Di ruang kerja Bima yang penuh dengan desain dan cetak biru, dia tengah membereskan beberapa dokumen terakhir sebelum bersiap pulang. Matanya menatap laptop dengan wajah lelah. Sebagai seorang arsitek, rutinitas seperti ini sudah jadi makanan sehari-harinya—mengurus klien, mengejar deadline proyek, dan merancang bangunan yang harus sempurna di setiap detailnya.
Saat Bima baru saja menutup laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Mama muncul di layar. Dia menghela napas, lalu mengangkat telepon itu.
“Halo, Ma?” suaranya terdengar santai.
“Kamu masih di kantor?” suara Melati terdengar agak tajam. “Udah sore, Bima. Kamu jangan kebiasaan gila kerja, ya! Mau jadi workaholic selamanya?”
Bima tersenyum tipis. “Ini udah mau pulang kok, Ma. Sebentar lagi.”
“Cepetan!” Melati mendesak. “Mama punya kejutan buat kamu!”
Kejutan? Bima langsung mengernyitkan dahi. “Kejutan apa, Ma?”
Melati tertawa kecil, agak misterius. “Pokoknya kejutan yang bisa menyelamatkan hidup kamu. Biar kamu nggak dipaksa nikah sama anaknya si Harun itu!”
Bima yang tadinya sudah bersiap berdiri, langsung duduk kembali. “Hah? Maksud Mama gimana?” Seketika, rasa penasaran membanjiri benaknya.
“Tunggu aja sampai kamu pulang,” jawab Melati dengan nada menggoda.
Bima semakin bingung. “Ma, serius deh, kasih bocoran dikit. Kejutan apa ini? Emang Mama udah nemuin cara buat balas budi ke Pak Harun tanpa perlu aku nikahin anaknya?”
“Kamu penasaran, ya?” Melati terkekeh. “Tapi sayang sekali, Mama gak akan kasih tahu dulu. Biar kamu tambah penasaran. Ayo cepetan pulang!”
Bima menggerutu pelan, tapi Melati malah makin asyik menggoda. “Ayolah, Ma. Jangan pake rahasia-rahasiaan segala.”
“Nanti kamu juga tau. Pokoknya kamu bakal seneng. Ayo cepet pulang kalau mau tahu! Jangan kebanyakan nanya, nanti gak surprise lagi,” jawab Melati dengan nada genit.
Bima menutup telepon dengan gelengan kepala. “Kejutan apaan sih ini...”
Bima pun akhirnya bergegas keluar untuk pulang. Tak lama kemudian, mobil Bima meluncur masuk ke halaman rumah dengan suara deru mesin yang pelan, berhenti tepat di depan pintu masuk. Dengan kelelahan yang masih terasa setelah seharian bekerja, Bima menghela napas panjang sebelum keluar dari mobilnya. Tapi begitu kakinya melangkah menuju rumah, dia langsung dikejutkan oleh teriakan riang Melati.
“Akhirnya kamu pulang juga!” Melati sudah berdiri di ambang pintu, dengan senyum lebar yang tampak terlalu antusias untuk suasana sore yang biasa-biasa saja.
Bima langsung merasa ada yang nggak beres. “Apa sih kejutannya, Ma?” Dia berusaha memasang wajah netral, tapi tetap tak bisa menyembunyikan rasa khawatir.
“Kamu bakal seneng deh!” Melati menyahut dengan penuh semangat. “Mama mau ngenalin kamu sama seseorang. Anak temen Mama. Keluarga terpandang. Namanya Mutiara.”
“Mutiara?” ulangnya dengan hati-hati. Ia sudah merasa ada firasat buruk.
“Iya! Itu, anaknya!” Melati menunjuk ke arah sofa ruang tamu. Sosok perempuan sedang duduk membelakangi Bima, rambut panjangnya tergerai, tapi entah kenapa, punggungnya terlihat terlalu tegak, terlalu... formal.
“Mutiara sayang, sini deh. Ini lho anak Tante, si Bima,” panggil Melati dengan nada yang terlalu manis, seakan-akan sedang berbicara dengan seorang putri kerajaan.
Perlahan-lahan, sosok itu berdiri dan berbalik, lalu berjalan pelan untuk mendekat pada Bima dan Melati.
Bima langsung merasa dunia di sekelilingnya berhenti berputar. Seolah napasnya tertahan di perut, dan dia terpaksa menelannya bulat-bulat.
“Mutiara”—yang entah kenapa, dengan namanya yang berarti kilauan permata, justru tampak seperti... yah, lebih cocok disebut batu kali daripada permata. Rambutnya, meskipun panjang, terlihat kusam dan agak berantakan. Kulitnya kusam, dengan jerawat menghiasi wajahnya di sana-sini, dan make-up yang diaplikasikan terlalu tebal hingga memperparah situasi.
“Oh, ini Mutiara, Ma?” Bima berusaha keras menjaga nada suaranya tetap netral.
Mutiara tersenyum canggung, menampilkan deretan gigi yang, kalau dilihat dari jauh, mungkin lebih mirip tumpukan batu bata yang sedang direnovasi.
“Iya, ini Mutiara.” Melati tampak begitu bangga dengan pernyataannya. “Anak keluarga terpandang. Keluarganya punya bisnis besar!”
Bima cuma bisa mengangguk kaku. “Eh... ya... ya...” Suaranya hampir tenggelam di antara gumamannya sendiri. Di kepalanya, ia sudah mulai menghitung kemungkinan untuk kabur keluar rumah secepat mungkin.
Melati tidak berhenti di situ, tentu saja. “Jadi, gimana? Cocok, kan?” Dia bertanya dengan senyum sumringah, seakan-akan yang ditampilkan di depannya benar-benar sosok impian yang selama ini Bima cari-cari.
Bima merasa perutnya mual, tapi bukan karena lapar. Dia menggigit bibirnya sambil mencari alasan yang tepat untuk kabur tanpa menyinggung perasaan ibunya dan Mutiara. “Eh... cocok atau nggaknya kanggak bisa langsung tahu, Ma,” jawab Bima hati-hati, sambil sekali lagi menahan napasnya yang ingin meluncur keluar dalam bentuk tawa gugup.
Melati langsung menyikut Bima pelan, seperti memberi kode rahasia. “Iya, makanya kamu, kenalan lebih dalam. Siapa tahu cocok, ya kan?”
Bima cuma bisa tersenyum kecut, masih berusaha mengatur napasnya yang terasa tersumbat di perut. Kambing kurban kemarin aja kayaknya lebih mudah dipilih daripada ini..., pikirnya dalam hati, sembari terus memutar otak mencari jalan keluar dari situasi ini.
Melati makin bersemangat, seolah tak mau kehilangan momen untuk promosi. “Mutiara ini anaknya Tante Miranda. Dia itu lulusan University of Melbourne,” ucap Melati dengan nada kebanggaan yang sama seperti seorang sales kompor gas sedang memperkenalkan produknya. “Mutiara juga pinter masak, menguasai lima bahasa, ya kan, Tiara? Dan yang paling penting, dia itu bener-bener setia sama keluarga!”
Bima hanya bisa tersenyum kaku, seolah wajahnya sudah dipasang topeng kehabisan ekspresi. Matanya melirik cepat ke arah Mutiara, yang tampak berdiri dengan penuh percaya diri.
“Hai, Bima.” Mutiara akhirnya membuka mulut dengan suara yang sedikit dibuat-buat. “Kenalin, aku Mutiara Cantika Lestari. Pas kecil kayaknya kita pernah ketemu deh. Kamu masih ganteng aja kayak dulu,” ujarnya sambil menatap Bima dari atas sampai bawah.
Bima tersentak. Ada sesuatu yang aneh dari cara Mutiara menatapnya. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi lebih ke tatapan yang... penuh nafsu? Bima merasa seperti ayam yang sedang dipantau oleh pembeli di pasar. Bima mencoba tersenyum lagi, tapi bibirnya kaku. “Eh... makasih,” gumamnya pendek. Tubuhnya mulai bergeser sedikit, mencari jalan aman untuk kabur dari situasi ini.
Namun, Mutiara sepertinya tidak berhenti di situ. Dia tersenyum dengan cara yang bikin Bima semakin gelisah. “Dulu aku inget kamu anak yang pendiam, tapi selalu keren. Sekarang... well, masih sama kok.”
Oh, tidak... Bima langsung merasa ada yang salah dengan perkembangan percakapan ini. Mutiara menatapnya seperti predator mengintai mangsa, dan tatapan itu membuat bulu kuduknya berdiri.
Melati berbinar melihat ‘kedekatan’ yang menurutnya terjadi di depan matanya. “Lihat tuh, Bim! Si Mutiara ini cocok banget buat kamu, kan? Cantik, pinter, keluarganya baik. Gimana nggak perfect?” Melati menoleh pada Mutiara. “Tiara, Bima ini calon suami idaman banget kan? Sukses, ganteng, pinter... kamu pasti suka, kan?”
“Banget, Tante...” jawab Mutiara dengan senyum tipis yang entah kenapa justru bikin Bima semakin ingin kabur. Mutiara menggeser langkahnya sedikit lebih dekat ke arah Bima, yang langsung mundur setengah langkah. Gerakannya nyaris tidak kentara, tapi cukup untuk memperjelas rasa tidak nyamannya.
Melihat situasi yang semakin meresahkan, Bima akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan drastis. Ia meraba sakunya, mengeluarkan ponsel, dan dengan gerakan tiba-tiba berpura-pura mengangkat telepon. “Oh... iya! Halo? Iya, Pak. Saya baru sampai rumah, nih,” katanya dengan suara setengah panik, lalu berjalan menjauh menuju halaman. “Oh, soal lokasi pembangunan itu ya? Iya, iya, nanti saya kirim proposalnya besok...”
Mutiara yang melihat Bima tiba-tiba ‘sibuk’ dengan teleponnya, langsung terlihat agak kecewa. Senyum di wajahnya memudar sedikit, dan ia memalingkan wajah dengan ekspresi sebal, sambil merapikan rambutnya yang sebenarnya tidak perlu dirapikan lagi.
“Bima,” Melati yang mulai merasa ada yang tidak beres, buru-buru menyusul anaknya. “Kamu ngapain lagi sih? Udah, udah! Jangan kerja dulu! Kasian tuh Mutiara ditinggalin sendirian.”
Bima menyimpan kembali hp-nya, berpura-pura sibuk menanggapi hal yang tidak ada. “Eh... iya, ini penting banget, Ma. Aku harus segera kasih update. Maaf ya, nggak bisa lama-lama.” Ekspresi wajahnya penuh usaha untuk terlihat serius, meski Melati sudah menangkap adanya trik kabur di balik semua alasan itu.
“Tapi, ini kesempatan bagus lho, Bim. Kamu kenalan dulu yang baik sama Mutiara. Kan kamu nggak mau terus-terusan didesak nikah sama anaknya Harun.”
Bima menelan ludah, menatap Melati seolah-olah meminta ampun. “Ma, aku kayaknya gak cocok sama Mutiara.”Melati menghela napas panjang, tapi masih sempat tersenyum kecil. “Ya ampun, Bima. Kamu belum nyoba kenalan sama dia, kenapa udah bilang gak cocok? Hidup kamu tuh gak seimbang! Kerja, kerja, kerja mulu! Kamu mau nikah sama desain kamu?!”Bima menggeleng sambil tersenyum kecut, berusaha menahan diri agar tidak terlalu meledak di depan ibunya. “Ya, Ma... tapi kalau Mama mau jodohin aku, ya lihat-lihat dulu dong... gimana ya ngomongnya...” Bima menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Bukan tipenya aku, gitu.”Melati langsung melotot. “Hah? Kamu ini milih-milih banget, Bim. Mutiara tuh anak baik-baik, keluarga terpandang. Kamu cuma gak kenal dia aja, makanya belum ngerasa cocok.”Bima mengangkat alis, matanya berbinar dengan sedikit rasa kesal yang mulai naik ke permukaan. “Masalahnya, aku tuh nggak bisa... gimana ya... nggak bisa lihat dia kayak... eh, kayak... pokoknya gitu
Bima tertawa kecil, nyaris tak bisa menahan dirinya lagi. “Oh, harga diri. Gue lupa. Jadi harga diri kalian tersinggung sama tumpukan semen dan bata yang kebetulan dipake buat ruko?” Dia mengangkat tangan, menatap para preman dengan ekspresi sok paham, seakan menyerah dalam logika absurd yang ada di hadapannya. “Udah deh, Bro. Mending kalian langsung aja bilang—mau kalian apa?”Salah satu preman melangkah maju, mengangkat dagunya sambil menyeringai. “Kita cuma mau kompensasi kecil aja. Lima juta buat kita. Nggak, tunggu, kita ada berlima, jadi sepuluh juta lah. Itu baru adil.”“Kompensasi?” Bima mendongak dengan ekspresi tak percaya, lalu meledak dalam tawa sarkastis. “Sepuluh juta? Buat apaan? Buat kalian ngelaporin semen-semen itu ke polisi? Atau buat beli rokok biar bisa nongkrong lebih lama di sini?”Wajah para preman berubah merah padam, jelas marah karena diejek. Mereka saling bertukar pandang, lalu salah satu dari mereka, yang tampak sebagai pemimpin kelompok, merapat ke Bima d
Nasya memapah Bima yang masih lemas menuju ruang IGD rumah sakit. Langkah mereka agak terseret, dan pakaian mereka masih setengah basah, membuat lantai berkilat-kilat setiap kali sepatu mereka menapak. Di depan pintu IGD, mereka segera disambut oleh seorang perawat muda yang sigap.“Ada apa, Mbak?” tanya perawat dengan nada serius, matanya melirik Bima yang tampak lemas.Nasya menarik napas dalam, masih sedikit terengah. “Dia… habis tenggelam di danau,” ujarnya singkat, sambil melirik ke arah Bima yang masih mencoba berdiri tegak meski terlihat semakin payah.Perawat langsung memberi isyarat kepada rekannya. “Ayo, bawa pasien ke dalam,” ujarnya cepat. Mereka dengan sigap mengarahkan Bima ke ranjang pemeriksaan terdekat, sementara Nasya mengikuti di sampingnya.“Mas, bisa berbaring dulu ya,” kata dokter yang baru masuk dengan langkah cepat. Ia mengenakan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leher. Tangannya bergerak cekatan mempersiapkan peralatan untuk pemeriksaan. “Kejadiannya
Mutiara dan Melati berlari memasuki pintu depan rumah sakit. Nafas mereka berkejaran, seolah-olah habis maraton sepanjang jalan. Melati dengan raut wajah tegang, langsung mengarahkan langkah ke meja admin resepsionis.“Maaf, Mas, pasien atas nama Bima Aryasetya di mana sekarang?” tanya Melati dengan napas yang tersengal.Petugas resepsionis, seorang pria berusia tiga puluhan dengan rambut rapi, menatapnya sejenak sebelum mengetik cepat di komputernya. “Bima Aryasetya ya, Bu? Oh, beliau sudah dipindah ke ruang observasi, masih menunggu hasil pemeriksaan.”Mutiara langsung menggumam, “Ruang observasi di mana, Mas?”“Di lantai dua, Bu. Silakan ke lift sebelah kiri, lalu keluar belok kanan, ruang observasi ada di ujung koridor.”Mendengar penjelasan itu, Melati dan Mutiara tanpa basa-basi lagi langsung bergegas. Sepatu mereka berderit di atas lantai keramik yang licin. Melati terus menggigit bibirnya, keringat dingin mengucur di pelipis, bukan hanya karena cemas pada Bima, tapi juga ada t
Melati keluar dari kamar mandi dengan langkah enteng, senyum lega menghiasi wajahnya. Ia mengusap perutnya dengan penuh kepuasan. “Akhirnya,” gumamnya. “Semua urusan hidup ini tuntas juga.” Sambil merapikan gaun, Melati merasa seperti manusia baru—beban dunia seakan terlepas bersama segala yang ia tinggalkan di kamar mandi tadi.Namun, baru saja di tikungan, tiba-tiba... Bruak! Ia menabrak seseorang. Melati tersentak, hampir terjengkang. Di depannya berdiri Mutiara, yang terlihat lebih kacau daripada biasanya. Rambutnya berantakan, dan air mata membasahi wajahnya, membuat maskara tebalnya luntur menjadi jejak hitam di pipinya.“Mutiara, sayang, kamu kenapa?” Melati langsung bertanya dengan khawatir.Mutiara mengusap wajahnya yang semakin berantakan. “Tante, kenapa jodohin aku sama anak tante yang udah punya calon istri!? Tante sengaja, ya, mau mempermalukan aku?!” seru Mutiara di antara isakan.Melati terperanjat, tapi cepat-cepat berusaha menenangkan. “Sayang, kamu kok ngomong gitu?
Nasya keluar dari rumah sakit dengan napas lega. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar, dan untungnya, ada tukang ojek yang mangkal di dekat pintu keluar. “Syukur ada ojek,” batinnya. Mengingat ponselnya mati sejak jatuh ke air tadi, harapan untuk pesan ojek online pupus, jadi menemukan ojek konvensional ini seperti keajaiban kecil di tengah hari yang melelahkan.Setelah cepat-cepat naik ojek, Nasya berusaha melupakan kejadian tadi dengan Bima, meski pikirannya masih terus berputar. “Ini sih drama banget,” gumamnya pelan sambil memegangi helm yang agak longgar.Sampai di rumah, Nasya buru-buru masuk ke dalam. Harun dan Ranti yang sedang duduk di ruang tamu langsung menyambut dengan ekspresi kaget. “Lho, kok udah pulang?” tanya Harun sambil memicingkan mata curiga. Dia memerhatikan Nasya yang masih mengenakan baju dari rumah sakit, tapi fokusnya saat ini bukan pada baju yang dipakai Nasya—tapi sesuatu yang lebih penting dari itu.Ranti mengangguk setuju, “Emangnya Bima udah pulang? Kok
Setelah menebus obat dan menukar baju rumah sakit dengan baju mereka sendiri yang sudah dikeringkan, mereka akhirnya berjalan beriringan keluar dari rumah sakit. Bima menghela napas lega. “Akhirnya selesai juga,” gumamnya sambil melihat layar ponsel. Dengan cekatan, dia memesan taksi online. “Aku anterin kamu pulang dulu, ya,” katanya tanpa basa-basi.Nasya yang sedang asyik memerhatikan orang lalu-lalang di luar rumah sakit, langsung menoleh. “Hah? Kamu yang sakit, Bima. Jangan malah repot anterin aku pulang.”Bima tersenyum tipis. “Gapapa, kan rumah kamu searah sama arahku.”Nasya menyipitkan mata, skeptis. “Aku ini gak apa-apa sendiri. Lagian kamu itu butuh istirahat.”Bima mengangkat bahu santai. “Tapi gak masalah juga kan kalau aku antar kamu?”Nasya ngotot. “Gak perlu, beneran. Aku bisa pulang sendiri.”Bima menatap Nasya sebentar, lalu tersenyum nakal. “Rumah kamu deket lokasi proyek, kan? Soalnya tadi aku lihat kamu belanja di deket situ.”Mata Nasya melebar. “Emang iya. Kenap
Nasya dan Bima berjalan pelan menuju tempat mobil Bima diparkir, yang tak jauh dari lokasi proyek. Suasana malam terasa dingin, tapi entah kenapa Nasya merasa suasananya jadi lebih canggung setelah obrolan tadi di rumah. Nasya mencoba mencairkan suasana dengan cepat, meski kepalanya masih penuh rasa malu.“Maaf banget ya, Bima. Tadi papa dan mama kebablasan ngomongnya. Lupain aja deh soal mereka yang sok jual-jual aku,” kata Nasya, setengah bercanda tapi penuh harap Bima tidak benar-benar kepikiran omongan orangtuanya.Bima hanya tersenyum, santai seperti biasanya. “Nggak usah minta maaf, Nasya. Wajar kok, orang tua kan pasti pengen yang terbaik buat anaknya. Apalagi... ya, aku ngerti kondisi kalian.”Nasya merasa makin malu. “Iya, tapi nggak harus segitunya juga. Jadi tolong, lupain aja, ya?”Bima tertawa kecil. “Aku ngerti kok. Santai aja. Lagian aku udah biasa, mamaku juga sering maksa aku soal urusan nikah. Jadi ini bukan hal baru buat aku.”Nasya mendengus, tapi kali ini bukan ka
Nasya menarik napas panjang. “Oh, saya masak lumayan banyak, kok, Ma. Di wajan masih ada. Kalau Mama mau, saya bisa siapkan,” jawabnya, berusaha tetap ramah.Namun, Melati mengibaskan tangannya seolah menolak sesuatu yang menjijikkan. “Ah, nggak usah. Nasi goreng sisa? Mama nggak pernah sudi makan yang begitu.”Nasya mencoba menelan kesal yang mulai mengumpul di tenggorokannya. Ia mengingatkan diri sendiri, jangan marah-marah, demi bayinya. Ia melatih senyum sabar, meski dalam hati ingin balas sindir. Namun, belum sempat berkata apa-apa, suara bel pintu terdengar.“Bukain pintu sana. Masa hamil muda aja nggak bisa buka pintu buat tamu? Nggak bikin kecapekan dan ‘mengganggu’ kehamilan kamu kan?” sindir Melati dengan nada sinis.Nasya menahan diri agar tidak melontarkan sindiran balasan. “Iya, Ma. Saya bukain.”Nasya segera berjalan ke arah pintu. Setiap langkah di pagi itu seolah jadi ajang uji kesabaran. Bagi Nasya, Melati sudah seperti ahli sindiran yang sangat mumpuni.Ketika Nasya
Bab 33. Ratapan Ibu HamilNasya menghela napas panjang, meratapi kehamilan pertamanya yang dijalani lebih banyak dalam kesendirian. Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang entah kenapa makin terasa hambar. Bima selalu pulang larut, nyaris hanya meninggalkan jejak sepatu dan jas kerjanya. Di saat ia merasa makin butuh perhatian, yang ada justru hanya sofa, beberapa bantal yang sudah pasrah kusut, dan kamar yang terasa dingin. Sesekali ia merasa seperti ‘jablay’—jarang dibelai—seolah-olah kehamilan ini hanya urusannya seorang diri.Suatu sore, setelah seharian dihantam rasa mual yang tak kunjung reda, Nasya bangkit tertatih-tatih menuju dapur untuk mengambil segelas air. Namun, begitu sampai di sana, perutnya kembali bergejolak, dan ia pun buru-buru ke kamar mandi. Di depan wastafel, tubuhnya berguncang-guncang saat ia muntah, dan yang ia temukan hanya bayangan wajahnya sendiri di cermin—lelah, berantakan, tapi tetap berusaha tegar. Duh, kasihan amat aku ini, ya… pikirnya, mengusap waja
Mereka pun mengobrol panjang lebar, sampai waktu terus bergulir tanpa terasa. Harun dan Ranti tampak antusias berbagi rencana masa depan untuk cucu pertama mereka, seakan anak Nasya dan Bima ini bakal jadi penerus kerajaan. Mereka menyarankan hal-hal aneh dengan penuh keyakinan, dari saran nama bayi yang panjang dan penuh makna hingga nasehat perawatan bayi tradisional yang terdengar kuno.Di sela obrolan, Harun menepuk bahu Bima, seakan enggan melepaskan menantunya itu. “Bima, ini udah malam. Tapi kalau mau nginap dulu di sini, nggak apa-apa, lho. Malah Papa senang banget kalau kalian di sini lebih lama.”Ranti menambahkan dengan nada manis, “Iya, lagian, nanti kalau sudah ada cucu, bakal makin seru! Rasanya pengen bisa bantu jagain cucu.”Nasya mengerling, lalu berkata sambil menahan tawa, “Mama sama Papa, beneran nih, sok berat pisahnya? Bukannya dulu Mama Papa malah sengaja paksa aku nikah biar aku cepet angkat kaki dari rumah?”Ranti tertawa kikuk, sedikit tersipu. “Ah, kamu ini.
Nasya benar-benar menikmati masa-masa ini, memanfaatkan kehamilannya sebagai ‘alasan resmi’ untuk santai seharian. Ia duduk di sofa, menikmati acara TV favorit sambil mengunyah camilan, sesekali tertawa sendiri saat melihat adegan lucu. Di sisi lain, Melati yang merasa kesal tak henti-hentinya mencoba mencari cara untuk ‘mengganggu.’“Nasya,” panggil Melati dengan nada yang sengaja dibuat sedikit keras, “Kayaknya karpet di ruang tamu udah kotor, perlu diganti. Atau kamu bisa coba nyapu-nyapu ringan aja?”Nasya menatap karpet sebentar, lalu mengelus perutnya sambil berakting lelah. “Aduh, ma… Saya lemes banget, rasanya gak kuat nyapu-nyapu dulu nih. Kata dokter, ibu hamil harus banyak istirahat, jangan capek-capek.”Melati mendesah panjang, tetapi Nasya tetap tak bergeming, malah asyik kembali menonton TV. Tak lama, Melati mencoba taktik baru dengan menyalakan vacuum cleaner di dekatnya, membuat suara berisik untuk mengusik ketenangan Nasya.“Waduh, maaf ya kalau agak berisik, Nasya. S
Setelah perbincangan di ruang tengah yang lebih mirip sidang pengadilan, Nasya dan Bima melangkah masuk ke kamar dengan langkah berat. Nasya merebahkan tubuhnya ke tempat tidur, menarik napas panjang. Wajahnya tampak sayu, sementara Bima hanya berdiri di ambang pintu, menatap Nasya dengan ekspresi penuh rasa bersalah.“Nasya,” ucap Bima pelan, mencoba mencairkan suasana.Nasya menghela napas panjang. “Bima, aku nggak tahu sampai kapan bisa kayak gini. Jujur… tinggal di rumah ini, sama Mama, rasanya seperti… nggak punya ruang bernapas sendiri. Kamu ngerti nggak sih?” Suaranya gemetar, dipenuhi perasaan kecewa yang lama tertahan.Bima mendekat, duduk di sisi ranjang. “Sayang, aku paham. Tapi coba lihat dari sisi Mama. Dia itu cuma ingin kita di dekatnya. Lagipula, dia memang keras, tapi hatinya baik, Nasya.”Nasya langsung memutar matanya, seakan sudah lelah dengan pembelaan Bima yang terlalu sering didengarnya. “Ibu Ratu… selalu baik di matamu, ya, Bima. Padahal kamu nggak tahu rasanya
Setelah mereka tiba di rumah sakit, Bima dan Nasya berjalan beriringan menuju lobi. Bima tampak bersemangat, wajahnya berseri-seri, sementara Nasya mencoba menyamakan langkah sambil menahan senyum malu-malu melihat suaminya yang sudah terbawa suasana.“Sayang, aku yakin banget kamu hamil, deh,” ujar Bima, katanya setengah berbisik, tapi entah kenapa suaranya tetap kedengaran se-lobi rumah sakit. “Soalnya, kita kan nggak pernah bolos, ya, dari hari pertama nikah. Bahkan, yang pas aku baru pulang kerja capek banget itu, kita tetap ‘latihan’ juga, kan?”Nasya langsung menyikut Bima, mencoba menghentikan obrolan heboh suaminya. “Kenapa malah bahas itu sih?”Tapi Bima malah tambah semangat. “Lho, iya kan? Masa kamu lupa sama ‘latihan intensif’ kita yang sampai tiga sesi sehari? Ini sih pasti hasilnya manjur banget, Sayang. Aku aja udah ngerasa vibes calon ayah nih, serius!”Nasya langsung menyikut Bima, “Bima, pelan-pelan ngomongnya. Ini rumah sakit, banyak orang denger.” Matanya melirik s
Setelah Tantri pulang, Melati menutup pintu dengan sedikit hentakan, kemudian berjalan ke dapur dengan ekspresi penuh penyesalan. Di sana, Nasya sudah berdiri menunggu dengan piring berisi masakan sederhana yang ia buat sendiri, tampak bersemangat namun juga sedikit cemas.Melati berhenti sejenak di ambang dapur, memandangi Nasya dengan tatapan penuh perhitungan, seperti menilai barang obral yang setengah rusak di pojok rak. Tatapannya tak lepas dari wajah Nasya, seolah-olah ia masih berharap suatu keajaiban bisa mengubah menantunya ini menjadi sosok ‘sempurna’ seperti Tantri.Mata Melati memicing sejenak, dan tanpa berkata apa pun, ia mendekat. Ekspresinya penuh penyesalan tersirat, bagai seseorang yang baru saja menukar permata asli dengan imitasi yang buram.“Ma, aku udah selesai masak,” ucap Nasya sambil tersenyum ramah, berusaha mencairkan suasana. “Aku lihat resep di YouTube. Nggak jelek-jelek banget kan hasilnya? Mama cobain, ya?”Melati menatap piring di tangan Nasya dengan ta
Suara Melati terdengar nyaring di ruang tamu ketika Nasya baru saja hendak menuju kamarnya. “Nasya! Kamu coba masak, deh. Masa istri nggak bisa masak buat suami? Itu kewajiban kamu sekarang.” Melati menatap Nasya dengan tatapan yang tak memberi ruang untuk menolak.Nasya tersenyum canggung, “Iya, Ma... cuma memang aku belum terlalu bisa masak sih, takutnya…”Belum selesai Nasya bicara, Melati langsung memotong dengan nada ketus, “Kamu sudah jadi istri, ya harus bisa masak! Bima tuh nikahin kamu bukan buat kamu cuma ada alasan terus-terusan. Langsung aja ke dapur, belajar!”Dengan perasaan campur aduk, Nasya melangkah ke dapur sambil mendengus dalam hati. Sesampainya di dapur, ia terdiam, memandang kosong ke sekelilingnya. Ia benar-benar bingung harus mulai dari mana.“Masak apa, ya?” gumamnya sambil membuka kulkas, berharap ada ‘inspirasinya’ di sana. Di dalam kulkas, ia menemukan seikat kangkung yang sudah mulai layu dan sebungkus daging ayam beku di freezer. Ia menatap bahan-bahan i
Setelah perjalanan panjang dan bulan madu yang akhirnya usai, Nasya dan Bima tiba di rumah mereka di Jakarta. Begitu mereka melangkah masuk, kelelahan terlihat jelas di wajah mereka. Koper-koper diletakkan di ruang tamu, dan mereka menghela napas lega, senang akhirnya bisa kembali ke tempat yang nyaman.Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, Melati mulai mengeluh sambil memijat-mijat pinggangnya, memasang wajah penuh penderitaan khas ibu-ibu yang baru saja melakukan aktivitas fisik berlebihan.“Lutut mama kayak mau copot, tulang belakang serasa mau patah! Apa mama terlalu tua untuk ini?” sambat Melati dengan ekspresi dramatis.Bima menahan tawa melihat ibunya yang selalu dramatis. “Udah, Ma, istirahat aja dulu, ya. Kaki mama masih utuh, kan?”Melati mendengus, pura-pura marah. “Utuh, sih, tapi rasanya remuk, Bima! Coba bayangin kalau mama gak istirahat, besok-besok kamu harus gotong mama ke rumah sakit! Padahal, mama cuma mau jalan-jalan bulan madu kedua, eh malah kayak ikut