Share

Ibu Empat Anak: Beda Bapak!
Ibu Empat Anak: Beda Bapak!
Author: Nikma

Bab 1. Rumahku, Medan Perangku!

Nasya keluar dari kamar mandi dengan napas lega, akhirnya ada sedikit waktu untuk dirinya sendiri, walau hanya sekejap. Namun, saat baru melangkah ke ruang tengah, ia langsung disambut dengan suara keributan yang membuat kepalanya berdenyut. Anak-anaknya—keempat anak yang berbeda ayah—berhamburan di segala penjuru ruangan. Dengan langkah tergesa, ia malah menginjak sesuatu yang keras. “Aduh!” Nasya melompat kecil, menatap mainan balok lego yang bercecer di lantai. Ia mengelus dadanya. “Ya ampun... sudah berapa kali mama bilang, mainan harus diberesin!” Tapi, siapa yang mau dengar?

Dylan, anak sulungnya yang baru berusia enam tahun, duduk anteng di sofa sambil memainkan tablet. Wajahnya serius, sama seriusnya dengan Bima Aryasetya, mantan suami pertamanya yang gila kerja. Bahkan ekspresi anak itu saat menatap layar membuat darah Nasya sedikit mendidih. Rasanya ingin mencubit pipinya yang tembam, tapi ditahan. Ini anak gue, anak sendiri harus disayang-sayang, gumamnya dalam hati. Apalagi, sejak perceraiannya dengan Bima, Dylan memang kurang mendapat perhatian dari ayahnya yang selalu sibuk.

Namun, suasana damai itu segera buyar ketika suara jeritan dua anak kembarnya, Chaka dan Chiki, meledak. Si kembar fraternal yang baru saja merayakan ulang tahun keempat mereka sedang sibuk berkelahi, saling jambak rambut. “Chaka! Chiki! Stop!” seru Nasya. Tapi keduanya seperti tak peduli, rambut Chiki sudah setengah tertarik oleh Chaka, sementara Chaka sendiri sedang menangis sambil memegang mainan yang direbut. Dua anak yang super aktif ini mewarisi sifat mantan suami kedua Nasya, Rendy Septian—si influencer dengan dua juta follower yang hidupnya tidak pernah lepas dari konten. Semua harus jadi materi untuk konten, bahkan sampai hal-hal paling pribadi di kehidupan mereka dulu. Itu membuat Nasya jengah hingga akhirnya memilih cerai.

“Mama baru ditinggal pipis sebentar, kok udah kayak pasar begini?” Nasya memijat keningnya, merasakan denyut sakit kepala mulai muncul. Chaka dan Chiki langsung berebutan mengadu.

“Mama, Chaka jambak rambut aku duluan!”

“Nggak, Chiki yang ambil mainan aku!”

Suara mereka bertabrakan, membuat Nasya semakin pusing. “Aduh, sudah-sudah! Diam dulu, ya!” Ia melirik Dylan, yang masih asik bermain tablet tanpa peduli adik-adiknya berantem seperti petinju cilik. “Dylan, kamu ngapain aja dari tadi? Kenapa nggak melerai adik-adikmu?”

Dylan hanya melirik sekilas dari layar. “Aku nggak berdaya, Ma. Yang ada nanti aku yang dikeroyok. Mending diem aja.”

Dengan santainya, Dylan kembali scroll-scroll tablet, benar-benar tak terpengaruh. Nasya hampir meledak. “Kamu ini, sama aja kayak papa kamu!”

Nasya menghela napas panjang, pikirannya terasa berkabut karena semua keributan itu. Baru ia ingin duduk sejenak untuk merapikan pikiran, tiba-tiba satu pertanyaan menyeruak. Nino! Mana si bungsu? Kok nggak kelihatan dari tadi?

Panik mulai menjalari tubuhnya. “Dylan, Nino mana?” tanyanya cepat.

Dylan yang seolah baru sadar bahwa satu makhluk mungil tidak ada di sekitarnya, mengangkat bahu. “Aku nggak tau, Ma.”

Nasya menahan napas. “Kamu gimana sih? Mama cuma titip sebentar buat jagain adik-adik, kenapa Nino bisa ilang?!”

Tanpa membuang waktu, Nasya mulai menyusuri setiap sudut rumah, perasaannya campur aduk antara marah dan panik. Mainan yang tersebar makin terasa seperti ranjau di bawah kakinya, sementara ia terus mengomel. “Aduh, kapan hidup mama ini bisa tenang, ya Allah...”

Nasya berjalan mondar-mandir di sekitar rumah, menyusuri setiap sudut ruangan dengan cemas. Di ruang tamu, tak ada tanda-tanda Nino. Di dapur, kosong. Bahkan di bawah meja makan yang biasanya jadi tempat persembunyian favoritnya, juga nihil. “Ya Allah... ke mana lagi ini anak?” keluhnya. Sejak punya empat anak dengan temperamen masing-masing, Nasya merasa dirinya seperti hidup di medan perang yang tak ada habisnya. Jika meleng sedikit saja, rumah ini bisa berubah jadi arena bencana.

Nasya terus mencari, memeriksa belakang sofa, kamar mandi, hingga lemari baju, berharap Nino sedang bermain petak umpet. Tapi hasilnya sama, tak ada tanda-tanda bocah sembilan bulan itu. “Faninoo... di mana sih kamu, Sayang?” Nasya mulai panik.

Baru setelah lima menit yang terasa seperti lima jam, Nasya mendengar suara kecil dari kamarnya. Ia buru-buru masuk dan mendapati pemandangan yang membuat darahnya hampir mendidih. Di sana, di depan cermin besar, Nino—si bungsu yang belum genap setahun—sedang asyik mengerjakan ‘proyek besar’. Tangannya yang mungil penuh dengan foundation mahal Nasya, bedak, lipstik, dan eye shadow berhamburan di sekitarnya. Nino tampak sangat fokus, menyapukan blush-on ke seluruh wajahnya, entah itu wajahnya sendiri atau cermin yang sedang dicorat-coret.

“ASTAGA, Faninooo!!!” Nasya menjerit.

Nino menoleh, senyum lebar menampilkan dua gigi kelinci kecilnya, seakan merasa bangga dengan karya seni yang baru ia ciptakan. “Mam-ma!” serunya ceria.

Nasya buru-buru mengangkat Nino, menggendongnya sambil berusaha menahan emosi. Ia menepuk pantat si kecil dengan lembut tapi penuh arti. “Nino! Aduh, ya Allah... kamu tahu nggak, ini make up mama mahal! Mahal! Huh...” Nasya mengomel sambil membersihkan tangan dan wajah Nino yang penuh coretan-coretan lipstik.

Nino anak bungsu Nasya, memang selalu penuh kejutan. Meleng dikit, rumah bisa hancur lebur. Dan Nino—atau lengkapnya Fanino Aditya—adalah anak dari mantan suami ketiganya, Laksana Adityawarman, aktor sinetron yang super sibuk. Kehidupan bersama Laksana penuh drama, bukan hanya di depan kamera, tapi juga di balik layar. Kalau dulu, Laksana lebih sibuk menghafal naskah ketimbang memperhatikan istrinya, sekarang Nasya yang harus ekstra waspada mengurus anak yang punya bakat menghancurkan seperti Nino.

Saat ia sedang membersihkan wajah Nino yang belepotan, tiba-tiba ponselnya berdering. Nasya mendengus, sudah firasatnya pasti ada yang ingin menambah keruwetan harinya. Di layar tertera nama yang sebenarnya ingin ia lupakan: Bima Aryasetya.

Ia terdiam sejenak. Sudah enam tahun sejak perceraiannya dengan Bima, namun mantan suami pertamanya itu masih kerap menghubunginya. Entah karena alasan kerja, anak, atau bahkan sekadar basa-basi yang selalu membuat Nasya ingin membanting ponselnya. Selama itu pula, Nasya berusaha keras untuk tak terlibat percakapan panjang dengan Bima. Terlalu banyak luka yang belum sembuh, terlalu banyak amarah yang tertahan.

Namun, demi Dylan, anak mereka, Nasya berusaha menahan egonya kali ini. Ia mengangkat telepon itu dengan sikap sinis. “Halo? Mau ngapain sih lo?”

Di ujung sana, terdengar suara Bima yang menarik napas panjang. “Nasya, kenapa sih kamu masih jutek terus sama aku?”

Nasya menyipitkan mata, seolah Bima bisa melihat ekspresi kesalnya. “Masih nanya lagi? Harusnya kamu yang paling tau, kenapa aku kayak gini!” suaranya meninggi, penuh dengan kemarahan yang selama ini terpendam. “Aku masih belum bisa maafin kamu. Gak akan bisa. Selama-lama-lama-lamanya!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status