Share

Bab 2

Seorang wanita berusia sekitar awal 20-an berdiri di balkon rumahnya sambil memandangi ke arah gemerlap lampu Natal.

Wajah elegannya memaksakan sebuah senyum, sambil memandang ke arah hiruk pikuk Kota Malang. Mata cokelatnya berbinar, membayangkan betapa bahagianya dia jika dia bersama Ayah dan neneknya.

Untuk sepersekian detik, dia teringat oleh bagaimana perlakuan ayahnya yang sama saja dengan membuangnya, bagaimana saudara tirinya mengambil perhatian ayahnya darinya, dan bagaimana orang yang sama mencuri hati dari pria yang dicintainya selama dua tahun lamanya.

Samantha Wijaya melakukan satu kesalahan yang berakibat pada hancurnya hidupnya. Bahkan permohonan neneknya tidak cukup untuk membantunya tetap berada di Keluarga Wijaya.

Rasa sakit oleh diseret keluar dari rumahnya sendiri kembali menderanya, membuat pipinya dibasahi oleh air mata.

Dia menarik kembali kesedihannya dan mengusap air mata yang membasahi wajahnya. Hidungnya dikembang-kempiskan, dan akhirnya dia menghela nafas, “Nenek, aku merindukanmu.”

Dia memandang ke arah langit, di mana Surga berada dan berkata, “Ibu, kuharap kamu tidak meninggalkanku.”

Ibunya meninggal ketika dirinya masih kecil, yang kemudian berujung pada pernikahan kedua ayahnya. Ibunya meninggal ditelan oleh kecelakaan mobil tragis yang membakar mobil dan tubuh ibunya menjadi abu.

Angin berhembus menyapu surai rambutnya, dia menatap ke arah perutnya yang membesar dan mengelus perutnya yang sekarang berbentuk seperti melon dengan kedua tangannya.

Ya, ada nyawa lain yang hidup di dalam rahimnya, dan dia teringat akan berkat yang diterimanya. Beberapa wanita tidak bisa memiliki anak, tetapi dia malah diberkati oleh dua anak sekaligus. Neneknya, Merina berulang kali mengingatkannya atas hal ini.

Beberapa jam sebelum tengah malam di tanggal 24 Desember, Samantha merasa nostalgia, mengenali tendangan dari janinnya yang berusia 35 minggu.

Selama hampir sembilan bulan, dia membawa buah dari kesalahannya. Meskipun di tengah tekanan dari ayahnya untuk membunuh bayinya, dia memutuskan sebaliknya.

Diingat kembali, sesuatu di dalam diri Samantha meyakinkannya bahwa bayi yang dikandungnya harus dia rawat.

Sayangnya, bagaimanapun juga, neneknya tidak bisa menemaninya. Ayahnya tidak mau membantunya, tetapi Merina, dia adalah seorang Nenek yang begitu peduli, jadi dia melakukan yang sebaliknya, membantu Samantha diam-diam.

Samantha tinggal bersama tante dari pihak ibunya di Kota Malang selama enam bulan. Neneknya-lah yang mengirimnya ke sana setelah dia diasingkan.

Ayahnya, jendral Wilson Wijaya, adalah jendral TNI yang baru saja ditunjuk.

Banyak yang menaruh harapan padanya dan putrinya, tetapi begitu mereka mendengar bahwa Samantha hamil sebelum menyelesaikan akademi militer, Samantha menjadi buah bibir satu kota.

Kalau kata ayahnya, dia telah mencoreng nama Keluarga Wijaya!

Banyak yang mempertanyakan, bagaimana bisa seorang jendral yang hebat gagal mendidik putrinya dan juga Samantha yang begitu liar untuk seukuran tentara.

Jendral Wijaya ingin Samantha menggantikan dirinya sebagai petinggi militer. Meskipun Samantha memiliki cita-citanya sendiri, dia menyerah akan itu demi mengikuti jejak ayahnya dan melanjutkan jejak para Keluarga William.

Bagaimana pun juga, walau Samantha sudah mengorbankan sebegitu rupanya, tidak cukup untuk menutup noda yang ditorehkannya ke keluarganya.

Setelah dia dikeluarkan dari akademi militer, jelas sudah tradisi itu sudah berakhir.

Dalam sekejap mata, hilang sudah kejayaan lama Samantha! Dia yang dulunya dikenal sebagai wanita cantik dan putri kesayangan jendral, sekarang disebut-sebut sebagai wanita kotor!

Clayton Salim, pacarnya yang seorang tentara senior dari akademi militer yang sama, jelas saja tidak mau mengakui janin di rahimnya, sebab memang bukan dia pria yang tidur bersamanya malam itu.

Dia hamil di usia dua puluh satu tahun, dan dia tidak tahu apa-apa soal pria yang tidur bersamanya.

Saat dia menyelam di ingatan masa lalunya, dia mendengar tantenya, Diana, memanggilnya dari arah ruang tamu. “Samantha, di luar dingin. Masuklah, sudah hampir tengah malam.”

Samantha mengangguk dan berkata, “Iya, tante.”

Tantenya membantu Samantha duduk di kursinya di depan meja makan mereka yang kecil, di mana mereka akan menyantap daging panggang untuk makan malam di malam Natal ini.

Dia tiba-tiba teringat akan isi meja makan yang mewah di rumahnya yang biasanya disiapkan untuk hari seperti ini, dan hal itu membuatnya berpikir apakah ayahnya turut memikirkannya.

Saat dia memikirkan itu, dia menyadari di kakinya ada air yang mengalir.

Dia merasakan bulu kuduknya merinding saat dia menyadari air ketubannya pecah!

“Oh, astaga tante!” Samantha memegangi perutnya dan berkata, “Seharusnya HPL-nya masih jauh!”

“Astaga,” ucap tantenya. “K-kita harus pergi ke rumah sakit.”

Beberapa jam berikutnya dipenuhi oleh kekhawatiran dan kepanikan untuk Samantha dan tantenya.

Sulit sekali mendapatkan taksi ke arah rumah sakit di malam Natal. Sedangkan di rumah sakit sendiri di hari libur, sedikit sekali staff yang masuk dan dokter kandungannya tidak bisa dihubungi untuk beberapa saat menjelang dia sampai di sana.

Samantha merasakan kontraksi hebat di rahimnya hanya dalam waktu satu jam dia dibawa ke bangsal.

Sejak dia dibaringkan, Samantha dapat mendengar kekhawatiran dari para suster dan bidan saat dia berteriak kesakitan di setiap menitnya.

“Dr. Wilma sudah datang.”

“Tidak ada ventilator tersedia untuk bayinya!”

“Mereka mungkin bisa bernafas sendiri. Mari kita lihat terlebih dahulu.”

“Apa yang terjadi? Kumohon, katakan padaku!” Seru Samantha, khawatir akan bayinya. Dokter sudah memperingatinya bahwa HPL bayi kembar biasanya lebih maju, hasil pemeriksaan rutinnya juga mengatakan bayinya sehat.

Tetap saja, dokter sudah membuat persiapan untuk berjaga-jaga jika saja bayinya lahir sebelum usia 36 minggu.

Kepala perawat datang untuk berbicara padanya, memperingatinya soal kelahiran prematurnya. Dia mengatakan pada Samantha, “Nona Wijaya, karena bayinya akan keluar sebentar lagi, kami ingin memberi tahu Anda bahwa bayinya mungkin perlu mesin ventilator untuk bernafas…”

“Tidak, a-aku,” dia memejamkan matanya, mencoba menahan rasa sakit. “Ahh!”

Setetes air mata mengalir bersamaan dengan teriakannya sebelum dia melanjutkan. “Aku diberikan injeksi steroid beberapa minggu sebelumnya. D-dokterku bisa mengonfirmasi ini,” ujarnya.

Steroid seharusnya membantu pertumbuhan paru-paru bayi apabila mereka lahir lebih awal.

“Nona Wijaya, steroid tidak menjamin bahwa bayinya akan bisa bernafas sendiri…” Perkataan si suster dipotong oleh erangan kesakitan Samantha.

Seorang dokter residen bertanggungjawab untuk memeriksa pembukaan Samantha.

“Kepala bayinya sudah terlihat!” Seru di dokter residen. “Pindahkan dia ke ruang bersalin.”

“T-Tunggu! Di mana dokterku?!” Samantha menuntut jawaban.

“Dokter Anda sedang dalam perjalanan,” sahut suster yang lainnya.

Ketika dia dipindahkah ke tandu dan dibawa ke ruang bersalin, Samantha benar-benar khawatir akan dirinya sendiri dan bayinya. Lebih lagi, rasa sakit dari kontraksinya membuatnya tidak bisa bepikir dengan jernih di sepanjang waktu.

Samantha tidak mampu membayar ruangan privat untuk melahirkan. Maka dari itu, ketika ada di ruangan bersalin yang diisi oleh banyak orang, tantenya tidak bisa berbicara dengannya mengenai keputusan soal kelahirannya.

Di tengah-tengah kekacauan, dia sampai tidak sadar akan waktu yang terus berjalan dan dokternya yang akhirnya sudah datang.

“Samantha, semuanya akan berjalan baik-baik saja. Ayo, dorong bayinya.” Mendengar suara yang dikenalnya cukup untuk menenangkan Samantha, melihat Dr. Wilma di depannya. “Ingat apa yang kukatakan sebelumnya. Ejanlah berirama dengan kontraksimu.”

Setiap dia mengejan, dia meneteskan air mata. Di setiap teriakan yang dia keluarkan, dia bersumpah dalam hati bahwa itu adalah tangisan terakhir yang akan terpatri di ingatan akan kesalahannya.

“Hampir selesai, Sam. Hampir selesai.” Dia mendengar kata-kata penyemangat dari dokternya. “Kerja bagus.”

Dengan teriakan yang kencang, Samantha mengejan dengan sekuat tenaga, dan terdengar tangisan dari bayi pertamanya.

“Bayi perempuan dari Nona Wijaya!” Seru Dr. Wilma.

Dua puluh menit sudah berlalu dan bayi keduanya sudah lahir dan menangis keras di ruang bersalin.

“Tangisan keras ini berasal dari bayi laki-laki Nona Wijaya!” Seru Dr. Wilma dengan senang.

“Selamat, Samantha! Keduanya sehat dan bisa bernafas sendiri,” kata dokter kandungannya sebelum kedua bayinya diletakkan di dadanya untuk memberinya kehangatan.

Dia tidak peduli kondisi kedua bayinya. Kelembutan dari kulit mereka dan tangisan mereka cukup untuk menyulut insting keibuannya.

Samantha menghela nafas panjang sebelum akhirnya menangis bahagia, mengetahui bayi kembarnya sehat. Dia mencium singkat bayinya yang menangis, lega akan fakta bahwa keduanya baik-baik saja.

“Terima kasih Tuhan, terima kasih,” dia menghela nafas lega dan matanya berkedip dan hatinya berdebar.

“Senang bertemu denganmu, Kyla dan Kenzo.” Saat dia memberi mereka ciuman singkat terakhir, dia berbisik, “Ibu mencintai kalian.”

Pada pukul 2:45 pagi, anak perempuannya, Kyla lahir terlebih dahulu. Anak laki-lakinya, Kenzo, menyusul di pukul 3:05 pagi. Keduanya sehat walafiat, bisa bernafas sendiri meskipun terlahir prematur pada usia 35 minggu. Berat mereka 1,9 kilogram dan 1,8 kilogram.

***

Samantha mendapat istirahat yang cukup dan dia datang untuk melihat bayinya di saat malam hari di hari Natal.

Tantenya akhirnya bersamanya, membantu mengawasi si kembar di ruangan bayi rumah sakit. Bayinya masih harus diawasi selama beberapa hari, tetapi mereka baik-baik saja.

Samantha bisa menggendongnya dengan benar dengan bantuan dari bidan.

Saat menggendong kedua bayinya di lengannya, tantenya, Diana, berujar, “Mereka sungguh menawan. Ayo telepon nenekmu. Dia sangat antusias untuk melihat bayinya.”

Hanya Merina Wijaya, neneknya, yang memihak padanya selama kehamilannya, membantunya dari segi finansial saat tinggal bersama tantenya. Meskipun mereka tinggal berjauhan, mereka tetap saling mengabari soal kehamilannya.

Segera setelah neneknya menerima panggilan video, dia menangis bersama dengan Samantha, yang menggendong bayinya dengan lengan kanan dan kirinya.

“Sam, cicitku sangatlah menawan. Mereka hadiah Natal kita, hadiah natalmu lebih khususnya,” ujar neneknya. “Bahagiakanlah mereka.”

Isak tangis memenuhi ruangan, tetapi segera setelah mengontrol emosi masing-masing, Merina Wijaya kembali berucap, “Sam, berjanjilah pada Nenek kamu akan memulai hidup baru. Tantemu akan membantumu belajar selama Kenzo dan Kyla bertumbuh. Sisakan sisa uang yang sudah kita simpan bersama untuk pendidikanmu.

“Maafkan Nenek karena tidak bisa menjenguk. Namun, N-nenek berharap ... suatu hari nanti, Nenek bisa melihat cicit Nenek,” imbuh neneknya, mengingatkan Samantha akan usia tuanya. Usianya yang sudah berada di akhir tujuh puluh tahun, membuat segalanya sulit, dan sayangnya, neneknya tidak bisa lagi melakukan perjalanan panjang.

Setelah melihat Samantha mengangguk setuju, Merina melanjutkan perkataannya dengan penuh tekad, “Berjanjilah bahwa kamu akan membuat dirimu bangga. Buktikan pada ayahmu bahwa kamu bisa melakukannya!”

“Iya, Nenek. Akan kulakukan,” balas Samantha dengan air mata yang terus berjatuhan dari wajahnya. Hidungnya mengembang dan mengempis saat dia menarik nafas.

“Sam, aku menyayangimu. Cucuku, jadilah kuat,” ujar Merina.

Ketika neneknya terus memandangi anak kembarnya, Samantha hilang dalam pikirannya. Dalam benaknya, dia berjanji, ‘Ayah, aku bersumpah akan membuatmu melihat bahwa aku akan menjadi lebih baik lagi.’

Untuk pria yang dia pikir mencintainya, tetapi meninggalkannya di kala duka, dia bersumpah laki-laki itu akan menyesal suatu hari.

‘Annie, mungkin kamu sudah mengambil apa yang menjadi milikku, tetapi suatu hari nanti, akan kubuktikan padamu bahwa aku diberkati lebih banyak lagi karena memilih anakku.” Itulah yang ada di benak Samantha pada saudara tirinya, wanita yang sama yang membuat jalan menuju kehancurannya.

Terakhir, Samantha menatap pada bayinya yang tengah tertidur. Dia mengecup kening mereka dan berjanji, “Kalian akan menjadi kekuatan Ibu, alasan Ibu untuk terus hidup dan bersama, kita akan menjadi keluarga. Ibu tidak butuh apa-apa lagi.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status