Beranda / Romansa / Ibu Empat Anak: Beda Bapak! / Bab 4. Tujuh Tahun Lalu

Share

Bab 4. Tujuh Tahun Lalu

Penulis: Nikma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-15 13:43:31

Nasya baru saja turun dari ojek online di depan rumah. Meski keluarganya bukan dari golongan kaya raya, hidup mereka tak pernah benar-benar kekurangan. Harun, ayahnya, memiliki usaha rumah makan kecil yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Ibunya, Ranti, meskipun hanya ibu rumah tangga, selalu memastikan kebutuhan rumah tetap terurus dengan baik. Semua tampak baik-baik saja—hingga sore itu.

Begitu kakinya melangkah masuk ke halaman, Nasya langsung disambut oleh pemandangan yang membuatnya tercekat. Tiga pria bertubuh besar, berpakaian serba hitam, sibuk mengangkut barang-barang dari dalam rumah ke truk yang parkir di depan pagar. Meja ruang tamu, televisi, bahkan kulkas yang selama ini menjadi andalan mereka, semua diangkut tanpa basa-basi.

“Hei! Apa yang kalian lakukan?!” teriak Nasya panik, berlari mendekat. Namun, tak ada jawaban.

Ayahnya, Harun, berdiri di dekat pintu dengan wajah tegang, tubuhnya mematung seolah tak mampu berbuat apa-apa. Ranti, ibunya, duduk terkulai di lantai ruang tamu, memegang erat gelang emas yang tampak seperti satu-satunya barang berharga yang tersisa. Tangisnya pecah, tak mampu lagi menahan perasaan campur aduk.

“Ma, Pa, ada apa ini?” tanya Nasya dengan suara gemetar, meski dalam hatinya ia sudah tahu bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.

Harun dengan wajah pucat dan mata yang memerah, mencoba menahan salah satu pria berbadan besar yang sedang mengangkut motor. “Tolong, jangan bawa semuanya. Kami masih butuh ini untuk hidup!”

Namun pria itu hanya menepis tangan Harun dengan kasar, lalu melanjutkan pekerjaannya seolah tak ada yang menghalangi. Satu per satu, barang-barang yang mengisi rumah mereka hilang dalam hitungan menit.

“Ma, Pa?” Nasya mendekat, kini air matanya mulai menggenang. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

Ranti mencoba bangkit, tapi tubuhnya tampak terlalu lemah. “Rumah makan kita...,” suaranya serak, nyaris tidak terdengar. “Ada masalah besar, Sayang. Utang menumpuk, usaha kita nggak bisa menutupi semuanya. Papa kamu terpaksa pinjam uang ke uang ke bank, dengan rumah ini sebagai jaminannya.”

Nasya tertegun, seluruh tubuhnya seolah membeku. “Pinjam uang? Buat apa?”

“Buat renovasi rumah makan, buat perbaikan alat-alat dapur,” jawab Harun dengan suara yang berat. “Papa pikir dengan renovasi dan pembaruan, kita bisa menarik lebih banyak pelanggan, tapi... usaha itu malah membawa lebih banyak utang.”

Mata Nasya beralih ke barang-barang yang terus dibawa keluar—lemari kayu jati, setrika, bahkan rice cooker. Tak ada yang tersisa, kecuali sekelumit perasaan hampa yang mulai menyelimuti ruang di dalam hatinya.

“Papa mencoba bayar... tapi utangnya terlalu besar,” Harun melanjutkan, suaranya gemetar. “Dan sekarang... mereka mengambil semuanya.”

Para debt collector terus bekerja, membawa perabotan dan barang elektronik yang sudah tak bisa lagi diselamatkan. Nasya hanya bisa berdiri di sana, terpaku, sementara hidup yang dulu ia kenal mulai hilang di depan matanya.

Nasya masih berdiri di tempat, kakinya terasa lemas. Semua yang terjadi di depan matanya seolah terlalu cepat untuk ia cerna. Renovasi rumah makan? Itu pasti bukan alasan sebenarnya.

“Renovasi? Hanya karena renovasi, rumah kita sampai harus disita?” tanyanya Nasya, tak percaya. 

“Kamu bilang aja yang sebenernya, Mas. Nasya juga bukan anak kecil yang bisa kamu bohongin!” bentak Ranti dengan nada tinggi.

Nasya terkejut melihat ledakan emosi ibunya. Selama ini, Ranti selalu terlihat sabar, jarang marah—tapi sore ini berbeda. Ada kemarahan yang terpendam lama di balik wajahnya yang selalu lembut.

“Apa maksud Mama?” tanya Nasya, suaranya pelan, takut mendengar jawabannya.

Ranti menatap Nasya dengan tatapan yang hancur, air matanya jatuh lagi. “Papa kamu terlibat dalam investasi bodong!”

Nasya merasa seolah tanah di bawahnya bergeser. “Investasi bodong? Maksud Mama apa?”

Harun menundukkan kepalanya, tidak sanggup menatap kedua perempuan yang ia cintai. “Papa... Papa pikir itu kesempatan besar. Teman Papa bilang kalau kita bisa dapat untung besar hanya dengan investasi sedikit uang. Tapi ternyata... semuanya bohong. Mereka kabur bawa uang kita.” Suaranya terdengar putus asa.

Nasya terhenyak. “Kenapa Papa tidak cerita? Kenapa harus menutupi ini dari kami?”

Harun mengusap wajahnya, seolah mencoba menghapus rasa malu yang menghantui dirinya. “Papa... Papa takut kalian akan marah. Papa cuma ingin memperbaiki keadaan, memperbaiki hidup kita, tapi malah memperburuk semuanya.”

“Jadi ini semua karena keputusan bodoh Papa?” Nasya hampir berteriak, rasa marah, sedih, dan tidak percaya berkecamuk di dalam dadanya. “Kita kehilangan semuanya karena Papa percaya pada penipuan itu?!”

Harun hanya bisa mengangguk lemah, merasa terpojok oleh kebenaran yang selama ini ia coba sembunyikan. “Maafkan Papa... Papa benar-benar minta maaf.”

“Terus, kita mau tinggal di mana sekarang?” tanya Nasya dengan nada yang penuh kebingungan. “Kita bahkan nggak punya rumah lagi!”

Harun mencoba menenangkan Nasya, meski suaranya terdengar goyah. “Papa akan cari kontrakan, kita bisa tinggal sementara di sana. Tolong sabar dulu, Sayang. Papa akan cari cara untuk memperbaiki ini.”

Nasya terdiam, memandang pria yang dulu ia anggap sebagai pilar kekuatan keluarganya, kini tampak lemah dan hancur. Di kepalanya, ia hanya bisa bertanya, “Bagaimana semua ini bisa terjadi?”

***

Rumah kontrakan kecil itu terasa sempit dan pengap. Dindingnya terbuat dari bata yang sebagian masih terlihat kasar, dan lantainya dingin tanpa keramik. Hanya ada satu kamar, yang nantinya harus mereka bagi bertiga. Harun menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik senyumnya yang dipaksakan.

“Kita bisa tinggal di sini sementara waktu, paling nggak dua bulan ke depan,” ujar Harun dengan suara pelan.

Nasya menatap sekitar, bingung. Dua bulan? Lalu setelah itu bagaimana? Mereka tak punya rencana pasti. Rumah makan keluarga pun sudah tidak jelas keadaannya, utangnya masih menumpuk, dan sekarang mereka bahkan tidak punya perabot untuk bertahan hidup layak. Semuanya serba tidak pasti.

“Terus... dua bulan lagi gimana, Pa?” tanya Nasya, mencoba menahan suaranya agar tidak bergetar.

Harun terdiam sejenak, tampak ragu untuk menjawab. Kemudian, dengan berat hati, ia berkata, “Nasya. Kamu... gimana kalau kamu nikah sama Bima, anaknya Om Hilman?”

Mata Nasya langsung melebar, kaget bukan main. “Hah? Nikah sama siapa?”

“Bima, anaknya Om Hilman,” ulang Harun, sambil menghindari tatapan putrinya. “Om Hilman itu kan teman lama Papa. Orangnya baik, keluarganya berada. Bima juga cowok yang baik, kayaknya…”

Nasya terdiam sejenak, menatap kedua orang tuanya dengan tatapan tak percaya. “Papa... ini serius? Aku disuruh nikah sama Bima? Ini sama aja Papa jual aku!”

Ranti yang duduk di kursi reyot di sebelah, buru-buru menyela, “Nasya, jangan mikir kayak gitu. Papa kamu cuma khawatir, kita nggak mau kamu hidup susah kayak gini terus.”

Nasya menatap ibunya dengan tatapan tajam. “Iya, tapi, Ma... Ini jelas-jelas kayak ngejual anak sendiri! Apa bedanya? Papa putus asa banget sampe harus ngejual aku juga?”

Ranti mencoba tersenyum meski canggung, “Bukan gitu, Sayang. Kamu kan tahu kondisi kita sekarang. Kalau kamu nikah sama Bima, kamu nggak bakal menderita kayak kita. Kamu nggak perlu pindah-pindah kontrakan atau mikirin bayar utang lagi.”

Nasya mengangkat alis dan tertawa pendek, tapi bukan tawa yang menyenangkan. “Iya, enak buat kalian! Aku nikah, terus kalian tinggal duduk manis, ngarepin uang dari keluarga Om Hilman, kan?”

Harun tampak canggung dan menggaruk kepala. “Bukan begitu, Nak.”

Nasya menatap ayahnya tajam, “Oh, nggak gitu? Papa serius mikir mereka bakal terima kita tanpa ada harga yang harus dibayar? Papa pikir dengan aku nikah sama Bima, kita bisa hidup tenang gitu aja?”

Bab terkait

  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 5. Terpaksa Menerima Perjodohan

    Harun terdiam. Jelas, ia kehabisan kata-kata. Sementara itu, Ranti mencoba meyakinkan lagi. “Nasya, keluarga Om Hilman itu baik. Mereka nggak bakal bikin kamu susah. Kalau kamu sama Bima, kamu nggak akan perlu khawatir soal makan, utang, atau bayar kontrakan lagi.”Nasya memutar bola matanya. “Iya, Ma, terus aku bakal dianggep apa? Menantu atau pembantu? Aku tahu persis tujuan Papa nyuruh aku nikah sama Bima. Supaya kita dapet bantuan dari keluarganya, kan? Tapi yang ada malah kita dihina sama mereka!”Ranti mendesah, mencoba tetap sabar. “Kamu lihat dari sisi baiknya dong.”“Sisi baiknya?” Nasya tertawa pahit lagi. “Sisi baiknya apa, Ma? Aku jadi istri Bima, terus tiap hari diomelin keluarganya karena mereka nganggep aku cuma pengemis? Enggak, terima kasih. Yang ada, aku malah makin menderita.”Harun akhirnya mencoba bicara lagi, meski suaranya terdengar sangat hati-hati. “Papa cuma pengen kamu nggak ikut susah, Nasya. Papa nggak tega lihat kamu harus pindah-pindah kontrakan, ngerasa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-15
  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 6. Nasya: Barang Lelang di Meja Perjodohan

    Pulang dari restoran, Nasya masih memendam rasa malu yang tak tertahankan. Begitu sampai di ruang tamu, ia langsung melepas tasnya dengan kasar ke sofa, lalu menghela napas panjang. Tatapannya tajam, tertuju ke kedua orang tuanya yang duduk tenang seolah tak terjadi apa-apa.“Aku bener-bener nggak ngerti!” Nasya meledak, tangannya terangkat seakan ingin menunjuk keduanya. “Bisa-bisanya Mama sama Papa maksa keluarga Om Hilman buat nikahin aku sama Bima. Aku malu setengah mati! Rasanya kayak barang obralan yang udah mau kadaluarsa, sampai harus segera dijual sebelum Mama sama Papa rugi!”Harun malah duduk bersandar dengan santai, mengangkat bahu ringan. “Lho, siapa juga yang maksa? Papa cuma negosiasi, kok.”“Negosiasi?! Pakai nyebut-nyebut utang budi yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan aku?!” Nasya mencibir sambil menggerakkan tangannya seolah mencoret-coret sesuatu di udara. “Papa ngomong seolah-olah aku ini paket bonus dari kebaikan Papa bertahun-tahun lalu. Sekalian aja Pa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 7. Jalan Keluar dari Perjodohan Tak Diinginkan

    Di ruang kerja Bima yang penuh dengan desain dan cetak biru, dia tengah membereskan beberapa dokumen terakhir sebelum bersiap pulang. Matanya menatap laptop dengan wajah lelah. Sebagai seorang arsitek, rutinitas seperti ini sudah jadi makanan sehari-harinya—mengurus klien, mengejar deadline proyek, dan merancang bangunan yang harus sempurna di setiap detailnya.Saat Bima baru saja menutup laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Mama muncul di layar. Dia menghela napas, lalu mengangkat telepon itu.“Halo, Ma?” suaranya terdengar santai.“Kamu masih di kantor?” suara Melati terdengar agak tajam. “Udah sore, Bima. Kamu jangan kebiasaan gila kerja, ya! Mau jadi workaholic selamanya?”Bima tersenyum tipis. “Ini udah mau pulang kok, Ma. Sebentar lagi.”“Cepetan!” Melati mendesak. “Mama punya kejutan buat kamu!”Kejutan? Bima langsung mengernyitkan dahi. “Kejutan apa, Ma?”Melati tertawa kecil, agak misterius. “Pokoknya kejutan yang bisa menyelamatkan hidup kamu. Biar kamu nggak dipaks

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 8. Masalah di Lokasi Proyek

    Bima menelan ludah, menatap Melati seolah-olah meminta ampun. “Ma, aku kayaknya gak cocok sama Mutiara.”Melati menghela napas panjang, tapi masih sempat tersenyum kecil. “Ya ampun, Bima. Kamu belum nyoba kenalan sama dia, kenapa udah bilang gak cocok? Hidup kamu tuh gak seimbang! Kerja, kerja, kerja mulu! Kamu mau nikah sama desain kamu?!”Bima menggeleng sambil tersenyum kecut, berusaha menahan diri agar tidak terlalu meledak di depan ibunya. “Ya, Ma... tapi kalau Mama mau jodohin aku, ya lihat-lihat dulu dong... gimana ya ngomongnya...” Bima menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Bukan tipenya aku, gitu.”Melati langsung melotot. “Hah? Kamu ini milih-milih banget, Bim. Mutiara tuh anak baik-baik, keluarga terpandang. Kamu cuma gak kenal dia aja, makanya belum ngerasa cocok.”Bima mengangkat alis, matanya berbinar dengan sedikit rasa kesal yang mulai naik ke permukaan. “Masalahnya, aku tuh nggak bisa... gimana ya... nggak bisa lihat dia kayak... eh, kayak... pokoknya gitu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 9. Preman, Danau, dan CPR Dadakan

    Bima tertawa kecil, nyaris tak bisa menahan dirinya lagi. “Oh, harga diri. Gue lupa. Jadi harga diri kalian tersinggung sama tumpukan semen dan bata yang kebetulan dipake buat ruko?” Dia mengangkat tangan, menatap para preman dengan ekspresi sok paham, seakan menyerah dalam logika absurd yang ada di hadapannya. “Udah deh, Bro. Mending kalian langsung aja bilang—mau kalian apa?”Salah satu preman melangkah maju, mengangkat dagunya sambil menyeringai. “Kita cuma mau kompensasi kecil aja. Lima juta buat kita. Nggak, tunggu, kita ada berlima, jadi sepuluh juta lah. Itu baru adil.”“Kompensasi?” Bima mendongak dengan ekspresi tak percaya, lalu meledak dalam tawa sarkastis. “Sepuluh juta? Buat apaan? Buat kalian ngelaporin semen-semen itu ke polisi? Atau buat beli rokok biar bisa nongkrong lebih lama di sini?”Wajah para preman berubah merah padam, jelas marah karena diejek. Mereka saling bertukar pandang, lalu salah satu dari mereka, yang tampak sebagai pemimpin kelompok, merapat ke Bima d

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 10. Berangkas Hidup untuk Masa Depan

    Nasya memapah Bima yang masih lemas menuju ruang IGD rumah sakit. Langkah mereka agak terseret, dan pakaian mereka masih setengah basah, membuat lantai berkilat-kilat setiap kali sepatu mereka menapak. Di depan pintu IGD, mereka segera disambut oleh seorang perawat muda yang sigap.“Ada apa, Mbak?” tanya perawat dengan nada serius, matanya melirik Bima yang tampak lemas.Nasya menarik napas dalam, masih sedikit terengah. “Dia… habis tenggelam di danau,” ujarnya singkat, sambil melirik ke arah Bima yang masih mencoba berdiri tegak meski terlihat semakin payah.Perawat langsung memberi isyarat kepada rekannya. “Ayo, bawa pasien ke dalam,” ujarnya cepat. Mereka dengan sigap mengarahkan Bima ke ranjang pemeriksaan terdekat, sementara Nasya mengikuti di sampingnya.“Mas, bisa berbaring dulu ya,” kata dokter yang baru masuk dengan langkah cepat. Ia mengenakan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leher. Tangannya bergerak cekatan mempersiapkan peralatan untuk pemeriksaan. “Kejadiannya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 11. Nasya, Calon Istriku

    Mutiara dan Melati berlari memasuki pintu depan rumah sakit. Nafas mereka berkejaran, seolah-olah habis maraton sepanjang jalan. Melati dengan raut wajah tegang, langsung mengarahkan langkah ke meja admin resepsionis.“Maaf, Mas, pasien atas nama Bima Aryasetya di mana sekarang?” tanya Melati dengan napas yang tersengal.Petugas resepsionis, seorang pria berusia tiga puluhan dengan rambut rapi, menatapnya sejenak sebelum mengetik cepat di komputernya. “Bima Aryasetya ya, Bu? Oh, beliau sudah dipindah ke ruang observasi, masih menunggu hasil pemeriksaan.”Mutiara langsung menggumam, “Ruang observasi di mana, Mas?”“Di lantai dua, Bu. Silakan ke lift sebelah kiri, lalu keluar belok kanan, ruang observasi ada di ujung koridor.”Mendengar penjelasan itu, Melati dan Mutiara tanpa basa-basi lagi langsung bergegas. Sepatu mereka berderit di atas lantai keramik yang licin. Melati terus menggigit bibirnya, keringat dingin mengucur di pelipis, bukan hanya karena cemas pada Bima, tapi juga ada t

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-19
  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 12. Pria Ganteng Selalu Datang Bersama Masalah

    Melati keluar dari kamar mandi dengan langkah enteng, senyum lega menghiasi wajahnya. Ia mengusap perutnya dengan penuh kepuasan. “Akhirnya,” gumamnya. “Semua urusan hidup ini tuntas juga.” Sambil merapikan gaun, Melati merasa seperti manusia baru—beban dunia seakan terlepas bersama segala yang ia tinggalkan di kamar mandi tadi.Namun, baru saja di tikungan, tiba-tiba... Bruak! Ia menabrak seseorang. Melati tersentak, hampir terjengkang. Di depannya berdiri Mutiara, yang terlihat lebih kacau daripada biasanya. Rambutnya berantakan, dan air mata membasahi wajahnya, membuat maskara tebalnya luntur menjadi jejak hitam di pipinya.“Mutiara, sayang, kamu kenapa?” Melati langsung bertanya dengan khawatir.Mutiara mengusap wajahnya yang semakin berantakan. “Tante, kenapa jodohin aku sama anak tante yang udah punya calon istri!? Tante sengaja, ya, mau mempermalukan aku?!” seru Mutiara di antara isakan.Melati terperanjat, tapi cepat-cepat berusaha menenangkan. “Sayang, kamu kok ngomong gitu?

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-19

Bab terbaru

  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 34. Brownies Spesial

    Nasya menarik napas panjang. “Oh, saya masak lumayan banyak, kok, Ma. Di wajan masih ada. Kalau Mama mau, saya bisa siapkan,” jawabnya, berusaha tetap ramah.Namun, Melati mengibaskan tangannya seolah menolak sesuatu yang menjijikkan. “Ah, nggak usah. Nasi goreng sisa? Mama nggak pernah sudi makan yang begitu.”Nasya mencoba menelan kesal yang mulai mengumpul di tenggorokannya. Ia mengingatkan diri sendiri, jangan marah-marah, demi bayinya. Ia melatih senyum sabar, meski dalam hati ingin balas sindir. Namun, belum sempat berkata apa-apa, suara bel pintu terdengar.“Bukain pintu sana. Masa hamil muda aja nggak bisa buka pintu buat tamu? Nggak bikin kecapekan dan ‘mengganggu’ kehamilan kamu kan?” sindir Melati dengan nada sinis.Nasya menahan diri agar tidak melontarkan sindiran balasan. “Iya, Ma. Saya bukain.”Nasya segera berjalan ke arah pintu. Setiap langkah di pagi itu seolah jadi ajang uji kesabaran. Bagi Nasya, Melati sudah seperti ahli sindiran yang sangat mumpuni.Ketika Nasya

  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 33. Ratapan Ibu Hamil

    Bab 33. Ratapan Ibu HamilNasya menghela napas panjang, meratapi kehamilan pertamanya yang dijalani lebih banyak dalam kesendirian. Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang entah kenapa makin terasa hambar. Bima selalu pulang larut, nyaris hanya meninggalkan jejak sepatu dan jas kerjanya. Di saat ia merasa makin butuh perhatian, yang ada justru hanya sofa, beberapa bantal yang sudah pasrah kusut, dan kamar yang terasa dingin. Sesekali ia merasa seperti ‘jablay’—jarang dibelai—seolah-olah kehamilan ini hanya urusannya seorang diri.Suatu sore, setelah seharian dihantam rasa mual yang tak kunjung reda, Nasya bangkit tertatih-tatih menuju dapur untuk mengambil segelas air. Namun, begitu sampai di sana, perutnya kembali bergejolak, dan ia pun buru-buru ke kamar mandi. Di depan wastafel, tubuhnya berguncang-guncang saat ia muntah, dan yang ia temukan hanya bayangan wajahnya sendiri di cermin—lelah, berantakan, tapi tetap berusaha tegar. Duh, kasihan amat aku ini, ya… pikirnya, mengusap waja

  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 32. Kabar Buruk Setelah Kabar Baik

    Mereka pun mengobrol panjang lebar, sampai waktu terus bergulir tanpa terasa. Harun dan Ranti tampak antusias berbagi rencana masa depan untuk cucu pertama mereka, seakan anak Nasya dan Bima ini bakal jadi penerus kerajaan. Mereka menyarankan hal-hal aneh dengan penuh keyakinan, dari saran nama bayi yang panjang dan penuh makna hingga nasehat perawatan bayi tradisional yang terdengar kuno.Di sela obrolan, Harun menepuk bahu Bima, seakan enggan melepaskan menantunya itu. “Bima, ini udah malam. Tapi kalau mau nginap dulu di sini, nggak apa-apa, lho. Malah Papa senang banget kalau kalian di sini lebih lama.”Ranti menambahkan dengan nada manis, “Iya, lagian, nanti kalau sudah ada cucu, bakal makin seru! Rasanya pengen bisa bantu jagain cucu.”Nasya mengerling, lalu berkata sambil menahan tawa, “Mama sama Papa, beneran nih, sok berat pisahnya? Bukannya dulu Mama Papa malah sengaja paksa aku nikah biar aku cepet angkat kaki dari rumah?”Ranti tertawa kikuk, sedikit tersipu. “Ah, kamu ini.

  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 31. Menyampaikan Kabar Gembira

    Nasya benar-benar menikmati masa-masa ini, memanfaatkan kehamilannya sebagai ‘alasan resmi’ untuk santai seharian. Ia duduk di sofa, menikmati acara TV favorit sambil mengunyah camilan, sesekali tertawa sendiri saat melihat adegan lucu. Di sisi lain, Melati yang merasa kesal tak henti-hentinya mencoba mencari cara untuk ‘mengganggu.’“Nasya,” panggil Melati dengan nada yang sengaja dibuat sedikit keras, “Kayaknya karpet di ruang tamu udah kotor, perlu diganti. Atau kamu bisa coba nyapu-nyapu ringan aja?”Nasya menatap karpet sebentar, lalu mengelus perutnya sambil berakting lelah. “Aduh, ma… Saya lemes banget, rasanya gak kuat nyapu-nyapu dulu nih. Kata dokter, ibu hamil harus banyak istirahat, jangan capek-capek.”Melati mendesah panjang, tetapi Nasya tetap tak bergeming, malah asyik kembali menonton TV. Tak lama, Melati mencoba taktik baru dengan menyalakan vacuum cleaner di dekatnya, membuat suara berisik untuk mengusik ketenangan Nasya.“Waduh, maaf ya kalau agak berisik, Nasya. S

  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 30. Ibu Ratu Tak Ingin Dikalahkan

    Setelah perbincangan di ruang tengah yang lebih mirip sidang pengadilan, Nasya dan Bima melangkah masuk ke kamar dengan langkah berat. Nasya merebahkan tubuhnya ke tempat tidur, menarik napas panjang. Wajahnya tampak sayu, sementara Bima hanya berdiri di ambang pintu, menatap Nasya dengan ekspresi penuh rasa bersalah.“Nasya,” ucap Bima pelan, mencoba mencairkan suasana.Nasya menghela napas panjang. “Bima, aku nggak tahu sampai kapan bisa kayak gini. Jujur… tinggal di rumah ini, sama Mama, rasanya seperti… nggak punya ruang bernapas sendiri. Kamu ngerti nggak sih?” Suaranya gemetar, dipenuhi perasaan kecewa yang lama tertahan.Bima mendekat, duduk di sisi ranjang. “Sayang, aku paham. Tapi coba lihat dari sisi Mama. Dia itu cuma ingin kita di dekatnya. Lagipula, dia memang keras, tapi hatinya baik, Nasya.”Nasya langsung memutar matanya, seakan sudah lelah dengan pembelaan Bima yang terlalu sering didengarnya. “Ibu Ratu… selalu baik di matamu, ya, Bima. Padahal kamu nggak tahu rasanya

  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 29. Nasya Hamil

    Setelah mereka tiba di rumah sakit, Bima dan Nasya berjalan beriringan menuju lobi. Bima tampak bersemangat, wajahnya berseri-seri, sementara Nasya mencoba menyamakan langkah sambil menahan senyum malu-malu melihat suaminya yang sudah terbawa suasana.“Sayang, aku yakin banget kamu hamil, deh,” ujar Bima, katanya setengah berbisik, tapi entah kenapa suaranya tetap kedengaran se-lobi rumah sakit. “Soalnya, kita kan nggak pernah bolos, ya, dari hari pertama nikah. Bahkan, yang pas aku baru pulang kerja capek banget itu, kita tetap ‘latihan’ juga, kan?”Nasya langsung menyikut Bima, mencoba menghentikan obrolan heboh suaminya. “Kenapa malah bahas itu sih?”Tapi Bima malah tambah semangat. “Lho, iya kan? Masa kamu lupa sama ‘latihan intensif’ kita yang sampai tiga sesi sehari? Ini sih pasti hasilnya manjur banget, Sayang. Aku aja udah ngerasa vibes calon ayah nih, serius!”Nasya langsung menyikut Bima, “Bima, pelan-pelan ngomongnya. Ini rumah sakit, banyak orang denger.” Matanya melirik s

  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 28. Gejala Hamil Muda

    Setelah Tantri pulang, Melati menutup pintu dengan sedikit hentakan, kemudian berjalan ke dapur dengan ekspresi penuh penyesalan. Di sana, Nasya sudah berdiri menunggu dengan piring berisi masakan sederhana yang ia buat sendiri, tampak bersemangat namun juga sedikit cemas.Melati berhenti sejenak di ambang dapur, memandangi Nasya dengan tatapan penuh perhitungan, seperti menilai barang obral yang setengah rusak di pojok rak. Tatapannya tak lepas dari wajah Nasya, seolah-olah ia masih berharap suatu keajaiban bisa mengubah menantunya ini menjadi sosok ‘sempurna’ seperti Tantri.Mata Melati memicing sejenak, dan tanpa berkata apa pun, ia mendekat. Ekspresinya penuh penyesalan tersirat, bagai seseorang yang baru saja menukar permata asli dengan imitasi yang buram.“Ma, aku udah selesai masak,” ucap Nasya sambil tersenyum ramah, berusaha mencairkan suasana. “Aku lihat resep di YouTube. Nggak jelek-jelek banget kan hasilnya? Mama cobain, ya?”Melati menatap piring di tangan Nasya dengan ta

  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 27. Saingan Datang

    Suara Melati terdengar nyaring di ruang tamu ketika Nasya baru saja hendak menuju kamarnya. “Nasya! Kamu coba masak, deh. Masa istri nggak bisa masak buat suami? Itu kewajiban kamu sekarang.” Melati menatap Nasya dengan tatapan yang tak memberi ruang untuk menolak.Nasya tersenyum canggung, “Iya, Ma... cuma memang aku belum terlalu bisa masak sih, takutnya…”Belum selesai Nasya bicara, Melati langsung memotong dengan nada ketus, “Kamu sudah jadi istri, ya harus bisa masak! Bima tuh nikahin kamu bukan buat kamu cuma ada alasan terus-terusan. Langsung aja ke dapur, belajar!”Dengan perasaan campur aduk, Nasya melangkah ke dapur sambil mendengus dalam hati. Sesampainya di dapur, ia terdiam, memandang kosong ke sekelilingnya. Ia benar-benar bingung harus mulai dari mana.“Masak apa, ya?” gumamnya sambil membuka kulkas, berharap ada ‘inspirasinya’ di sana. Di dalam kulkas, ia menemukan seikat kangkung yang sudah mulai layu dan sebungkus daging ayam beku di freezer. Ia menatap bahan-bahan i

  • Ibu Empat Anak: Beda Bapak!   Bab 26. OTW Menuju Menantu Rasa Pembantu

    Setelah perjalanan panjang dan bulan madu yang akhirnya usai, Nasya dan Bima tiba di rumah mereka di Jakarta. Begitu mereka melangkah masuk, kelelahan terlihat jelas di wajah mereka. Koper-koper diletakkan di ruang tamu, dan mereka menghela napas lega, senang akhirnya bisa kembali ke tempat yang nyaman.Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, Melati mulai mengeluh sambil memijat-mijat pinggangnya, memasang wajah penuh penderitaan khas ibu-ibu yang baru saja melakukan aktivitas fisik berlebihan.“Lutut mama kayak mau copot, tulang belakang serasa mau patah! Apa mama terlalu tua untuk ini?” sambat Melati dengan ekspresi dramatis.Bima menahan tawa melihat ibunya yang selalu dramatis. “Udah, Ma, istirahat aja dulu, ya. Kaki mama masih utuh, kan?”Melati mendengus, pura-pura marah. “Utuh, sih, tapi rasanya remuk, Bima! Coba bayangin kalau mama gak istirahat, besok-besok kamu harus gotong mama ke rumah sakit! Padahal, mama cuma mau jalan-jalan bulan madu kedua, eh malah kayak ikut

DMCA.com Protection Status