Farhana menangis histeris. Dia memukuli Ahmad yang tak melepasnya. "Nana, dengerin ayah dulu," kata Ahmad tak henti membujuk putrinya dengan kata-kata lembut.Farhan sibuk dengan ponselnya kala pintu kamar Farhana terbuka lagi. Kali ini, sosok yang ditunggu oleh nyonya Kay muncul.Wajahnya terlihat sangat lelah. Pakaian lapisan kedua para dokter saat melakukan tindakan operasi itu masih menggantung di raga sang direktur Hermana Hospital.Dia melengkungkan senyum meski sorot matanya terlihat redup ketika melihat Farhana merentang tangan meminta Dewiq mendekat segera. "Ibuuuuu!" serunya di sela sesenggukan yang tak bisa dia kuasai.Ahmad melepaskan dekapannya agar sang istri dapat memeluk putri kesayangan mereka."Sayang, jangan begini." Dewiq mengusap lembut kepala Farhana."A-bang?" cicitnya terbata disertai hentakan bahu naik turun akibat isakan sejak tadi.Dokter internis senior itu menarik napas panjang. Dewiq duduk di sisi brangkar dan melepas tautan raga mereka. Jemari sang wa
"Siapa yang koma?" kata Hana pelan mendekati kedua wanita.Dewiq menoleh ke arah putrinya, dia melihat kertas yang baru saja jatuh tak jauh dari kaki Hana.Direktur rumah sakit itu memapah Kamala duduk sebelum memungut benda putih yang mengepal di lantai. Dia juga meminta Farhana duduk sejenak agar tubuhnya kembali rileks."Ibu?" Dia tak berkedip melihat wajah Dewiq.Dewiq menepuk pundak putrinya pelan, dia akan membaca tulisan dari dalam amplop yang dipungutnya tadi sebelum bicara.Selang beberapa menit, sorot mata wanita cantik berseragam dinas serba putih itu berbinar cerah. Senyumnya terbit saat mengeja kalimat di atas kertas yang dia pegang.Sebaris doa keluar sebagai ungkapan syukur. Dia lantas memeluk putrinya sembari meluruhkan haru di pundak Hana."Alhamdulillah. Di jaga ya, Sayang," bisiknya seraya mengusap lembut punggung Hana. "Biar mereka menempel sempurna di uterus," kata Dewiq ikut bahagia sebab sampai titik ini prosedur bayi tabung yang dijalani berjalan lancar.Netra
Kay mengulas senyum tipis meskipun matanya terlihat sayu. "Hai!" sapanya tanpa suara, hanya gerakan lambat bibir yang menyebut susunan kata.Farhana bangun berdiri, jemarinya menaut ke telunjuk Kayshan. Dia ingin memeluk suaminya tapi terlalu takut melakukan itu sebab melihat betapa banyaknya alat medis yang masih menempel di tubuh sang pujaan.Farhan mengusap lengan kiri Hana, dia mengangguk seakan tahu keinginan kembarannya ini."Boleh deketan, tapi jangan bersentuhan yang menekan area dada sampai pinggang," jelas si dokter muda, "Beneran boleh, Par?" cicitnya menahan haru."Boleh ... aku cabut dulu, call ja kalau butuh," ujarnya sembari merentang lengan memeluk kembarannya sebelum keluar dari sana.Setelah kepergian Farhan, nyonya Kay menarik kursinya lebih dekat ke sisi wajah suaminya."Sakit semua, ya?" lirihnya saat menyadari bahwa Kayshan tak mengedip melihatnya.Lelaki itu mengangguk. "He em. Sakit banget," jawabnya masih dengan suara pelan.Farhana takut-takut saat menjulur
Dia mengangguk. Mereka punya misi dan keinginan masing-masing. Tapi, apa dirinya sanggup mengemban amanah yang dititipkan padanya nanti."Minum, A," kata Khuzaemah. Dia menyodorkan ujung sedotan ke dekat bibir Kemal. "Makan yang banyak, kemarin bibi nyaris kehilangan Aa," ucapnya sendu.Kemal memaksakan tersenyum. Lengannya masih berdenyut nyeri, pandangan pun belum sepenuhnya jelas. Dia rupanya kehilangan banyak hemoglobin hingga rasa tak nyaman menyergap raga.Ketika siuman kemarin, Kemal memutuskan pindah rumah sakit agar lebih privat. Untuk sementara, hanya Khuzaemah yang diizinkan dekat dengannya saat ini."Maaf, aku memaksakan diri, Bi," balasnya dengan suara serak."Bibi paham. Bobok lagi aja, biar lekas pulih." Khuzaemah mengusap bahu kemenakannya. "Setelah ini, kalau Aa mau pergi jauh, sok mangga ... bibi nggak bakalan larang-larang lagi," katanya menatap sayu pada Kemal. Lelaki ini pun sudah banyak berkorban untuk keluarganya.Kemal tersenyum getir, dia mengangguk lemah. Sem
Farhana dan Ahmad menoleh bersamaan. Terlihat gadis kecil yang berlari ke arahnya ditemani suster juga sang mertua."Nanaaa, Njiid !" serunya lagi ketika jaraknya sudah lebih dekat.Senyum kedua alim melebar melihat Gauri datang menyambangi. Gadis kecil itu langsung meminta pelukan pada Ahmad saat sudah di depannya."Njiidd. Oyi kangen," ucapnya sambil merentang lengan pada Ahmad meminta pelukan. Lelaki sepuh ini pernah ikut mengasuhnya saat dia enggan pulang karena kehilangan Elea dulu."Allahumma baarik. Oyi dah gede sekarang, ya," balasnya seraya berjongkok menyetarakan tinggi dengan Gauri.Bocah kelas satu SD ini lalu melingkarkan lengan ke leher Ahmad. Dia kekurangan kasih sayang ayah, tapi tidak semua pria yang dekat dengan Kayshan membuatnya nyaman.Pada Farhan, Gauri bersikap biasa. Pun, pada Firhan, adik bungsu Farhana yang tinggal di rumah Hermana. Gauri hanya menganggap kedua pria itu sebagai teman.Cuma Ahmad dan Kemal yang bisa membuat Gauri leluasa menyampaikan unek-unek
Dewiq datang ditemani dokter Ryan 30 menit kemudian. Mereka meminta semua yang ada di kamar untuk keluar segera agar memberi ruang leluasa bagi nakes dan pasien."Sangat sakit, Kay?" tanya Dewiq ketika menempelkan stetoskop di dada menantunya. Kayshan mengangguk, kelopak matanya masih mengatup rapat. "Kayaknya obat itu nggak berguna, Bu," ujarnya sambil meringis menahan sakit.Direktur Hermana itu menelusuri bagian tubuh bagian atas Kayshan, dimulai dari bekas sayatan hingga ke pinggang. Dia juga meminta Kay bernapas panjang dan mengembuskan perlahan.Dewiq melirik pada dokter Ryan. Raut wajah dokter muda itu pun terlihat cemas. Dewiq terdiam membatin, semoga apa yang ada dalam pikiran masing-masing tidak benar adanya.Ibu Farhana ini lantas meminta dokter Ryan untuk menyuntikkan obat pereda nyeri dalam bentuk cair, seperti yang dikonsumsi Kayshan selama ini. "Ke rumah sakit, ya. Ibu harus memastikan sesuatu," ucap Dewiq pelan. Dia bersiap bangun dari sisi ranjang dan membereskan pe
Dewiq tak lagi memedulikan ponsel dalam genggaman. Dia menyerahkan tas pribadinya pada Ulfa, asisten yang setia menemani sejak dia beranjak dewasa.Wanita cantik itu berjalan tergesa menuju ruang MRI dimana Kayshan berada. Beberapa anggota dari tim dokter menyusul ke sana, sebagian yang lain menunggu di ruang rapat.Tiga jam kemudian, brangkar Kayshan didorong ke kamar perawatan. Farhana ternyata telah menunggu di sana dengan Gauri. Farhan meminta kembarannya bersabar sebab Kay masih di bawah pengaruh obat bius."Bentar juga siuman. Tadi di tidurkan sementara biar nggak syok," beber Farhan berdiri di dekat nakas ketika Farhana terlihat cemas."Oke, aku ngerti," cicitnya saat duduk di ujung ranjang Kayshan.Jelang maghrib, Ahmad datang dengan Firhan, putra bungsunya. Remaja SMP yang baru keluar asrama itu langsung menyalimi kedua kakaknya lalu duduk di sebelah Gauri.Sementara Ahmad meminta penjelasan dari Farhan terkait kondisi Kayshan."Hi, girl. Kamu sedang melakukan apa?" tanya Fi
Gauri berlari keluar ruangan sebelum mengangkat telepon dari sang paman. Dia juga menarik Ahmad agar ikut dengannya.Setelah merasa aman, bocah cilik itu menggeser tombol hijau ke samping. Suara cemprengnya pun mulai terdengar."Abi!" Terdengar suara kekehan Kemal di seberang. "Hayo, boong ya?" tuduhnya merasa Gauri hanya memanfaatkan rasa kuatirnya."Yeee kok Abi nggak percaya gitu." Gauri mengelak. "Abi, kapan ke sini? Ada pagelaran hari ayah ... bu Zaylin bilang, kalau aku bisa tampil dengan mami atau Oma. Teman-temanku tidak akan tahu sebab kami harus memakai kostum," jelasnya panjang lebar. Gauri tidak menyebutkan kapan pentas seni itu akan diadakan. "Ya sudah, datang dengan mami saja atau Nana," ujar Kemal memberi pilihan."Nggak bisa. Mami terlalu gemulai, nanti ketauan dan aku diejek teman-teman nggak punya ayah ... kata daddy, Nana nggak boleh capek sebab ada adek cimit," elak Gauri bersikukuh harus Kemal yang datang bersamanya. Dia sampai menggigiti ujung kuku karena berde