Setelah menebus obat dan menukar baju rumah sakit dengan baju mereka sendiri yang sudah dikeringkan, mereka akhirnya berjalan beriringan keluar dari rumah sakit. Bima menghela napas lega. “Akhirnya selesai juga,” gumamnya sambil melihat layar ponsel. Dengan cekatan, dia memesan taksi online. “Aku anterin kamu pulang dulu, ya,” katanya tanpa basa-basi.Nasya yang sedang asyik memerhatikan orang lalu-lalang di luar rumah sakit, langsung menoleh. “Hah? Kamu yang sakit, Bima. Jangan malah repot anterin aku pulang.”Bima tersenyum tipis. “Gapapa, kan rumah kamu searah sama arahku.”Nasya menyipitkan mata, skeptis. “Aku ini gak apa-apa sendiri. Lagian kamu itu butuh istirahat.”Bima mengangkat bahu santai. “Tapi gak masalah juga kan kalau aku antar kamu?”Nasya ngotot. “Gak perlu, beneran. Aku bisa pulang sendiri.”Bima menatap Nasya sebentar, lalu tersenyum nakal. “Rumah kamu deket lokasi proyek, kan? Soalnya tadi aku lihat kamu belanja di deket situ.”Mata Nasya melebar. “Emang iya. Kenap
Nasya dan Bima berjalan pelan menuju tempat mobil Bima diparkir, yang tak jauh dari lokasi proyek. Suasana malam terasa dingin, tapi entah kenapa Nasya merasa suasananya jadi lebih canggung setelah obrolan tadi di rumah. Nasya mencoba mencairkan suasana dengan cepat, meski kepalanya masih penuh rasa malu.“Maaf banget ya, Bima. Tadi papa dan mama kebablasan ngomongnya. Lupain aja deh soal mereka yang sok jual-jual aku,” kata Nasya, setengah bercanda tapi penuh harap Bima tidak benar-benar kepikiran omongan orangtuanya.Bima hanya tersenyum, santai seperti biasanya. “Nggak usah minta maaf, Nasya. Wajar kok, orang tua kan pasti pengen yang terbaik buat anaknya. Apalagi... ya, aku ngerti kondisi kalian.”Nasya merasa makin malu. “Iya, tapi nggak harus segitunya juga. Jadi tolong, lupain aja, ya?”Bima tertawa kecil. “Aku ngerti kok. Santai aja. Lagian aku udah biasa, mamaku juga sering maksa aku soal urusan nikah. Jadi ini bukan hal baru buat aku.”Nasya mendengus, tapi kali ini bukan ka
Bima berjalan menuju ruang makan, berusaha menikmati pagi yang tenang. Hari ini dia tidak berencana ke kantor, karena dokter menyarankan untuk istirahat dulu setelah insiden kemarin. Tapi begitu kakinya melangkah masuk ke ruang makan, ketenangan itu langsung lenyap begitu saja.Melati sudah duduk di kursi ruang makan, tapi bukan fokus sama sarapan, melainkan fokus ke layar ponselnya. “Bima, sini deh, Mama mau ngomongin soal calon-calon yang cocok buat kamu.”Bima yang baru mau duduk dan mencium aroma nasi goreng buatan Mbok Nah, langsung terdiam, belum sempat menurunkan pantatnya ke kursi. “Ma, calon lagi?”Melati mengangguk penuh semangat. “Iya dong, Mama ngerti kok kalo kamu gak mau sama Mutiara. Tapi tenang, Mama udah siapin opsi lain.” Melati mengambil ponselnya dan mulai membuka galeri foto. Dia menggeser satu per satu foto dengan cepat, seolah sedang memamerkan katalog produk yang siap dijual.“Nih, anaknya Jeng Ratna. Lulusan luar negeri juga, lho, Bi. Kulitnya mulus, kalau kamu
Mobil Bima berhenti tepat di depan rumah kontrakan Nasya. Ia turun dengan kantong buah di tangan, menatap rumah sederhana itu sambil menarik napas. “Semoga aja orangtua Nasya suka,” batinnya, sambil melangkah ke arah pintu rumah. Bima pun segera mengetuk pintunya. “Assalamualaikum.”Tak lama kemudian, Harun dan Ranti buru-buru membuka pintu. Keduanya tampak kaget, seperti tidak menyangka Bima kembali datang.“Waalaikumsalam. Nak Bima, ya ampun, pagi-pagi udah ke sini,” kata Harun sambil tersenyum lebar, agak canggung.“Saya ada perlu sama Nasya, Om. Nasyanya ada kan?” jawab Bima sambil melirik ke dalam rumah.“Oh, ada kok. Masih ngumpet di kamar kayaknya,” sahut Harun cepat, “Ayo masuk, masuk dulu.”Bima mengulurkan kantong buah yang ia bawa. Harun menatapnya dengan sedikit bingung. “Wah, repot-repot bawa buah segala, Nak Bima.”Bima tersenyum sopan. “Nggak repot kok, Om.”Ranti yang sejak tadi berdiri di samping Harun, buru-buru menambahkan dengan tawa kecil, “Aduh, jadi nggak enak,
Nasya dan Bima keluar rumah, dengan Harun dan Ranti yang penuh semangat mengikuti mereka sampai ke teras. “Hati-hati ya, Nak Bima,” ujar Harun sambil tersenyum lebar, “Nikmati aja kencannya. Nggak pulang semalaman juga nggak apa-apa!”Ranti menimpali, “Iya, yang penting kalian senang-senang. Jangan khawatir soal balik ke rumah kemaleman! Kalau perlu, langsung lamaran besok juga boleh, kok.”Nasya sudah merasa wajahnya terbakar malu. Dia melirik orangtuanya dengan kode agar mereka segera masuk ke dalam rumah, daripada mereka benar-benar membuatnya lebih malu lagi. “Ma, Pa, udah deh masuk. Daripada aku bener-bener pengen pura-pura pingsan di sini.”Harun dan Ranti masih terus melambai-lambaikan tangan saat Nasya dan Bima mulai berjalan ke arah mobil. Begitu tiba di samping mobil, Bima segera membuka pintu untuk Nasya. “Makasih,” ucap Nasya dengan nada datar, masih nahan malu akibat kelakuan orangtuanya.Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Nasya langsung melihat tisu di dashboard dan tan
Bima melajukan mobilnya dengan santai, mengantar Nasya pulang ke rumah kontrakannya. Setelah membeli hp tadi, mereka menyempatkan diri kembali ke warung bakso untuk membungkus makanan yang tadi Bima lupa pesan buat orangtua Nasya.“Padahal nggak usah repot-repot, Bim,” kata Nasya, sambil menghela napas ringan. “Soalnya, papa sama mama aku kalo dibaikin suka ngelunjak. Dikasih hati, ntar ginjal kamu diraba-raba.”Bima nyaris terbatuk menahan tawa, sambil melirik Nasya dengan alis terangkat. “Apa sih? Jangan jelekin orangtua sendiri gitu.”Nasya menggeleng tegas. “Nggak, aku gak jelekin. Cuma ngomong apa adanya. Emang sifat mereka sejelek itu. Mungkin sebagian juga nurun ke aku, jadi kamu jangan kaget ya.”Bima tertawa lebih lepas kali ini. “Ya ampun, Sya. Semua manusia ada baik dan buruknya, kok. Nggak usah keras sama diri sendiri atau keluarga kamu. Yang aku lihat, kalian itu dominan orang baik.”Nasya terdiam sejenak, hatinya terasa hangat mendengar kata-kata Bima. Dia tersenyum keci
Bima dan Nasya baru menghabiskan waktu nonton bersama. Setelah keluar dari bioskop, mereka berjalan santai di trotoar sambil sesekali membahas film yang baru saja mereka tonton.“Menurut kamu gimana, film tadi?” tanya Bima sambil memainkan tiket yang masih ada di tangannya.“Lumayan, tapi kayaknya agak ketebak deh plot twist-nya. Dari awal aku udah tahu dia bakal jadi penjahat,” jawab Nasya sambil terkekeh.Bima tertawa, “Iya, ya. Aku malah berharap plot-nya lebih ngagetin. Tapi efek visualnya keren sih.”Mereka terus ngobrol ringan soal film, tapi raut wajah Bima perlahan berubah lebih serius. Dia menarik napas panjang, seolah ada hal penting yang ingin disampaikan.“Nasya,” kata Bima akhirnya, “Aku mau ngomong serius.”Nasya langsung menoleh, penasaran dengan nada bicara Bima yang mendadak berubah. “Ngomong aja. Ada apa sih? Serius banget?”Bima tersenyum tipis, lalu berkata, “Aku udah minta izin orangtuaku buat nikahin kamu. Mereka setuju.”Nasya terdiam sejenak, mencoba mencerna a
Pernikahan Bima dan Nasya, kenyataannya, bahkan tidak ada resepsi sama sekali. Hanya akad nikah sederhana yang dilakukan di kantor KUA, seperti orang yang lagi ngumpet-ngumpet biar nggak ketahuan. Nasya merasa pernikahannya seperti dilakukan terburu-buru, kayak pernikahan karena ‘kecelakaan’. Tapi Bima sama sekali tidak masalah. “Yang penting sah,” katanya berkali-kali, seolah itu jawaban untuk semua.Sementara itu, Harun dan Ranti tampak sangat bersemangat. Mereka akhirnya berhasil menjodohkan anak mereka dengan orang kaya. Harun bahkan senyum lebar sepanjang acara, mungkin udah mikir tentang undangan makan malam di restoran mahal setelah ini. Ranti? Dia sudah berandai-andai bakal sering ke mal buat belanja bareng Nasya.“Saya terima nikahnya Nasya Harunodin Lestari dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dan Antam 50 gram, dibayar tunai.”“Bagaimana saksi, sah?” tanya penghulu.“Sah!” Harun dan Ranti teriak dengan semangat, seperti baru memenangkan undian berhadiah.Tapi di