Bima tertawa kecil, nyaris tak bisa menahan dirinya lagi. “Oh, harga diri. Gue lupa. Jadi harga diri kalian tersinggung sama tumpukan semen dan bata yang kebetulan dipake buat ruko?” Dia mengangkat tangan, menatap para preman dengan ekspresi sok paham, seakan menyerah dalam logika absurd yang ada di hadapannya. “Udah deh, Bro. Mending kalian langsung aja bilang—mau kalian apa?”Salah satu preman melangkah maju, mengangkat dagunya sambil menyeringai. “Kita cuma mau kompensasi kecil aja. Lima juta buat kita. Nggak, tunggu, kita ada berlima, jadi sepuluh juta lah. Itu baru adil.”“Kompensasi?” Bima mendongak dengan ekspresi tak percaya, lalu meledak dalam tawa sarkastis. “Sepuluh juta? Buat apaan? Buat kalian ngelaporin semen-semen itu ke polisi? Atau buat beli rokok biar bisa nongkrong lebih lama di sini?”Wajah para preman berubah merah padam, jelas marah karena diejek. Mereka saling bertukar pandang, lalu salah satu dari mereka, yang tampak sebagai pemimpin kelompok, merapat ke Bima d
Nasya memapah Bima yang masih lemas menuju ruang IGD rumah sakit. Langkah mereka agak terseret, dan pakaian mereka masih setengah basah, membuat lantai berkilat-kilat setiap kali sepatu mereka menapak. Di depan pintu IGD, mereka segera disambut oleh seorang perawat muda yang sigap.“Ada apa, Mbak?” tanya perawat dengan nada serius, matanya melirik Bima yang tampak lemas.Nasya menarik napas dalam, masih sedikit terengah. “Dia… habis tenggelam di danau,” ujarnya singkat, sambil melirik ke arah Bima yang masih mencoba berdiri tegak meski terlihat semakin payah.Perawat langsung memberi isyarat kepada rekannya. “Ayo, bawa pasien ke dalam,” ujarnya cepat. Mereka dengan sigap mengarahkan Bima ke ranjang pemeriksaan terdekat, sementara Nasya mengikuti di sampingnya.“Mas, bisa berbaring dulu ya,” kata dokter yang baru masuk dengan langkah cepat. Ia mengenakan jas putih dan stetoskop yang menggantung di leher. Tangannya bergerak cekatan mempersiapkan peralatan untuk pemeriksaan. “Kejadiannya
Mutiara dan Melati berlari memasuki pintu depan rumah sakit. Nafas mereka berkejaran, seolah-olah habis maraton sepanjang jalan. Melati dengan raut wajah tegang, langsung mengarahkan langkah ke meja admin resepsionis.“Maaf, Mas, pasien atas nama Bima Aryasetya di mana sekarang?” tanya Melati dengan napas yang tersengal.Petugas resepsionis, seorang pria berusia tiga puluhan dengan rambut rapi, menatapnya sejenak sebelum mengetik cepat di komputernya. “Bima Aryasetya ya, Bu? Oh, beliau sudah dipindah ke ruang observasi, masih menunggu hasil pemeriksaan.”Mutiara langsung menggumam, “Ruang observasi di mana, Mas?”“Di lantai dua, Bu. Silakan ke lift sebelah kiri, lalu keluar belok kanan, ruang observasi ada di ujung koridor.”Mendengar penjelasan itu, Melati dan Mutiara tanpa basa-basi lagi langsung bergegas. Sepatu mereka berderit di atas lantai keramik yang licin. Melati terus menggigit bibirnya, keringat dingin mengucur di pelipis, bukan hanya karena cemas pada Bima, tapi juga ada t
Melati keluar dari kamar mandi dengan langkah enteng, senyum lega menghiasi wajahnya. Ia mengusap perutnya dengan penuh kepuasan. “Akhirnya,” gumamnya. “Semua urusan hidup ini tuntas juga.” Sambil merapikan gaun, Melati merasa seperti manusia baru—beban dunia seakan terlepas bersama segala yang ia tinggalkan di kamar mandi tadi.Namun, baru saja di tikungan, tiba-tiba... Bruak! Ia menabrak seseorang. Melati tersentak, hampir terjengkang. Di depannya berdiri Mutiara, yang terlihat lebih kacau daripada biasanya. Rambutnya berantakan, dan air mata membasahi wajahnya, membuat maskara tebalnya luntur menjadi jejak hitam di pipinya.“Mutiara, sayang, kamu kenapa?” Melati langsung bertanya dengan khawatir.Mutiara mengusap wajahnya yang semakin berantakan. “Tante, kenapa jodohin aku sama anak tante yang udah punya calon istri!? Tante sengaja, ya, mau mempermalukan aku?!” seru Mutiara di antara isakan.Melati terperanjat, tapi cepat-cepat berusaha menenangkan. “Sayang, kamu kok ngomong gitu?
Nasya keluar dari rumah sakit dengan napas lega. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar, dan untungnya, ada tukang ojek yang mangkal di dekat pintu keluar. “Syukur ada ojek,” batinnya. Mengingat ponselnya mati sejak jatuh ke air tadi, harapan untuk pesan ojek online pupus, jadi menemukan ojek konvensional ini seperti keajaiban kecil di tengah hari yang melelahkan.Setelah cepat-cepat naik ojek, Nasya berusaha melupakan kejadian tadi dengan Bima, meski pikirannya masih terus berputar. “Ini sih drama banget,” gumamnya pelan sambil memegangi helm yang agak longgar.Sampai di rumah, Nasya buru-buru masuk ke dalam. Harun dan Ranti yang sedang duduk di ruang tamu langsung menyambut dengan ekspresi kaget. “Lho, kok udah pulang?” tanya Harun sambil memicingkan mata curiga. Dia memerhatikan Nasya yang masih mengenakan baju dari rumah sakit, tapi fokusnya saat ini bukan pada baju yang dipakai Nasya—tapi sesuatu yang lebih penting dari itu.Ranti mengangguk setuju, “Emangnya Bima udah pulang? Kok
Setelah menebus obat dan menukar baju rumah sakit dengan baju mereka sendiri yang sudah dikeringkan, mereka akhirnya berjalan beriringan keluar dari rumah sakit. Bima menghela napas lega. “Akhirnya selesai juga,” gumamnya sambil melihat layar ponsel. Dengan cekatan, dia memesan taksi online. “Aku anterin kamu pulang dulu, ya,” katanya tanpa basa-basi.Nasya yang sedang asyik memerhatikan orang lalu-lalang di luar rumah sakit, langsung menoleh. “Hah? Kamu yang sakit, Bima. Jangan malah repot anterin aku pulang.”Bima tersenyum tipis. “Gapapa, kan rumah kamu searah sama arahku.”Nasya menyipitkan mata, skeptis. “Aku ini gak apa-apa sendiri. Lagian kamu itu butuh istirahat.”Bima mengangkat bahu santai. “Tapi gak masalah juga kan kalau aku antar kamu?”Nasya ngotot. “Gak perlu, beneran. Aku bisa pulang sendiri.”Bima menatap Nasya sebentar, lalu tersenyum nakal. “Rumah kamu deket lokasi proyek, kan? Soalnya tadi aku lihat kamu belanja di deket situ.”Mata Nasya melebar. “Emang iya. Kenap
Nasya dan Bima berjalan pelan menuju tempat mobil Bima diparkir, yang tak jauh dari lokasi proyek. Suasana malam terasa dingin, tapi entah kenapa Nasya merasa suasananya jadi lebih canggung setelah obrolan tadi di rumah. Nasya mencoba mencairkan suasana dengan cepat, meski kepalanya masih penuh rasa malu.“Maaf banget ya, Bima. Tadi papa dan mama kebablasan ngomongnya. Lupain aja deh soal mereka yang sok jual-jual aku,” kata Nasya, setengah bercanda tapi penuh harap Bima tidak benar-benar kepikiran omongan orangtuanya.Bima hanya tersenyum, santai seperti biasanya. “Nggak usah minta maaf, Nasya. Wajar kok, orang tua kan pasti pengen yang terbaik buat anaknya. Apalagi... ya, aku ngerti kondisi kalian.”Nasya merasa makin malu. “Iya, tapi nggak harus segitunya juga. Jadi tolong, lupain aja, ya?”Bima tertawa kecil. “Aku ngerti kok. Santai aja. Lagian aku udah biasa, mamaku juga sering maksa aku soal urusan nikah. Jadi ini bukan hal baru buat aku.”Nasya mendengus, tapi kali ini bukan ka
Bima berjalan menuju ruang makan, berusaha menikmati pagi yang tenang. Hari ini dia tidak berencana ke kantor, karena dokter menyarankan untuk istirahat dulu setelah insiden kemarin. Tapi begitu kakinya melangkah masuk ke ruang makan, ketenangan itu langsung lenyap begitu saja.Melati sudah duduk di kursi ruang makan, tapi bukan fokus sama sarapan, melainkan fokus ke layar ponselnya. “Bima, sini deh, Mama mau ngomongin soal calon-calon yang cocok buat kamu.”Bima yang baru mau duduk dan mencium aroma nasi goreng buatan Mbok Nah, langsung terdiam, belum sempat menurunkan pantatnya ke kursi. “Ma, calon lagi?”Melati mengangguk penuh semangat. “Iya dong, Mama ngerti kok kalo kamu gak mau sama Mutiara. Tapi tenang, Mama udah siapin opsi lain.” Melati mengambil ponselnya dan mulai membuka galeri foto. Dia menggeser satu per satu foto dengan cepat, seolah sedang memamerkan katalog produk yang siap dijual.“Nih, anaknya Jeng Ratna. Lulusan luar negeri juga, lho, Bi. Kulitnya mulus, kalau kamu