Pagi itu, suasana meja makan tampak hening, hanya terdengar bunyi sendok dan garpu. Nasya dengan lahap menyantap sarapan, tidak menyadari kalau suara garpunya yang menggesek piring cukup keras. Di sebelahnya, Melati melirik sejenak, matanya menyipit penuh arti.“Hmm... memang benar ya, kelas itu nggak bisa menipu. Dari cara makan aja sudah kelihatan, beda,” ujar Melati dengan nada halus tapi jelas maksudnya nyelekit.Bima yang duduk di seberang Nasya langsung merespon cepat, meskipun nada suaranya tetap tenang. “Ma, masa iya suara piring aja harus diperkarakan? Ini cuma hal kecil, nggak perlu dibesar-besarin.”Melati tersenyum tipis, tidak berniat menyerah. “Bukan masalah piringnya, Bima. Cuma... ada beberapa hal yang terlihat, dan ya... menonjol.”Nasya berhenti sejenak, matanya melirik Melati yang duduk tenang, namun sindirannya terasa seperti serangan halus. Dalam hatinya, Nasya sudah mendidih. Tapi sebagai menantu yang ‘baik’, dia berusaha menahan diri, meski sabarnya setipis kuli
Bab 24Pagi itu, Nasya dan Bima sudah selesai berkemas. Koper Nasya yang ringkas hanya berisi barang-barang penting, sedangkan Bima menyandang ransel di pundaknya. Mereka keluar dari kamar dan melihat Hilman sudah siap, duduk santai di ruang tamu dengan wajah tenang. Tapi, di sisi lain, Melati—belum terlihat.Nasya melirik jam di pergelangan tangannya, menahan kesel yang sudah nyaris meletus. “Ini siapa yang mau liburan, sih? Kita atau Mama kamu?” gerutunya dalam hati sambil pura-pura sibuk mengatur koper.Bima dan Hilman saling berpandangan, sama-sama heran. “Ma, udah siap belum?” Bima memanggil dari ruang tamu, mencoba tidak menunjukkan rasa tidak sabarnya.Terdengar suara ribut dari dalam kamar Melati. Bima dan Nasya masih menunggu dengan sabar—atau setidaknya, berpura-pura sabar. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka lebar, dan keluarlah Melati dengan penampilan yang... wow. Dia mengenakan outfit penuh gaya: sunglasses besar menutupi setengah wajahnya, syal bermotif leopard terur
Dini hari yang masih gelap, Nasya, Bima, Melati, dan Hilman sudah berkumpul di depan vila, berbalut jaket tebal untuk mengusir dinginnya udara Bromo. Di sana, mereka disambut oleh seorang tour guide, Ardi, pria muda dengan senyum ramah dan gaya bicara yang jenaka, langsung membangkitkan semangat rombongan yang masih setengah mengantuk.Ardi mengarahkan mereka untuk naik ke mobil jeep, dan mereka meluncur menuju titik pendakian untuk menyaksikan matahari terbit. Setelah perjalanan singkat yang berliku-liku, jeep berhenti di kaki gunung, dan Ardi memberi tahu mereka bahwa perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki."Ya ampun, jalan kaki? Beneran nggak bisa diantar sampai atas aja?" keluh Melati dengan nada sedikit memohon, sambil menatap Ardi penuh harap.Mas Ardi tersenyum, berusaha menahan tawa. "Ibu, kalau bisa, saya sudah jadi sopir pribadi Ibu dari tadi. Tapi tenang, cuma sedikit nanjak aja, kok. Rugi kalau nggak jalan, nanti Ibu kelewatan serunya!"Mereka semua mulai melang
Setelah perjalanan panjang dan bulan madu yang akhirnya usai, Nasya dan Bima tiba di rumah mereka di Jakarta. Begitu mereka melangkah masuk, kelelahan terlihat jelas di wajah mereka. Koper-koper diletakkan di ruang tamu, dan mereka menghela napas lega, senang akhirnya bisa kembali ke tempat yang nyaman.Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, Melati mulai mengeluh sambil memijat-mijat pinggangnya, memasang wajah penuh penderitaan khas ibu-ibu yang baru saja melakukan aktivitas fisik berlebihan.“Lutut mama kayak mau copot, tulang belakang serasa mau patah! Apa mama terlalu tua untuk ini?” sambat Melati dengan ekspresi dramatis.Bima menahan tawa melihat ibunya yang selalu dramatis. “Udah, Ma, istirahat aja dulu, ya. Kaki mama masih utuh, kan?”Melati mendengus, pura-pura marah. “Utuh, sih, tapi rasanya remuk, Bima! Coba bayangin kalau mama gak istirahat, besok-besok kamu harus gotong mama ke rumah sakit! Padahal, mama cuma mau jalan-jalan bulan madu kedua, eh malah kayak ikut
Suara Melati terdengar nyaring di ruang tamu ketika Nasya baru saja hendak menuju kamarnya. “Nasya! Kamu coba masak, deh. Masa istri nggak bisa masak buat suami? Itu kewajiban kamu sekarang.” Melati menatap Nasya dengan tatapan yang tak memberi ruang untuk menolak.Nasya tersenyum canggung, “Iya, Ma... cuma memang aku belum terlalu bisa masak sih, takutnya…”Belum selesai Nasya bicara, Melati langsung memotong dengan nada ketus, “Kamu sudah jadi istri, ya harus bisa masak! Bima tuh nikahin kamu bukan buat kamu cuma ada alasan terus-terusan. Langsung aja ke dapur, belajar!”Dengan perasaan campur aduk, Nasya melangkah ke dapur sambil mendengus dalam hati. Sesampainya di dapur, ia terdiam, memandang kosong ke sekelilingnya. Ia benar-benar bingung harus mulai dari mana.“Masak apa, ya?” gumamnya sambil membuka kulkas, berharap ada ‘inspirasinya’ di sana. Di dalam kulkas, ia menemukan seikat kangkung yang sudah mulai layu dan sebungkus daging ayam beku di freezer. Ia menatap bahan-bahan i
Setelah Tantri pulang, Melati menutup pintu dengan sedikit hentakan, kemudian berjalan ke dapur dengan ekspresi penuh penyesalan. Di sana, Nasya sudah berdiri menunggu dengan piring berisi masakan sederhana yang ia buat sendiri, tampak bersemangat namun juga sedikit cemas.Melati berhenti sejenak di ambang dapur, memandangi Nasya dengan tatapan penuh perhitungan, seperti menilai barang obral yang setengah rusak di pojok rak. Tatapannya tak lepas dari wajah Nasya, seolah-olah ia masih berharap suatu keajaiban bisa mengubah menantunya ini menjadi sosok ‘sempurna’ seperti Tantri.Mata Melati memicing sejenak, dan tanpa berkata apa pun, ia mendekat. Ekspresinya penuh penyesalan tersirat, bagai seseorang yang baru saja menukar permata asli dengan imitasi yang buram.“Ma, aku udah selesai masak,” ucap Nasya sambil tersenyum ramah, berusaha mencairkan suasana. “Aku lihat resep di YouTube. Nggak jelek-jelek banget kan hasilnya? Mama cobain, ya?”Melati menatap piring di tangan Nasya dengan ta
Setelah mereka tiba di rumah sakit, Bima dan Nasya berjalan beriringan menuju lobi. Bima tampak bersemangat, wajahnya berseri-seri, sementara Nasya mencoba menyamakan langkah sambil menahan senyum malu-malu melihat suaminya yang sudah terbawa suasana.“Sayang, aku yakin banget kamu hamil, deh,” ujar Bima, katanya setengah berbisik, tapi entah kenapa suaranya tetap kedengaran se-lobi rumah sakit. “Soalnya, kita kan nggak pernah bolos, ya, dari hari pertama nikah. Bahkan, yang pas aku baru pulang kerja capek banget itu, kita tetap ‘latihan’ juga, kan?”Nasya langsung menyikut Bima, mencoba menghentikan obrolan heboh suaminya. “Kenapa malah bahas itu sih?”Tapi Bima malah tambah semangat. “Lho, iya kan? Masa kamu lupa sama ‘latihan intensif’ kita yang sampai tiga sesi sehari? Ini sih pasti hasilnya manjur banget, Sayang. Aku aja udah ngerasa vibes calon ayah nih, serius!”Nasya langsung menyikut Bima, “Bima, pelan-pelan ngomongnya. Ini rumah sakit, banyak orang denger.” Matanya melirik s
Setelah perbincangan di ruang tengah yang lebih mirip sidang pengadilan, Nasya dan Bima melangkah masuk ke kamar dengan langkah berat. Nasya merebahkan tubuhnya ke tempat tidur, menarik napas panjang. Wajahnya tampak sayu, sementara Bima hanya berdiri di ambang pintu, menatap Nasya dengan ekspresi penuh rasa bersalah.“Nasya,” ucap Bima pelan, mencoba mencairkan suasana.Nasya menghela napas panjang. “Bima, aku nggak tahu sampai kapan bisa kayak gini. Jujur… tinggal di rumah ini, sama Mama, rasanya seperti… nggak punya ruang bernapas sendiri. Kamu ngerti nggak sih?” Suaranya gemetar, dipenuhi perasaan kecewa yang lama tertahan.Bima mendekat, duduk di sisi ranjang. “Sayang, aku paham. Tapi coba lihat dari sisi Mama. Dia itu cuma ingin kita di dekatnya. Lagipula, dia memang keras, tapi hatinya baik, Nasya.”Nasya langsung memutar matanya, seakan sudah lelah dengan pembelaan Bima yang terlalu sering didengarnya. “Ibu Ratu… selalu baik di matamu, ya, Bima. Padahal kamu nggak tahu rasanya