Bima dan Nasya baru menghabiskan waktu nonton bersama. Setelah keluar dari bioskop, mereka berjalan santai di trotoar sambil sesekali membahas film yang baru saja mereka tonton.“Menurut kamu gimana, film tadi?” tanya Bima sambil memainkan tiket yang masih ada di tangannya.“Lumayan, tapi kayaknya agak ketebak deh plot twist-nya. Dari awal aku udah tahu dia bakal jadi penjahat,” jawab Nasya sambil terkekeh.Bima tertawa, “Iya, ya. Aku malah berharap plot-nya lebih ngagetin. Tapi efek visualnya keren sih.”Mereka terus ngobrol ringan soal film, tapi raut wajah Bima perlahan berubah lebih serius. Dia menarik napas panjang, seolah ada hal penting yang ingin disampaikan.“Nasya,” kata Bima akhirnya, “Aku mau ngomong serius.”Nasya langsung menoleh, penasaran dengan nada bicara Bima yang mendadak berubah. “Ngomong aja. Ada apa sih? Serius banget?”Bima tersenyum tipis, lalu berkata, “Aku udah minta izin orangtuaku buat nikahin kamu. Mereka setuju.”Nasya terdiam sejenak, mencoba mencerna a
Pernikahan Bima dan Nasya, kenyataannya, bahkan tidak ada resepsi sama sekali. Hanya akad nikah sederhana yang dilakukan di kantor KUA, seperti orang yang lagi ngumpet-ngumpet biar nggak ketahuan. Nasya merasa pernikahannya seperti dilakukan terburu-buru, kayak pernikahan karena ‘kecelakaan’. Tapi Bima sama sekali tidak masalah. “Yang penting sah,” katanya berkali-kali, seolah itu jawaban untuk semua.Sementara itu, Harun dan Ranti tampak sangat bersemangat. Mereka akhirnya berhasil menjodohkan anak mereka dengan orang kaya. Harun bahkan senyum lebar sepanjang acara, mungkin udah mikir tentang undangan makan malam di restoran mahal setelah ini. Ranti? Dia sudah berandai-andai bakal sering ke mal buat belanja bareng Nasya.“Saya terima nikahnya Nasya Harunodin Lestari dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dan Antam 50 gram, dibayar tunai.”“Bagaimana saksi, sah?” tanya penghulu.“Sah!” Harun dan Ranti teriak dengan semangat, seperti baru memenangkan undian berhadiah.Tapi di
Bima dan Nasya memasuki kamar pengantin mereka yang dihiasi dengan tema klasik-romantis. Kelambu putih mengelilingi tempat tidur besar, sementara bunga-bunga mawar merah menghiasi meja dan sudut-sudut ruangan. Lampu kuning temaram menambah suasana yang hangat, namun untuk mereka berdua, suasana itu malah bikin tambah canggung.Bima melirik ke arah tempat tidur yang terlalu sempurna, dan ia terlihat sedikit gugup. Nasya yang biasanya tangguh juga mendadak kikuk. Mereka berdiri berdua di tengah kamar, tak ada suara selain desahan pelan dari AC dan bunyi langkah kaki mereka yang saling bergeser di atas lantai.“Maaf, ya. Aku gak bisa kasih pesta pernikahan yang besar...” kata Bima sambil tersenyum kaku. Tangannya mengusap te ngkuknya yang mulai berkeringat. “Tapi... ya... yang penting kita sah kan?”Nasya tersenyum lembut, mencoba meredakan ketegangan. “Aku malah senang, Bim. Nggak ada pesta berarti nggak perlu berdiri lama-lama dan senyum terus sampai rahang pegel. Capek tahu kalau haru
Pagi itu, suasana meja makan tampak hening, hanya terdengar bunyi sendok dan garpu. Nasya dengan lahap menyantap sarapan, tidak menyadari kalau suara garpunya yang menggesek piring cukup keras. Di sebelahnya, Melati melirik sejenak, matanya menyipit penuh arti.“Hmm... memang benar ya, kelas itu nggak bisa menipu. Dari cara makan aja sudah kelihatan, beda,” ujar Melati dengan nada halus tapi jelas maksudnya nyelekit.Bima yang duduk di seberang Nasya langsung merespon cepat, meskipun nada suaranya tetap tenang. “Ma, masa iya suara piring aja harus diperkarakan? Ini cuma hal kecil, nggak perlu dibesar-besarin.”Melati tersenyum tipis, tidak berniat menyerah. “Bukan masalah piringnya, Bima. Cuma... ada beberapa hal yang terlihat, dan ya... menonjol.”Nasya berhenti sejenak, matanya melirik Melati yang duduk tenang, namun sindirannya terasa seperti serangan halus. Dalam hatinya, Nasya sudah mendidih. Tapi sebagai menantu yang ‘baik’, dia berusaha menahan diri, meski sabarnya setipis kuli
Bab 24Pagi itu, Nasya dan Bima sudah selesai berkemas. Koper Nasya yang ringkas hanya berisi barang-barang penting, sedangkan Bima menyandang ransel di pundaknya. Mereka keluar dari kamar dan melihat Hilman sudah siap, duduk santai di ruang tamu dengan wajah tenang. Tapi, di sisi lain, Melati—belum terlihat.Nasya melirik jam di pergelangan tangannya, menahan kesel yang sudah nyaris meletus. “Ini siapa yang mau liburan, sih? Kita atau Mama kamu?” gerutunya dalam hati sambil pura-pura sibuk mengatur koper.Bima dan Hilman saling berpandangan, sama-sama heran. “Ma, udah siap belum?” Bima memanggil dari ruang tamu, mencoba tidak menunjukkan rasa tidak sabarnya.Terdengar suara ribut dari dalam kamar Melati. Bima dan Nasya masih menunggu dengan sabar—atau setidaknya, berpura-pura sabar. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka lebar, dan keluarlah Melati dengan penampilan yang... wow. Dia mengenakan outfit penuh gaya: sunglasses besar menutupi setengah wajahnya, syal bermotif leopard terur
Dini hari yang masih gelap, Nasya, Bima, Melati, dan Hilman sudah berkumpul di depan vila, berbalut jaket tebal untuk mengusir dinginnya udara Bromo. Di sana, mereka disambut oleh seorang tour guide, Ardi, pria muda dengan senyum ramah dan gaya bicara yang jenaka, langsung membangkitkan semangat rombongan yang masih setengah mengantuk.Ardi mengarahkan mereka untuk naik ke mobil jeep, dan mereka meluncur menuju titik pendakian untuk menyaksikan matahari terbit. Setelah perjalanan singkat yang berliku-liku, jeep berhenti di kaki gunung, dan Ardi memberi tahu mereka bahwa perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki."Ya ampun, jalan kaki? Beneran nggak bisa diantar sampai atas aja?" keluh Melati dengan nada sedikit memohon, sambil menatap Ardi penuh harap.Mas Ardi tersenyum, berusaha menahan tawa. "Ibu, kalau bisa, saya sudah jadi sopir pribadi Ibu dari tadi. Tapi tenang, cuma sedikit nanjak aja, kok. Rugi kalau nggak jalan, nanti Ibu kelewatan serunya!"Mereka semua mulai melang
Setelah perjalanan panjang dan bulan madu yang akhirnya usai, Nasya dan Bima tiba di rumah mereka di Jakarta. Begitu mereka melangkah masuk, kelelahan terlihat jelas di wajah mereka. Koper-koper diletakkan di ruang tamu, dan mereka menghela napas lega, senang akhirnya bisa kembali ke tempat yang nyaman.Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, Melati mulai mengeluh sambil memijat-mijat pinggangnya, memasang wajah penuh penderitaan khas ibu-ibu yang baru saja melakukan aktivitas fisik berlebihan.“Lutut mama kayak mau copot, tulang belakang serasa mau patah! Apa mama terlalu tua untuk ini?” sambat Melati dengan ekspresi dramatis.Bima menahan tawa melihat ibunya yang selalu dramatis. “Udah, Ma, istirahat aja dulu, ya. Kaki mama masih utuh, kan?”Melati mendengus, pura-pura marah. “Utuh, sih, tapi rasanya remuk, Bima! Coba bayangin kalau mama gak istirahat, besok-besok kamu harus gotong mama ke rumah sakit! Padahal, mama cuma mau jalan-jalan bulan madu kedua, eh malah kayak ikut
Suara Melati terdengar nyaring di ruang tamu ketika Nasya baru saja hendak menuju kamarnya. “Nasya! Kamu coba masak, deh. Masa istri nggak bisa masak buat suami? Itu kewajiban kamu sekarang.” Melati menatap Nasya dengan tatapan yang tak memberi ruang untuk menolak.Nasya tersenyum canggung, “Iya, Ma... cuma memang aku belum terlalu bisa masak sih, takutnya…”Belum selesai Nasya bicara, Melati langsung memotong dengan nada ketus, “Kamu sudah jadi istri, ya harus bisa masak! Bima tuh nikahin kamu bukan buat kamu cuma ada alasan terus-terusan. Langsung aja ke dapur, belajar!”Dengan perasaan campur aduk, Nasya melangkah ke dapur sambil mendengus dalam hati. Sesampainya di dapur, ia terdiam, memandang kosong ke sekelilingnya. Ia benar-benar bingung harus mulai dari mana.“Masak apa, ya?” gumamnya sambil membuka kulkas, berharap ada ‘inspirasinya’ di sana. Di dalam kulkas, ia menemukan seikat kangkung yang sudah mulai layu dan sebungkus daging ayam beku di freezer. Ia menatap bahan-bahan i