Perlahan kelopak mata Lauren terbuka, menunjukkan bola mata kecoklatan nya yang indah. Ringisan pelan terdengar dari bibir nya merasakan pusing yang sangat di kepala. Saat menyadari sesuatu, repleks tangannya menyentuh perut nya dan bernafas lega karena masih besar dan Ia tidak merasakan sakit di sana. Dengan perlahan Lauren mendudukan tubuh nya, memperhatikan kamar yang dominan sekali dengan warna hitam. Sudah dapat dipastikan ini bukan di rumah nya, jadi kemana Matthew membawanya? Lauren ingat kejadian sebelum Ia pingsan, tidak menyangka mantan suaminya akan bertindak se-nekad ini. Bukankah sangat berlebihan? Ceklek! "Oh kamu sudah bangun? Kebetulan banget, aku bawain kamu makan siang," sapa Matthew yang masuk ke dalam kamar nya seraya membawa nampan. Senyuman cerah terlihat di bibir pria itu, berbeda sekali ekspresi nya dengan saat di rumah Lauren. Melihat pria itu mendekat, membuat Lauren bersikut sedikit menjauh memberikan jarak. Bagaimana pun Ia harus tetap hati-hati. "Kamu
Selama Lauren di sekap di tempat tinggal Matthew, pria itu memang tidak bertindak kejam atau menyakiti nya. Malahan sikap Matthew sangat perhatian dan memperlakukan nya dengan baik, memberikan apapun yang Lauren inginkan kecuali permintaannya untuk pulang. Lauren terus berdoa di dalam hati semoga suaminya bisa segera menemukan nya.Brak! "Matthew sialan, kamu dimana? Dimana Lauren hah? Dasar bajingan, kurang ajar!"Suara keributan di luar kamar membuat tidur nyaman Lauren terganggu. Suasana kamar yang ditempatinya gelap, tapi Lauren masih bisa melihat jelas jam di dinding yang sekarang menunjukkan pukul empat pagi. Mendengar keributan di luar semakin keras, membuatnya memutuskan beranjak untuk mengecek.Saat Lauren membuka pintu kamar, Ia dikejutkan melihat beberapa orang di ruang utama. Tidak, lebih tepat nya dua orang yang sedang berkelahi di tengah. Melihat jika salah satunya adalah suaminya, membuat Lauren bergegas mendekat untuk memisahi. Tetapi seorang pria berbadan besar langs
Setelah Matthew diperiksa lebih lanjut, ternyata benar jika psikis adiknya itu sedikit terganggu. Dokter yang menangani nya mengatakan semua terjadi karena pria itu yang terlalu stress memikirkan banyak hal, dan yang paling utama adalah luka batin nya yang ditinggalkan orang tercinta. Akhirnya Matthias pun memutuskan mengobati adiknya itu di luar negeri, dengan persetujuan Mama nya juga."Aku gak nyangka Matthew akan sampai begini, tapi kenapa? Aku jadi ngerasa orang jahat karena sudah buat dia begitu, apa kita terlalu berlebihan?" gumam Lauren membunuh keheningan di dalam mobil. Mereka di perjalanan pulang dari bandara, telah mengantar Matthew ke Singapura.Matthias menghela nafas nya pelan, lalu menggenggam tangan istrinya membuat perhatian wanita itu yang dari tadi tertuju keluar menjadi ke arah nya. "Tidak berlebihan kok, hukuman itu memang pantas dia dapatkan. Sekarang dia baru merasakan menyesal, sedangkan dulu menyiakan kamu," ujar nya.Memang benar sih yang dikatakan Matthias,
"Selamat Pak Matthias, bayinya jenis kelamin laki-laki. Tampan dan sehat," ujar Dokter Lina yang sedang menggendong bayi nya yang sudah di bersihkan dan diselimuti kain hangat. Dengan hati-hati Dokter Lina mengalihkan gendongan bayi itu darinya menjadi ke pangkuan Matthias. Melihat pria itu yang terlihat kikuk dan takut-takut, membuat nya tersenyum geli. Seperti biasa, suami dari para pasien nya selalu bereaksi seperti itu. Setelah memastikan bayi itu di gendongan orang tuanya, Ia dan suster pun memutuskan keluar memberikan waktu. Tatapan Matthias terlihat dalam pada bayi di pangkuan nya, matanya masih terpejam tapi tidak tidur karena terus menggeliat kecil. "Hei, em kenalkan aku Papa kamu," bisik nya memperkenalkan diri, membuat Lauren yang mendengar nya terkekeh kecil. Ternyata suaminya itu masih kikuk, lucu sekali. "Sayang kemarilah, aku juga mau lihat baby," panggil Lauren seraya melambaikan tangan nya, dan Matthias pun mendekati ranjang. Sedikit merendahkan tubuh nya supaya i
"Emmhh."Desahan tertahan itu terdengar dari bibir Lauren saat merasakan jilatan di leher nya yang disertai kecupan basah juga. Tidur nyamannya terganggu, membuatnya perlahan membuka mata untuk melihat seseorang yang berada di atasnya. Namun suasana kamar sangat gelap, membuatnya tidak bisa melihat jelas wajah itu. Kembali Lauren mendesah saat tangan besar itu menangkup bagian dada nya dan meremas nya agak kuat. "Sayang, kamu kapan pulang? Jam berapa sekarang?" tanyanya berusaha tetap waras. "Hmm."Bukannya mendapat jawaban Lauren malah mendengar seseorang yang dianggap suaminya itu menggeram. Akhirnya Ia pun membiarkan saja dan diam tidak melawan saat tali gaun tidur nya dibuka dengan tidak sabaran dan membuat kulit nya kini terasa dingin karena tidak lagi tertutupi apapun. Tangan Lauren yang tadinya di sisi tubuh kini terangkat meremas rambut pria itu yang turun dan terus mengecupi permukaan kulitnya. Jilatan nya dari dada sampai ke inti tubuh nya, membuat badannya sesekali melen
Pluk! "Lauren?"Merasakan tepukan di tangannya yang berada di atas meja, membuat lamunan Lauren terhenti. Ia berdehem pelan berusaha menghilangkan rasa gugup, lalu memfokuskan pandangan lagi pada mertuanya. "A-aku gak papa kok Mah," jawabnya sambil berusaha tersenyum. Alisya pun membalas senyumannya manis. "Kalau memang Mathhew belum ngabarin kamu, nanti selesai sarapan telepon saja dia. Dasar dia itu, masa saja sama istri gak minta izin dulu mau pergi keluar kota. Nanti Mama tegur deh," kata nya yang terlihat sangat membela menantu nya. Alisya memang sangat menyayangi Lauren. Lauren hanya berdehem pelan lalu melanjutkan kembali sarapannya walau terlihat tidak bernafsu. Kepalanya terus menunduk, berusaha menghindari kontak mata dengan Matthias. Entah kenapa Ia gugup sekali, padahal biasanya tidak pernah seperti ini. Semua gara-gara prasangka buruknya. Merasakan tenggorokannya kering, Lauren membawa segelas susu di depan lalu meminum nya perlahan. Tetapi mata nya ini malah dengan l
Pasangan suami itu naik ke lantai dua, Lauren harus menyiapkan pakaian untuk Matthew yang akan berangkat kerja lagi. Kasihan sekali pikirnya suaminya itu sangat sibuk, padahal baru pulang dari luar kota. Walaupun perusahaan milik keluarga, tapi tidak bisa bekerja leha-leha. Apalagi Matthias sekarang yang menjadi Direktur Utama, dikenal sebagai Bos yang tegas dan kompeten. Melihat Matthew yang akan masuk ke kamar mandi, Lauren terlebih dahulu bertanya, "Kamu mau pakai jas warna apa hari ini? Biar aku siapin."Matthew pun menoleh dan terlihat mengusap dagunya seperti sedang berpikir keras. "Apa saja deh, selera kamu kan bagus, pasti aku pakai kok. Aku mandi dulu ya, gerah banget badan aku, lengket." Setelah mengatakan itu, Matthew pun baru masuk ke kamar mandi. Lauren sendiri masuk ke ruangan ward drobe mulai mencari setelan jas dan juga dasi warna senada yang menurut nya cocok. Memang selera nya tentang fashion cukup bagus, ya karena dulu saat kuliah pun mengambil jurusan desainer. S
Ternyata Matthias membawa Lauren ke ruang kerja nya. Perasaan Lauren mulai tidak enak, Ia lalu memperhatikan pria itu yang duduk di sofa sambil memperhatikannya dalam. Tanpa sadar Lauren menelan ludah kasar, tidak bohong jika Matthias terlihat sangat gagah dengan gaya duduk nya yang seperti bos itu.Lauren berdehem pelan dan berucap memecah keheningan. "Ekhem sebenarnya Kak Matthias mau bicara apa? Bisa langsung saja? Aku tidak bisa lama-lama karena ada urusan lain." Lauren berusaha tidak terlihat gugup, berdiri di depan meja yang berhadapan dengan Matthias. "Urusan apa memangnya?" tanya Matthias balik, sebelah sudut bibir pria itu terlihat tertarik. "Seharusnya kamu berterima kasih pada saya karena sudah nyelamatin kamu tadi," lanjut nya. Kernyitan dalam terlihat di kening Lauren mendengar itu, membuatnya bingung. "Menyelamatkan apa?""Menurut kamu? Saya tahu kamu pintar, pasti bisa langsung menduga sendiri maksud saya. Kamu pasti curiga kan pada Matthew? Ya kecurigaan kamu itu ben