Share

Bab 3. Luka yang Kembali Terbuka

Bima menyandarkan punggungnya pada kursi teras, matanya menatap Nasya yang kini duduk di sampingnya memangku Nino yang mulai tenang karena mengantuk. Ia tahu percakapan ini akan sulit, tapi tidak ada jalan lain.

“Nggak gampang buat aku ngomong ini, Nasya,” Bima memulai, sedikit kaku. “Tapi aku mau kamu tau, sampai sekarang, aku nggak pernah nikah lagi. Nggak deket juga sama perempuan lain. Kayak ada sesuatu yang... ya, aku belum bisa lupain.”

Nasya menatap Bima dengan mata setengah tertutup, ekspresi wajahnya jelas-jelas meremehkan. “Ya, terus?”

Bima terdiam sesaat, menelan kekesalannya. “Aku cuma pengen bilang kalau… aku masih belum bisa lepas dari semuanya, dari kita. Dan, ya… aku lihat kamu juga, meski udah berkali-kali nikah lagi, nggak ada yang berhasil, kan?”

Senyum sinis langsung tersungging di bibir Nasya. Ia menaruh Nino yang baru tertidur di stroller yang ada di sebelahnya, kemudian menatap Bima dengan pandangan penuh cemooh.

“Bima, jangan geer deh. Kamu pikir kegagalan pernikahan aku setelah kamu itu karena aku nggak bisa lupain kamu?” Nasya mendengus, lalu meraih tisu basah di meja, membersihkan bekas bedak yang masih menempel di pipi Nino. “Kegagalan aku setelah kamu, itu justru karena aku mencoba lari dari kesalahan terbesar hidupku. Ya, kamu.”

Bima tersentak, wajahnya sedikit memerah. Tapi ia mencoba menenangkan diri, meski perutnya terasa melilit mendengar jawaban Nasya. “Nasya, dengar dulu...”

“Nggak usah sok mendramatisir, Bima,” potong Nasya cepat. “Apa yang kamu mau sebenernya? Pengen kasih tahu kalau kamu gagal move on? Aku harus peduli, gitu?”

Bima menggeleng pelan, mencoba meredakan emosi. “Aku cuma mau kita pikirin ulang, Nasya. Mungkin kita masih punya kesempatan buat memperbaiki semuanya. Buat Dylan juga.”

“Kesempatan?” Nasya tertawa, tapi bukan tawa bahagia. “Kesempatan buat apa? Buat ngulangin kesalahan yang sama?”

“Bukan begitu maksudku...” Bima mulai panik, suaranya terdengar tegang. “Aku tahu aku banyak salah dulu, tapi aku sudah belajar dari itu, Nasya. Aku janji, aku akan menebus semua kesalahanku di masa lalu. Aku mau memperbaiki semuanya.”

Nasya mendengus, seolah tak percaya. “Memperbaiki semuanya? Kamu paham apa yang kamu barusan bilang? Kamu pikir aku ini apa, Bima? Barang rusak yang bisa kamu perbaiki kapan aja kalau kamu lagi senggang? Aku nggak butuh ‘awal lagi’ dari kamu.”

Bima mencoba bertahan. “Aku nggak pernah anggap kamu seperti itu, Nasya. Aku cuma… aku mau kita coba lagi. Demi Dylan.”

Nasya tertawa kecil, sarkas. “Demi Dylan? Kamu serius?” Tatapannya tajam menelanjangi ketulusan Bima. “Kamu mau bawa-bawa nama Dylan? Kapan terakhir kali kamu datang jenguk dia tanpa embel-embel kerjaan atau alasan? Dylan butuh ayah, Bima. Ayah yang ada buat dia setiap waktu. Dan itu jelas bukan kamu.”

Bima tampak terpukul, tapi dia berusaha tetap tenang. “Aku tahu aku pernah gagal. Tapi aku mau memperbaiki diri. Aku ingin lebih ada buat Dylan… dan untuk kita.”

Mata Nasya semakin menyipit, bibirnya menyunggingkan senyum pahit penuh luka. “Kamu terlambat, Bima. Kamu dulu lebih peduli sama laptop kamu daripada keluarga kita. Lebih nurut sama ibumu, meskipun jelas-jelas dia salah. Tiap kali ada masalah, aku yang selalu disalahkan. Kamu tahu, aku pernah bilang apa ke diriku sendiri?” Ia berhenti sejenak, tatapannya menatap lurus ke arah Bima, kali ini lebih tajam, dipenuhi kemarahan yang selama ini terpendam. “Aku bilang, kamu harusnya nikah sama laptop kamu itu. Sama email-email dan kerjaan yang kamu cintai lebih dari semuanya.”

Bima menelan ludah, ekspresinya semakin cemas. Dia tahu Nasya marah, tapi belum sepenuhnya paham seberapa dalam luka itu. “Nasya... aku tahu aku banyak salah. Tapi sekarang aku sadar. Aku nggak bisa hilangin semuanya, tapi kita bisa mulai lagi, setidaknya buat Dylan.”

Nasya mendengus sinis, menggeleng pelan. "Mulai lagi? Buat Dylan? Kamu pikir semua ini cuma soal kamu yang nggak pernah pulang tepat waktu? Kamu benar-benar nggak ngerti, ya?" Suaranya mulai bergetar, matanya berkaca-kaca meski dia berusaha keras menahan tangis. “Kamu ingat waktu Ibu aku sakit? Aku hamil besar waktu itu. Aku cuma minta satu hal dari kamu, Bima. Satu hal aja—antar aku ke rumah sakit. Tapi kamu nggak bisa, karena sibuk! Aku pergi sendiri, naik ojek, dengan perut sebesar ini, dan begitu sampai... dia udah nggak ada.”

Bima terdiam, wajahnya semakin pucat mendengar cerita itu, meskipun ia sudah tahu betul apa yang terjadi. Tapi kali ini, Nasya menceritakannya dengan kemarahan yang lebih dari sekadar keluhan lama. Ada luka yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.

Nasya terisak, lalu menoleh dengan tatapan penuh kebencian. "Kamu tahu... Ibu aku, waktu sebelum meninggal, terus manggil-manggil nama aku. Tapi aku nggak sempat. Aku nggak ada di sana... karena kamu! Aku nggak akan pernah lupa itu, Bima. Kamu ambil satu-satunya kesempatan aku buat ada di samping Ibu waktu dia pergi. Kamu bukan cuma nggak hadir buat aku, kamu juga nggak hadir buat dia!”

Bima meremas tangannya, menunduk penuh rasa bersalah. “Aku... aku minta maaf, Nasya. Aku tahu aku nggak bisa balikin waktu. Aku tahu aku salah, dan aku siap nerima semua hukuman kamu. Apa pun, asal kamu bisa maafin aku. Tolong, kasih aku kesempatan... aku ingin menebus semuanya.”

Nasya menatapnya, air mata mengalir deras di pipinya. "Kamu pikir dengan permintaan maaf semuanya selesai? Kamu pikir dengan kata-kata itu semua luka hilang begitu saja? Nggak, Bima. Itu nggak cukup. Luka ini nggak akan pernah hilang."

Nasya menatap Bima dalam-dalam, tapi kali ini bukan ada cinta atau nostalgia di sana. Hanya rasa kecewa yang begitu mendalam. “Aku sudah selesai, Bima. Aku selesai dengan kamu, dengan masa lalu kita. Kalau kamu mau ketemu Dylan, silakan. Tapi kalau kamu mau bicara tentang kita, maaf. Nggak ada lagi yang bisa dibahas.”

Dia berdiri, meraih stroller Nino, lalu berbalik menuju pintu rumah. “Satu hal yang harus kamu pahami, Bima. Dunia ini terus bergerak, tapi kamu… kamu tetap di tempat yang sama. Terjebak dengan janji-janji kosong.”

Bima ingin mengejar, tapi Nasya melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan tegas. Suara pintu itu seolah menegaskan bahwa harapan Bima untuk memperbaiki segalanya sudah terkubur dalam-dalam.

***

Nasya mendorong stroller Nino pelan. Tangannya gemetar halus saat ia mendekat ke box bayi di sudut ruangan. Pandangannya nanar, kosong, namun di balik kehampaan itu, ada gelombang rasa sakit yang tiba-tiba. Seolah semua luka lama kembali terbuka, terasa begitu nyata dan menyiksa.

Ia angkat tubuh mungil Nino dengan hati-hati, lalu membaringkannya di box bayi. Napas Nino yang tenang dan lembut membuat hati Nasya sedikit lebih tenang, tapi hanya sesaat. Ada desakan emosi yang tak bisa ia tahan.

“Harusnya mama mandiin kamu, tapi kalau kamu bobo begini... mama jadi nggak tega,” bisiknya pelan, setengah mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Tubuhnya terasa lemah. Tanpa disadari, air mata yang sejak tadi ia coba tahan akhirnya jatuh juga, menetes ke wajah Nino yang terlelap. Nasya tersentak, buru-buru mengusap air matanya yang berceceran di pipi bayi itu. Ia menahan napas, tapi tangisnya semakin sulit terbendung. Dada Nasya terasa sesak. Sakit itu, luka itu—semuanya masih begitu nyata.

Ia teringat, tujuh tahun lalu. Seperti angin yang tiba-tiba membawa memori buruk, hari itu melintas di benaknya dengan kejam. Hari di mana semuanya berubah. Hari di mana hidupnya yang awalnya baik-baiksaja, berubah menjadi kegelapan yang tak pernah ia bayangkan. Nasya menutup matanya sejenak, membiarkan ingatannya menyeretnya kembali ke masa lalu…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status