Bima menyandarkan punggungnya pada kursi teras, matanya menatap Nasya yang kini duduk di sampingnya memangku Nino yang mulai tenang karena mengantuk. Ia tahu percakapan ini akan sulit, tapi tidak ada jalan lain.
“Nggak gampang buat aku ngomong ini, Nasya,” Bima memulai, sedikit kaku. “Tapi aku mau kamu tau, sampai sekarang, aku nggak pernah nikah lagi. Nggak deket juga sama perempuan lain. Kayak ada sesuatu yang... ya, aku belum bisa lupain.”
Nasya menatap Bima dengan mata setengah tertutup, ekspresi wajahnya jelas-jelas meremehkan. “Ya, terus?”
Bima terdiam sesaat, menelan kekesalannya. “Aku cuma pengen bilang kalau… aku masih belum bisa lepas dari semuanya, dari kita. Dan, ya… aku lihat kamu juga, meski udah berkali-kali nikah lagi, nggak ada yang berhasil, kan?”
Senyum sinis langsung tersungging di bibir Nasya. Ia menaruh Nino yang baru tertidur di stroller yang ada di sebelahnya, kemudian menatap Bima dengan pandangan penuh cemooh.
“Bima, jangan geer deh. Kamu pikir kegagalan pernikahan aku setelah kamu itu karena aku nggak bisa lupain kamu?” Nasya mendengus, lalu meraih tisu basah di meja, membersihkan bekas bedak yang masih menempel di pipi Nino. “Kegagalan aku setelah kamu, itu justru karena aku mencoba lari dari kesalahan terbesar hidupku. Ya, kamu.”
Bima tersentak, wajahnya sedikit memerah. Tapi ia mencoba menenangkan diri, meski perutnya terasa melilit mendengar jawaban Nasya. “Nasya, dengar dulu...”
“Nggak usah sok mendramatisir, Bima,” potong Nasya cepat. “Apa yang kamu mau sebenernya? Pengen kasih tahu kalau kamu gagal move on? Aku harus peduli, gitu?”
Bima menggeleng pelan, mencoba meredakan emosi. “Aku cuma mau kita pikirin ulang, Nasya. Mungkin kita masih punya kesempatan buat memperbaiki semuanya. Buat Dylan juga.”
“Kesempatan?” Nasya tertawa, tapi bukan tawa bahagia. “Kesempatan buat apa? Buat ngulangin kesalahan yang sama?”
“Bukan begitu maksudku...” Bima mulai panik, suaranya terdengar tegang. “Aku tahu aku banyak salah dulu, tapi aku sudah belajar dari itu, Nasya. Aku janji, aku akan menebus semua kesalahanku di masa lalu. Aku mau memperbaiki semuanya.”
Nasya mendengus, seolah tak percaya. “Memperbaiki semuanya? Kamu paham apa yang kamu barusan bilang? Kamu pikir aku ini apa, Bima? Barang rusak yang bisa kamu perbaiki kapan aja kalau kamu lagi senggang? Aku nggak butuh ‘awal lagi’ dari kamu.”
Bima mencoba bertahan. “Aku nggak pernah anggap kamu seperti itu, Nasya. Aku cuma… aku mau kita coba lagi. Demi Dylan.”
Nasya tertawa kecil, sarkas. “Demi Dylan? Kamu serius?” Tatapannya tajam menelanjangi ketulusan Bima. “Kamu mau bawa-bawa nama Dylan? Kapan terakhir kali kamu datang jenguk dia tanpa embel-embel kerjaan atau alasan? Dylan butuh ayah, Bima. Ayah yang ada buat dia setiap waktu. Dan itu jelas bukan kamu.”
Bima tampak terpukul, tapi dia berusaha tetap tenang. “Aku tahu aku pernah gagal. Tapi aku mau memperbaiki diri. Aku ingin lebih ada buat Dylan… dan untuk kita.”
Mata Nasya semakin menyipit, bibirnya menyunggingkan senyum pahit penuh luka. “Kamu terlambat, Bima. Kamu dulu lebih peduli sama laptop kamu daripada keluarga kita. Lebih nurut sama ibumu, meskipun jelas-jelas dia salah. Tiap kali ada masalah, aku yang selalu disalahkan. Kamu tahu, aku pernah bilang apa ke diriku sendiri?” Ia berhenti sejenak, tatapannya menatap lurus ke arah Bima, kali ini lebih tajam, dipenuhi kemarahan yang selama ini terpendam. “Aku bilang, kamu harusnya nikah sama laptop kamu itu. Sama email-email dan kerjaan yang kamu cintai lebih dari semuanya.”
Bima menelan ludah, ekspresinya semakin cemas. Dia tahu Nasya marah, tapi belum sepenuhnya paham seberapa dalam luka itu. “Nasya... aku tahu aku banyak salah. Tapi sekarang aku sadar. Aku nggak bisa hilangin semuanya, tapi kita bisa mulai lagi, setidaknya buat Dylan.”
Nasya mendengus sinis, menggeleng pelan. "Mulai lagi? Buat Dylan? Kamu pikir semua ini cuma soal kamu yang nggak pernah pulang tepat waktu? Kamu benar-benar nggak ngerti, ya?" Suaranya mulai bergetar, matanya berkaca-kaca meski dia berusaha keras menahan tangis. “Kamu ingat waktu Ibu aku sakit? Aku hamil besar waktu itu. Aku cuma minta satu hal dari kamu, Bima. Satu hal aja—antar aku ke rumah sakit. Tapi kamu nggak bisa, karena sibuk! Aku pergi sendiri, naik ojek, dengan perut sebesar ini, dan begitu sampai... dia udah nggak ada.”
Bima terdiam, wajahnya semakin pucat mendengar cerita itu, meskipun ia sudah tahu betul apa yang terjadi. Tapi kali ini, Nasya menceritakannya dengan kemarahan yang lebih dari sekadar keluhan lama. Ada luka yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.
Nasya terisak, lalu menoleh dengan tatapan penuh kebencian. "Kamu tahu... Ibu aku, waktu sebelum meninggal, terus manggil-manggil nama aku. Tapi aku nggak sempat. Aku nggak ada di sana... karena kamu! Aku nggak akan pernah lupa itu, Bima. Kamu ambil satu-satunya kesempatan aku buat ada di samping Ibu waktu dia pergi. Kamu bukan cuma nggak hadir buat aku, kamu juga nggak hadir buat dia!”
Bima meremas tangannya, menunduk penuh rasa bersalah. “Aku... aku minta maaf, Nasya. Aku tahu aku nggak bisa balikin waktu. Aku tahu aku salah, dan aku siap nerima semua hukuman kamu. Apa pun, asal kamu bisa maafin aku. Tolong, kasih aku kesempatan... aku ingin menebus semuanya.”
Nasya menatapnya, air mata mengalir deras di pipinya. "Kamu pikir dengan permintaan maaf semuanya selesai? Kamu pikir dengan kata-kata itu semua luka hilang begitu saja? Nggak, Bima. Itu nggak cukup. Luka ini nggak akan pernah hilang."
Nasya menatap Bima dalam-dalam, tapi kali ini bukan ada cinta atau nostalgia di sana. Hanya rasa kecewa yang begitu mendalam. “Aku sudah selesai, Bima. Aku selesai dengan kamu, dengan masa lalu kita. Kalau kamu mau ketemu Dylan, silakan. Tapi kalau kamu mau bicara tentang kita, maaf. Nggak ada lagi yang bisa dibahas.”
Dia berdiri, meraih stroller Nino, lalu berbalik menuju pintu rumah. “Satu hal yang harus kamu pahami, Bima. Dunia ini terus bergerak, tapi kamu… kamu tetap di tempat yang sama. Terjebak dengan janji-janji kosong.”
Bima ingin mengejar, tapi Nasya melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan tegas. Suara pintu itu seolah menegaskan bahwa harapan Bima untuk memperbaiki segalanya sudah terkubur dalam-dalam.
***
Nasya mendorong stroller Nino pelan. Tangannya gemetar halus saat ia mendekat ke box bayi di sudut ruangan. Pandangannya nanar, kosong, namun di balik kehampaan itu, ada gelombang rasa sakit yang tiba-tiba. Seolah semua luka lama kembali terbuka, terasa begitu nyata dan menyiksa.
Ia angkat tubuh mungil Nino dengan hati-hati, lalu membaringkannya di box bayi. Napas Nino yang tenang dan lembut membuat hati Nasya sedikit lebih tenang, tapi hanya sesaat. Ada desakan emosi yang tak bisa ia tahan.
“Harusnya mama mandiin kamu, tapi kalau kamu bobo begini... mama jadi nggak tega,” bisiknya pelan, setengah mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Tubuhnya terasa lemah. Tanpa disadari, air mata yang sejak tadi ia coba tahan akhirnya jatuh juga, menetes ke wajah Nino yang terlelap. Nasya tersentak, buru-buru mengusap air matanya yang berceceran di pipi bayi itu. Ia menahan napas, tapi tangisnya semakin sulit terbendung. Dada Nasya terasa sesak. Sakit itu, luka itu—semuanya masih begitu nyata.
Ia teringat, tujuh tahun lalu. Seperti angin yang tiba-tiba membawa memori buruk, hari itu melintas di benaknya dengan kejam. Hari di mana semuanya berubah. Hari di mana hidupnya yang awalnya baik-baiksaja, berubah menjadi kegelapan yang tak pernah ia bayangkan. Nasya menutup matanya sejenak, membiarkan ingatannya menyeretnya kembali ke masa lalu…
Nasya baru saja turun dari ojek online di depan rumah. Meski keluarganya bukan dari golongan kaya raya, hidup mereka tak pernah benar-benar kekurangan. Harun, ayahnya, memiliki usaha rumah makan kecil yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Ibunya, Ranti, meskipun hanya ibu rumah tangga, selalu memastikan kebutuhan rumah tetap terurus dengan baik. Semua tampak baik-baik saja—hingga sore itu.Begitu kakinya melangkah masuk ke halaman, Nasya langsung disambut oleh pemandangan yang membuatnya tercekat. Tiga pria bertubuh besar, berpakaian serba hitam, sibuk mengangkut barang-barang dari dalam rumah ke truk yang parkir di depan pagar. Meja ruang tamu, televisi, bahkan kulkas yang selama ini menjadi andalan mereka, semua diangkut tanpa basa-basi.“Hei! Apa yang kalian lakukan?!” teriak Nasya panik, berlari mendekat. Namun, tak ada jawaban.Ayahnya, Harun, berdiri di dekat pintu dengan wajah tegang, tubuhnya mematung seolah tak mampu berbuat apa-apa. Ranti, ibunya, duduk terkulai di lantai
Harun terdiam. Jelas, ia kehabisan kata-kata. Sementara itu, Ranti mencoba meyakinkan lagi. “Nasya, keluarga Om Hilman itu baik. Mereka nggak bakal bikin kamu susah. Kalau kamu sama Bima, kamu nggak akan perlu khawatir soal makan, utang, atau bayar kontrakan lagi.”Nasya memutar bola matanya. “Iya, Ma, terus aku bakal dianggep apa? Menantu atau pembantu? Aku tahu persis tujuan Papa nyuruh aku nikah sama Bima. Supaya kita dapet bantuan dari keluarganya, kan? Tapi yang ada malah kita dihina sama mereka!”Ranti mendesah, mencoba tetap sabar. “Kamu lihat dari sisi baiknya dong.”“Sisi baiknya?” Nasya tertawa pahit lagi. “Sisi baiknya apa, Ma? Aku jadi istri Bima, terus tiap hari diomelin keluarganya karena mereka nganggep aku cuma pengemis? Enggak, terima kasih. Yang ada, aku malah makin menderita.”Harun akhirnya mencoba bicara lagi, meski suaranya terdengar sangat hati-hati. “Papa cuma pengen kamu nggak ikut susah, Nasya. Papa nggak tega lihat kamu harus pindah-pindah kontrakan, ngerasa
Pulang dari restoran, Nasya masih memendam rasa malu yang tak tertahankan. Begitu sampai di ruang tamu, ia langsung melepas tasnya dengan kasar ke sofa, lalu menghela napas panjang. Tatapannya tajam, tertuju ke kedua orang tuanya yang duduk tenang seolah tak terjadi apa-apa.“Aku bener-bener nggak ngerti!” Nasya meledak, tangannya terangkat seakan ingin menunjuk keduanya. “Bisa-bisanya Mama sama Papa maksa keluarga Om Hilman buat nikahin aku sama Bima. Aku malu setengah mati! Rasanya kayak barang obralan yang udah mau kadaluarsa, sampai harus segera dijual sebelum Mama sama Papa rugi!”Harun malah duduk bersandar dengan santai, mengangkat bahu ringan. “Lho, siapa juga yang maksa? Papa cuma negosiasi, kok.”“Negosiasi?! Pakai nyebut-nyebut utang budi yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan aku?!” Nasya mencibir sambil menggerakkan tangannya seolah mencoret-coret sesuatu di udara. “Papa ngomong seolah-olah aku ini paket bonus dari kebaikan Papa bertahun-tahun lalu. Sekalian aja Pa
Di ruang kerja Bima yang penuh dengan desain dan cetak biru, dia tengah membereskan beberapa dokumen terakhir sebelum bersiap pulang. Matanya menatap laptop dengan wajah lelah. Sebagai seorang arsitek, rutinitas seperti ini sudah jadi makanan sehari-harinya—mengurus klien, mengejar deadline proyek, dan merancang bangunan yang harus sempurna di setiap detailnya.Saat Bima baru saja menutup laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Mama muncul di layar. Dia menghela napas, lalu mengangkat telepon itu.“Halo, Ma?” suaranya terdengar santai.“Kamu masih di kantor?” suara Melati terdengar agak tajam. “Udah sore, Bima. Kamu jangan kebiasaan gila kerja, ya! Mau jadi workaholic selamanya?”Bima tersenyum tipis. “Ini udah mau pulang kok, Ma. Sebentar lagi.”“Cepetan!” Melati mendesak. “Mama punya kejutan buat kamu!”Kejutan? Bima langsung mengernyitkan dahi. “Kejutan apa, Ma?”Melati tertawa kecil, agak misterius. “Pokoknya kejutan yang bisa menyelamatkan hidup kamu. Biar kamu nggak dipaks
Bima menelan ludah, menatap Melati seolah-olah meminta ampun. “Ma, aku kayaknya gak cocok sama Mutiara.”Melati menghela napas panjang, tapi masih sempat tersenyum kecil. “Ya ampun, Bima. Kamu belum nyoba kenalan sama dia, kenapa udah bilang gak cocok? Hidup kamu tuh gak seimbang! Kerja, kerja, kerja mulu! Kamu mau nikah sama desain kamu?!”Bima menggeleng sambil tersenyum kecut, berusaha menahan diri agar tidak terlalu meledak di depan ibunya. “Ya, Ma... tapi kalau Mama mau jodohin aku, ya lihat-lihat dulu dong... gimana ya ngomongnya...” Bima menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Bukan tipenya aku, gitu.”Melati langsung melotot. “Hah? Kamu ini milih-milih banget, Bim. Mutiara tuh anak baik-baik, keluarga terpandang. Kamu cuma gak kenal dia aja, makanya belum ngerasa cocok.”Bima mengangkat alis, matanya berbinar dengan sedikit rasa kesal yang mulai naik ke permukaan. “Masalahnya, aku tuh nggak bisa... gimana ya... nggak bisa lihat dia kayak... eh, kayak... pokoknya gitu
Bima tertawa kecil, nyaris tak bisa menahan dirinya lagi. “Oh, harga diri. Gue lupa. Jadi harga diri kalian tersinggung sama tumpukan semen dan bata yang kebetulan dipake buat ruko?” Dia mengangkat tangan, menatap para preman dengan ekspresi sok paham, seakan menyerah dalam logika absurd yang ada di hadapannya. “Udah deh, Bro. Mending kalian langsung aja bilang—mau kalian apa?”Salah satu preman melangkah maju, mengangkat dagunya sambil menyeringai. “Kita cuma mau kompensasi kecil aja. Lima juta buat kita. Nggak, tunggu, kita ada berlima, jadi sepuluh juta lah. Itu baru adil.”“Kompensasi?” Bima mendongak dengan ekspresi tak percaya, lalu meledak dalam tawa sarkastis. “Sepuluh juta? Buat apaan? Buat kalian ngelaporin semen-semen itu ke polisi? Atau buat beli rokok biar bisa nongkrong lebih lama di sini?”Wajah para preman berubah merah padam, jelas marah karena diejek. Mereka saling bertukar pandang, lalu salah satu dari mereka, yang tampak sebagai pemimpin kelompok, merapat ke Bima d
Nasya memapah Bima yang masih lemas menuju ruang IGD rumah sakit. Langkah mereka agak terseret, dan pakaian mereka masih setengah basah, membuat lantai berkilat-kilat setiap kali sepatu mereka menapak. Di depan pintu IGD, mereka segera disambut oleh seorang perawat muda yang sigap.“Ada apa, Mbak?” tanya perawat dengan nada serius, matanya melirik Bima yang tampak lemas.Nasya menarik napas dalam, masih sedikit terengah. “Dia… habis tenggelam di danau,” ujarnya singkat, sambil melirik ke arah Bima yang masih mencoba berdiri tegak meski terlihat semakin payah.Perawat langsung memberi isyarat kepada rekannya. “Ayo, bawa pasien ke dalam,” ujarnya cepat. Mereka dengan sigap mengarahkan Bima ke ranjang pemeriksaan terdekat, sementara Nasya mengikuti di sampingnya.“Mas, bisa berbaring dulu ya,” kata dokter yang baru masuk dengan langkah cepat. Ia mengenakan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leher. Tangannya bergerak cekatan mempersiapkan peralatan untuk pemeriksaan. “Kejadiannya
Mutiara dan Melati berlari memasuki pintu depan rumah sakit. Nafas mereka berkejaran, seolah-olah habis maraton sepanjang jalan. Melati dengan raut wajah tegang, langsung mengarahkan langkah ke meja admin resepsionis.“Maaf, Mas, pasien atas nama Bima Aryasetya di mana sekarang?” tanya Melati dengan napas yang tersengal.Petugas resepsionis, seorang pria berusia tiga puluhan dengan rambut rapi, menatapnya sejenak sebelum mengetik cepat di komputernya. “Bima Aryasetya ya, Bu? Oh, beliau sudah dipindah ke ruang observasi, masih menunggu hasil pemeriksaan.”Mutiara langsung menggumam, “Ruang observasi di mana, Mas?”“Di lantai dua, Bu. Silakan ke lift sebelah kiri, lalu keluar belok kanan, ruang observasi ada di ujung koridor.”Mendengar penjelasan itu, Melati dan Mutiara tanpa basa-basi lagi langsung bergegas. Sepatu mereka berderit di atas lantai keramik yang licin. Melati terus menggigit bibirnya, keringat dingin mengucur di pelipis, bukan hanya karena cemas pada Bima, tapi juga ada t