Di ruang kerja Bima yang penuh dengan desain dan cetak biru, dia tengah membereskan beberapa dokumen terakhir sebelum bersiap pulang. Matanya menatap laptop dengan wajah lelah. Sebagai seorang arsitek, rutinitas seperti ini sudah jadi makanan sehari-harinya—mengurus klien, mengejar deadline proyek, dan merancang bangunan yang harus sempurna di setiap detailnya.
Saat Bima baru saja menutup laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Mama muncul di layar. Dia menghela napas, lalu mengangkat telepon itu.
“Halo, Ma?” suaranya terdengar santai.
“Kamu masih di kantor?” suara Melati terdengar agak tajam. “Udah sore, Bima. Kamu jangan kebiasaan gila kerja, ya! Mau jadi workaholic selamanya?”
Bima tersenyum tipis. “Ini udah mau pulang kok, Ma. Sebentar lagi.”
“Cepetan!” Melati mendesak. “Mama punya kejutan buat kamu!”
Kejutan? Bima langsung mengernyitkan dahi. “Kejutan apa, Ma?”
Melati tertawa kecil, agak misterius. “Pokoknya kejutan yang bisa menyelamatkan hidup kamu. Biar kamu nggak dipaksa nikah sama anaknya si Harun itu!”
Bima yang tadinya sudah bersiap berdiri, langsung duduk kembali. “Hah? Maksud Mama gimana?” Seketika, rasa penasaran membanjiri benaknya.
“Tunggu aja sampai kamu pulang,” jawab Melati dengan nada menggoda.
Bima semakin bingung. “Ma, serius deh, kasih bocoran dikit. Kejutan apa ini? Emang Mama udah nemuin cara buat balas budi ke Pak Harun tanpa perlu aku nikahin anaknya?”
“Kamu penasaran, ya?” Melati terkekeh. “Tapi sayang sekali, Mama gak akan kasih tahu dulu. Biar kamu tambah penasaran. Ayo cepetan pulang!”
Bima menggerutu pelan, tapi Melati malah makin asyik menggoda. “Ayolah, Ma. Jangan pake rahasia-rahasiaan segala.”
“Nanti kamu juga tau. Pokoknya kamu bakal seneng. Ayo cepet pulang kalau mau tahu! Jangan kebanyakan nanya, nanti gak surprise lagi,” jawab Melati dengan nada genit.
Bima menutup telepon dengan gelengan kepala. “Kejutan apaan sih ini...”
Bima pun akhirnya bergegas keluar untuk pulang. Tak lama kemudian, mobil Bima meluncur masuk ke halaman rumah dengan suara deru mesin yang pelan, berhenti tepat di depan pintu masuk. Dengan kelelahan yang masih terasa setelah seharian bekerja, Bima menghela napas panjang sebelum keluar dari mobilnya. Tapi begitu kakinya melangkah menuju rumah, dia langsung dikejutkan oleh teriakan riang Melati.
“Akhirnya kamu pulang juga!” Melati sudah berdiri di ambang pintu, dengan senyum lebar yang tampak terlalu antusias untuk suasana sore yang biasa-biasa saja.
Bima langsung merasa ada yang nggak beres. “Apa sih kejutannya, Ma?” Dia berusaha memasang wajah netral, tapi tetap tak bisa menyembunyikan rasa khawatir.
“Kamu bakal seneng deh!” Melati menyahut dengan penuh semangat. “Mama mau ngenalin kamu sama seseorang. Anak temen Mama. Keluarga terpandang. Namanya Mutiara.”
“Mutiara?” ulangnya dengan hati-hati. Ia sudah merasa ada firasat buruk.
“Iya! Itu, anaknya!” Melati menunjuk ke arah sofa ruang tamu. Sosok perempuan sedang duduk membelakangi Bima, rambut panjangnya tergerai, tapi entah kenapa, punggungnya terlihat terlalu tegak, terlalu... formal.
“Mutiara sayang, sini deh. Ini lho anak Tante, si Bima,” panggil Melati dengan nada yang terlalu manis, seakan-akan sedang berbicara dengan seorang putri kerajaan.
Perlahan-lahan, sosok itu berdiri dan berbalik, lalu berjalan pelan untuk mendekat pada Bima dan Melati.
Bima langsung merasa dunia di sekelilingnya berhenti berputar. Seolah napasnya tertahan di perut, dan dia terpaksa menelannya bulat-bulat.
“Mutiara”—yang entah kenapa, dengan namanya yang berarti kilauan permata, justru tampak seperti... yah, lebih cocok disebut batu kali daripada permata. Rambutnya, meskipun panjang, terlihat kusam dan agak berantakan. Kulitnya kusam, dengan jerawat menghiasi wajahnya di sana-sini, dan make-up yang diaplikasikan terlalu tebal hingga memperparah situasi.
“Oh, ini Mutiara, Ma?” Bima berusaha keras menjaga nada suaranya tetap netral.
Mutiara tersenyum canggung, menampilkan deretan gigi yang, kalau dilihat dari jauh, mungkin lebih mirip tumpukan batu bata yang sedang direnovasi.
“Iya, ini Mutiara.” Melati tampak begitu bangga dengan pernyataannya. “Anak keluarga terpandang. Keluarganya punya bisnis besar!”
Bima cuma bisa mengangguk kaku. “Eh... ya... ya...” Suaranya hampir tenggelam di antara gumamannya sendiri. Di kepalanya, ia sudah mulai menghitung kemungkinan untuk kabur keluar rumah secepat mungkin.
Melati tidak berhenti di situ, tentu saja. “Jadi, gimana? Cocok, kan?” Dia bertanya dengan senyum sumringah, seakan-akan yang ditampilkan di depannya benar-benar sosok impian yang selama ini Bima cari-cari.
Bima merasa perutnya mual, tapi bukan karena lapar. Dia menggigit bibirnya sambil mencari alasan yang tepat untuk kabur tanpa menyinggung perasaan ibunya dan Mutiara. “Eh... cocok atau nggaknya kanggak bisa langsung tahu, Ma,” jawab Bima hati-hati, sambil sekali lagi menahan napasnya yang ingin meluncur keluar dalam bentuk tawa gugup.
Melati langsung menyikut Bima pelan, seperti memberi kode rahasia. “Iya, makanya kamu, kenalan lebih dalam. Siapa tahu cocok, ya kan?”
Bima cuma bisa tersenyum kecut, masih berusaha mengatur napasnya yang terasa tersumbat di perut. Kambing kurban kemarin aja kayaknya lebih mudah dipilih daripada ini..., pikirnya dalam hati, sembari terus memutar otak mencari jalan keluar dari situasi ini.
Melati makin bersemangat, seolah tak mau kehilangan momen untuk promosi. “Mutiara ini anaknya Tante Miranda. Dia itu lulusan University of Melbourne,” ucap Melati dengan nada kebanggaan yang sama seperti seorang sales kompor gas sedang memperkenalkan produknya. “Mutiara juga pinter masak, menguasai lima bahasa, ya kan, Tiara? Dan yang paling penting, dia itu bener-bener setia sama keluarga!”
Bima hanya bisa tersenyum kaku, seolah wajahnya sudah dipasang topeng kehabisan ekspresi. Matanya melirik cepat ke arah Mutiara, yang tampak berdiri dengan penuh percaya diri.
“Hai, Bima.” Mutiara akhirnya membuka mulut dengan suara yang sedikit dibuat-buat. “Kenalin, aku Mutiara Cantika Lestari. Pas kecil kayaknya kita pernah ketemu deh. Kamu masih ganteng aja kayak dulu,” ujarnya sambil menatap Bima dari atas sampai bawah.
Bima tersentak. Ada sesuatu yang aneh dari cara Mutiara menatapnya. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi lebih ke tatapan yang... penuh nafsu? Bima merasa seperti ayam yang sedang dipantau oleh pembeli di pasar. Bima mencoba tersenyum lagi, tapi bibirnya kaku. “Eh... makasih,” gumamnya pendek. Tubuhnya mulai bergeser sedikit, mencari jalan aman untuk kabur dari situasi ini.
Namun, Mutiara sepertinya tidak berhenti di situ. Dia tersenyum dengan cara yang bikin Bima semakin gelisah. “Dulu aku inget kamu anak yang pendiam, tapi selalu keren. Sekarang... well, masih sama kok.”
Oh, tidak... Bima langsung merasa ada yang salah dengan perkembangan percakapan ini. Mutiara menatapnya seperti predator mengintai mangsa, dan tatapan itu membuat bulu kuduknya berdiri.
Melati berbinar melihat ‘kedekatan’ yang menurutnya terjadi di depan matanya. “Lihat tuh, Bim! Si Mutiara ini cocok banget buat kamu, kan? Cantik, pinter, keluarganya baik. Gimana nggak perfect?” Melati menoleh pada Mutiara. “Tiara, Bima ini calon suami idaman banget kan? Sukses, ganteng, pinter... kamu pasti suka, kan?”
“Banget, Tante...” jawab Mutiara dengan senyum tipis yang entah kenapa justru bikin Bima semakin ingin kabur. Mutiara menggeser langkahnya sedikit lebih dekat ke arah Bima, yang langsung mundur setengah langkah. Gerakannya nyaris tidak kentara, tapi cukup untuk memperjelas rasa tidak nyamannya.
Melihat situasi yang semakin meresahkan, Bima akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan drastis. Ia meraba sakunya, mengeluarkan ponsel, dan dengan gerakan tiba-tiba berpura-pura mengangkat telepon. “Oh... iya! Halo? Iya, Pak. Saya baru sampai rumah, nih,” katanya dengan suara setengah panik, lalu berjalan menjauh menuju halaman. “Oh, soal lokasi pembangunan itu ya? Iya, iya, nanti saya kirim proposalnya besok...”
Mutiara yang melihat Bima tiba-tiba ‘sibuk’ dengan teleponnya, langsung terlihat agak kecewa. Senyum di wajahnya memudar sedikit, dan ia memalingkan wajah dengan ekspresi sebal, sambil merapikan rambutnya yang sebenarnya tidak perlu dirapikan lagi.
“Bima,” Melati yang mulai merasa ada yang tidak beres, buru-buru menyusul anaknya. “Kamu ngapain lagi sih? Udah, udah! Jangan kerja dulu! Kasian tuh Mutiara ditinggalin sendirian.”
Bima menyimpan kembali hp-nya, berpura-pura sibuk menanggapi hal yang tidak ada. “Eh... iya, ini penting banget, Ma. Aku harus segera kasih update. Maaf ya, nggak bisa lama-lama.” Ekspresi wajahnya penuh usaha untuk terlihat serius, meski Melati sudah menangkap adanya trik kabur di balik semua alasan itu.
“Tapi, ini kesempatan bagus lho, Bim. Kamu kenalan dulu yang baik sama Mutiara. Kan kamu nggak mau terus-terusan didesak nikah sama anaknya Harun.”
Bima menelan ludah, menatap Melati seolah-olah meminta ampun. “Ma, aku kayaknya gak cocok sama Mutiara.”Melati menghela napas panjang, tapi masih sempat tersenyum kecil. “Ya ampun, Bima. Kamu belum nyoba kenalan sama dia, kenapa udah bilang gak cocok? Hidup kamu tuh gak seimbang! Kerja, kerja, kerja mulu! Kamu mau nikah sama desain kamu?!”Bima menggeleng sambil tersenyum kecut, berusaha menahan diri agar tidak terlalu meledak di depan ibunya. “Ya, Ma... tapi kalau Mama mau jodohin aku, ya lihat-lihat dulu dong... gimana ya ngomongnya...” Bima menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Bukan tipenya aku, gitu.”Melati langsung melotot. “Hah? Kamu ini milih-milih banget, Bim. Mutiara tuh anak baik-baik, keluarga terpandang. Kamu cuma gak kenal dia aja, makanya belum ngerasa cocok.”Bima mengangkat alis, matanya berbinar dengan sedikit rasa kesal yang mulai naik ke permukaan. “Masalahnya, aku tuh nggak bisa... gimana ya... nggak bisa lihat dia kayak... eh, kayak... pokoknya gitu
Bima tertawa kecil, nyaris tak bisa menahan dirinya lagi. “Oh, harga diri. Gue lupa. Jadi harga diri kalian tersinggung sama tumpukan semen dan bata yang kebetulan dipake buat ruko?” Dia mengangkat tangan, menatap para preman dengan ekspresi sok paham, seakan menyerah dalam logika absurd yang ada di hadapannya. “Udah deh, Bro. Mending kalian langsung aja bilang—mau kalian apa?”Salah satu preman melangkah maju, mengangkat dagunya sambil menyeringai. “Kita cuma mau kompensasi kecil aja. Lima juta buat kita. Nggak, tunggu, kita ada berlima, jadi sepuluh juta lah. Itu baru adil.”“Kompensasi?” Bima mendongak dengan ekspresi tak percaya, lalu meledak dalam tawa sarkastis. “Sepuluh juta? Buat apaan? Buat kalian ngelaporin semen-semen itu ke polisi? Atau buat beli rokok biar bisa nongkrong lebih lama di sini?”Wajah para preman berubah merah padam, jelas marah karena diejek. Mereka saling bertukar pandang, lalu salah satu dari mereka, yang tampak sebagai pemimpin kelompok, merapat ke Bima d
Nasya memapah Bima yang masih lemas menuju ruang IGD rumah sakit. Langkah mereka agak terseret, dan pakaian mereka masih setengah basah, membuat lantai berkilat-kilat setiap kali sepatu mereka menapak. Di depan pintu IGD, mereka segera disambut oleh seorang perawat muda yang sigap.“Ada apa, Mbak?” tanya perawat dengan nada serius, matanya melirik Bima yang tampak lemas.Nasya menarik napas dalam, masih sedikit terengah. “Dia… habis tenggelam di danau,” ujarnya singkat, sambil melirik ke arah Bima yang masih mencoba berdiri tegak meski terlihat semakin payah.Perawat langsung memberi isyarat kepada rekannya. “Ayo, bawa pasien ke dalam,” ujarnya cepat. Mereka dengan sigap mengarahkan Bima ke ranjang pemeriksaan terdekat, sementara Nasya mengikuti di sampingnya.“Mas, bisa berbaring dulu ya,” kata dokter yang baru masuk dengan langkah cepat. Ia mengenakan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leher. Tangannya bergerak cekatan mempersiapkan peralatan untuk pemeriksaan. “Kejadiannya
Nasya keluar dari kamar mandi dengan napas lega, akhirnya ada sedikit waktu untuk dirinya sendiri, walau hanya sekejap. Namun, saat baru melangkah ke ruang tengah, ia langsung disambut dengan suara keributan yang membuat kepalanya berdenyut. Anak-anaknya—keempat anak yang berbeda ayah—berhamburan di segala penjuru ruangan. Dengan langkah tergesa, ia malah menginjak sesuatu yang keras. “Aduh!” Nasya melompat kecil, menatap mainan balok lego yang bercecer di lantai. Ia mengelus dadanya. “Ya ampun... sudah berapa kali mama bilang, mainan harus diberesin!” Tapi, siapa yang mau dengar?Dylan, anak sulungnya yang baru berusia enam tahun, duduk anteng di sofa sambil memainkan tablet. Wajahnya serius, sama seriusnya dengan Bima Aryasetya, mantan suami pertamanya yang gila kerja. Bahkan ekspresi anak itu saat menatap layar membuat darah Nasya sedikit mendidih. Rasanya ingin mencubit pipinya yang tembam, tapi ditahan. Ini anak gue, anak sendiri harus disayang-sayang, gumamnya dalam hati. Apalag
Bima di ujung telepon menghela napas. “Nasya, kamu nggak bisa terus-terusan bersikap sinis sama aku. Demi Dylan, setidaknya. Apa yang akan dia pikirkan kalau kita selalu begini?”Nasya hanya mengangkat bahu, meski Bima jelas tidak bisa melihat itu. “Terserah apa yang dia mau pikirkan. Yang penting aku nggak ada urusan lagi sama kamu.”“Aku hampir sampai rumahmu. Kita harus bicara. Serius.” Suara Bima terdengar tegas, dan itu malah membuat Nasya mendengus.“Kalau mau ketemu Dylan, silakan. Kamu juga boleh ajak dia pergi sebentar. Tapi setelah itu, antar dia pulang lagi. Selesai.”“Nggak, aku nggak cuma mau ketemu Dylan.” Bima menekankan suaranya. “Aku mau bicara sama kamu, Nasya.”“Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi!” Nasya mulai merasa darahnya naik. “Pokoknya, kalau kamu cuma mau basa-basi, aku nggak tertarik!”Bima tak menyerah. “Kalau aku memaksa gimana?”Nasya mengangkat alis. “Memaksa? Mau ngapain kamu?”Bima menghela napas panjang, lalu dengan nada santai tapi provokatif berk
Bima menyandarkan punggungnya pada kursi teras, matanya menatap Nasya yang kini duduk di sampingnya memangku Nino yang mulai tenang karena mengantuk. Ia tahu percakapan ini akan sulit, tapi tidak ada jalan lain.“Nggak gampang buat aku ngomong ini, Nasya,” Bima memulai, sedikit kaku. “Tapi aku mau kamu tau, sampai sekarang, aku nggak pernah nikah lagi. Nggak deket juga sama perempuan lain. Kayak ada sesuatu yang... ya, aku belum bisa lupain.”Nasya menatap Bima dengan mata setengah tertutup, ekspresi wajahnya jelas-jelas meremehkan. “Ya, terus?”Bima terdiam sesaat, menelan kekesalannya. “Aku cuma pengen bilang kalau… aku masih belum bisa lepas dari semuanya, dari kita. Dan, ya… aku lihat kamu juga, meski udah berkali-kali nikah lagi, nggak ada yang berhasil, kan?”Senyum sinis langsung tersungging di bibir Nasya. Ia menaruh Nino yang baru tertidur di stroller yang ada di sebelahnya, kemudian menatap Bima dengan pandangan penuh cemooh.“Bima, jangan geer deh. Kamu pikir kegagalan pern
Nasya baru saja turun dari ojek online di depan rumah. Meski keluarganya bukan dari golongan kaya raya, hidup mereka tak pernah benar-benar kekurangan. Harun, ayahnya, memiliki usaha rumah makan kecil yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Ibunya, Ranti, meskipun hanya ibu rumah tangga, selalu memastikan kebutuhan rumah tetap terurus dengan baik. Semua tampak baik-baik saja—hingga sore itu.Begitu kakinya melangkah masuk ke halaman, Nasya langsung disambut oleh pemandangan yang membuatnya tercekat. Tiga pria bertubuh besar, berpakaian serba hitam, sibuk mengangkut barang-barang dari dalam rumah ke truk yang parkir di depan pagar. Meja ruang tamu, televisi, bahkan kulkas yang selama ini menjadi andalan mereka, semua diangkut tanpa basa-basi.“Hei! Apa yang kalian lakukan?!” teriak Nasya panik, berlari mendekat. Namun, tak ada jawaban.Ayahnya, Harun, berdiri di dekat pintu dengan wajah tegang, tubuhnya mematung seolah tak mampu berbuat apa-apa. Ranti, ibunya, duduk terkulai di lantai
Harun terdiam. Jelas, ia kehabisan kata-kata. Sementara itu, Ranti mencoba meyakinkan lagi. “Nasya, keluarga Om Hilman itu baik. Mereka nggak bakal bikin kamu susah. Kalau kamu sama Bima, kamu nggak akan perlu khawatir soal makan, utang, atau bayar kontrakan lagi.”Nasya memutar bola matanya. “Iya, Ma, terus aku bakal dianggep apa? Menantu atau pembantu? Aku tahu persis tujuan Papa nyuruh aku nikah sama Bima. Supaya kita dapet bantuan dari keluarganya, kan? Tapi yang ada malah kita dihina sama mereka!”Ranti mendesah, mencoba tetap sabar. “Kamu lihat dari sisi baiknya dong.”“Sisi baiknya?” Nasya tertawa pahit lagi. “Sisi baiknya apa, Ma? Aku jadi istri Bima, terus tiap hari diomelin keluarganya karena mereka nganggep aku cuma pengemis? Enggak, terima kasih. Yang ada, aku malah makin menderita.”Harun akhirnya mencoba bicara lagi, meski suaranya terdengar sangat hati-hati. “Papa cuma pengen kamu nggak ikut susah, Nasya. Papa nggak tega lihat kamu harus pindah-pindah kontrakan, ngerasa