Share

Bab 4. Tujuh Tahun Lalu

Nasya baru saja turun dari ojek online di depan rumah. Meski keluarganya bukan dari golongan kaya raya, hidup mereka tak pernah benar-benar kekurangan. Harun, ayahnya, memiliki usaha rumah makan kecil yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Ibunya, Ranti, meskipun hanya ibu rumah tangga, selalu memastikan kebutuhan rumah tetap terurus dengan baik. Semua tampak baik-baik saja—hingga sore itu.

Begitu kakinya melangkah masuk ke halaman, Nasya langsung disambut oleh pemandangan yang membuatnya tercekat. Tiga pria bertubuh besar, berpakaian serba hitam, sibuk mengangkut barang-barang dari dalam rumah ke truk yang parkir di depan pagar. Meja ruang tamu, televisi, bahkan kulkas yang selama ini menjadi andalan mereka, semua diangkut tanpa basa-basi.

“Hei! Apa yang kalian lakukan?!” teriak Nasya panik, berlari mendekat. Namun, tak ada jawaban.

Ayahnya, Harun, berdiri di dekat pintu dengan wajah tegang, tubuhnya mematung seolah tak mampu berbuat apa-apa. Ranti, ibunya, duduk terkulai di lantai ruang tamu, memegang erat gelang emas yang tampak seperti satu-satunya barang berharga yang tersisa. Tangisnya pecah, tak mampu lagi menahan perasaan campur aduk.

“Ma, Pa, ada apa ini?” tanya Nasya dengan suara gemetar, meski dalam hatinya ia sudah tahu bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.

Harun dengan wajah pucat dan mata yang memerah, mencoba menahan salah satu pria berbadan besar yang sedang mengangkut motor. “Tolong, jangan bawa semuanya. Kami masih butuh ini untuk hidup!”

Namun pria itu hanya menepis tangan Harun dengan kasar, lalu melanjutkan pekerjaannya seolah tak ada yang menghalangi. Satu per satu, barang-barang yang mengisi rumah mereka hilang dalam hitungan menit.

“Ma, Pa?” Nasya mendekat, kini air matanya mulai menggenang. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

Ranti mencoba bangkit, tapi tubuhnya tampak terlalu lemah. “Rumah makan kita...,” suaranya serak, nyaris tidak terdengar. “Ada masalah besar, Sayang. Utang menumpuk, usaha kita nggak bisa menutupi semuanya. Papa kamu terpaksa pinjam uang ke uang ke bank, dengan rumah ini sebagai jaminannya.”

Nasya tertegun, seluruh tubuhnya seolah membeku. “Pinjam uang? Buat apa?”

“Buat renovasi rumah makan, buat perbaikan alat-alat dapur,” jawab Harun dengan suara yang berat. “Papa pikir dengan renovasi dan pembaruan, kita bisa menarik lebih banyak pelanggan, tapi... usaha itu malah membawa lebih banyak utang.”

Mata Nasya beralih ke barang-barang yang terus dibawa keluar—lemari kayu jati, setrika, bahkan rice cooker. Tak ada yang tersisa, kecuali sekelumit perasaan hampa yang mulai menyelimuti ruang di dalam hatinya.

“Papa mencoba bayar... tapi utangnya terlalu besar,” Harun melanjutkan, suaranya gemetar. “Dan sekarang... mereka mengambil semuanya.”

Para debt collector terus bekerja, membawa perabotan dan barang elektronik yang sudah tak bisa lagi diselamatkan. Nasya hanya bisa berdiri di sana, terpaku, sementara hidup yang dulu ia kenal mulai hilang di depan matanya.

Nasya masih berdiri di tempat, kakinya terasa lemas. Semua yang terjadi di depan matanya seolah terlalu cepat untuk ia cerna. Renovasi rumah makan? Itu pasti bukan alasan sebenarnya.

“Renovasi? Hanya karena renovasi, rumah kita sampai harus disita?” tanyanya Nasya, tak percaya. 

“Kamu bilang aja yang sebenernya, Mas. Nasya juga bukan anak kecil yang bisa kamu bohongin!” bentak Ranti dengan nada tinggi.

Nasya terkejut melihat ledakan emosi ibunya. Selama ini, Ranti selalu terlihat sabar, jarang marah—tapi sore ini berbeda. Ada kemarahan yang terpendam lama di balik wajahnya yang selalu lembut.

“Apa maksud Mama?” tanya Nasya, suaranya pelan, takut mendengar jawabannya.

Ranti menatap Nasya dengan tatapan yang hancur, air matanya jatuh lagi. “Papa kamu terlibat dalam investasi bodong!”

Nasya merasa seolah tanah di bawahnya bergeser. “Investasi bodong? Maksud Mama apa?”

Harun menundukkan kepalanya, tidak sanggup menatap kedua perempuan yang ia cintai. “Papa... Papa pikir itu kesempatan besar. Teman Papa bilang kalau kita bisa dapat untung besar hanya dengan investasi sedikit uang. Tapi ternyata... semuanya bohong. Mereka kabur bawa uang kita.” Suaranya terdengar putus asa.

Nasya terhenyak. “Kenapa Papa tidak cerita? Kenapa harus menutupi ini dari kami?”

Harun mengusap wajahnya, seolah mencoba menghapus rasa malu yang menghantui dirinya. “Papa... Papa takut kalian akan marah. Papa cuma ingin memperbaiki keadaan, memperbaiki hidup kita, tapi malah memperburuk semuanya.”

“Jadi ini semua karena keputusan bodoh Papa?” Nasya hampir berteriak, rasa marah, sedih, dan tidak percaya berkecamuk di dalam dadanya. “Kita kehilangan semuanya karena Papa percaya pada penipuan itu?!”

Harun hanya bisa mengangguk lemah, merasa terpojok oleh kebenaran yang selama ini ia coba sembunyikan. “Maafkan Papa... Papa benar-benar minta maaf.”

“Terus, kita mau tinggal di mana sekarang?” tanya Nasya dengan nada yang penuh kebingungan. “Kita bahkan nggak punya rumah lagi!”

Harun mencoba menenangkan Nasya, meski suaranya terdengar goyah. “Papa akan cari kontrakan, kita bisa tinggal sementara di sana. Tolong sabar dulu, Sayang. Papa akan cari cara untuk memperbaiki ini.”

Nasya terdiam, memandang pria yang dulu ia anggap sebagai pilar kekuatan keluarganya, kini tampak lemah dan hancur. Di kepalanya, ia hanya bisa bertanya, “Bagaimana semua ini bisa terjadi?”

***

Rumah kontrakan kecil itu terasa sempit dan pengap. Dindingnya terbuat dari bata yang sebagian masih terlihat kasar, dan lantainya dingin tanpa keramik. Hanya ada satu kamar, yang nantinya harus mereka bagi bertiga. Harun menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik senyumnya yang dipaksakan.

“Kita bisa tinggal di sini sementara waktu, paling nggak dua bulan ke depan,” ujar Harun dengan suara pelan.

Nasya menatap sekitar, bingung. Dua bulan? Lalu setelah itu bagaimana? Mereka tak punya rencana pasti. Rumah makan keluarga pun sudah tidak jelas keadaannya, utangnya masih menumpuk, dan sekarang mereka bahkan tidak punya perabot untuk bertahan hidup layak. Semuanya serba tidak pasti.

“Terus... dua bulan lagi gimana, Pa?” tanya Nasya, mencoba menahan suaranya agar tidak bergetar.

Harun terdiam sejenak, tampak ragu untuk menjawab. Kemudian, dengan berat hati, ia berkata, “Nasya. Kamu... gimana kalau kamu nikah sama Bima, anaknya Om Hilman?”

Mata Nasya langsung melebar, kaget bukan main. “Hah? Nikah sama siapa?”

“Bima, anaknya Om Hilman,” ulang Harun, sambil menghindari tatapan putrinya. “Om Hilman itu kan teman lama Papa. Orangnya baik, keluarganya berada. Bima juga cowok yang baik, kayaknya…”

Nasya terdiam sejenak, menatap kedua orang tuanya dengan tatapan tak percaya. “Papa... ini serius? Aku disuruh nikah sama Bima? Ini sama aja Papa jual aku!”

Ranti yang duduk di kursi reyot di sebelah, buru-buru menyela, “Nasya, jangan mikir kayak gitu. Papa kamu cuma khawatir, kita nggak mau kamu hidup susah kayak gini terus.”

Nasya menatap ibunya dengan tatapan tajam. “Iya, tapi, Ma... Ini jelas-jelas kayak ngejual anak sendiri! Apa bedanya? Papa putus asa banget sampe harus ngejual aku juga?”

Ranti mencoba tersenyum meski canggung, “Bukan gitu, Sayang. Kamu kan tahu kondisi kita sekarang. Kalau kamu nikah sama Bima, kamu nggak bakal menderita kayak kita. Kamu nggak perlu pindah-pindah kontrakan atau mikirin bayar utang lagi.”

Nasya mengangkat alis dan tertawa pendek, tapi bukan tawa yang menyenangkan. “Iya, enak buat kalian! Aku nikah, terus kalian tinggal duduk manis, ngarepin uang dari keluarga Om Hilman, kan?”

Harun tampak canggung dan menggaruk kepala. “Bukan begitu, Nak.”

Nasya menatap ayahnya tajam, “Oh, nggak gitu? Papa serius mikir mereka bakal terima kita tanpa ada harga yang harus dibayar? Papa pikir dengan aku nikah sama Bima, kita bisa hidup tenang gitu aja?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status