Lauren kembali menolehkan kepala ke belakang, menatap tidak percaya Kakak Ipar nya yang berani mengatakan itu. Senyuman sinis terukir di bibir nya, perlahan mulai merasa putus asa. "Apa sebenarnya mau Kakak?" tanyanya dengan suara serak karena menahan tangisan.
Matthias memilih memasukan terlebih dahulu tangannya ke dalam saku celana, tatapannya terlihat terhunus pada wanita itu. "Saya tidak minta yang aneh-aneh Lauren, saya bukan orang jahat yang mau memanfaatkan kamu. Lagian saya sadar sikap saya kurang ajar karena sudah menyentuh adik Ipar sendiri. Jadi ayo duduk, masih banyak hal yang harus kita bicarakan," ujar nya dengan suara berat.
Dengusan kasar keluar lewat celah bibir Lauren, tidak lama kekehan kecil terdengar dari nya. "Bukan orang jahat? Lalu kenapa Kakak malah masuk ke kamar aku dan menyentuh aku? Demi Tuhan aku kira malam itu adalah Matthew, jadi aku biarkan saja. Kalau aku tahu yang menyentuh malam itu adalah Kakak, sudah pasti aku tendang Kakak keluar," cerca nya bersungut-sungut.
"Sekali lagi maaf Lauren, malam itu saya sedikit mabuk dan.. Dan tidak bisa menahan diri." Matthias lalu mengangkat tangannya di udara, seolah meminta Lauren diam tidak menyela membiarkan dirinya menjelaskan semua. "Tadinya saya ke kamar kamu untuk menyampaikan amanah Matthew tentang dia yang pergi keluar kota."
Walaupun sudah mendengar penjelasan dari pria itu, amarah dan kesal di dada Lauren belum redam sepenuh nya. Baginya tetap saja Matthias salah karena sudah bertindak kurang ajar dengan menyentuh nya. Jika mengingat kejadian malam panas itu, membuat Lauren merinding sendiri. Tidak henti-henti nya Ia mengutuk pria di depannya di dalam hati.
Matthias lalu berjalan mendekati Ipar nya itu, bisa melihat ekspresi tegang Lauren dan mulai memundurkan langkah. Melihat itu membuat dada Matthias sedikit sakit. Sepertinya Lauren menjadi takut kepadanya sekarang, dan Matthias harus kembali mendapatkan kepercayaan. "Lauren, saya bisa bantu kamu menyelesaikan masalah kamu dengan Matthew," ucap nya pelan.
"Apa maksud Kakak?"
Tetapi sebelum Matthias membuka mulut, suara ketukan pintu ruangan dari luar membuat kedua orang itu tersentak terkejut. Lauren langsung mundur dari dekat pintu sambil menggigit bibir. "Siapa itu Kak? Gawat, kalau ada yang lihat aku di dalam dari tadi di sini bisa curiga," monolog nya.
"Kamu masuk dulu ke kamar mandi, di sana aman," perintah Matthias seraya menunjuk ruangan di bagian pojok. Lauren pun mengangguk dan segera melakukan nya, dadanya kembali berdetak cepat karena khawatir ketahuan.
Setelah menutup pintu kamar mandi dan duduk di atas kloset duduk yang tertutup, Lauren terdiam merenung. Gerak-gerik nya sekarang seperti orang yang sedang selingkuh dan takut ketahuan saja, padahalkan kenyataannya tidak begitu. Lauren lalu jadi mengingat suaminya sendiri, pria itulah yang selingkuh di belakang nya.
Kedua tangan Lauren yang berada di atas pangkuannya mengepal erat. Bibir bawahnya pun Ia gigit berusaha menahan isakan. "Aku gak nyangka kamu ada main dengan perempuan lain Matthew, aku sama sekali gak pernah menduga karena sikap kamu selama ini baik-baik saja sama aku," gumam nya seorang diri.
Entah berapa lama Lauren berada di kamar mandi, lamunannya baru terhenti mendengar ketukan pintu kamar mandi. Terlebih dahulu Ia mengusap wajahnya kasar berusaha tidak terlihat sudah bersedih. Saat membuka pintu, tatapannya langsung bertemu dengan Matthias. "Siapa tadi? Apa dia sudah pergi? Dia gak curiga kan kalau ada aku di dalam?" Banyak sekali yang Lauren tanyakan.
"Sekertaris saya, dia cuman minta saya tandatangan beberapa dokumen. Tapi kenapa kamu kelihatan panik begitu, pasti takut yang masuk Matthew ya? Terus dia curiga dan nangkap basah kamu lagi sembunyi di ruangan saya," tanya Matthias dengan seringai di bibir nya, tidak lama pria itu tertawa kecil. "Nanti kalau dia yang tahu, kamu malah balik dituduh yang tidak-tidak lagi."
Merasa kesal diledeki, Lauren memilih keluar dari kamar mandi itu sambil menyenggol bahu kokoh Matthias. Ia tidak pergi menjauh dan malah berdiri menghadap kan tubuhnya pada pria itu. "Bukan, aku tidak takut kok kalau ketahuan Matthew, lagi pula kita tidak melakukan hal aneh-aneh di sini. Seharusnya tadi aku yang nangkap basah dia lagi selingkuh, tapi Kakak malah datang dan narik aku pergi," balas nya dengan emosi terpendam.
Mungkin kalau Matthias tidak membawanya pergi, sekarang Lauren sedang berhadapan dengan suami kurang ajarnya itu dan selingkuhannya. Walaupun tidak melihat langsung apa yang sedang dua orang itu lakukan, tapi Lauren yakin mereka sedang mesra-mesraan. Mungkin saja setiap hari pun begitu, membuat nafas Lauren semakin berat karena menahan marah.
Matthias terlihat mengangguk-anggukkam kepalanya, seperti merasa kagum dengan perkataannya tadi yang memang seharusnya begitu. "Tapi menurut saya kalau tadi kamu ciduk mereka dan marah-marah tidak jelas, malah akan mempermalukan diri kamu sendiri. Ya semua orang memang akan tahu kebejadan Matthew, mereka juga akan iba dan membela kamu. Tapi saya tahu, kamu pasti bukan orang yang ingin dikasihin, kan?"
Pertanyaan dari pria itu membuat Lauren terdiam dan merasa tertohok. Setelah Ia pikir lagi, sepertinya ada benar nya juga. Jika tadi Lauren menciduk, sudah pasti Ia tidak akan bisa menahan diri dan berakhir marah-marah sampai membuat keributan di kantor. Lauren pun kembali menatap Matthias, menunggu apalagi yang ingin dikatakan pria cerdas itu.
"Lauren, saya sudah bilang bisa bantu kamu. Kamu pasti tidak terima kan dengan sikap Matthew? Dia sudah selingkuh dengan Anne dari lama, hubungan mereka pun sudah sangat jauh. Mereka bahkan sering keluar kota bersama, dan kamu bisa bayangkan sendiri mereka di sana bukan hanya bekerja, tapi juga bermesraan," kata Matthias yang entah kenapa terlihat seperti sedang mengompori.
Matthias satu langkah mendekat, membuat bagian tubuh keduanya kini bersentuhan. Matthias sedikit menggeram karena bisa merasakan kenyal nya dada Lauren, membuat nya jadi ingin menyentuh nya lagi. Tapi tidak, sekarang Ia harus menyelesaikan dulu sesuatu. "Kamu bisa jadikan saya alat balas dendam, kita balas Matthew bersama," lanjut nya.
Cukup lama keduanya bertatapan dengan arti yang berbeda. Seringai di bibir Matthias seperti menandakan jika pria itu sudah percaya diri tawarannya akan diterima. Matthias walaupun belum tahu banyak tentang Ipar nya ini, tapi Matthias tahu ego Lauren sangat tinggi dan menjunjung tinggi yang namanya harga diri. Jadi kemungkinan Lauren pun akan balas dendam.
Tetapi senyuman di bibir Matthias harus luntur saat Lauren membuka suara. "Terima kasih tawarannya, tapi ini urusan rumah tangga aku dan Kakak tidak perlu ikut campur. Untuk hubungan kita malam itu lupakan juga, tidak usah dibahas lagi dan anggap saja tidak pernah terjadi." Setelah mengatakan itu, Lauren pun melenggang pergi keluar dengan langkah tegas nya.
Tatapan Matthias terlihat tajam ke arah pintu ruang kerjanya, dimana sosok Lauren yang baru saja pergi keluar. Tidak lama kekehan kecil keluar dari bibir nya, Matthias merasa semakin tertarik saja pada adik Ipar nya itu. "Kamu pasti akan berubah pikiran Lauren dan kembali pada saya. Kita lihat saja nanti," bisik nya di keheningan.
Setelah turun dari lantai atas menuju lantai dua belas, langkah Lauren terlihat mantap menuju ruang kerja Matthew. Ia tetap pada tujuan utamanya untuk bertemu suaminya itu, sekaligus ingin melihat juga apakah pria itu masih bermesraan dengan sekertaris nya atau tidak. Tatapannya langsung tajam pada Anne, ternyata mereka sudah selesai. Anne pun terlihat terkejut melihat kedatangan istri dari Bos nya, segera Ia berdiri dan tersenyum canggung. "Selamat siang Bu Lauren, apa anda mau bertemu dengan Pak Matthew? Beliau belum keluar untuk makan siang, masih ada pekerjaan," sapa nya berusaha ramah. Padahal di dalam hati ogah-ogahan sekali, tapi Anne harus menjaga citra baik. Bukannya menjawab menanggapi perkataan wanita yang satu tahun lebih muda darinya itu, Lauren malah memperhatikan penampilan Anne dari bawah sampai ke wajah. Bibir Lauren terlihat mengernyit tidak suka dengan dandanan sekertaris itu. "Kamu tidak malu Anne pakai baju terbuka seperti ini ke kantor? Ini kantor loh, bukan Ba
Rumah menjadi tempat nyaman bagi Lauren untuk pulang, bisa menenangkan hati juga pikirannya yang sekarang sedang suntuk. Baru saja akan menaiki tangga menuju kamar nya, matanya tidak sengaja melihat mertuanya yang sedang bersantai di halaman belakang. Melihat itu, Lauren pun memutuskan menghampiri nya. "Mama jangan panas-panasan, nanti sakit lagi," tegur nya setelah dekat. Alisya menoleh dan langsung tersenyum melihat kedatangan menantunya itu. Sebelah tangannya terulur, dan Lauren yang mengerti pun langsung menggenggam nya. Bisa merasakan telapak tangan Alisya yang dingin. "Mama kenapa gak tidur siang? Biasanya jam segini suka tidur. Tadi sudah makan dan minum obat, belum?" Karena biasanya Lauren yang suapin, tapi kan hari ini Ia sudah dari kantor suaminya. "Sudah kok, tadi sama mbok Tati yang suapin. Kamu cepat juga pulang dari kantor nya, Mama kira akan lama. Gimana tadi sama Matthew, apa dia sedang sibuk?" Lauren tanpa sadar mendengus pelan saat mendengar satu nama itu. "Iya dia
Ditanyai seperti itu tentu saja Matthew gelagapan. Tengkuknya yang berkeringat pun Ia usap, tanda jika dirinya memang sedang gugup. "Kamu bicara apa sih, kok nuduh aku begitu? Aku pikir pakaian Anne biasa saja, maksudnya.. Aku gak terlalu sering perhatiin cara pakaian ataupun dandanan dia. Yang penting kan cara kerja dia yang bagus untuk perusahaan," ucap nya membela diri. Dengusan kasar keluar lewat celah bibir Lauren mendengar jawaban suaminya yang menurut nya tidak masuk akal. Dadanya terasa panas karena Matthew seperti sedang membela Anne sekarang. "Lain kali kalau kamu mau tegur dia jangan terlalu keras, tidak enak kalau ada karyawan lain lihat, nanti kan jadi bahan pembicaraan. Aku cuman gak mau mereka bicarain kamu aneh-aneh di belakang," kata Matthew mencari alasan lain. Setelah mengatakan itu, Matthew pun masuk ke kamar mandi. Tanpa sadar tangan Lauren sudah terkepal dari tadi, awas saja pikirnya si Anne itu, pasti akan Ia balas. Padahal Lauren merasa sikapnya ini benar, en
Melihat Matthias yang turun dari kursi Bar dan mendekati nya, membuat Lauren tanpa sadar meremas gelas di tangannya. Setelah pria itu berdiri di depannya dengan jarak satu langkah, baru lah Ia bisa melihat wajahnya dengan jelas. "Tidak, aku kebangun karena ingin minum. Kakak sendiri kenapa belum tidur?" tanyanya balik. Matthias terlihat mengedikkan bahu nya. "Saya gak bisa tidur, terus mikirin kamu," jawab nya lalu menyeringai kecil. "Ternyata kamu malah turun, apa tahu kalau saya sedang di sini?" Lauren langsung mencebikkan bibir tidak suka, sok percaya diri sekali pikir nya Kakak Ipar nya ini. Lauren memutuskan menjauh dan membuka lemari, mencari makanan ringan. Matthias yang merasa dicuekin hanya terkekeh kecil, Ia tahu sikapnya ini agak menyebalkan karena sudah menggoda Lauren. Tetapi jika menganggap nya bercanda, tidak, Ia serius beberapa hari ini memang terus memikirkan wanita cantik itu. Matanya terus memperhatikan setiap gerak-gerik nya. Karena Lauren merasa lapar, Ia memut
Lauren yang kesal karena dari tadi seperti di permainkan oleh Matthias memutuskan beranjak dari duduk nya dan akan pergi. Tetapi tangannya malah ditahan, bahkan Matthias menarik nya hingga membuat posisi berdiri mereka cukup dekat. "Mau apa? Jangan macam-macam ya!" ujar nya memperingati. Khawatir sekali ada yang melihat, tapi Ia malah diam saja. Matthias semakin menarik senyuman nya. Pria itu tahu jika saat ini Lauren sedang gugup. "Dengar dulu penjelasan saya, jangan dulu marah dan pergi," ucap nya ingin meluruskan, Ia sadar perkataannya tadi agak kurang ajar. "Saya cuman bercanda, gak mungkin minta tidur se-kamar dengan kamu kok."Sebelah alis Lauren terangkat, seolah meragukan penjelasan Matthias. Sialnya senyuman di bibir pria itu membuatnya selalu tidak bisa berpikir positif. Lauren sepertinya terlalu buruk hati sampai selalu berpikir jika isi pikiran Kakak Ipar nya ini selalu licik dan kotor. Lauren lalu berusaha melepaskan tangannya yang dari tadi di pegang, tapi ternyata tida
Setelah kejadian malam dimana Matthias kembali menggodanya, Lauren mulai menjaga jarak dan menghindari Kakak Iparnya itu. Hanya tidak mau saja orang lain curiga, selain itu Lauren juga masih kesal dengan sikap Matthias yang seperti tidak memberikan batasan padanya.“Kamu kenapa ngemas-ngemas baju begitu, mau kemana?” tanya Matthew yang baru selesai mandi, terlihat buliran udara di tubuh pria itu membuatnya semakin terlihat seksi. "Bukannya baju aku sudah kamu kemas ya?" lanjutnya kebingungan karena istrinya itu memasukkan juga pakaiannya ke dalam koper yang sama.Dengan senyuman penuh arti nya Lauren pun menjawab. "Siapin baju aku untuk di Labuan Bajo juga lah, aku satuin aja ya di koper kamu, soalnya muat." Melihat bola mata Matthew melebar setelah mendengar penuturannya tadi, membuat Lauren rasanya ingin tertawa. Pasti Matthew terkejut."Loh-loh kan yang pergi cuman aku, kenapa-" Sebelum Matthew melanjutkan kata nya, Lauren pun menyela dengan cepat,"Aku juga mau ikut dong, lagian k
Hotel yang mereka tempati termasuk hotel bintang kelas atas, semua karyawan pun langsung di layani dengan baik dan di antar ke kamar istirahat nya masing-masing, begitu pun Lauren dan Matthew. Sepanjang perjalanan sampai tiba di kamar, Lauren menyadari ekspresi suaminya itu tampak masam. Seperti sedang bad mood."Matthew, kamu kenapa sih dari pas berangkat kaya gak semangat gitu. Kamu gak senang ya aku ikut liburan kesini?" tanya Lauren sensi. Muak sekali melihat wajah masam Matthew, membuatnya tersinggung.Matthew yang dituduh begitu pun segera menormalkan ekspresi wajahnya dan berusaha tersenyum. Ia lalu membawa sebelah tangan istrinya dan mengecup nya. "Kok bilangnya gitu sih sayang? Aku senang kok kamu ikut, kan kita bisa senang-senang di sini. Aku cuman kelelahan, ya itu benar aku kecapekan," jawab nya berusaha meyakinkan, namun tetap saja Lauren tidak percaya.Lauren yang jadi ikut bad mood menghempaskan tangan Matthew lalu memilih berjalan menuju balkon kamar hotel. Angin yang
Cukup lama Lauren memperhatikan Matthew bersama Anne, sampai dua orang itu pun masuk ke dalam kamar membuat bahu nya pun tanpa sadar melemas. Pikirannya perlahan dibuat pusing membayangkan apa saja yang dua orang itu sedang lakukan, tidak bisa rasanya berpikir positif karena yakin sekali dua pengkhianat itu sedang mesra-mesraan."Lauren kamu bertanya pada saya, alasan saya ingin membantu kamu untuk balas dendam pada Matthew. Kamu penasaran kan akan hal itu?" Lauren kembali tersadar mendengar suara Matthias di belakang nya, tubuhnya terasa sulit digerakkan karena tangan pria itu masih bertengger di bahu nya. Walau begitu, telinganya tetap terpasang baik mendengarkan."Saya gak ada dendam kok sama adik sendiri, hanya saja.. Saya merasa sedikit menyayangkan dia yang mempermainkan status pernikahan nya, apalagi menyia-nyiakan perempuan seperti kamu," lanjut Matthias kembali membuka suara. Dengan berani tangan nya turun hingga bertengger di pinggang ramping Lauren. "Jujur saya suka sama ka