Home / Romansa / Ibu Empat Anak: Beda Bapak! / Bab 7. Jalan Keluar dari Perjodohan Tak Diinginkan

Share

Bab 7. Jalan Keluar dari Perjodohan Tak Diinginkan

Di ruang kerja Bima yang penuh dengan desain dan cetak biru, dia tengah membereskan beberapa dokumen terakhir sebelum bersiap pulang. Matanya menatap laptop dengan wajah lelah. Sebagai seorang arsitek, rutinitas seperti ini sudah jadi makanan sehari-harinya—mengurus klien, mengejar deadline proyek, dan merancang bangunan yang harus sempurna di setiap detailnya.

Saat Bima baru saja menutup laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Mama muncul di layar. Dia menghela napas, lalu mengangkat telepon itu.

“Halo, Ma?” suaranya terdengar santai.

“Kamu masih di kantor?” suara Melati terdengar agak tajam. “Udah sore, Bima. Kamu jangan kebiasaan gila kerja, ya! Mau jadi workaholic selamanya?”

Bima tersenyum tipis. “Ini udah mau pulang kok, Ma. Sebentar lagi.”

“Cepetan!” Melati mendesak. “Mama punya kejutan buat kamu!”

Kejutan? Bima langsung mengernyitkan dahi. “Kejutan apa, Ma?”

Melati tertawa kecil, agak misterius. “Pokoknya kejutan yang bisa menyelamatkan hidup kamu. Biar kamu nggak dipaksa nikah sama anaknya si Harun itu!”

Bima yang tadinya sudah bersiap berdiri, langsung duduk kembali. “Hah? Maksud Mama gimana?” Seketika, rasa penasaran membanjiri benaknya.

“Tunggu aja sampai kamu pulang,” jawab Melati dengan nada menggoda.

Bima semakin bingung. “Ma, serius deh, kasih bocoran dikit. Kejutan apa ini? Emang Mama udah nemuin cara buat balas budi ke Pak Harun tanpa perlu aku nikahin anaknya?”

“Kamu penasaran, ya?” Melati terkekeh. “Tapi sayang sekali, Mama gak akan kasih tahu dulu. Biar kamu tambah penasaran. Ayo cepetan pulang!”

Bima menggerutu pelan, tapi Melati malah makin asyik menggoda. “Ayolah, Ma. Jangan pake rahasia-rahasiaan segala.”

“Nanti kamu juga tau. Pokoknya kamu bakal seneng. Ayo cepet pulang kalau mau tahu! Jangan kebanyakan nanya, nanti gak surprise lagi,” jawab Melati dengan nada genit.

Bima menutup telepon dengan gelengan kepala. “Kejutan apaan sih ini...”

Bima pun akhirnya bergegas keluar untuk pulang. Tak lama kemudian, mobil Bima meluncur masuk ke halaman rumah dengan suara deru mesin yang pelan, berhenti tepat di depan pintu masuk. Dengan kelelahan yang masih terasa setelah seharian bekerja, Bima menghela napas panjang sebelum keluar dari mobilnya. Tapi begitu kakinya melangkah menuju rumah, dia langsung dikejutkan oleh teriakan riang Melati.

“Akhirnya kamu pulang juga!” Melati sudah berdiri di ambang pintu, dengan senyum lebar yang tampak terlalu antusias untuk suasana sore yang biasa-biasa saja.

Bima langsung merasa ada yang nggak beres. “Apa sih kejutannya, Ma?” Dia berusaha memasang wajah netral, tapi tetap tak bisa menyembunyikan rasa khawatir.

“Kamu bakal seneng deh!” Melati menyahut dengan penuh semangat. “Mama mau ngenalin kamu sama seseorang. Anak temen Mama. Keluarga terpandang. Namanya Mutiara.”

“Mutiara?” ulangnya dengan hati-hati. Ia sudah merasa ada firasat buruk.

“Iya! Itu, anaknya!” Melati menunjuk ke arah sofa ruang tamu. Sosok perempuan sedang duduk membelakangi Bima, rambut panjangnya tergerai, tapi entah kenapa, punggungnya terlihat terlalu tegak, terlalu... formal.

“Mutiara sayang, sini deh. Ini lho anak Tante, si Bima,” panggil Melati dengan nada yang terlalu manis, seakan-akan sedang berbicara dengan seorang putri kerajaan.

Perlahan-lahan, sosok itu berdiri dan berbalik, lalu berjalan pelan untuk mendekat pada Bima dan Melati.

Bima langsung merasa dunia di sekelilingnya berhenti berputar. Seolah napasnya tertahan di perut, dan dia terpaksa menelannya bulat-bulat.

“Mutiara”—yang entah kenapa, dengan namanya yang berarti kilauan permata, justru tampak seperti... yah, lebih cocok disebut batu kali daripada permata. Rambutnya, meskipun panjang, terlihat kusam dan agak berantakan. Kulitnya kusam, dengan jerawat menghiasi wajahnya di sana-sini, dan make-up yang diaplikasikan terlalu tebal hingga memperparah situasi.

“Oh, ini Mutiara, Ma?” Bima berusaha keras menjaga nada suaranya tetap netral.

Mutiara tersenyum canggung, menampilkan deretan gigi yang, kalau dilihat dari jauh, mungkin lebih mirip tumpukan batu bata yang sedang direnovasi.

“Iya, ini Mutiara.” Melati tampak begitu bangga dengan pernyataannya. “Anak keluarga terpandang. Keluarganya punya bisnis besar!”

Bima cuma bisa mengangguk kaku. “Eh... ya... ya...” Suaranya hampir tenggelam di antara gumamannya sendiri. Di kepalanya, ia sudah mulai menghitung kemungkinan untuk kabur keluar rumah secepat mungkin.

Melati tidak berhenti di situ, tentu saja. “Jadi, gimana? Cocok, kan?” Dia bertanya dengan senyum sumringah, seakan-akan yang ditampilkan di depannya benar-benar sosok impian yang selama ini Bima cari-cari.

Bima merasa perutnya mual, tapi bukan karena lapar. Dia menggigit bibirnya sambil mencari alasan yang tepat untuk kabur tanpa menyinggung perasaan ibunya dan Mutiara. “Eh... cocok atau nggaknya kanggak bisa langsung tahu, Ma,” jawab Bima hati-hati, sambil sekali lagi menahan napasnya yang ingin meluncur keluar dalam bentuk tawa gugup.

Melati langsung menyikut Bima pelan, seperti memberi kode rahasia. “Iya, makanya kamu, kenalan lebih dalam. Siapa tahu cocok, ya kan?”

Bima cuma bisa tersenyum kecut, masih berusaha mengatur napasnya yang terasa tersumbat di perut. Kambing kurban kemarin aja kayaknya lebih mudah dipilih daripada ini..., pikirnya dalam hati, sembari terus memutar otak mencari jalan keluar dari situasi ini.

Melati makin bersemangat, seolah tak mau kehilangan momen untuk promosi. “Mutiara ini anaknya Tante Miranda. Dia itu lulusan University of Melbourne,” ucap Melati dengan nada kebanggaan yang sama seperti seorang sales kompor gas sedang memperkenalkan produknya. “Mutiara juga pinter masak, menguasai lima bahasa, ya kan, Tiara? Dan yang paling penting, dia itu bener-bener setia sama keluarga!”

Bima hanya bisa tersenyum kaku, seolah wajahnya sudah dipasang topeng kehabisan ekspresi. Matanya melirik cepat ke arah Mutiara, yang tampak berdiri dengan penuh percaya diri.

“Hai, Bima.” Mutiara akhirnya membuka mulut dengan suara yang sedikit dibuat-buat. “Kenalin, aku Mutiara Cantika Lestari. Pas kecil kayaknya kita pernah ketemu deh. Kamu masih ganteng aja kayak dulu,” ujarnya sambil menatap Bima dari atas sampai bawah.

Bima tersentak. Ada sesuatu yang aneh dari cara Mutiara menatapnya. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi lebih ke tatapan yang... penuh nafsu? Bima merasa seperti ayam yang sedang dipantau oleh pembeli di pasar. Bima mencoba tersenyum lagi, tapi bibirnya kaku. “Eh... makasih,” gumamnya pendek. Tubuhnya mulai bergeser sedikit, mencari jalan aman untuk kabur dari situasi ini.

Namun, Mutiara sepertinya tidak berhenti di situ. Dia tersenyum dengan cara yang bikin Bima semakin gelisah. “Dulu aku inget kamu anak yang pendiam, tapi selalu keren. Sekarang... well, masih sama kok.”

Oh, tidak... Bima langsung merasa ada yang salah dengan perkembangan percakapan ini. Mutiara menatapnya seperti predator mengintai mangsa, dan tatapan itu membuat bulu kuduknya berdiri.

Melati berbinar melihat ‘kedekatan’ yang menurutnya terjadi di depan matanya. “Lihat tuh, Bim! Si Mutiara ini cocok banget buat kamu, kan? Cantik, pinter, keluarganya baik. Gimana nggak perfect?” Melati menoleh pada Mutiara. “Tiara, Bima ini calon suami idaman banget kan? Sukses, ganteng, pinter... kamu pasti suka, kan?”

“Banget, Tante...” jawab Mutiara dengan senyum tipis yang entah kenapa justru bikin Bima semakin ingin kabur. Mutiara menggeser langkahnya sedikit lebih dekat ke arah Bima, yang langsung mundur setengah langkah. Gerakannya nyaris tidak kentara, tapi cukup untuk memperjelas rasa tidak nyamannya.

Melihat situasi yang semakin meresahkan, Bima akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan drastis. Ia meraba sakunya, mengeluarkan ponsel, dan dengan gerakan tiba-tiba berpura-pura mengangkat telepon. “Oh... iya! Halo? Iya, Pak. Saya baru sampai rumah, nih,” katanya dengan suara setengah panik, lalu berjalan menjauh menuju halaman. “Oh, soal lokasi pembangunan itu ya? Iya, iya, nanti saya kirim proposalnya besok...”

Mutiara yang melihat Bima tiba-tiba ‘sibuk’ dengan teleponnya, langsung terlihat agak kecewa. Senyum di wajahnya memudar sedikit, dan ia memalingkan wajah dengan ekspresi sebal, sambil merapikan rambutnya yang sebenarnya tidak perlu dirapikan lagi.

“Bima,” Melati yang mulai merasa ada yang tidak beres, buru-buru menyusul anaknya. “Kamu ngapain lagi sih? Udah, udah! Jangan kerja dulu! Kasian tuh Mutiara ditinggalin sendirian.”

Bima menyimpan kembali hp-nya, berpura-pura sibuk menanggapi hal yang tidak ada. “Eh... iya, ini penting banget, Ma. Aku harus segera kasih update. Maaf ya, nggak bisa lama-lama.” Ekspresi wajahnya penuh usaha untuk terlihat serius, meski Melati sudah menangkap adanya trik kabur di balik semua alasan itu.

“Tapi, ini kesempatan bagus lho, Bim. Kamu kenalan dulu yang baik sama Mutiara. Kan kamu nggak mau terus-terusan didesak nikah sama anaknya Harun.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status