Pulang dari restoran, Nasya masih memendam rasa malu yang tak tertahankan. Begitu sampai di ruang tamu, ia langsung melepas tasnya dengan kasar ke sofa, lalu menghela napas panjang. Tatapannya tajam, tertuju ke kedua orang tuanya yang duduk tenang seolah tak terjadi apa-apa.
“Aku bener-bener nggak ngerti!” Nasya meledak, tangannya terangkat seakan ingin menunjuk keduanya. “Bisa-bisanya Mama sama Papa maksa keluarga Om Hilman buat nikahin aku sama Bima. Aku malu setengah mati! Rasanya kayak barang obralan yang udah mau kadaluarsa, sampai harus segera dijual sebelum Mama sama Papa rugi!”
Harun malah duduk bersandar dengan santai, mengangkat bahu ringan. “Lho, siapa juga yang maksa? Papa cuma negosiasi, kok.”
“Negosiasi?! Pakai nyebut-nyebut utang budi yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan aku?!” Nasya mencibir sambil menggerakkan tangannya seolah mencoret-coret sesuatu di udara. “Papa ngomong seolah-olah aku ini paket bonus dari kebaikan Papa bertahun-tahun lalu. Sekalian aja Papa kasih bundling sama TV bekas!”
Ranti ikut menimpali. “Nasya, jangan lebay. Keluarga Aryasetya itu kaya, nggak ada salahnya kalau kamu nikah sama Bima. Lebih baik daripada hidup susah. Lihat aja kondisi kita sekarang... kamu mau kayak kita terus?”
Nasya menatap ibunya dengan mulut ternganga. “Jadi menurut Mama, aku harus nikah cuma biar nggak hidup susah? Aku nggak peduli seberapa kaya mereka, aku nggak mau jadi istri siapa pun! Keluarga Bima jelas-jelas mandang aku rendah banget. Kelihatan dari cara mereka senyum tadi, kayak nahan jijik!”
Harun menghela napas, masih dengan nada santai. “Ya, tapi mereka nggak bilang apa-apa, kan? Mereka cuma diam. Itu udah bagus. Kamu juga harus mulai belajar cuek. Kalau nggak, ya siap-siap aja hidup miskin terus.”
“Cuek? Papa serius?!” Nasya meremas rambutnya frustrasi. “Aku bener-bener nggak habis pikir. Aku nggak mau nikah sama Bima, titik. Tolong, jangan paksa aku lagi!”
Ranti menoleh sekilas sambil melipat tangannya, wajahnya tetap tenang. “Nasya, kamu kan tahu situasi kita... Ya masa kamu nggak mau bantu keluarga? Masa kamu mau lihat kita terus-terusan susah begini?”
Nasya melotot. “Bantu keluarga dengan cara jual diri, gitu??”
Harun menyambung dengan nada lirih tapi penuh arti. “Kita nggak jual kamu, Nak... Cuma, yah, mau gimana lagi? Situasi kita kan udah begini. Papa sama Mama cuma mikirin masa depan kamu, kok.”
Nasya menatap mereka dengan tidak percaya. “Masa depan aku? Atau masa depan Papa sama Mama?”
Ranti mendesah panjang, lalu menatap Nasya dengan pandangan iba yang dibuat-buat. “Ya, terserah kamu mau mikir gimana. Cuma... apa kamu nggak kasihan sama kita? Kamu anak satu-satunya, lho. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang bisa diandalkan? Masa kamu tega...”
Nasya tersentak, merasa ada sesuatu yang menohok di dalam dadanya. “Jadi sekarang aku yang nggak punya hati, gitu?”
Harun menimpali dengan nada bijak yang seolah-olah tak memihak, padahal jelas-jelas menggiring. “Bukan begitu, Nasya. Kita cuma mau yang terbaik buat kamu. Bima orang baik, punya pekerjaan mapan, keluarganya juga terhormat. Kamu tinggal terima. Masa kamu mau hidup miskin terus, bantu-bantu di warung... Gimana nanti kalau kita udah nggak ada?”
Nasya menggeleng, berusaha menepis rasa bersalah yang mulai merayap. “Papa, Mama, aku bukan alat buat bayar utang! Dan aku nggak mau nikah sama Bima. Titik.”
Ranti berpura-pura tersentak, seakan kata-kata Nasya menyakitinya. “Yah, ya sudah... kalau memang kamu lebih mementingkan ego sendiri daripada keluarga. Kami ini kan cuma orang tua yang sudah tua... nggak banyak waktu lagi buat lihat kamu bahagia...”
Harun menunduk sedikit, menghela napas berat seolah-olah baru saja mengangkat beban berat dari pundaknya. “Ya, terserah kamu. Kita nggak mau maksa kok. Cuma... kalau kamu mau kita terus hidup begini, nggak apa-apa. Papa dan Mama masih bisa bertahan sedikit lagi, kok.”
Nasya melipat tangan di depan dada dengan kesal. “Udah, cukup! Aku nggak mau denger lagi soal Bima!”
Harun dan Ranti saling pandang dengan lirikan penuh makna. Harun berdeham, lalu dengan nada seolah-olah penuh pengorbanan, berkata, “Kalau kamu mau begitu, kita terima. Kita cuma mau yang terbaik buat kamu, kok. Tapi ya... kita harus siap-siap buat yang terburuk.”
Nasya mendengus kesal, merasa seolah dirinya sudah kalah dalam permainan yang tak pernah ia setujui.
***
Di kediaman Aryasatya, suasana tidak kalah tegang. Baru saja sampai di rumah, Melati langsung melangkah dengan kasar ke ruang tengah. Wajahnya penuh amarah. “Mama nggak habis pikir! Bisa-bisanya keluarga Harun itu ngungkit-ungkit masalah lama cuma buat maksa anak kita nikah sama Nasya. Kayak kita ini nggak punya pilihan lain aja!”
Hilman menghela napas panjang, mencoba menenangkan suasana. “Ma, tenang dulu. Mereka kan cuma ngomong soal budi baik waktu itu. Lagipula, kalau dipikir-pikir, sebenarnya nggak ada salahnya juga kalau mereka minta imbalan.”
“Imbalan?!” Melati memelototi suaminya, nyaris tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. “Pa, kalau mau kasih imbalan, kasih aja duit, atau barang. Jangan anak kita! Kamu pikir anak kita ini barang yang bisa dibarter di pasar loak?!”
Hilman mencoba tertawa kecil untuk mencairkan suasana, tapi melihat ekspresi istrinya yang makin masam, dia segera menghentikan usahanya. “Yah, papa cuma berpikir logis aja, Ma. Lagipula, anak kita sudah dewasa, siapa tahu ini memang jodoh.”
“Jodoh?! Pa, tolonglah... Kalo mau jodohin harus liat kelas. Anak kita ini ganteng, pinter, punya kerjaan bagus, dari keluarga terpandang. Kalo diibaratin, Bima ini laki-laki kualitas premium. Kalo anaknya Harun itu apa, Pa? Dia kayak sepatu diskon 90% di pasar malam! Lucunya enggak ada yang mau beli juga, makanya mereka maksa kita buat nikahin Bima sama dia.”
Bima yang sejak tadi duduk diam di sudut ruang tamu, tenggelam dalam pikirannya, tersentak ketika Hilman tiba-tiba menoleh padanya. “Bima, menurut kamu gimana? Kamu yang bakal nikah. Mau nggak kamu sama Nasya?”
Bima yang dari tadi nge-blank gara-gara situasi tak terduga di restoran, langsung terdiam sejenak, menatap kosong ke arah ayahnya. “Ehm... Gimana ya, Pa...” Ia menggaruk kepalanya yang jelas-jelas tidak gatal. “Kalau memang ini soal balas budi, ya... mungkin kita harus pertimbangkan serius. Lagipula, utang budi itu penting. Cuma ya, kalau soal nikah... Rasanya nggak bisa ambil keputusan terburu-buru.”
Hilman mengangguk, lalu berkata, “Ya sudah, kamu coba kenalan dulu. Lihat dia, cek fisiknya, kepribadiannya, siapa tahu cocok. Anggap aja... riset kecil-kecilan. Barusan Harun juga kirim pesan, katanya dua minggu lagi mau ngajak ketemu, buat bahas keputusan...”
Bima mengernyitkan dahi, nyaris tersedak mendengar itu. “Dua minggu? Serius? Saling mengenal sebelum nikah juga nggak semudah itu. Ini nggak kayak beli kambing buat kurban, yang cuma perlu dicek fisik dan bobotnya.”
Bima mengurut keningnya, stress dengan situasi yang membuatnya tiba-tiba tersudut. Ia memejamkan mata sebentar, membayangkan dirinya berdiri di pasar kambing, sambil menimang-nimang calon istri seperti barang lelang.
Di ruang kerja Bima yang penuh dengan desain dan cetak biru, dia tengah membereskan beberapa dokumen terakhir sebelum bersiap pulang. Matanya menatap laptop dengan wajah lelah. Sebagai seorang arsitek, rutinitas seperti ini sudah jadi makanan sehari-harinya—mengurus klien, mengejar deadline proyek, dan merancang bangunan yang harus sempurna di setiap detailnya.Saat Bima baru saja menutup laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Mama muncul di layar. Dia menghela napas, lalu mengangkat telepon itu.“Halo, Ma?” suaranya terdengar santai.“Kamu masih di kantor?” suara Melati terdengar agak tajam. “Udah sore, Bima. Kamu jangan kebiasaan gila kerja, ya! Mau jadi workaholic selamanya?”Bima tersenyum tipis. “Ini udah mau pulang kok, Ma. Sebentar lagi.”“Cepetan!” Melati mendesak. “Mama punya kejutan buat kamu!”Kejutan? Bima langsung mengernyitkan dahi. “Kejutan apa, Ma?”Melati tertawa kecil, agak misterius. “Pokoknya kejutan yang bisa menyelamatkan hidup kamu. Biar kamu nggak dipaks
Bima menelan ludah, menatap Melati seolah-olah meminta ampun. “Ma, aku kayaknya gak cocok sama Mutiara.”Melati menghela napas panjang, tapi masih sempat tersenyum kecil. “Ya ampun, Bima. Kamu belum nyoba kenalan sama dia, kenapa udah bilang gak cocok? Hidup kamu tuh gak seimbang! Kerja, kerja, kerja mulu! Kamu mau nikah sama desain kamu?!”Bima menggeleng sambil tersenyum kecut, berusaha menahan diri agar tidak terlalu meledak di depan ibunya. “Ya, Ma... tapi kalau Mama mau jodohin aku, ya lihat-lihat dulu dong... gimana ya ngomongnya...” Bima menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Bukan tipenya aku, gitu.”Melati langsung melotot. “Hah? Kamu ini milih-milih banget, Bim. Mutiara tuh anak baik-baik, keluarga terpandang. Kamu cuma gak kenal dia aja, makanya belum ngerasa cocok.”Bima mengangkat alis, matanya berbinar dengan sedikit rasa kesal yang mulai naik ke permukaan. “Masalahnya, aku tuh nggak bisa... gimana ya... nggak bisa lihat dia kayak... eh, kayak... pokoknya gitu
Bima tertawa kecil, nyaris tak bisa menahan dirinya lagi. “Oh, harga diri. Gue lupa. Jadi harga diri kalian tersinggung sama tumpukan semen dan bata yang kebetulan dipake buat ruko?” Dia mengangkat tangan, menatap para preman dengan ekspresi sok paham, seakan menyerah dalam logika absurd yang ada di hadapannya. “Udah deh, Bro. Mending kalian langsung aja bilang—mau kalian apa?”Salah satu preman melangkah maju, mengangkat dagunya sambil menyeringai. “Kita cuma mau kompensasi kecil aja. Lima juta buat kita. Nggak, tunggu, kita ada berlima, jadi sepuluh juta lah. Itu baru adil.”“Kompensasi?” Bima mendongak dengan ekspresi tak percaya, lalu meledak dalam tawa sarkastis. “Sepuluh juta? Buat apaan? Buat kalian ngelaporin semen-semen itu ke polisi? Atau buat beli rokok biar bisa nongkrong lebih lama di sini?”Wajah para preman berubah merah padam, jelas marah karena diejek. Mereka saling bertukar pandang, lalu salah satu dari mereka, yang tampak sebagai pemimpin kelompok, merapat ke Bima d
Nasya memapah Bima yang masih lemas menuju ruang IGD rumah sakit. Langkah mereka agak terseret, dan pakaian mereka masih setengah basah, membuat lantai berkilat-kilat setiap kali sepatu mereka menapak. Di depan pintu IGD, mereka segera disambut oleh seorang perawat muda yang sigap.“Ada apa, Mbak?” tanya perawat dengan nada serius, matanya melirik Bima yang tampak lemas.Nasya menarik napas dalam, masih sedikit terengah. “Dia… habis tenggelam di danau,” ujarnya singkat, sambil melirik ke arah Bima yang masih mencoba berdiri tegak meski terlihat semakin payah.Perawat langsung memberi isyarat kepada rekannya. “Ayo, bawa pasien ke dalam,” ujarnya cepat. Mereka dengan sigap mengarahkan Bima ke ranjang pemeriksaan terdekat, sementara Nasya mengikuti di sampingnya.“Mas, bisa berbaring dulu ya,” kata dokter yang baru masuk dengan langkah cepat. Ia mengenakan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leher. Tangannya bergerak cekatan mempersiapkan peralatan untuk pemeriksaan. “Kejadiannya
Nasya keluar dari kamar mandi dengan napas lega, akhirnya ada sedikit waktu untuk dirinya sendiri, walau hanya sekejap. Namun, saat baru melangkah ke ruang tengah, ia langsung disambut dengan suara keributan yang membuat kepalanya berdenyut. Anak-anaknya—keempat anak yang berbeda ayah—berhamburan di segala penjuru ruangan. Dengan langkah tergesa, ia malah menginjak sesuatu yang keras. “Aduh!” Nasya melompat kecil, menatap mainan balok lego yang bercecer di lantai. Ia mengelus dadanya. “Ya ampun... sudah berapa kali mama bilang, mainan harus diberesin!” Tapi, siapa yang mau dengar?Dylan, anak sulungnya yang baru berusia enam tahun, duduk anteng di sofa sambil memainkan tablet. Wajahnya serius, sama seriusnya dengan Bima Aryasetya, mantan suami pertamanya yang gila kerja. Bahkan ekspresi anak itu saat menatap layar membuat darah Nasya sedikit mendidih. Rasanya ingin mencubit pipinya yang tembam, tapi ditahan. Ini anak gue, anak sendiri harus disayang-sayang, gumamnya dalam hati. Apalag
Bima di ujung telepon menghela napas. “Nasya, kamu nggak bisa terus-terusan bersikap sinis sama aku. Demi Dylan, setidaknya. Apa yang akan dia pikirkan kalau kita selalu begini?”Nasya hanya mengangkat bahu, meski Bima jelas tidak bisa melihat itu. “Terserah apa yang dia mau pikirkan. Yang penting aku nggak ada urusan lagi sama kamu.”“Aku hampir sampai rumahmu. Kita harus bicara. Serius.” Suara Bima terdengar tegas, dan itu malah membuat Nasya mendengus.“Kalau mau ketemu Dylan, silakan. Kamu juga boleh ajak dia pergi sebentar. Tapi setelah itu, antar dia pulang lagi. Selesai.”“Nggak, aku nggak cuma mau ketemu Dylan.” Bima menekankan suaranya. “Aku mau bicara sama kamu, Nasya.”“Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi!” Nasya mulai merasa darahnya naik. “Pokoknya, kalau kamu cuma mau basa-basi, aku nggak tertarik!”Bima tak menyerah. “Kalau aku memaksa gimana?”Nasya mengangkat alis. “Memaksa? Mau ngapain kamu?”Bima menghela napas panjang, lalu dengan nada santai tapi provokatif berk
Bima menyandarkan punggungnya pada kursi teras, matanya menatap Nasya yang kini duduk di sampingnya memangku Nino yang mulai tenang karena mengantuk. Ia tahu percakapan ini akan sulit, tapi tidak ada jalan lain.“Nggak gampang buat aku ngomong ini, Nasya,” Bima memulai, sedikit kaku. “Tapi aku mau kamu tau, sampai sekarang, aku nggak pernah nikah lagi. Nggak deket juga sama perempuan lain. Kayak ada sesuatu yang... ya, aku belum bisa lupain.”Nasya menatap Bima dengan mata setengah tertutup, ekspresi wajahnya jelas-jelas meremehkan. “Ya, terus?”Bima terdiam sesaat, menelan kekesalannya. “Aku cuma pengen bilang kalau… aku masih belum bisa lepas dari semuanya, dari kita. Dan, ya… aku lihat kamu juga, meski udah berkali-kali nikah lagi, nggak ada yang berhasil, kan?”Senyum sinis langsung tersungging di bibir Nasya. Ia menaruh Nino yang baru tertidur di stroller yang ada di sebelahnya, kemudian menatap Bima dengan pandangan penuh cemooh.“Bima, jangan geer deh. Kamu pikir kegagalan pern
Nasya baru saja turun dari ojek online di depan rumah. Meski keluarganya bukan dari golongan kaya raya, hidup mereka tak pernah benar-benar kekurangan. Harun, ayahnya, memiliki usaha rumah makan kecil yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Ibunya, Ranti, meskipun hanya ibu rumah tangga, selalu memastikan kebutuhan rumah tetap terurus dengan baik. Semua tampak baik-baik saja—hingga sore itu.Begitu kakinya melangkah masuk ke halaman, Nasya langsung disambut oleh pemandangan yang membuatnya tercekat. Tiga pria bertubuh besar, berpakaian serba hitam, sibuk mengangkut barang-barang dari dalam rumah ke truk yang parkir di depan pagar. Meja ruang tamu, televisi, bahkan kulkas yang selama ini menjadi andalan mereka, semua diangkut tanpa basa-basi.“Hei! Apa yang kalian lakukan?!” teriak Nasya panik, berlari mendekat. Namun, tak ada jawaban.Ayahnya, Harun, berdiri di dekat pintu dengan wajah tegang, tubuhnya mematung seolah tak mampu berbuat apa-apa. Ranti, ibunya, duduk terkulai di lantai