauren memutuskan menjauh dan membuka lemari, mencari makanan ringan. Matthias yang merasa dicuekin hanya terkekeh kecil, Ia tahu sikapnya ini agak menyebalkan karena sudah menggoda Lauren. Tetapi jika menganggap nya bercanda, tidak, Ia serius beberapa hari ini memang terus memikirkan wanita cantik itu. Matanya terus memperhatikan setiap gerak-gerik nya. Karena Lauren merasa lapar, Ia memut
Lauren yang kesal karena dari tadi seperti di permainkan oleh Matthias memutuskan beranjak dari duduk nya dan akan pergi. Tetapi tangannya malah ditahan, bahkan Matthias menarik nya hingga membuat posisi berdiri mereka cukup dekat. "Mau apa? Jangan macam-macam ya!" ujar nya memperingati. Khawatir sekali ada yang melihat, tapi Ia malah diam saja. Matthias semakin menarik senyuman nya. Pria itu tahu jika saat ini Lauren sedang gugup. "Dengar dulu penjelasan saya, jangan dulu marah dan pergi," ucap nya ingin meluruskan, Ia sadar perkataannya tadi agak kurang ajar. "Saya cuman bercanda, gak mungkin minta tidur se-kamar dengan kamu kok."Sebelah alis Lauren terangkat, seolah meragukan penjelasan Matthias. Sialnya senyuman di bibir pria itu membuatnya selalu tidak bisa berpikir positif. Lauren sepertinya terlalu buruk hati sampai selalu berpikir jika isi pikiran Kakak Ipar nya ini selalu licik dan kotor. Lauren lalu berusaha melepaskan tangannya yang dari tadi di pegang, tapi ternyata tida