Share

Bab 6. Nasya: Barang Lelang di Meja Perjodohan

Pulang dari restoran, Nasya masih memendam rasa malu yang tak tertahankan. Begitu sampai di ruang tamu, ia langsung melepas tasnya dengan kasar ke sofa, lalu menghela napas panjang. Tatapannya tajam, tertuju ke kedua orang tuanya yang duduk tenang seolah tak terjadi apa-apa.

“Aku bener-bener nggak ngerti!” Nasya meledak, tangannya terangkat seakan ingin menunjuk keduanya. “Bisa-bisanya Mama sama Papa maksa keluarga Om Hilman buat nikahin aku sama Bima. Aku malu setengah mati! Rasanya kayak barang obralan yang udah mau kadaluarsa, sampai harus segera dijual sebelum Mama sama Papa rugi!”

Harun malah duduk bersandar dengan santai, mengangkat bahu ringan. “Lho, siapa juga yang maksa? Papa cuma negosiasi, kok.”

“Negosiasi?! Pakai nyebut-nyebut utang budi yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan aku?!” Nasya mencibir sambil menggerakkan tangannya seolah mencoret-coret sesuatu di udara. “Papa ngomong seolah-olah aku ini paket bonus dari kebaikan Papa bertahun-tahun lalu. Sekalian aja Papa kasih bundling sama TV bekas!”

Ranti ikut menimpali. “Nasya, jangan lebay. Keluarga Aryasetya itu kaya, nggak ada salahnya kalau kamu nikah sama Bima. Lebih baik daripada hidup susah. Lihat aja kondisi kita sekarang... kamu mau kayak kita terus?”

Nasya menatap ibunya dengan mulut ternganga. “Jadi menurut Mama, aku harus nikah cuma biar nggak hidup susah? Aku nggak peduli seberapa kaya mereka, aku nggak mau jadi istri siapa pun! Keluarga Bima jelas-jelas mandang aku rendah banget. Kelihatan dari cara mereka senyum tadi, kayak nahan jijik!”

Harun menghela napas, masih dengan nada santai. “Ya, tapi mereka nggak bilang apa-apa, kan? Mereka cuma diam. Itu udah bagus. Kamu juga harus mulai belajar cuek. Kalau nggak, ya siap-siap aja hidup miskin terus.”

“Cuek? Papa serius?!” Nasya meremas rambutnya frustrasi. “Aku bener-bener nggak habis pikir. Aku nggak mau nikah sama Bima, titik. Tolong, jangan paksa aku lagi!”

Ranti menoleh sekilas sambil melipat tangannya, wajahnya tetap tenang. “Nasya, kamu kan tahu situasi kita... Ya masa kamu nggak mau bantu keluarga? Masa kamu mau lihat kita terus-terusan susah begini?”

Nasya melotot. “Bantu keluarga dengan cara jual diri, gitu??”

Harun menyambung dengan nada lirih tapi penuh arti. “Kita nggak jual kamu, Nak... Cuma, yah, mau gimana lagi? Situasi kita kan udah begini. Papa sama Mama cuma mikirin masa depan kamu, kok.”

Nasya menatap mereka dengan tidak percaya. “Masa depan aku? Atau masa depan Papa sama Mama?”

Ranti mendesah panjang, lalu menatap Nasya dengan pandangan iba yang dibuat-buat. “Ya, terserah kamu mau mikir gimana. Cuma... apa kamu nggak kasihan sama kita? Kamu anak satu-satunya, lho. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang bisa diandalkan? Masa kamu tega...”

Nasya tersentak, merasa ada sesuatu yang menohok di dalam dadanya. “Jadi sekarang aku yang nggak punya hati, gitu?”

Harun menimpali dengan nada bijak yang seolah-olah tak memihak, padahal jelas-jelas menggiring. “Bukan begitu, Nasya. Kita cuma mau yang terbaik buat kamu. Bima orang baik, punya pekerjaan mapan, keluarganya juga terhormat. Kamu tinggal terima. Masa kamu mau hidup miskin terus, bantu-bantu di warung... Gimana nanti kalau kita udah nggak ada?”

Nasya menggeleng, berusaha menepis rasa bersalah yang mulai merayap. “Papa, Mama, aku bukan alat buat bayar utang! Dan aku nggak mau nikah sama Bima. Titik.”

Ranti berpura-pura tersentak, seakan kata-kata Nasya menyakitinya. “Yah, ya sudah... kalau memang kamu lebih mementingkan ego sendiri daripada keluarga. Kami ini kan cuma orang tua yang sudah tua... nggak banyak waktu lagi buat lihat kamu bahagia...”

Harun menunduk sedikit, menghela napas berat seolah-olah baru saja mengangkat beban berat dari pundaknya. “Ya, terserah kamu. Kita nggak mau maksa kok. Cuma... kalau kamu mau kita terus hidup begini, nggak apa-apa. Papa dan Mama masih bisa bertahan sedikit lagi, kok.”

Nasya melipat tangan di depan dada dengan kesal. “Udah, cukup! Aku nggak mau denger lagi soal Bima!”

Harun dan Ranti saling pandang dengan lirikan penuh makna. Harun berdeham, lalu dengan nada seolah-olah penuh pengorbanan, berkata, “Kalau kamu mau begitu, kita terima. Kita cuma mau yang terbaik buat kamu, kok. Tapi ya... kita harus siap-siap buat yang terburuk.”

Nasya mendengus kesal, merasa seolah dirinya sudah kalah dalam permainan yang tak pernah ia setujui.

***

Di kediaman Aryasatya, suasana tidak kalah tegang. Baru saja sampai di rumah, Melati langsung melangkah dengan kasar ke ruang tengah. Wajahnya penuh amarah. “Mama nggak habis pikir! Bisa-bisanya keluarga Harun itu ngungkit-ungkit masalah lama cuma buat maksa anak kita nikah sama Nasya. Kayak kita ini nggak punya pilihan lain aja!”

Hilman menghela napas panjang, mencoba menenangkan suasana. “Ma, tenang dulu. Mereka kan cuma ngomong soal budi baik waktu itu. Lagipula, kalau dipikir-pikir, sebenarnya nggak ada salahnya juga kalau mereka minta imbalan.”

“Imbalan?!” Melati memelototi suaminya, nyaris tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. “Pa, kalau mau kasih imbalan, kasih aja duit, atau barang. Jangan anak kita! Kamu pikir anak kita ini barang yang bisa dibarter di pasar loak?!”

Hilman mencoba tertawa kecil untuk mencairkan suasana, tapi melihat ekspresi istrinya yang makin masam, dia segera menghentikan usahanya. “Yah, papa cuma berpikir logis aja, Ma. Lagipula, anak kita sudah dewasa, siapa tahu ini memang jodoh.”

“Jodoh?! Pa, tolonglah... Kalo mau jodohin harus liat kelas. Anak kita ini ganteng, pinter, punya kerjaan bagus, dari keluarga terpandang. Kalo diibaratin, Bima ini laki-laki kualitas premium. Kalo anaknya Harun itu apa, Pa? Dia kayak sepatu diskon 90% di pasar malam! Lucunya enggak ada yang mau beli juga, makanya mereka maksa kita buat nikahin Bima sama dia.”

Bima yang sejak tadi duduk diam di sudut ruang tamu, tenggelam dalam pikirannya, tersentak ketika Hilman tiba-tiba menoleh padanya. “Bima, menurut kamu gimana? Kamu yang bakal nikah. Mau nggak kamu sama Nasya?”

Bima yang dari tadi nge-blank gara-gara situasi tak terduga di restoran, langsung terdiam sejenak, menatap kosong ke arah ayahnya. “Ehm... Gimana ya, Pa...” Ia menggaruk kepalanya yang jelas-jelas tidak gatal. “Kalau memang ini soal balas budi, ya... mungkin kita harus pertimbangkan serius. Lagipula, utang budi itu penting. Cuma ya, kalau soal nikah... Rasanya nggak bisa ambil keputusan terburu-buru.”

Hilman mengangguk, lalu berkata, “Ya sudah, kamu coba kenalan dulu. Lihat dia, cek fisiknya, kepribadiannya, siapa tahu cocok. Anggap aja... riset kecil-kecilan. Barusan Harun juga kirim pesan, katanya dua minggu lagi mau ngajak ketemu, buat bahas keputusan...”

Bima mengernyitkan dahi, nyaris tersedak mendengar itu. “Dua minggu? Serius? Saling mengenal sebelum nikah juga nggak semudah itu. Ini nggak kayak beli kambing buat kurban, yang cuma perlu dicek fisik dan bobotnya.”

Bima mengurut keningnya, stress dengan situasi yang membuatnya tiba-tiba tersudut. Ia memejamkan mata sebentar, membayangkan dirinya berdiri di pasar kambing, sambil menimang-nimang calon istri seperti barang lelang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status