Nasya keluar dari kamar mandi dengan napas lega, akhirnya ada sedikit waktu untuk dirinya sendiri, walau hanya sekejap. Namun, saat baru melangkah ke ruang tengah, ia langsung disambut dengan suara keributan yang membuat kepalanya berdenyut. Anak-anaknya—keempat anak yang berbeda ayah—berhamburan di segala penjuru ruangan. Dengan langkah tergesa, ia malah menginjak sesuatu yang keras. “Aduh!” Nasya melompat kecil, menatap mainan balok lego yang bercecer di lantai. Ia mengelus dadanya. “Ya ampun... sudah berapa kali mama bilang, mainan harus diberesin!” Tapi, siapa yang mau dengar?
Dylan, anak sulungnya yang baru berusia enam tahun, duduk anteng di sofa sambil memainkan tablet. Wajahnya serius, sama seriusnya dengan Bima Aryasetya, mantan suami pertamanya yang gila kerja. Bahkan ekspresi anak itu saat menatap layar membuat darah Nasya sedikit mendidih. Rasanya ingin mencubit pipinya yang tembam, tapi ditahan. Ini anak gue, anak sendiri harus disayang-sayang, gumamnya dalam hati. Apalagi, sejak perceraiannya dengan Bima, Dylan memang kurang mendapat perhatian dari ayahnya yang selalu sibuk.
Namun, suasana damai itu segera buyar ketika suara jeritan dua anak kembarnya, Chaka dan Chiki, meledak. Si kembar fraternal yang baru saja merayakan ulang tahun keempat mereka sedang sibuk berkelahi, saling jambak rambut. “Chaka! Chiki! Stop!” seru Nasya. Tapi keduanya seperti tak peduli, rambut Chiki sudah setengah tertarik oleh Chaka, sementara Chaka sendiri sedang menangis sambil memegang mainan yang direbut. Dua anak yang super aktif ini mewarisi sifat mantan suami kedua Nasya, Rendy Septian—si influencer dengan dua juta follower yang hidupnya tidak pernah lepas dari konten. Semua harus jadi materi untuk konten, bahkan sampai hal-hal paling pribadi di kehidupan mereka dulu. Itu membuat Nasya jengah hingga akhirnya memilih cerai.
"Baru mama tinggal pipis sebentar, kok udah kayak pasar begini?” Nasya memijat keningnya, merasakan denyut sakit kepala mulai muncul. Chaka dan Chiki langsung berebutan mengadu.
“Mama, Chaka jambak rambut aku duluan!”
“Nggak, Chiki yang ambil mainan aku!”
Suara mereka bertabrakan, membuat Nasya semakin pusing. “Aduh, sudah-sudah! Diam dulu, ya!” Ia melirik Dylan, yang masih asik bermain tablet tanpa peduli adik-adiknya berantem seperti petinju cilik. “Dylan, kamu ngapain aja dari tadi? Kenapa nggak melerai adik-adikmu?”
Dylan hanya melirik sekilas dari layar. “Aku nggak berdaya, Ma. Yang ada nanti aku yang dikeroyok. Mending diem aja.”
Dengan santainya, Dylan kembali scroll-scroll tablet, benar-benar tak terpengaruh. Nasya hampir meledak. “Kamu ini, sama aja kayak papa kamu!”
Nasya menghela napas panjang, pikirannya terasa berkabut karena semua keributan itu. Baru ia ingin duduk sejenak untuk merapikan pikiran, tiba-tiba satu pertanyaan menyeruak. Nino! Mana si bungsu? Kok nggak kelihatan dari tadi?
Panik mulai menjalari tubuhnya. “Dylan, Nino mana?” tanyanya cepat.
Dylan yang seolah baru sadar bahwa satu makhluk mungil tidak ada di sekitarnya, mengangkat bahu. “Aku nggak tau, Ma.”
Nasya menahan napas. “Kamu gimana sih? Mama cuma titip sebentar buat jagain adik-adik, kenapa Nino bisa ilang?!”
Tanpa membuang waktu, Nasya mulai menyusuri setiap sudut rumah, perasaannya campur aduk antara marah dan panik. Mainan yang tersebar makin terasa seperti ranjau di bawah kakinya, sementara ia terus mengomel. “Aduh, kapan hidup mama ini bisa tenang, ya Allah...”
Nasya berjalan mondar-mandir di sekitar rumah, menyusuri setiap sudut ruangan dengan cemas. Di ruang tamu, tak ada tanda-tanda Nino. Di dapur, kosong. Bahkan di bawah meja makan yang biasanya jadi tempat persembunyian favoritnya, juga nihil. “Ya Allah... ke mana lagi ini anak?” keluhnya. Sejak punya empat anak dengan temperamen masing-masing, Nasya merasa dirinya seperti hidup di medan perang yang tak ada habisnya. Jika meleng sedikit saja, rumah ini bisa berubah jadi arena bencana.
Nasya terus mencari, memeriksa belakang sofa, kamar mandi, hingga lemari baju, berharap Nino sedang bermain petak umpet. Tapi hasilnya sama, tak ada tanda-tanda bocah sembilan bulan itu. “Faninoo... di mana sih kamu, Sayang?” Nasya mulai panik.
Baru setelah lima menit yang terasa seperti lima jam, Nasya mendengar suara kecil dari kamarnya. Ia buru-buru masuk dan mendapati pemandangan yang membuat darahnya hampir mendidih. Di sana, di depan cermin besar, Nino—si bungsu yang belum genap setahun—sedang asyik mengerjakan ‘proyek besar’. Tangannya yang mungil penuh dengan foundation mahal Nasya, bedak, lipstik, dan eye shadow berhamburan di sekitarnya. Nino tampak sangat fokus, menyapukan blush-on ke seluruh wajahnya, entah itu wajahnya sendiri atau cermin yang sedang dicorat-coret.
“ASTAGA, Faninooo!!!” Nasya menjerit.
Nino menoleh, senyum lebar menampilkan dua gigi kelinci kecilnya, seakan merasa bangga dengan karya seni yang baru ia ciptakan. “Mam-ma!” serunya ceria.
Nasya buru-buru mengangkat Nino, menggendongnya sambil berusaha menahan emosi. Ia menepuk pantat si kecil dengan lembut tapi penuh arti. “Nino! Aduh, ya Allah... kamu tahu nggak, ini make up mama mahal! Mahal! Huh...” Nasya mengomel sambil membersihkan tangan dan wajah Nino yang penuh coretan-coretan lipstik.
Nino anak bungsu Nasya, memang selalu penuh kejutan. Meleng dikit, rumah bisa hancur lebur. Dan Nino—atau lengkapnya Fanino Aditya—adalah anak dari mantan suami ketiganya, Laksana Adityawarman, aktor sinetron yang super sibuk. Kehidupan bersama Laksana penuh drama, bukan hanya di depan kamera, tapi juga di balik layar. Kalau dulu, Laksana lebih sibuk menghafal naskah ketimbang memperhatikan istrinya, sekarang Nasya yang harus ekstra waspada mengurus anak yang punya bakat menghancurkan seperti Nino.
Saat ia sedang membersihkan wajah Nino yang belepotan, tiba-tiba ponselnya berdering. Nasya mendengus, sudah firasatnya pasti ada yang ingin menambah keruwetan harinya. Di layar tertera nama yang sebenarnya ingin ia lupakan: Bima Aryasetya.
Ia terdiam sejenak. Sudah enam tahun sejak perceraiannya dengan Bima, namun mantan suami pertamanya itu masih kerap menghubunginya. Entah karena alasan kerja, anak, atau bahkan sekadar basa-basi yang selalu membuat Nasya ingin membanting ponselnya. Selama itu pula, Nasya berusaha keras untuk tak terlibat percakapan panjang dengan Bima. Terlalu banyak luka yang belum sembuh, terlalu banyak amarah yang tertahan.
Namun, demi Dylan, anak mereka, Nasya berusaha menahan egonya kali ini. Ia mengangkat telepon itu dengan sikap sinis. “Halo? Mau ngapain sih lo?”
Di ujung sana, terdengar suara Bima yang menarik napas panjang. “Nasya, kenapa sih kamu masih jutek terus sama aku?”
Nasya menyipitkan mata, seolah Bima bisa melihat ekspresi kesalnya. “Masih nanya lagi? Harusnya kamu yang paling tau, kenapa aku kayak gini!” suaranya meninggi, penuh dengan kemarahan yang selama ini terpendam. “Aku masih belum bisa maafin kamu. Gak akan bisa. Selama-lama-lama-lamanya!”
Bima di ujung telepon menghela napas. “Nasya, kamu nggak bisa terus-terusan bersikap sinis sama aku. Demi Dylan, setidaknya. Apa yang akan dia pikirkan kalau kita selalu begini?”Nasya hanya mengangkat bahu, meski Bima jelas tidak bisa melihat itu. “Terserah apa yang dia mau pikirkan. Yang penting aku nggak ada urusan lagi sama kamu.”“Aku hampir sampai rumahmu. Kita harus bicara. Serius.” Suara Bima terdengar tegas, dan itu malah membuat Nasya mendengus.“Kalau mau ketemu Dylan, silakan. Kamu juga boleh ajak dia pergi sebentar. Tapi setelah itu, antar dia pulang lagi. Selesai.”“Nggak, aku nggak cuma mau ketemu Dylan.” Bima menekankan suaranya. “Aku mau bicara sama kamu, Nasya.”“Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi!” Nasya mulai merasa darahnya naik. “Pokoknya, kalau kamu cuma mau basa-basi, aku nggak tertarik!”Bima tak menyerah. “Kalau aku memaksa gimana?”Nasya mengangkat alis. “Memaksa? Mau ngapain kamu?”Bima menghela napas panjang, lalu dengan nada santai tapi provokatif berk
Bima menyandarkan punggungnya pada kursi teras, matanya menatap Nasya yang kini duduk di sampingnya memangku Nino yang mulai tenang karena mengantuk. Ia tahu percakapan ini akan sulit, tapi tidak ada jalan lain.“Nggak gampang buat aku ngomong ini, Nasya,” Bima memulai, sedikit kaku. “Tapi aku mau kamu tau, sampai sekarang, aku nggak pernah nikah lagi. Nggak deket juga sama perempuan lain. Kayak ada sesuatu yang... ya, aku belum bisa lupain.”Nasya menatap Bima dengan mata setengah tertutup, ekspresi wajahnya jelas-jelas meremehkan. “Ya, terus?”Bima terdiam sesaat, menelan kekesalannya. “Aku cuma pengen bilang kalau… aku masih belum bisa lepas dari semuanya, dari kita. Dan, ya… aku lihat kamu juga, meski udah berkali-kali nikah lagi, nggak ada yang berhasil, kan?”Senyum sinis langsung tersungging di bibir Nasya. Ia menaruh Nino yang baru tertidur di stroller yang ada di sebelahnya, kemudian menatap Bima dengan pandangan penuh cemooh.“Bima, jangan geer deh. Kamu pikir kegagalan pern
Nasya baru saja turun dari ojek online di depan rumah. Meski keluarganya bukan dari golongan kaya raya, hidup mereka tak pernah benar-benar kekurangan. Harun, ayahnya, memiliki usaha rumah makan kecil yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Ibunya, Ranti, meskipun hanya ibu rumah tangga, selalu memastikan kebutuhan rumah tetap terurus dengan baik. Semua tampak baik-baik saja—hingga sore itu.Begitu kakinya melangkah masuk ke halaman, Nasya langsung disambut oleh pemandangan yang membuatnya tercekat. Tiga pria bertubuh besar, berpakaian serba hitam, sibuk mengangkut barang-barang dari dalam rumah ke truk yang parkir di depan pagar. Meja ruang tamu, televisi, bahkan kulkas yang selama ini menjadi andalan mereka, semua diangkut tanpa basa-basi.“Hei! Apa yang kalian lakukan?!” teriak Nasya panik, berlari mendekat. Namun, tak ada jawaban.Ayahnya, Harun, berdiri di dekat pintu dengan wajah tegang, tubuhnya mematung seolah tak mampu berbuat apa-apa. Ranti, ibunya, duduk terkulai di lantai
Harun terdiam. Jelas, ia kehabisan kata-kata. Sementara itu, Ranti mencoba meyakinkan lagi. “Nasya, keluarga Om Hilman itu baik. Mereka nggak bakal bikin kamu susah. Kalau kamu sama Bima, kamu nggak akan perlu khawatir soal makan, utang, atau bayar kontrakan lagi.”Nasya memutar bola matanya. “Iya, Ma, terus aku bakal dianggep apa? Menantu atau pembantu? Aku tahu persis tujuan Papa nyuruh aku nikah sama Bima. Supaya kita dapet bantuan dari keluarganya, kan? Tapi yang ada malah kita dihina sama mereka!”Ranti mendesah, mencoba tetap sabar. “Kamu lihat dari sisi baiknya dong.”“Sisi baiknya?” Nasya tertawa pahit lagi. “Sisi baiknya apa, Ma? Aku jadi istri Bima, terus tiap hari diomelin keluarganya karena mereka nganggep aku cuma pengemis? Enggak, terima kasih. Yang ada, aku malah makin menderita.”Harun akhirnya mencoba bicara lagi, meski suaranya terdengar sangat hati-hati. “Papa cuma pengen kamu nggak ikut susah, Nasya. Papa nggak tega lihat kamu harus pindah-pindah kontrakan, ngerasa
Pulang dari restoran, Nasya masih memendam rasa malu yang tak tertahankan. Begitu sampai di ruang tamu, ia langsung melepas tasnya dengan kasar ke sofa, lalu menghela napas panjang. Tatapannya tajam, tertuju ke kedua orang tuanya yang duduk tenang seolah tak terjadi apa-apa.“Aku bener-bener nggak ngerti!” Nasya meledak, tangannya terangkat seakan ingin menunjuk keduanya. “Bisa-bisanya Mama sama Papa maksa keluarga Om Hilman buat nikahin aku sama Bima. Aku malu setengah mati! Rasanya kayak barang obralan yang udah mau kadaluarsa, sampai harus segera dijual sebelum Mama sama Papa rugi!”Harun malah duduk bersandar dengan santai, mengangkat bahu ringan. “Lho, siapa juga yang maksa? Papa cuma negosiasi, kok.”“Negosiasi?! Pakai nyebut-nyebut utang budi yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan aku?!” Nasya mencibir sambil menggerakkan tangannya seolah mencoret-coret sesuatu di udara. “Papa ngomong seolah-olah aku ini paket bonus dari kebaikan Papa bertahun-tahun lalu. Sekalian aja Pa
Di ruang kerja Bima yang penuh dengan desain dan cetak biru, dia tengah membereskan beberapa dokumen terakhir sebelum bersiap pulang. Matanya menatap laptop dengan wajah lelah. Sebagai seorang arsitek, rutinitas seperti ini sudah jadi makanan sehari-harinya—mengurus klien, mengejar deadline proyek, dan merancang bangunan yang harus sempurna di setiap detailnya.Saat Bima baru saja menutup laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Mama muncul di layar. Dia menghela napas, lalu mengangkat telepon itu.“Halo, Ma?” suaranya terdengar santai.“Kamu masih di kantor?” suara Melati terdengar agak tajam. “Udah sore, Bima. Kamu jangan kebiasaan gila kerja, ya! Mau jadi workaholic selamanya?”Bima tersenyum tipis. “Ini udah mau pulang kok, Ma. Sebentar lagi.”“Cepetan!” Melati mendesak. “Mama punya kejutan buat kamu!”Kejutan? Bima langsung mengernyitkan dahi. “Kejutan apa, Ma?”Melati tertawa kecil, agak misterius. “Pokoknya kejutan yang bisa menyelamatkan hidup kamu. Biar kamu nggak dipaks
Bima menelan ludah, menatap Melati seolah-olah meminta ampun. “Ma, aku kayaknya gak cocok sama Mutiara.”Melati menghela napas panjang, tapi masih sempat tersenyum kecil. “Ya ampun, Bima. Kamu belum nyoba kenalan sama dia, kenapa udah bilang gak cocok? Hidup kamu tuh gak seimbang! Kerja, kerja, kerja mulu! Kamu mau nikah sama desain kamu?!”Bima menggeleng sambil tersenyum kecut, berusaha menahan diri agar tidak terlalu meledak di depan ibunya. “Ya, Ma... tapi kalau Mama mau jodohin aku, ya lihat-lihat dulu dong... gimana ya ngomongnya...” Bima menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Bukan tipenya aku, gitu.”Melati langsung melotot. “Hah? Kamu ini milih-milih banget, Bim. Mutiara tuh anak baik-baik, keluarga terpandang. Kamu cuma gak kenal dia aja, makanya belum ngerasa cocok.”Bima mengangkat alis, matanya berbinar dengan sedikit rasa kesal yang mulai naik ke permukaan. “Masalahnya, aku tuh nggak bisa... gimana ya... nggak bisa lihat dia kayak... eh, kayak... pokoknya gitu
Bima tertawa kecil, nyaris tak bisa menahan dirinya lagi. “Oh, harga diri. Gue lupa. Jadi harga diri kalian tersinggung sama tumpukan semen dan bata yang kebetulan dipake buat ruko?” Dia mengangkat tangan, menatap para preman dengan ekspresi sok paham, seakan menyerah dalam logika absurd yang ada di hadapannya. “Udah deh, Bro. Mending kalian langsung aja bilang—mau kalian apa?”Salah satu preman melangkah maju, mengangkat dagunya sambil menyeringai. “Kita cuma mau kompensasi kecil aja. Lima juta buat kita. Nggak, tunggu, kita ada berlima, jadi sepuluh juta lah. Itu baru adil.”“Kompensasi?” Bima mendongak dengan ekspresi tak percaya, lalu meledak dalam tawa sarkastis. “Sepuluh juta? Buat apaan? Buat kalian ngelaporin semen-semen itu ke polisi? Atau buat beli rokok biar bisa nongkrong lebih lama di sini?”Wajah para preman berubah merah padam, jelas marah karena diejek. Mereka saling bertukar pandang, lalu salah satu dari mereka, yang tampak sebagai pemimpin kelompok, merapat ke Bima d