Nasya baru saja turun dari ojek online di depan rumah. Meski keluarganya bukan dari golongan kaya raya, hidup mereka tak pernah benar-benar kekurangan. Harun, ayahnya, memiliki usaha rumah makan kecil yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Ibunya, Ranti, meskipun hanya ibu rumah tangga, selalu memastikan kebutuhan rumah tetap terurus dengan baik. Semua tampak baik-baik saja—hingga sore itu.
Begitu kakinya melangkah masuk ke halaman, Nasya langsung disambut oleh pemandangan yang membuatnya tercekat. Tiga pria bertubuh besar, berpakaian serba hitam, sibuk mengangkut barang-barang dari dalam rumah ke truk yang parkir di depan pagar. Meja ruang tamu, televisi, bahkan kulkas yang selama ini menjadi andalan mereka, semua diangkut tanpa basa-basi.
“Hei! Apa yang kalian lakukan?!” teriak Nasya panik, berlari mendekat. Namun, tak ada jawaban.
Ayahnya, Harun, berdiri di dekat pintu dengan wajah tegang, tubuhnya mematung seolah tak mampu berbuat apa-apa. Ranti, ibunya, duduk terkulai di lantai ruang tamu, memegang erat gelang emas yang tampak seperti satu-satunya barang berharga yang tersisa. Tangisnya pecah, tak mampu lagi menahan perasaan campur aduk.
“Ma, Pa, ada apa ini?” tanya Nasya dengan suara gemetar, meski dalam hatinya ia sudah tahu bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.
Harun dengan wajah pucat dan mata yang memerah, mencoba menahan salah satu pria berbadan besar yang sedang mengangkut motor. “Tolong, jangan bawa semuanya. Kami masih butuh ini untuk hidup!”
Namun pria itu hanya menepis tangan Harun dengan kasar, lalu melanjutkan pekerjaannya seolah tak ada yang menghalangi. Satu per satu, barang-barang yang mengisi rumah mereka hilang dalam hitungan menit.
“Ma, Pa?” Nasya mendekat, kini air matanya mulai menggenang. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ranti mencoba bangkit, tapi tubuhnya tampak terlalu lemah. “Rumah makan kita...,” suaranya serak, nyaris tidak terdengar. “Ada masalah besar, Sayang. Utang menumpuk, usaha kita nggak bisa menutupi semuanya. Papa kamu terpaksa pinjam uang ke uang ke bank, dengan rumah ini sebagai jaminannya.”
Nasya tertegun, seluruh tubuhnya seolah membeku. “Pinjam uang? Buat apa?”
“Buat renovasi rumah makan, buat perbaikan alat-alat dapur,” jawab Harun dengan suara yang berat. “Papa pikir dengan renovasi dan pembaruan, kita bisa menarik lebih banyak pelanggan, tapi... usaha itu malah membawa lebih banyak utang.”
Mata Nasya beralih ke barang-barang yang terus dibawa keluar—lemari kayu jati, setrika, bahkan rice cooker. Tak ada yang tersisa, kecuali sekelumit perasaan hampa yang mulai menyelimuti ruang di dalam hatinya.
“Papa mencoba bayar... tapi utangnya terlalu besar,” Harun melanjutkan, suaranya gemetar. “Dan sekarang... mereka mengambil semuanya.”
Para debt collector terus bekerja, membawa perabotan dan barang elektronik yang sudah tak bisa lagi diselamatkan. Nasya hanya bisa berdiri di sana, terpaku, sementara hidup yang dulu ia kenal mulai hilang di depan matanya.
Nasya masih berdiri di tempat, kakinya terasa lemas. Semua yang terjadi di depan matanya seolah terlalu cepat untuk ia cerna. Renovasi rumah makan? Itu pasti bukan alasan sebenarnya.
“Renovasi? Hanya karena renovasi, rumah kita sampai harus disita?” tanyanya Nasya, tak percaya.
“Kamu bilang aja yang sebenernya, Mas. Nasya juga bukan anak kecil yang bisa kamu bohongin!” bentak Ranti dengan nada tinggi.
Nasya terkejut melihat ledakan emosi ibunya. Selama ini, Ranti selalu terlihat sabar, jarang marah—tapi sore ini berbeda. Ada kemarahan yang terpendam lama di balik wajahnya yang selalu lembut.
“Apa maksud Mama?” tanya Nasya, suaranya pelan, takut mendengar jawabannya.
Ranti menatap Nasya dengan tatapan yang hancur, air matanya jatuh lagi. “Papa kamu terlibat dalam investasi bodong!”
Nasya merasa seolah tanah di bawahnya bergeser. “Investasi bodong? Maksud Mama apa?”
Harun menundukkan kepalanya, tidak sanggup menatap kedua perempuan yang ia cintai. “Papa... Papa pikir itu kesempatan besar. Teman Papa bilang kalau kita bisa dapat untung besar hanya dengan investasi sedikit uang. Tapi ternyata... semuanya bohong. Mereka kabur bawa uang kita.” Suaranya terdengar putus asa.
Nasya terhenyak. “Kenapa Papa tidak cerita? Kenapa harus menutupi ini dari kami?”
Harun mengusap wajahnya, seolah mencoba menghapus rasa malu yang menghantui dirinya. “Papa... Papa takut kalian akan marah. Papa cuma ingin memperbaiki keadaan, memperbaiki hidup kita, tapi malah memperburuk semuanya.”
“Jadi ini semua karena keputusan bodoh Papa?” Nasya hampir berteriak, rasa marah, sedih, dan tidak percaya berkecamuk di dalam dadanya. “Kita kehilangan semuanya karena Papa percaya pada penipuan itu?!”
Harun hanya bisa mengangguk lemah, merasa terpojok oleh kebenaran yang selama ini ia coba sembunyikan. “Maafkan Papa... Papa benar-benar minta maaf.”
“Terus, kita mau tinggal di mana sekarang?” tanya Nasya dengan nada yang penuh kebingungan. “Kita bahkan nggak punya rumah lagi!”
Harun mencoba menenangkan Nasya, meski suaranya terdengar goyah. “Papa akan cari kontrakan, kita bisa tinggal sementara di sana. Tolong sabar dulu, Sayang. Papa akan cari cara untuk memperbaiki ini.”
Nasya terdiam, memandang pria yang dulu ia anggap sebagai pilar kekuatan keluarganya, kini tampak lemah dan hancur. Di kepalanya, ia hanya bisa bertanya, “Bagaimana semua ini bisa terjadi?”
***
Rumah kontrakan kecil itu terasa sempit dan pengap. Dindingnya terbuat dari bata yang sebagian masih terlihat kasar, dan lantainya dingin tanpa keramik. Hanya ada satu kamar, yang nantinya harus mereka bagi bertiga. Harun menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik senyumnya yang dipaksakan.
“Kita bisa tinggal di sini sementara waktu, paling nggak dua bulan ke depan,” ujar Harun dengan suara pelan.
Nasya menatap sekitar, bingung. Dua bulan? Lalu setelah itu bagaimana? Mereka tak punya rencana pasti. Rumah makan keluarga pun sudah tidak jelas keadaannya, utangnya masih menumpuk, dan sekarang mereka bahkan tidak punya perabot untuk bertahan hidup layak. Semuanya serba tidak pasti.
“Terus... dua bulan lagi gimana, Pa?” tanya Nasya, mencoba menahan suaranya agar tidak bergetar.
Harun terdiam sejenak, tampak ragu untuk menjawab. Kemudian, dengan berat hati, ia berkata, “Nasya. Kamu... gimana kalau kamu nikah sama Bima, anaknya Om Hilman?”
Mata Nasya langsung melebar, kaget bukan main. “Hah? Nikah sama siapa?”
“Bima, anaknya Om Hilman,” ulang Harun, sambil menghindari tatapan putrinya. “Om Hilman itu kan teman lama Papa. Orangnya baik, keluarganya berada. Bima juga cowok yang baik, kayaknya…”
Nasya terdiam sejenak, menatap kedua orang tuanya dengan tatapan tak percaya. “Papa... ini serius? Aku disuruh nikah sama Bima? Ini sama aja Papa jual aku!”
Ranti yang duduk di kursi reyot di sebelah, buru-buru menyela, “Nasya, jangan mikir kayak gitu. Papa kamu cuma khawatir, kita nggak mau kamu hidup susah kayak gini terus.”
Nasya menatap ibunya dengan tatapan tajam. “Iya, tapi, Ma... Ini jelas-jelas kayak ngejual anak sendiri! Apa bedanya? Papa putus asa banget sampe harus ngejual aku juga?”
Ranti mencoba tersenyum meski canggung, “Bukan gitu, Sayang. Kamu kan tahu kondisi kita sekarang. Kalau kamu nikah sama Bima, kamu nggak bakal menderita kayak kita. Kamu nggak perlu pindah-pindah kontrakan atau mikirin bayar utang lagi.”
Nasya mengangkat alis dan tertawa pendek, tapi bukan tawa yang menyenangkan. “Iya, enak buat kalian! Aku nikah, terus kalian tinggal duduk manis, ngarepin uang dari keluarga Om Hilman, kan?”
Harun tampak canggung dan menggaruk kepala. “Bukan begitu, Nak.”
Nasya menatap ayahnya tajam, “Oh, nggak gitu? Papa serius mikir mereka bakal terima kita tanpa ada harga yang harus dibayar? Papa pikir dengan aku nikah sama Bima, kita bisa hidup tenang gitu aja?”
Harun terdiam. Jelas, ia kehabisan kata-kata. Sementara itu, Ranti mencoba meyakinkan lagi. “Nasya, keluarga Om Hilman itu baik. Mereka nggak bakal bikin kamu susah. Kalau kamu sama Bima, kamu nggak akan perlu khawatir soal makan, utang, atau bayar kontrakan lagi.”Nasya memutar bola matanya. “Iya, Ma, terus aku bakal dianggep apa? Menantu atau pembantu? Aku tahu persis tujuan Papa nyuruh aku nikah sama Bima. Supaya kita dapet bantuan dari keluarganya, kan? Tapi yang ada malah kita dihina sama mereka!”Ranti mendesah, mencoba tetap sabar. “Kamu lihat dari sisi baiknya dong.”“Sisi baiknya?” Nasya tertawa pahit lagi. “Sisi baiknya apa, Ma? Aku jadi istri Bima, terus tiap hari diomelin keluarganya karena mereka nganggep aku cuma pengemis? Enggak, terima kasih. Yang ada, aku malah makin menderita.”Harun akhirnya mencoba bicara lagi, meski suaranya terdengar sangat hati-hati. “Papa cuma pengen kamu nggak ikut susah, Nasya. Papa nggak tega lihat kamu harus pindah-pindah kontrakan, ngerasa
Pulang dari restoran, Nasya masih memendam rasa malu yang tak tertahankan. Begitu sampai di ruang tamu, ia langsung melepas tasnya dengan kasar ke sofa, lalu menghela napas panjang. Tatapannya tajam, tertuju ke kedua orang tuanya yang duduk tenang seolah tak terjadi apa-apa.“Aku bener-bener nggak ngerti!” Nasya meledak, tangannya terangkat seakan ingin menunjuk keduanya. “Bisa-bisanya Mama sama Papa maksa keluarga Om Hilman buat nikahin aku sama Bima. Aku malu setengah mati! Rasanya kayak barang obralan yang udah mau kadaluarsa, sampai harus segera dijual sebelum Mama sama Papa rugi!”Harun malah duduk bersandar dengan santai, mengangkat bahu ringan. “Lho, siapa juga yang maksa? Papa cuma negosiasi, kok.”“Negosiasi?! Pakai nyebut-nyebut utang budi yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan aku?!” Nasya mencibir sambil menggerakkan tangannya seolah mencoret-coret sesuatu di udara. “Papa ngomong seolah-olah aku ini paket bonus dari kebaikan Papa bertahun-tahun lalu. Sekalian aja Pa
Di ruang kerja Bima yang penuh dengan desain dan cetak biru, dia tengah membereskan beberapa dokumen terakhir sebelum bersiap pulang. Matanya menatap laptop dengan wajah lelah. Sebagai seorang arsitek, rutinitas seperti ini sudah jadi makanan sehari-harinya—mengurus klien, mengejar deadline proyek, dan merancang bangunan yang harus sempurna di setiap detailnya.Saat Bima baru saja menutup laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Mama muncul di layar. Dia menghela napas, lalu mengangkat telepon itu.“Halo, Ma?” suaranya terdengar santai.“Kamu masih di kantor?” suara Melati terdengar agak tajam. “Udah sore, Bima. Kamu jangan kebiasaan gila kerja, ya! Mau jadi workaholic selamanya?”Bima tersenyum tipis. “Ini udah mau pulang kok, Ma. Sebentar lagi.”“Cepetan!” Melati mendesak. “Mama punya kejutan buat kamu!”Kejutan? Bima langsung mengernyitkan dahi. “Kejutan apa, Ma?”Melati tertawa kecil, agak misterius. “Pokoknya kejutan yang bisa menyelamatkan hidup kamu. Biar kamu nggak dipaks
Bima menelan ludah, menatap Melati seolah-olah meminta ampun. “Ma, aku kayaknya gak cocok sama Mutiara.”Melati menghela napas panjang, tapi masih sempat tersenyum kecil. “Ya ampun, Bima. Kamu belum nyoba kenalan sama dia, kenapa udah bilang gak cocok? Hidup kamu tuh gak seimbang! Kerja, kerja, kerja mulu! Kamu mau nikah sama desain kamu?!”Bima menggeleng sambil tersenyum kecut, berusaha menahan diri agar tidak terlalu meledak di depan ibunya. “Ya, Ma... tapi kalau Mama mau jodohin aku, ya lihat-lihat dulu dong... gimana ya ngomongnya...” Bima menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Bukan tipenya aku, gitu.”Melati langsung melotot. “Hah? Kamu ini milih-milih banget, Bim. Mutiara tuh anak baik-baik, keluarga terpandang. Kamu cuma gak kenal dia aja, makanya belum ngerasa cocok.”Bima mengangkat alis, matanya berbinar dengan sedikit rasa kesal yang mulai naik ke permukaan. “Masalahnya, aku tuh nggak bisa... gimana ya... nggak bisa lihat dia kayak... eh, kayak... pokoknya gitu
Bima tertawa kecil, nyaris tak bisa menahan dirinya lagi. “Oh, harga diri. Gue lupa. Jadi harga diri kalian tersinggung sama tumpukan semen dan bata yang kebetulan dipake buat ruko?” Dia mengangkat tangan, menatap para preman dengan ekspresi sok paham, seakan menyerah dalam logika absurd yang ada di hadapannya. “Udah deh, Bro. Mending kalian langsung aja bilang—mau kalian apa?”Salah satu preman melangkah maju, mengangkat dagunya sambil menyeringai. “Kita cuma mau kompensasi kecil aja. Lima juta buat kita. Nggak, tunggu, kita ada berlima, jadi sepuluh juta lah. Itu baru adil.”“Kompensasi?” Bima mendongak dengan ekspresi tak percaya, lalu meledak dalam tawa sarkastis. “Sepuluh juta? Buat apaan? Buat kalian ngelaporin semen-semen itu ke polisi? Atau buat beli rokok biar bisa nongkrong lebih lama di sini?”Wajah para preman berubah merah padam, jelas marah karena diejek. Mereka saling bertukar pandang, lalu salah satu dari mereka, yang tampak sebagai pemimpin kelompok, merapat ke Bima d
Nasya memapah Bima yang masih lemas menuju ruang IGD rumah sakit. Langkah mereka agak terseret, dan pakaian mereka masih setengah basah, membuat lantai berkilat-kilat setiap kali sepatu mereka menapak. Di depan pintu IGD, mereka segera disambut oleh seorang perawat muda yang sigap.“Ada apa, Mbak?” tanya perawat dengan nada serius, matanya melirik Bima yang tampak lemas.Nasya menarik napas dalam, masih sedikit terengah. “Dia… habis tenggelam di danau,” ujarnya singkat, sambil melirik ke arah Bima yang masih mencoba berdiri tegak meski terlihat semakin payah.Perawat langsung memberi isyarat kepada rekannya. “Ayo, bawa pasien ke dalam,” ujarnya cepat. Mereka dengan sigap mengarahkan Bima ke ranjang pemeriksaan terdekat, sementara Nasya mengikuti di sampingnya.“Mas, bisa berbaring dulu ya,” kata dokter yang baru masuk dengan langkah cepat. Ia mengenakan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leher. Tangannya bergerak cekatan mempersiapkan peralatan untuk pemeriksaan. “Kejadiannya
Mutiara dan Melati berlari memasuki pintu depan rumah sakit. Nafas mereka berkejaran, seolah-olah habis maraton sepanjang jalan. Melati dengan raut wajah tegang, langsung mengarahkan langkah ke meja admin resepsionis.“Maaf, Mas, pasien atas nama Bima Aryasetya di mana sekarang?” tanya Melati dengan napas yang tersengal.Petugas resepsionis, seorang pria berusia tiga puluhan dengan rambut rapi, menatapnya sejenak sebelum mengetik cepat di komputernya. “Bima Aryasetya ya, Bu? Oh, beliau sudah dipindah ke ruang observasi, masih menunggu hasil pemeriksaan.”Mutiara langsung menggumam, “Ruang observasi di mana, Mas?”“Di lantai dua, Bu. Silakan ke lift sebelah kiri, lalu keluar belok kanan, ruang observasi ada di ujung koridor.”Mendengar penjelasan itu, Melati dan Mutiara tanpa basa-basi lagi langsung bergegas. Sepatu mereka berderit di atas lantai keramik yang licin. Melati terus menggigit bibirnya, keringat dingin mengucur di pelipis, bukan hanya karena cemas pada Bima, tapi juga ada t
Melati keluar dari kamar mandi dengan langkah enteng, senyum lega menghiasi wajahnya. Ia mengusap perutnya dengan penuh kepuasan. “Akhirnya,” gumamnya. “Semua urusan hidup ini tuntas juga.” Sambil merapikan gaun, Melati merasa seperti manusia baru—beban dunia seakan terlepas bersama segala yang ia tinggalkan di kamar mandi tadi.Namun, baru saja di tikungan, tiba-tiba... Bruak! Ia menabrak seseorang. Melati tersentak, hampir terjengkang. Di depannya berdiri Mutiara, yang terlihat lebih kacau daripada biasanya. Rambutnya berantakan, dan air mata membasahi wajahnya, membuat maskara tebalnya luntur menjadi jejak hitam di pipinya.“Mutiara, sayang, kamu kenapa?” Melati langsung bertanya dengan khawatir.Mutiara mengusap wajahnya yang semakin berantakan. “Tante, kenapa jodohin aku sama anak tante yang udah punya calon istri!? Tante sengaja, ya, mau mempermalukan aku?!” seru Mutiara di antara isakan.Melati terperanjat, tapi cepat-cepat berusaha menenangkan. “Sayang, kamu kok ngomong gitu?