Harun terdiam. Jelas, ia kehabisan kata-kata. Sementara itu, Ranti mencoba meyakinkan lagi. “Nasya, keluarga Om Hilman itu baik. Mereka nggak bakal bikin kamu susah. Kalau kamu sama Bima, kamu nggak akan perlu khawatir soal makan, utang, atau bayar kontrakan lagi.”
Nasya memutar bola matanya. “Iya, Ma, terus aku bakal dianggep apa? Menantu atau pembantu? Aku tahu persis tujuan Papa nyuruh aku nikah sama Bima. Supaya kita dapet bantuan dari keluarganya, kan? Tapi yang ada malah kita dihina sama mereka!”
Ranti mendesah, mencoba tetap sabar. “Kamu lihat dari sisi baiknya dong.”
“Sisi baiknya?” Nasya tertawa pahit lagi. “Sisi baiknya apa, Ma? Aku jadi istri Bima, terus tiap hari diomelin keluarganya karena mereka nganggep aku cuma pengemis? Enggak, terima kasih. Yang ada, aku malah makin menderita.”
Harun akhirnya mencoba bicara lagi, meski suaranya terdengar sangat hati-hati. “Papa cuma pengen kamu nggak ikut susah, Nasya. Papa nggak tega lihat kamu harus pindah-pindah kontrakan, ngerasain hidup kayak gini. Kalau kamu sama Bima... paling nggak kamu nggak perlu ngalamin semua ini.”
Nasya menatap ayahnya lama, lalu menggeleng dengan tegas. “Ma, Pa... kalian denger aku baik-baik ya. Aku nggak akan nikah cuma buat jadi jalan pintas kalian keluar dari masalah ini. Kalau kalian mau ngelolosin diri dari utang, itu bukan tanggung jawab aku. Dan aku nggak mau jadi alat buat dapetin simpati dari keluarga kaya raya!”
Harun dan Ranti hanya bisa saling menatap satu sama lain, bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi. Nasya jelas-jelas tidak ingin dipaksa untuk menjalani pernikahan yang didasari bukan atas cinta, melainkan keputusasaan.
“Aku lebih baik ikut kalian hidup susah, pindah-pindah kontrakan, daripada jadi ‘menantu titipan’ yang harus rela dihina demi bantu kalian.” Nasya berdiri, tatapannya tegas. “Nikah itu buat hidup bahagia, bukan buat jadi tumbal.”
“Nasya, Om Hilman itu punya utang budi besar sama Papa. Kalau bukan karena Papa, mungkin dia udah lama nggak ada. Kamu nggak bakal direndahin, tenang aja.”
Nasya memandang ayahnya dengan tatapan penuh kebingungan. “Apa, Pa? Utang budi? Sejak kapan urusan utang budi dihubung-hubungin sama nikah?”
Harun mengangguk, dengan ekspresi seolah baru saja mengungkapkan rahasia besar. “Kamu dengerin dulu. Waktu masih muda, Om Hilman pernah kecelakaan, parah banget sampai kehabisan darah. Semua kantong darah di rumah sakit habis, nggak ada satu pun yang cocok kecuali darah Papa. Kalau nggak karena Papa donorin darah waktu itu, dia nggak bakal hidup sampai sekarang. Dia masih hidup dan menikmati kekayaan itu semua ya... berkat Papa!”
Nasya terdiam sebentar, mencoba mencerna. Lalu, tanpa sadar, ia tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi lebih karena tidak habis pikir. “Papa... jadi Papa pikir karena Papa donorin darah, papa jadi sangat berjasa buat keluarga Om Hilman? Dan mereka harus membalas jasa itu, dengan nerima aku jadi menantu?”
Harun mengangguk serius, tanpa sedikit pun menyadari absurditas situasinya. “Betul, Nak! Itu nggak cuma darah biasa, itu darah pahlawan penyelamat nyawa! Hilman nggak bakal lupa.”
Ranti yang sejak tadi hanya diam sambil menonton, ikut bersuara membujuk Nasya. “Nak, kita ini lagi di ujung tanduk. Kamu mau kita hidup pindah-pindah kontrakan terus? Kalau kamu nikah sama Bima, kita bisa punya sedikit jaminan masa depan. Ya, setidaknya nggak perlu ngumpet-ngumpet dari debt collector lagi.”
Nasya menatap ibunya dengan heran. “Jadi, yang kalian pikirin cuma... darah dan uang? Ini bener-bener gila!”
Ranti mencoba membujuk lagi dengan senyum memelas. “Ya, kita mau gimana? Hidup serba kekurangan nggak enak, Nak...”
Nasya mendesah panjang, jelas frustasi. “Enak nggak enak, Ma, itu urusan kita. Jangan bawa-bawa aku jadi solusi terakhir dari semua masalah ini!”
***
Meski sekuat tenaga Nasya menolak, hidup seolah tidak memberinya pilihan. Setiap kali ia mencoba membujuk orang tuanya untuk mencari solusi lain, Harun selalu kembali pada satu gagasan yang sama: menikahkan Nasya dengan Bima, anak dari sahabat lamanya, Hilman. Nasya merasa dipaksa masuk ke dalam situasi yang tidak diinginkannya, tapi pada akhirnya, di sinilah dia—duduk di sebuah restoran mewah, dikelilingi oleh orang-orang yang membuatnya tak nyaman, sementara ayahnya dengan percaya diri terus menjual kisah ‘jasa besar’ yang sudah terlalu sering ia dengar.
Di sebuah restoran yang tampak megah, Nasya duduk dengan perasaan campur aduk. Di depannya, keluarga Aryasetya—Hilman, Melati, dan Bima—duduk rapi dengan ekspresi kaku. Nasya berusaha menahan rasa malunya saat Harun, ayahnya, mulai bicara tanpa henti soal “jasa besar” yang selalu diulang-ulang sejak mereka tiba.
Hilman mencoba tersenyum sopan, meskipun jelas terlihat mulai kelelahan mendengar cerita yang sama untuk kelima kalinya. “Iya, iya, Harun. Saya ingat, kok. Memang waktu itu situasi saya kritis, dan berkat darah kamu, saya bisa selamat.”
Harun langsung menyambut dengan tawa yang sedikit terlalu keras. “Nah, itu dia! Jadi ya... utang budi tidak bisa diabaikan, kan? Sama seperti utang uang yang nggak bisa diabaikan juga, hehehe... Bercanda, bercanda.”
Nasya memejamkan mata sebentar, berharap bisa hilang sejenak dari percakapan yang penuh rasa malu ini. Di sebelahnya, Ranti ikut mengangguk dengan penuh semangat, seakan mendukung setiap kalimat suaminya.
Bima yang duduk di sana juga, terlihat agak canggung. Sesekali dia melirik Nasya, tapi tak berani bicara. Sementara itu, Melati, istri Hilman, tampak semakin gelisah. Senyumnya mulai berubah menjadi datar, dan setiap kali Hilman berusaha menanggapi Harun, ia tampak seperti menahan diri untuk tidak menyela.
Harun kembali bersuara, kali ini lebih serius. “Nah, Bima ini kan anak yang baik. Nasya juga anak saya satu-satunya, Hilman. Saya pikir... ini saat yang tepat untuk kita bicarakan hal yang lebih besar, lebih penting.”
Nasya tersentak, tahu ke mana arah pembicaraan ini. Tolong, jangan sekarang, pikirnya.
Hilman mengangkat alis. “Oh, hal penting seperti apa?”
Harun berdeham sedikit, lalu menatap Bima dan Nasya bergantian, dengan ekspresi penuh harapan. “Ya, saya pikir... sudah saatnya kita bicarakan soal... hubungan yang lebih serius antara Bima dan Nasya.”
Seketika suasana di meja menjadi lebih tegang, terutama bagi Nasya. Ia melirik Bima yang kini terlihat seperti ingin melarikan diri dari meja. Di sisi lain, Melati menelan ludah, jelas tidak nyaman dengan arah pembicaraan ini.
Melati akhirnya menyela dengan senyum datar. “Maksudnya, Pak Harun... hubungan serius seperti apa?”
Harun tertawa lagi, kali ini nadanya agak lebih gugup. “Ya, ya, maksud saya... hubungan pernikahan, Bu Melati. Bukannya kita ini sudah lama kenal? Saya rasa ini saat yang tepat.”
Nasya hampir tersedak air putihnya mendengar ucapan ayahnya. Dia menundukkan kepala, mencoba menutupi rasa malunya yang semakin memuncak. Di seberang meja, Bima tampak kaku seperti patung, sementara Melati dan Hilman saling berpandangan dengan raut wajah yang sulit diartikan—antara tersudut dan bingung harus menjawab apa.
Hilman tersenyum canggung, menggaruk tengkuknya. “Ah, Harun... kita ini teman lama, ya. Saya sangat menghargai apa yang kamu lakukan dulu. Tapi, soal pernikahan... hmm, apa tidak terlalu cepat membicarakan hal ini?”
“Memang sih,” Harun mulai mengoceh lagi, “Tapi kan, anak-anak kita sudah dewasa, dan siapa lagi yang lebih cocok untuk mereka kalau bukan dari keluarga yang sudah kita kenal dengan baik? Lagipula, kalau saya tidak donor darah waktu itu, ya siapa tahu nasib kamu gimana, kan?” Harun mengakhiri kalimatnya dengan tawa kecil yang jelas semakin membuat suasana semakin canggung.
Pulang dari restoran, Nasya masih memendam rasa malu yang tak tertahankan. Begitu sampai di ruang tamu, ia langsung melepas tasnya dengan kasar ke sofa, lalu menghela napas panjang. Tatapannya tajam, tertuju ke kedua orang tuanya yang duduk tenang seolah tak terjadi apa-apa.“Aku bener-bener nggak ngerti!” Nasya meledak, tangannya terangkat seakan ingin menunjuk keduanya. “Bisa-bisanya Mama sama Papa maksa keluarga Om Hilman buat nikahin aku sama Bima. Aku malu setengah mati! Rasanya kayak barang obralan yang udah mau kadaluarsa, sampai harus segera dijual sebelum Mama sama Papa rugi!”Harun malah duduk bersandar dengan santai, mengangkat bahu ringan. “Lho, siapa juga yang maksa? Papa cuma negosiasi, kok.”“Negosiasi?! Pakai nyebut-nyebut utang budi yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan aku?!” Nasya mencibir sambil menggerakkan tangannya seolah mencoret-coret sesuatu di udara. “Papa ngomong seolah-olah aku ini paket bonus dari kebaikan Papa bertahun-tahun lalu. Sekalian aja Pa
Di ruang kerja Bima yang penuh dengan desain dan cetak biru, dia tengah membereskan beberapa dokumen terakhir sebelum bersiap pulang. Matanya menatap laptop dengan wajah lelah. Sebagai seorang arsitek, rutinitas seperti ini sudah jadi makanan sehari-harinya—mengurus klien, mengejar deadline proyek, dan merancang bangunan yang harus sempurna di setiap detailnya.Saat Bima baru saja menutup laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Mama muncul di layar. Dia menghela napas, lalu mengangkat telepon itu.“Halo, Ma?” suaranya terdengar santai.“Kamu masih di kantor?” suara Melati terdengar agak tajam. “Udah sore, Bima. Kamu jangan kebiasaan gila kerja, ya! Mau jadi workaholic selamanya?”Bima tersenyum tipis. “Ini udah mau pulang kok, Ma. Sebentar lagi.”“Cepetan!” Melati mendesak. “Mama punya kejutan buat kamu!”Kejutan? Bima langsung mengernyitkan dahi. “Kejutan apa, Ma?”Melati tertawa kecil, agak misterius. “Pokoknya kejutan yang bisa menyelamatkan hidup kamu. Biar kamu nggak dipaks
Bima menelan ludah, menatap Melati seolah-olah meminta ampun. “Ma, aku kayaknya gak cocok sama Mutiara.”Melati menghela napas panjang, tapi masih sempat tersenyum kecil. “Ya ampun, Bima. Kamu belum nyoba kenalan sama dia, kenapa udah bilang gak cocok? Hidup kamu tuh gak seimbang! Kerja, kerja, kerja mulu! Kamu mau nikah sama desain kamu?!”Bima menggeleng sambil tersenyum kecut, berusaha menahan diri agar tidak terlalu meledak di depan ibunya. “Ya, Ma... tapi kalau Mama mau jodohin aku, ya lihat-lihat dulu dong... gimana ya ngomongnya...” Bima menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Bukan tipenya aku, gitu.”Melati langsung melotot. “Hah? Kamu ini milih-milih banget, Bim. Mutiara tuh anak baik-baik, keluarga terpandang. Kamu cuma gak kenal dia aja, makanya belum ngerasa cocok.”Bima mengangkat alis, matanya berbinar dengan sedikit rasa kesal yang mulai naik ke permukaan. “Masalahnya, aku tuh nggak bisa... gimana ya... nggak bisa lihat dia kayak... eh, kayak... pokoknya gitu
Bima tertawa kecil, nyaris tak bisa menahan dirinya lagi. “Oh, harga diri. Gue lupa. Jadi harga diri kalian tersinggung sama tumpukan semen dan bata yang kebetulan dipake buat ruko?” Dia mengangkat tangan, menatap para preman dengan ekspresi sok paham, seakan menyerah dalam logika absurd yang ada di hadapannya. “Udah deh, Bro. Mending kalian langsung aja bilang—mau kalian apa?”Salah satu preman melangkah maju, mengangkat dagunya sambil menyeringai. “Kita cuma mau kompensasi kecil aja. Lima juta buat kita. Nggak, tunggu, kita ada berlima, jadi sepuluh juta lah. Itu baru adil.”“Kompensasi?” Bima mendongak dengan ekspresi tak percaya, lalu meledak dalam tawa sarkastis. “Sepuluh juta? Buat apaan? Buat kalian ngelaporin semen-semen itu ke polisi? Atau buat beli rokok biar bisa nongkrong lebih lama di sini?”Wajah para preman berubah merah padam, jelas marah karena diejek. Mereka saling bertukar pandang, lalu salah satu dari mereka, yang tampak sebagai pemimpin kelompok, merapat ke Bima d
Nasya memapah Bima yang masih lemas menuju ruang IGD rumah sakit. Langkah mereka agak terseret, dan pakaian mereka masih setengah basah, membuat lantai berkilat-kilat setiap kali sepatu mereka menapak. Di depan pintu IGD, mereka segera disambut oleh seorang perawat muda yang sigap.“Ada apa, Mbak?” tanya perawat dengan nada serius, matanya melirik Bima yang tampak lemas.Nasya menarik napas dalam, masih sedikit terengah. “Dia… habis tenggelam di danau,” ujarnya singkat, sambil melirik ke arah Bima yang masih mencoba berdiri tegak meski terlihat semakin payah.Perawat langsung memberi isyarat kepada rekannya. “Ayo, bawa pasien ke dalam,” ujarnya cepat. Mereka dengan sigap mengarahkan Bima ke ranjang pemeriksaan terdekat, sementara Nasya mengikuti di sampingnya.“Mas, bisa berbaring dulu ya,” kata dokter yang baru masuk dengan langkah cepat. Ia mengenakan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leher. Tangannya bergerak cekatan mempersiapkan peralatan untuk pemeriksaan. “Kejadiannya
Mutiara dan Melati berlari memasuki pintu depan rumah sakit. Nafas mereka berkejaran, seolah-olah habis maraton sepanjang jalan. Melati dengan raut wajah tegang, langsung mengarahkan langkah ke meja admin resepsionis.“Maaf, Mas, pasien atas nama Bima Aryasetya di mana sekarang?” tanya Melati dengan napas yang tersengal.Petugas resepsionis, seorang pria berusia tiga puluhan dengan rambut rapi, menatapnya sejenak sebelum mengetik cepat di komputernya. “Bima Aryasetya ya, Bu? Oh, beliau sudah dipindah ke ruang observasi, masih menunggu hasil pemeriksaan.”Mutiara langsung menggumam, “Ruang observasi di mana, Mas?”“Di lantai dua, Bu. Silakan ke lift sebelah kiri, lalu keluar belok kanan, ruang observasi ada di ujung koridor.”Mendengar penjelasan itu, Melati dan Mutiara tanpa basa-basi lagi langsung bergegas. Sepatu mereka berderit di atas lantai keramik yang licin. Melati terus menggigit bibirnya, keringat dingin mengucur di pelipis, bukan hanya karena cemas pada Bima, tapi juga ada t
Melati keluar dari kamar mandi dengan langkah enteng, senyum lega menghiasi wajahnya. Ia mengusap perutnya dengan penuh kepuasan. “Akhirnya,” gumamnya. “Semua urusan hidup ini tuntas juga.” Sambil merapikan gaun, Melati merasa seperti manusia baru—beban dunia seakan terlepas bersama segala yang ia tinggalkan di kamar mandi tadi.Namun, baru saja di tikungan, tiba-tiba... Bruak! Ia menabrak seseorang. Melati tersentak, hampir terjengkang. Di depannya berdiri Mutiara, yang terlihat lebih kacau daripada biasanya. Rambutnya berantakan, dan air mata membasahi wajahnya, membuat maskara tebalnya luntur menjadi jejak hitam di pipinya.“Mutiara, sayang, kamu kenapa?” Melati langsung bertanya dengan khawatir.Mutiara mengusap wajahnya yang semakin berantakan. “Tante, kenapa jodohin aku sama anak tante yang udah punya calon istri!? Tante sengaja, ya, mau mempermalukan aku?!” seru Mutiara di antara isakan.Melati terperanjat, tapi cepat-cepat berusaha menenangkan. “Sayang, kamu kok ngomong gitu?
Nasya keluar dari rumah sakit dengan napas lega. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar, dan untungnya, ada tukang ojek yang mangkal di dekat pintu keluar. “Syukur ada ojek,” batinnya. Mengingat ponselnya mati sejak jatuh ke air tadi, harapan untuk pesan ojek online pupus, jadi menemukan ojek konvensional ini seperti keajaiban kecil di tengah hari yang melelahkan.Setelah cepat-cepat naik ojek, Nasya berusaha melupakan kejadian tadi dengan Bima, meski pikirannya masih terus berputar. “Ini sih drama banget,” gumamnya pelan sambil memegangi helm yang agak longgar.Sampai di rumah, Nasya buru-buru masuk ke dalam. Harun dan Ranti yang sedang duduk di ruang tamu langsung menyambut dengan ekspresi kaget. “Lho, kok udah pulang?” tanya Harun sambil memicingkan mata curiga. Dia memerhatikan Nasya yang masih mengenakan baju dari rumah sakit, tapi fokusnya saat ini bukan pada baju yang dipakai Nasya—tapi sesuatu yang lebih penting dari itu.Ranti mengangguk setuju, “Emangnya Bima udah pulang? Kok