Bima di ujung telepon menghela napas. “Nasya, kamu nggak bisa terus-terusan bersikap sinis sama aku. Demi Dylan, setidaknya. Apa yang akan dia pikirkan kalau kita selalu begini?”
Nasya hanya mengangkat bahu, meski Bima jelas tidak bisa melihat itu. “Terserah apa yang dia mau pikirkan. Yang penting aku nggak ada urusan lagi sama kamu.”
“Aku hampir sampai rumahmu. Kita harus bicara. Serius.” Suara Bima terdengar tegas, dan itu malah membuat Nasya mendengus.
“Kalau mau ketemu Dylan, silakan. Kamu juga boleh ajak dia pergi sebentar. Tapi setelah itu, antar dia pulang lagi. Selesai.”
“Nggak, aku nggak cuma mau ketemu Dylan.” Bima menekankan suaranya. “Aku mau bicara sama kamu, Nasya.”
“Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi!” Nasya mulai merasa darahnya naik. “Pokoknya, kalau kamu cuma mau basa-basi, aku nggak tertarik!”
Bima tak menyerah. “Kalau aku memaksa gimana?”
Nasya mengangkat alis. “Memaksa? Mau ngapain kamu?”
Bima menghela napas panjang, lalu dengan nada santai tapi provokatif berkata, “Kalau kamu tetap menolak, aku tidur di rumahmu malam ini. Biar tetanggamu pada ribut, berpikir yang macam-macam soal janda seperti kamu.”
Mata Nasya melebar. “Bima, kamu gila?!”
“Terserah kamu mau nyebutnya gimana,” kata Bima, terdengar seperti seseorang yang baru saja menemukan kartu trufnya. “Nggak masalah buat aku. Cuma… aku nggak yakin kamu akan suka gosip yang muncul setelahnya.”
Nasya langsung melompat dari kursinya, hampir menjatuhkan Nino yang sedang berusaha merebut ponselnya. “Bima! Kamu itu cari masalah ya?”
“Makanya, kamu harus kasih aku kesempatan buat bicara baik-baik,” Bima memotongnya dengan nada yang lebih lembut.
Sementara itu, Nino terus menarik-narik lengan Nasya, mencoba merebut ponsel dari tangan ibunya. “Mama! Mam!!”
Nasya menoleh cepat, wajahnya merah padam. “Nino! Jangan ganggu mama dulu!” Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ketenangannya. “Oke, Bima. Kita bicara sebentar. Tapi kalau kamu mulai macam-macam, aku akan…”
“Akan apa?” Bima terdengar geli di seberang sana.
“Aku akan lempar kamu keluar!” jawab Nasya dengan tegas.
Bima terkekeh. “Oke, aku udah hampir sampe.”
***
Bima akhirnya memarkir mobil di depan rumah Nasya. Saat baru turun dari mobil, pintu rumah sudah terbuka, dan Dylan berlari dengan langkah kecil tapi penuh semangat ke arahnya. “Papaaaa!!!”
Bima tersenyum lebar, menangkap Dylan dalam pelukan dan langsung menggendongnya. “Jagoan papa!” ujar Bima sambil mengangkat Dylan setinggi mungkin. Wajah Dylan berubah riang. Matanya berbinar seolah mencari kotak oleh-oleh atau kantong belanja yang biasanya dibawa papanya setiap kali datang menjenguk.
“Papa nggak bawa apa-apa ya?” Dylan memiringkan kepalanya, bingung. “Pasti papa mau ajak aku jalan-jalan, kan?”
Bima menurunkan Dylan perlahan, mengelus kepala bocah itu. “Dylan, kali ini papa mau bicara serius sama mama dulu, ya. Jalan-jalannya next time aja, oke?”
“Bicara apa, Pa?” tanya Dylan polos, wajahnya penuh rasa ingin tahu.
Belum sempat Bima menjawab, pintu rumah terbuka lagi dan muncullah Nasya. Ia menggendong Nino yang masih belepotan make-up dari 'proyek besar' di kamarnya tadi. Foundation tebal yang menghiasi pipi Nino membuatnya terlihat seperti pelukis abstrak baru saja menuntaskan masterpiece-nya. Di belakang Nasya, Chaka dan Chiki muncul.
“Halo, papa tiri!” seru Chaka ceria sambil melambai.
“Halo, papa tiri jahat...” sambut Chiki dengan polos, seolah tidak ada yang salah dari sapaannya barusan.
Bima hampir tersedak udara mendengar sapaan Chiki. “Papa tiri jahat?!” Suaranya hampir tercekat. Matanya langsung melotot ke arah anak kembar itu, lalu beralih ke Nasya, yang hanya mengangkat bahu santai seolah mengatakan, aku nggak ikut-ikutan.
“Siapa yang ngajarin kalian manggil papa kayak gitu, hah?” Bima bertanya dengan nada nyaris tak percaya, meski matanya menyipit curiga.
Chiki dengan polosnya menunjuk ke arah Nasya, tapi sebelum Bima sempat bereaksi, Dylan ikut angkat bicara. “Bukan mama yang ngajarin. Yang ngajarin Daddy tiri, Pa.”
Mata Bima langsung memicing lagi, kali ini dengan rasa sebal. Di benaknya langsung muncul bayangan Rendy Septian, si mantan suami kedua Nasya—dan si mokondo dengan dua juta follower yang tak pernah bisa akur dengannya. “Tentu saja, si Rendy,” gumam Bima sambil memijat pelipisnya. Dia bisa membayangkan dengan jelas betapa menyebalkan senyum Rendy saat mengajarkan panggilan ‘papa tiri jahat’ itu. Mungkin sambil bikin konten.
“Kamu mau bahas apa, Bim? Cepet bicara. Nggak usah masuk, aku nggak ada waktu buat drama,” ucap Nasya tanpa basa basi.
Bima menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi suasana benar-benar kacau. Chaka dan Chiki mulai saling sikut, seperti siap berkelahi lagi. Dylan masih berdiri sambil memandangi mereka, dan Nino yang digendong Nasya masih sibuk dengan tangannya yang memainkan rambut ibunya.
Bima tiba-tiba berlutut di hadapan Dylan, menatap anaknya dengan penuh harapan.
“Dylan, papa mau bicara penting sama mama. Kamu bisa tolong jaga adik-adik sebentar nggak?” tanya Bima, mencoba melibatkan anaknya.
Dylan mengerutkan kening, penasaran. “Mau bicara apa, Pa? Rahasia ya?”
Bima mengangguk sambil melirik Nasya, berharap usahanya berhasil.
“Tapi aku juga pengen tau rahasianya!” Dylan masih dengan rasa penasaran yang tak terbendung. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Bima menghela napas, bingung mencari cara menjelaskan. Dia menatap Nasya yang kini bersandar di ambang pintu sambil memasang ekspresi datar, seolah menantang Bima dengan pandangan, coba deh, bikin anak itu nurut.
Akhirnya Bima mendekatkan wajahnya ke telinga Dylan, berbisik sesuatu yang membuat mata Dylan membesar seketika, penuh antusiasme. “Beneran, Pa?”
Bima tersenyum kecil, lega melihat respon anaknya. “Beneran dong, tapi sekarang jaga adik-adik dulu ya. Kamu jagoan papa, kan?”
Dylan mengangguk cepat, merasa diberi misi super penting. “Oke, Papa. Tapi aku cuma bisa jaga Chaka sama Chiki doang ya. Nino susah dijaga.”
Tanpa menunggu jawaban, Dylan langsung menarik kedua adiknya yang masih sibuk saling ganggu, menyeret mereka masuk ke dalam rumah. “Ayo, kita main dulu di dalam! Ada rahasia besar nih!” teriak Dylan, setengah berlari membawa Chaka dan Chiki yang protes tapi ikut terbawa suasana.
Nasya menghela napas panjang, lalu menoleh ke Bima dengan tatapan tak sabar. “Jadi, kamu mau ngomong apa sekarang?”
Bima mendekatkan diri pada Nasya, “Kita bicara di dalam aja,” ucapnya sambil mengisyaratkan ke arah pintu.
Nasya langsung menyela, “Di teras aja cukup.”
Dengan enggan, Bima mengikuti langkah Nasya yang duduk di kursi teras, sambil meraih tisu basah dari meja. Ia mulai membersihkan wajah Nino yang masih belepotan make-up. Bima menatap pemandangan itu dengan bingung dan frustasi.
“Kamu harus banget dengerin aku sambil ngurus si kecil?” Bima bertanya, sedikit sebal. Rasanya seperti Nasya tidak benar-benar memberinya perhatian.
Nasya mendongak dengan ekspresi datar, tisu di tangan masih sibuk membersihkan pipi Nino. “Kalau kamu keberatan, nggak usah bicara. Aku bisa kok multitasking,” jawabnya dingin, tapi ada nada sarkastis di balik kata-katanya.
Bima menghela napas panjang, mencoba meredam amarahnya. “Aku nggak mau kita terus begini—”
“Kita?” potong Nasya cepat, meletakkan Nino yang sudah bersih di pangkuannya. “Sejak kapan masih ada 'kita', Bima? Kalau yang mau kamu omongin cuma masa lalu, nggak perlu repot-repot ke sini.” Nadanya terdengar dingin, tapi ada ketegangan yang terasa.
Bima mengepalkan tangan, mencoba menahan semua emosi yang mendidih. Dia tahu kalau dia salah bicara sedikit saja, semuanya bisa semakin kacau.
Bima menyandarkan punggungnya pada kursi teras, matanya menatap Nasya yang kini duduk di sampingnya memangku Nino yang mulai tenang karena mengantuk. Ia tahu percakapan ini akan sulit, tapi tidak ada jalan lain.“Nggak gampang buat aku ngomong ini, Nasya,” Bima memulai, sedikit kaku. “Tapi aku mau kamu tau, sampai sekarang, aku nggak pernah nikah lagi. Nggak deket juga sama perempuan lain. Kayak ada sesuatu yang... ya, aku belum bisa lupain.”Nasya menatap Bima dengan mata setengah tertutup, ekspresi wajahnya jelas-jelas meremehkan. “Ya, terus?”Bima terdiam sesaat, menelan kekesalannya. “Aku cuma pengen bilang kalau… aku masih belum bisa lepas dari semuanya, dari kita. Dan, ya… aku lihat kamu juga, meski udah berkali-kali nikah lagi, nggak ada yang berhasil, kan?”Senyum sinis langsung tersungging di bibir Nasya. Ia menaruh Nino yang baru tertidur di stroller yang ada di sebelahnya, kemudian menatap Bima dengan pandangan penuh cemooh.“Bima, jangan geer deh. Kamu pikir kegagalan pern
Nasya baru saja turun dari ojek online di depan rumah. Meski keluarganya bukan dari golongan kaya raya, hidup mereka tak pernah benar-benar kekurangan. Harun, ayahnya, memiliki usaha rumah makan kecil yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Ibunya, Ranti, meskipun hanya ibu rumah tangga, selalu memastikan kebutuhan rumah tetap terurus dengan baik. Semua tampak baik-baik saja—hingga sore itu.Begitu kakinya melangkah masuk ke halaman, Nasya langsung disambut oleh pemandangan yang membuatnya tercekat. Tiga pria bertubuh besar, berpakaian serba hitam, sibuk mengangkut barang-barang dari dalam rumah ke truk yang parkir di depan pagar. Meja ruang tamu, televisi, bahkan kulkas yang selama ini menjadi andalan mereka, semua diangkut tanpa basa-basi.“Hei! Apa yang kalian lakukan?!” teriak Nasya panik, berlari mendekat. Namun, tak ada jawaban.Ayahnya, Harun, berdiri di dekat pintu dengan wajah tegang, tubuhnya mematung seolah tak mampu berbuat apa-apa. Ranti, ibunya, duduk terkulai di lantai
Harun terdiam. Jelas, ia kehabisan kata-kata. Sementara itu, Ranti mencoba meyakinkan lagi. “Nasya, keluarga Om Hilman itu baik. Mereka nggak bakal bikin kamu susah. Kalau kamu sama Bima, kamu nggak akan perlu khawatir soal makan, utang, atau bayar kontrakan lagi.”Nasya memutar bola matanya. “Iya, Ma, terus aku bakal dianggep apa? Menantu atau pembantu? Aku tahu persis tujuan Papa nyuruh aku nikah sama Bima. Supaya kita dapet bantuan dari keluarganya, kan? Tapi yang ada malah kita dihina sama mereka!”Ranti mendesah, mencoba tetap sabar. “Kamu lihat dari sisi baiknya dong.”“Sisi baiknya?” Nasya tertawa pahit lagi. “Sisi baiknya apa, Ma? Aku jadi istri Bima, terus tiap hari diomelin keluarganya karena mereka nganggep aku cuma pengemis? Enggak, terima kasih. Yang ada, aku malah makin menderita.”Harun akhirnya mencoba bicara lagi, meski suaranya terdengar sangat hati-hati. “Papa cuma pengen kamu nggak ikut susah, Nasya. Papa nggak tega lihat kamu harus pindah-pindah kontrakan, ngerasa
Pulang dari restoran, Nasya masih memendam rasa malu yang tak tertahankan. Begitu sampai di ruang tamu, ia langsung melepas tasnya dengan kasar ke sofa, lalu menghela napas panjang. Tatapannya tajam, tertuju ke kedua orang tuanya yang duduk tenang seolah tak terjadi apa-apa.“Aku bener-bener nggak ngerti!” Nasya meledak, tangannya terangkat seakan ingin menunjuk keduanya. “Bisa-bisanya Mama sama Papa maksa keluarga Om Hilman buat nikahin aku sama Bima. Aku malu setengah mati! Rasanya kayak barang obralan yang udah mau kadaluarsa, sampai harus segera dijual sebelum Mama sama Papa rugi!”Harun malah duduk bersandar dengan santai, mengangkat bahu ringan. “Lho, siapa juga yang maksa? Papa cuma negosiasi, kok.”“Negosiasi?! Pakai nyebut-nyebut utang budi yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan aku?!” Nasya mencibir sambil menggerakkan tangannya seolah mencoret-coret sesuatu di udara. “Papa ngomong seolah-olah aku ini paket bonus dari kebaikan Papa bertahun-tahun lalu. Sekalian aja Pa
Di ruang kerja Bima yang penuh dengan desain dan cetak biru, dia tengah membereskan beberapa dokumen terakhir sebelum bersiap pulang. Matanya menatap laptop dengan wajah lelah. Sebagai seorang arsitek, rutinitas seperti ini sudah jadi makanan sehari-harinya—mengurus klien, mengejar deadline proyek, dan merancang bangunan yang harus sempurna di setiap detailnya.Saat Bima baru saja menutup laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Mama muncul di layar. Dia menghela napas, lalu mengangkat telepon itu.“Halo, Ma?” suaranya terdengar santai.“Kamu masih di kantor?” suara Melati terdengar agak tajam. “Udah sore, Bima. Kamu jangan kebiasaan gila kerja, ya! Mau jadi workaholic selamanya?”Bima tersenyum tipis. “Ini udah mau pulang kok, Ma. Sebentar lagi.”“Cepetan!” Melati mendesak. “Mama punya kejutan buat kamu!”Kejutan? Bima langsung mengernyitkan dahi. “Kejutan apa, Ma?”Melati tertawa kecil, agak misterius. “Pokoknya kejutan yang bisa menyelamatkan hidup kamu. Biar kamu nggak dipaks
Bima menelan ludah, menatap Melati seolah-olah meminta ampun. “Ma, aku kayaknya gak cocok sama Mutiara.”Melati menghela napas panjang, tapi masih sempat tersenyum kecil. “Ya ampun, Bima. Kamu belum nyoba kenalan sama dia, kenapa udah bilang gak cocok? Hidup kamu tuh gak seimbang! Kerja, kerja, kerja mulu! Kamu mau nikah sama desain kamu?!”Bima menggeleng sambil tersenyum kecut, berusaha menahan diri agar tidak terlalu meledak di depan ibunya. “Ya, Ma... tapi kalau Mama mau jodohin aku, ya lihat-lihat dulu dong... gimana ya ngomongnya...” Bima menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Bukan tipenya aku, gitu.”Melati langsung melotot. “Hah? Kamu ini milih-milih banget, Bim. Mutiara tuh anak baik-baik, keluarga terpandang. Kamu cuma gak kenal dia aja, makanya belum ngerasa cocok.”Bima mengangkat alis, matanya berbinar dengan sedikit rasa kesal yang mulai naik ke permukaan. “Masalahnya, aku tuh nggak bisa... gimana ya... nggak bisa lihat dia kayak... eh, kayak... pokoknya gitu
Bima tertawa kecil, nyaris tak bisa menahan dirinya lagi. “Oh, harga diri. Gue lupa. Jadi harga diri kalian tersinggung sama tumpukan semen dan bata yang kebetulan dipake buat ruko?” Dia mengangkat tangan, menatap para preman dengan ekspresi sok paham, seakan menyerah dalam logika absurd yang ada di hadapannya. “Udah deh, Bro. Mending kalian langsung aja bilang—mau kalian apa?”Salah satu preman melangkah maju, mengangkat dagunya sambil menyeringai. “Kita cuma mau kompensasi kecil aja. Lima juta buat kita. Nggak, tunggu, kita ada berlima, jadi sepuluh juta lah. Itu baru adil.”“Kompensasi?” Bima mendongak dengan ekspresi tak percaya, lalu meledak dalam tawa sarkastis. “Sepuluh juta? Buat apaan? Buat kalian ngelaporin semen-semen itu ke polisi? Atau buat beli rokok biar bisa nongkrong lebih lama di sini?”Wajah para preman berubah merah padam, jelas marah karena diejek. Mereka saling bertukar pandang, lalu salah satu dari mereka, yang tampak sebagai pemimpin kelompok, merapat ke Bima d
Nasya memapah Bima yang masih lemas menuju ruang IGD rumah sakit. Langkah mereka agak terseret, dan pakaian mereka masih setengah basah, membuat lantai berkilat-kilat setiap kali sepatu mereka menapak. Di depan pintu IGD, mereka segera disambut oleh seorang perawat muda yang sigap.“Ada apa, Mbak?” tanya perawat dengan nada serius, matanya melirik Bima yang tampak lemas.Nasya menarik napas dalam, masih sedikit terengah. “Dia… habis tenggelam di danau,” ujarnya singkat, sambil melirik ke arah Bima yang masih mencoba berdiri tegak meski terlihat semakin payah.Perawat langsung memberi isyarat kepada rekannya. “Ayo, bawa pasien ke dalam,” ujarnya cepat. Mereka dengan sigap mengarahkan Bima ke ranjang pemeriksaan terdekat, sementara Nasya mengikuti di sampingnya.“Mas, bisa berbaring dulu ya,” kata dokter yang baru masuk dengan langkah cepat. Ia mengenakan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leher. Tangannya bergerak cekatan mempersiapkan peralatan untuk pemeriksaan. “Kejadiannya