Share

Bab 5. Terpaksa Menerima Perjodohan

Harun terdiam. Jelas, ia kehabisan kata-kata. Sementara itu, Ranti mencoba meyakinkan lagi. “Nasya, keluarga Om Hilman itu baik. Mereka nggak bakal bikin kamu susah. Kalau kamu sama Bima, kamu nggak akan perlu khawatir soal makan, utang, atau bayar kontrakan lagi.”

Nasya memutar bola matanya. “Iya, Ma, terus aku bakal dianggep apa? Menantu atau pembantu? Aku tahu persis tujuan Papa nyuruh aku nikah sama Bima. Supaya kita dapet bantuan dari keluarganya, kan? Tapi yang ada malah kita dihina sama mereka!”

Ranti mendesah, mencoba tetap sabar. “Kamu lihat dari sisi baiknya dong.”

“Sisi baiknya?” Nasya tertawa pahit lagi. “Sisi baiknya apa, Ma? Aku jadi istri Bima, terus tiap hari diomelin keluarganya karena mereka nganggep aku cuma pengemis? Enggak, terima kasih. Yang ada, aku malah makin menderita.”

Harun akhirnya mencoba bicara lagi, meski suaranya terdengar sangat hati-hati. “Papa cuma pengen kamu nggak ikut susah, Nasya. Papa nggak tega lihat kamu harus pindah-pindah kontrakan, ngerasain hidup kayak gini. Kalau kamu sama Bima... paling nggak kamu nggak perlu ngalamin semua ini.”

Nasya menatap ayahnya lama, lalu menggeleng dengan tegas. “Ma, Pa... kalian denger aku baik-baik ya. Aku nggak akan nikah cuma buat jadi jalan pintas kalian keluar dari masalah ini. Kalau kalian mau ngelolosin diri dari utang, itu bukan tanggung jawab aku. Dan aku nggak mau jadi alat buat dapetin simpati dari keluarga kaya raya!”

Harun dan Ranti hanya bisa saling menatap satu sama lain, bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi. Nasya jelas-jelas tidak ingin dipaksa untuk menjalani pernikahan yang didasari bukan atas cinta, melainkan keputusasaan.

“Aku lebih baik ikut kalian hidup susah, pindah-pindah kontrakan, daripada jadi ‘menantu titipan’ yang harus rela dihina demi bantu kalian.” Nasya berdiri, tatapannya tegas. “Nikah itu buat hidup bahagia, bukan buat jadi tumbal.”

“Nasya, Om Hilman itu punya utang budi besar sama Papa. Kalau bukan karena Papa, mungkin dia udah lama nggak ada. Kamu nggak bakal direndahin, tenang aja.”

Nasya memandang ayahnya dengan tatapan penuh kebingungan. “Apa, Pa? Utang budi? Sejak kapan urusan utang budi dihubung-hubungin sama nikah?”

Harun mengangguk, dengan ekspresi seolah baru saja mengungkapkan rahasia besar. “Kamu dengerin dulu. Waktu masih muda, Om Hilman pernah kecelakaan, parah banget sampai kehabisan darah. Semua kantong darah di rumah sakit habis, nggak ada satu pun yang cocok kecuali darah Papa. Kalau nggak karena Papa donorin darah waktu itu, dia nggak bakal hidup sampai sekarang. Dia masih hidup dan menikmati kekayaan itu semua ya... berkat Papa!”

Nasya terdiam sebentar, mencoba mencerna. Lalu, tanpa sadar, ia tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi lebih karena tidak habis pikir. “Papa... jadi Papa pikir karena Papa donorin darah, papa jadi sangat berjasa buat keluarga Om Hilman? Dan mereka harus membalas jasa itu, dengan nerima aku jadi menantu?”

Harun mengangguk serius, tanpa sedikit pun menyadari absurditas situasinya. “Betul, Nak! Itu nggak cuma darah biasa, itu darah pahlawan penyelamat nyawa! Hilman nggak bakal lupa.”

Ranti yang sejak tadi hanya diam sambil menonton, ikut bersuara membujuk Nasya. “Nak, kita ini lagi di ujung tanduk. Kamu mau kita hidup pindah-pindah kontrakan terus? Kalau kamu nikah sama Bima, kita bisa punya sedikit jaminan masa depan. Ya, setidaknya nggak perlu ngumpet-ngumpet dari debt collector lagi.”

Nasya menatap ibunya dengan heran. “Jadi, yang kalian pikirin cuma... darah dan uang? Ini bener-bener gila!”

Ranti mencoba membujuk lagi dengan senyum memelas. “Ya, kita mau gimana? Hidup serba kekurangan nggak enak, Nak...”

Nasya mendesah panjang, jelas frustasi. “Enak nggak enak, Ma, itu urusan kita. Jangan bawa-bawa aku jadi solusi terakhir dari semua masalah ini!”

***  

Meski sekuat tenaga Nasya menolak, hidup seolah tidak memberinya pilihan. Setiap kali ia mencoba membujuk orang tuanya untuk mencari solusi lain, Harun selalu kembali pada satu gagasan yang sama: menikahkan Nasya dengan Bima, anak dari sahabat lamanya, Hilman. Nasya merasa dipaksa masuk ke dalam situasi yang tidak diinginkannya, tapi pada akhirnya, di sinilah dia—duduk di sebuah restoran mewah, dikelilingi oleh orang-orang yang membuatnya tak nyaman, sementara ayahnya dengan percaya diri terus menjual kisah ‘jasa besar’ yang sudah terlalu sering ia dengar.

Di sebuah restoran yang tampak megah, Nasya duduk dengan perasaan campur aduk. Di depannya, keluarga Aryasetya—Hilman, Melati, dan Bima—duduk rapi dengan ekspresi kaku. Nasya berusaha menahan rasa malunya saat Harun, ayahnya, mulai bicara tanpa henti soal “jasa besar” yang selalu diulang-ulang sejak mereka tiba.

Hilman mencoba tersenyum sopan, meskipun jelas terlihat mulai kelelahan mendengar cerita yang sama untuk kelima kalinya. “Iya, iya, Harun. Saya ingat, kok. Memang waktu itu situasi saya kritis, dan berkat darah kamu, saya bisa selamat.”

Harun langsung menyambut dengan tawa yang sedikit terlalu keras. “Nah, itu dia! Jadi ya... utang budi tidak bisa diabaikan, kan? Sama seperti utang uang yang nggak bisa diabaikan juga, hehehe... Bercanda, bercanda.”

Nasya memejamkan mata sebentar, berharap bisa hilang sejenak dari percakapan yang penuh rasa malu ini. Di sebelahnya, Ranti ikut mengangguk dengan penuh semangat, seakan mendukung setiap kalimat suaminya.

Bima yang duduk di sana juga, terlihat agak canggung. Sesekali dia melirik Nasya, tapi tak berani bicara. Sementara itu, Melati, istri Hilman, tampak semakin gelisah. Senyumnya mulai berubah menjadi datar, dan setiap kali Hilman berusaha menanggapi Harun, ia tampak seperti menahan diri untuk tidak menyela.

Harun kembali bersuara, kali ini lebih serius. “Nah, Bima ini kan anak yang baik. Nasya juga anak saya satu-satunya, Hilman. Saya pikir... ini saat yang tepat untuk kita bicarakan hal yang lebih besar, lebih penting.”

Nasya tersentak, tahu ke mana arah pembicaraan ini. Tolong, jangan sekarang, pikirnya.

Hilman mengangkat alis. “Oh, hal penting seperti apa?”

Harun berdeham sedikit, lalu menatap Bima dan Nasya bergantian, dengan ekspresi penuh harapan. “Ya, saya pikir... sudah saatnya kita bicarakan soal... hubungan yang lebih serius antara Bima dan Nasya.”

Seketika suasana di meja menjadi lebih tegang, terutama bagi Nasya. Ia melirik Bima yang kini terlihat seperti ingin melarikan diri dari meja. Di sisi lain, Melati menelan ludah, jelas tidak nyaman dengan arah pembicaraan ini.

Melati akhirnya menyela dengan senyum datar. “Maksudnya, Pak Harun... hubungan serius seperti apa?”

Harun tertawa lagi, kali ini nadanya agak lebih gugup. “Ya, ya, maksud saya... hubungan pernikahan, Bu Melati. Bukannya kita ini sudah lama kenal? Saya rasa ini saat yang tepat.”

Nasya hampir tersedak air putihnya mendengar ucapan ayahnya. Dia menundukkan kepala, mencoba menutupi rasa malunya yang semakin memuncak. Di seberang meja, Bima tampak kaku seperti patung, sementara Melati dan Hilman saling berpandangan dengan raut wajah yang sulit diartikan—antara tersudut dan bingung harus menjawab apa.

Hilman tersenyum canggung, menggaruk tengkuknya. “Ah, Harun... kita ini teman lama, ya. Saya sangat menghargai apa yang kamu lakukan dulu. Tapi, soal pernikahan... hmm, apa tidak terlalu cepat membicarakan hal ini?”

“Memang sih,” Harun mulai mengoceh lagi, “Tapi kan, anak-anak kita sudah dewasa, dan siapa lagi yang lebih cocok untuk mereka kalau bukan dari keluarga yang sudah kita kenal dengan baik? Lagipula, kalau saya tidak donor darah waktu itu, ya siapa tahu nasib kamu gimana, kan?” Harun mengakhiri kalimatnya dengan tawa kecil yang jelas semakin membuat suasana semakin canggung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status