Share

Bab 2. Bima Datang

Bima di ujung telepon menghela napas. “Nasya, kamu nggak bisa terus-terusan bersikap sinis sama aku. Demi Dylan, setidaknya. Apa yang akan dia pikirkan kalau kita selalu begini?”

Nasya hanya mengangkat bahu, meski Bima jelas tidak bisa melihat itu. “Terserah apa yang dia mau pikirkan. Yang penting aku nggak ada urusan lagi sama kamu.”

“Aku hampir sampai rumahmu. Kita harus bicara. Serius.” Suara Bima terdengar tegas, dan itu malah membuat Nasya mendengus.

“Kalau mau ketemu Dylan, silakan. Kamu juga boleh ajak dia pergi sebentar. Tapi setelah itu, antar dia pulang lagi. Selesai.”

“Nggak, aku nggak cuma mau ketemu Dylan.” Bima menekankan suaranya. “Aku mau bicara sama kamu, Nasya.”

“Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi!” Nasya mulai merasa darahnya naik. “Pokoknya, kalau kamu cuma mau basa-basi, aku nggak tertarik!”

Bima tak menyerah. “Kalau aku memaksa gimana?”

Nasya mengangkat alis. “Memaksa? Mau ngapain kamu?”

Bima menghela napas panjang, lalu dengan nada santai tapi provokatif berkata, “Kalau kamu tetap menolak, aku tidur di rumahmu malam ini. Biar tetanggamu pada ribut, berpikir yang macam-macam soal janda seperti kamu.”

Mata Nasya melebar. “Bima, kamu gila?!”

“Terserah kamu mau nyebutnya gimana,” kata Bima, terdengar seperti seseorang yang baru saja menemukan kartu trufnya. “Nggak masalah buat aku. Cuma… aku nggak yakin kamu akan suka gosip yang muncul setelahnya.”

Nasya langsung melompat dari kursinya, hampir menjatuhkan Nino yang sedang berusaha merebut ponselnya. “Bima! Kamu itu cari masalah ya?”

“Makanya, kamu harus kasih aku kesempatan buat bicara baik-baik,” Bima memotongnya dengan nada yang lebih lembut.

Sementara itu, Nino terus menarik-narik lengan Nasya, mencoba merebut ponsel dari tangan ibunya. “Mama! Mam!!”

Nasya menoleh cepat, wajahnya merah padam. “Nino! Jangan ganggu mama dulu!” Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ketenangannya. “Oke, Bima. Kita bicara sebentar. Tapi kalau kamu mulai macam-macam, aku akan…”

“Akan apa?” Bima terdengar geli di seberang sana.

“Aku akan lempar kamu keluar!” jawab Nasya dengan tegas.

Bima terkekeh. “Oke, aku udah hampir sampe.”

***

Bima akhirnya memarkir mobil di depan rumah Nasya. Saat baru turun dari mobil, pintu rumah sudah terbuka, dan Dylan berlari dengan langkah kecil tapi penuh semangat ke arahnya. “Papaaaa!!!”

Bima tersenyum lebar, menangkap Dylan dalam pelukan dan langsung menggendongnya. “Jagoan papa!” ujar Bima sambil mengangkat Dylan setinggi mungkin. Wajah Dylan berubah riang. Matanya berbinar seolah mencari kotak oleh-oleh atau kantong belanja yang biasanya dibawa papanya setiap kali datang menjenguk.

“Papa nggak bawa apa-apa ya?” Dylan memiringkan kepalanya, bingung. “Pasti papa mau ajak aku jalan-jalan, kan?”

Bima menurunkan Dylan perlahan, mengelus kepala bocah itu. “Dylan, kali ini papa mau bicara serius sama mama dulu, ya. Jalan-jalannya next time aja, oke?”

“Bicara apa, Pa?” tanya Dylan polos, wajahnya penuh rasa ingin tahu.

Belum sempat Bima menjawab, pintu rumah terbuka lagi dan muncullah Nasya. Ia menggendong Nino yang masih belepotan make-up dari 'proyek besar' di kamarnya tadi. Foundation tebal yang menghiasi pipi Nino membuatnya terlihat seperti pelukis abstrak baru saja menuntaskan masterpiece-nya. Di belakang Nasya, Chaka dan Chiki muncul.

“Halo, papa tiri!” seru Chaka ceria sambil melambai.

“Halo, papa tiri jahat...” sambut Chiki dengan polos, seolah tidak ada yang salah dari sapaannya barusan.

Bima hampir tersedak udara mendengar sapaan Chiki. “Papa tiri jahat?!” Suaranya hampir tercekat. Matanya langsung melotot ke arah anak kembar itu, lalu beralih ke Nasya, yang hanya mengangkat bahu santai seolah mengatakan, aku nggak ikut-ikutan.

“Siapa yang ngajarin kalian manggil papa kayak gitu, hah?” Bima bertanya dengan nada nyaris tak percaya, meski matanya menyipit curiga.

Chiki dengan polosnya menunjuk ke arah Nasya, tapi sebelum Bima sempat bereaksi, Dylan ikut angkat bicara. “Bukan mama yang ngajarin. Yang ngajarin Daddy tiri, Pa.”

Mata Bima langsung memicing lagi, kali ini dengan rasa sebal. Di benaknya langsung muncul bayangan Rendy Septian, si mantan suami kedua Nasya—dan si mokondo dengan dua juta follower yang tak pernah bisa akur dengannya. “Tentu saja, si Rendy,” gumam Bima sambil memijat pelipisnya. Dia bisa membayangkan dengan jelas betapa menyebalkan senyum Rendy saat mengajarkan panggilan ‘papa tiri jahat’ itu. Mungkin sambil bikin konten.

“Kamu mau bahas apa, Bim? Cepet bicara. Nggak usah masuk, aku nggak ada waktu buat drama,” ucap Nasya tanpa basa basi.

Bima menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi suasana benar-benar kacau. Chaka dan Chiki mulai saling sikut, seperti siap berkelahi lagi. Dylan masih berdiri sambil memandangi mereka, dan Nino yang digendong Nasya masih sibuk dengan tangannya yang memainkan rambut ibunya.

Bima tiba-tiba berlutut di hadapan Dylan, menatap anaknya dengan penuh harapan.

“Dylan, papa mau bicara penting sama mama. Kamu bisa tolong jaga adik-adik sebentar nggak?” tanya Bima, mencoba melibatkan anaknya.

Dylan mengerutkan kening, penasaran. “Mau bicara apa, Pa? Rahasia ya?”

Bima mengangguk sambil melirik Nasya, berharap usahanya berhasil.

“Tapi aku juga pengen tau rahasianya!” Dylan masih dengan rasa penasaran yang tak terbendung. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

Bima menghela napas, bingung mencari cara menjelaskan. Dia menatap Nasya yang kini bersandar di ambang pintu sambil memasang ekspresi datar, seolah menantang Bima dengan pandangan, coba deh, bikin anak itu nurut.

Akhirnya Bima mendekatkan wajahnya ke telinga Dylan, berbisik sesuatu yang membuat mata Dylan membesar seketika, penuh antusiasme. “Beneran, Pa?”

Bima tersenyum kecil, lega melihat respon anaknya. “Beneran dong, tapi sekarang jaga adik-adik dulu ya. Kamu jagoan papa, kan?”

Dylan mengangguk cepat, merasa diberi misi super penting. “Oke, Papa. Tapi aku cuma bisa jaga Chaka sama Chiki doang ya. Nino susah dijaga.”

Tanpa menunggu jawaban, Dylan langsung menarik kedua adiknya yang masih sibuk saling ganggu, menyeret mereka masuk ke dalam rumah. “Ayo, kita main dulu di dalam! Ada rahasia besar nih!” teriak Dylan, setengah berlari membawa Chaka dan Chiki yang protes tapi ikut terbawa suasana.

Nasya menghela napas panjang, lalu menoleh ke Bima dengan tatapan tak sabar. “Jadi, kamu mau ngomong apa sekarang?”

Bima mendekatkan diri pada Nasya, “Kita bicara di dalam aja,” ucapnya sambil mengisyaratkan ke arah pintu.

Nasya langsung menyela, “Di teras aja cukup.”

Dengan enggan, Bima mengikuti langkah Nasya yang duduk di kursi teras, sambil meraih tisu basah dari meja. Ia mulai membersihkan wajah Nino yang masih belepotan make-up. Bima menatap pemandangan itu dengan bingung dan frustasi.

“Kamu harus banget dengerin aku sambil ngurus si kecil?” Bima bertanya, sedikit sebal. Rasanya seperti Nasya tidak benar-benar memberinya perhatian.

Nasya mendongak dengan ekspresi datar, tisu di tangan masih sibuk membersihkan pipi Nino. “Kalau kamu keberatan, nggak usah bicara. Aku bisa kok multitasking,” jawabnya dingin, tapi ada nada sarkastis di balik kata-katanya.

Bima menghela napas panjang, mencoba meredam amarahnya. “Aku nggak mau kita terus begini—”

“Kita?” potong Nasya cepat, meletakkan Nino yang sudah bersih di pangkuannya. “Sejak kapan masih ada 'kita', Bima? Kalau yang mau kamu omongin cuma masa lalu, nggak perlu repot-repot ke sini.” Nadanya terdengar dingin, tapi ada ketegangan yang terasa.

Bima mengepalkan tangan, mencoba menahan semua emosi yang mendidih. Dia tahu kalau dia salah bicara sedikit saja, semuanya bisa semakin kacau.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status