Farhana langsung menghubungi ibunya agar menjemput Kayshan saat itu juga.Namun, ketika Hana ingin melepaskan cengkraman Kayshan dari dasternya, lelaki itu malah menahan pergelangan tangannya. "Aku nggak apa, Sayang. Besok aja," ucapnya lemah sembari beringsut ke atas dan memeluk gulingnya."Nggak, ke RS sekarang aja," tampik Hana bergegas menyiapkan koper dan kebutuhan sang suami selama di Rumkit."Hana," tahannya lagi. "Aku masih pengen tidur di rumah meluk kamu sebelum operasi besok." Dia tersenyum getir, tatapannya pun ikut sendu.Farhana diam, ikut merasa pilu saat melihat sorot mata sang suami. Dia pun mengabulkan permintaan Kayshan dan urung melanjutkan niatan.Keduanya saling meleburkan rasa cemas, gundah sekaligus memperkuat dengan banyak untaian doa.Keesokan pagi. Kayshan sudah terbaring di brangkar ruang isolasi mengenakan baju operasi berwarna biru, selaras dengan masker berwarna senada yang menutup mulutnya.Infus tergantung menetes dari selang menuju ke tangannya di sis
Farhana menangis histeris. Dia memukuli Ahmad yang tak melepasnya. "Nana, dengerin ayah dulu," kata Ahmad tak henti membujuk putrinya dengan kata-kata lembut.Farhan sibuk dengan ponselnya kala pintu kamar Farhana terbuka lagi. Kali ini, sosok yang ditunggu oleh nyonya Kay muncul.Wajahnya terlihat sangat lelah. Pakaian lapisan kedua para dokter saat melakukan tindakan operasi itu masih menggantung di raga sang direktur Hermana Hospital.Dia melengkungkan senyum meski sorot matanya terlihat redup ketika melihat Farhana merentang tangan meminta Dewiq mendekat segera. "Ibuuuuu!" serunya di sela sesenggukan yang tak bisa dia kuasai.Ahmad melepaskan dekapannya agar sang istri dapat memeluk putri kesayangan mereka."Sayang, jangan begini." Dewiq mengusap lembut kepala Farhana."A-bang?" cicitnya terbata disertai hentakan bahu naik turun akibat isakan sejak tadi.Dokter internis senior itu menarik napas panjang. Dewiq duduk di sisi brangkar dan melepas tautan raga mereka. Jemari sang wa
"Siapa yang koma?" kata Hana pelan mendekati kedua wanita.Dewiq menoleh ke arah putrinya, dia melihat kertas yang baru saja jatuh tak jauh dari kaki Hana.Direktur rumah sakit itu memapah Kamala duduk sebelum memungut benda putih yang mengepal di lantai. Dia juga meminta Farhana duduk sejenak agar tubuhnya kembali rileks."Ibu?" Dia tak berkedip melihat wajah Dewiq.Dewiq menepuk pundak putrinya pelan, dia akan membaca tulisan dari dalam amplop yang dipungutnya tadi sebelum bicara.Selang beberapa menit, sorot mata wanita cantik berseragam dinas serba putih itu berbinar cerah. Senyumnya terbit saat mengeja kalimat di atas kertas yang dia pegang.Sebaris doa keluar sebagai ungkapan syukur. Dia lantas memeluk putrinya sembari meluruhkan haru di pundak Hana."Alhamdulillah. Di jaga ya, Sayang," bisiknya seraya mengusap lembut punggung Hana. "Biar mereka menempel sempurna di uterus," kata Dewiq ikut bahagia sebab sampai titik ini prosedur bayi tabung yang dijalani berjalan lancar.Netra
Kay mengulas senyum tipis meskipun matanya terlihat sayu. "Hai!" sapanya tanpa suara, hanya gerakan lambat bibir yang menyebut susunan kata.Farhana bangun berdiri, jemarinya menaut ke telunjuk Kayshan. Dia ingin memeluk suaminya tapi terlalu takut melakukan itu sebab melihat betapa banyaknya alat medis yang masih menempel di tubuh sang pujaan.Farhan mengusap lengan kiri Hana, dia mengangguk seakan tahu keinginan kembarannya ini."Boleh deketan, tapi jangan bersentuhan yang menekan area dada sampai pinggang," jelas si dokter muda, "Beneran boleh, Par?" cicitnya menahan haru."Boleh ... aku cabut dulu, call ja kalau butuh," ujarnya sembari merentang lengan memeluk kembarannya sebelum keluar dari sana.Setelah kepergian Farhan, nyonya Kay menarik kursinya lebih dekat ke sisi wajah suaminya."Sakit semua, ya?" lirihnya saat menyadari bahwa Kayshan tak mengedip melihatnya.Lelaki itu mengangguk. "He em. Sakit banget," jawabnya masih dengan suara pelan.Farhana takut-takut saat menjulur
Dia mengangguk. Mereka punya misi dan keinginan masing-masing. Tapi, apa dirinya sanggup mengemban amanah yang dititipkan padanya nanti."Minum, A," kata Khuzaemah. Dia menyodorkan ujung sedotan ke dekat bibir Kemal. "Makan yang banyak, kemarin bibi nyaris kehilangan Aa," ucapnya sendu.Kemal memaksakan tersenyum. Lengannya masih berdenyut nyeri, pandangan pun belum sepenuhnya jelas. Dia rupanya kehilangan banyak hemoglobin hingga rasa tak nyaman menyergap raga.Ketika siuman kemarin, Kemal memutuskan pindah rumah sakit agar lebih privat. Untuk sementara, hanya Khuzaemah yang diizinkan dekat dengannya saat ini."Maaf, aku memaksakan diri, Bi," balasnya dengan suara serak."Bibi paham. Bobok lagi aja, biar lekas pulih." Khuzaemah mengusap bahu kemenakannya. "Setelah ini, kalau Aa mau pergi jauh, sok mangga ... bibi nggak bakalan larang-larang lagi," katanya menatap sayu pada Kemal. Lelaki ini pun sudah banyak berkorban untuk keluarganya.Kemal tersenyum getir, dia mengangguk lemah. Sem
Farhana dan Ahmad menoleh bersamaan. Terlihat gadis kecil yang berlari ke arahnya ditemani suster juga sang mertua."Nanaaa, Njiid !" serunya lagi ketika jaraknya sudah lebih dekat.Senyum kedua alim melebar melihat Gauri datang menyambangi. Gadis kecil itu langsung meminta pelukan pada Ahmad saat sudah di depannya."Njiidd. Oyi kangen," ucapnya sambil merentang lengan pada Ahmad meminta pelukan. Lelaki sepuh ini pernah ikut mengasuhnya saat dia enggan pulang karena kehilangan Elea dulu."Allahumma baarik. Oyi dah gede sekarang, ya," balasnya seraya berjongkok menyetarakan tinggi dengan Gauri.Bocah kelas satu SD ini lalu melingkarkan lengan ke leher Ahmad. Dia kekurangan kasih sayang ayah, tapi tidak semua pria yang dekat dengan Kayshan membuatnya nyaman.Pada Farhan, Gauri bersikap biasa. Pun, pada Firhan, adik bungsu Farhana yang tinggal di rumah Hermana. Gauri hanya menganggap kedua pria itu sebagai teman.Cuma Ahmad dan Kemal yang bisa membuat Gauri leluasa menyampaikan unek-unek
Dewiq datang ditemani dokter Ryan 30 menit kemudian. Mereka meminta semua yang ada di kamar untuk keluar segera agar memberi ruang leluasa bagi nakes dan pasien."Sangat sakit, Kay?" tanya Dewiq ketika menempelkan stetoskop di dada menantunya. Kayshan mengangguk, kelopak matanya masih mengatup rapat. "Kayaknya obat itu nggak berguna, Bu," ujarnya sambil meringis menahan sakit.Direktur Hermana itu menelusuri bagian tubuh bagian atas Kayshan, dimulai dari bekas sayatan hingga ke pinggang. Dia juga meminta Kay bernapas panjang dan mengembuskan perlahan.Dewiq melirik pada dokter Ryan. Raut wajah dokter muda itu pun terlihat cemas. Dewiq terdiam membatin, semoga apa yang ada dalam pikiran masing-masing tidak benar adanya.Ibu Farhana ini lantas meminta dokter Ryan untuk menyuntikkan obat pereda nyeri dalam bentuk cair, seperti yang dikonsumsi Kayshan selama ini. "Ke rumah sakit, ya. Ibu harus memastikan sesuatu," ucap Dewiq pelan. Dia bersiap bangun dari sisi ranjang dan membereskan pe
Dewiq tak lagi memedulikan ponsel dalam genggaman. Dia menyerahkan tas pribadinya pada Ulfa, asisten yang setia menemani sejak dia beranjak dewasa.Wanita cantik itu berjalan tergesa menuju ruang MRI dimana Kayshan berada. Beberapa anggota dari tim dokter menyusul ke sana, sebagian yang lain menunggu di ruang rapat.Tiga jam kemudian, brangkar Kayshan didorong ke kamar perawatan. Farhana ternyata telah menunggu di sana dengan Gauri. Farhan meminta kembarannya bersabar sebab Kay masih di bawah pengaruh obat bius."Bentar juga siuman. Tadi di tidurkan sementara biar nggak syok," beber Farhan berdiri di dekat nakas ketika Farhana terlihat cemas."Oke, aku ngerti," cicitnya saat duduk di ujung ranjang Kayshan.Jelang maghrib, Ahmad datang dengan Firhan, putra bungsunya. Remaja SMP yang baru keluar asrama itu langsung menyalimi kedua kakaknya lalu duduk di sebelah Gauri.Sementara Ahmad meminta penjelasan dari Farhan terkait kondisi Kayshan."Hi, girl. Kamu sedang melakukan apa?" tanya Fi
Farhan langsung mendekat dan mengusap tengkuk Mehru. Dia lalu menuntun istrinya kembali duduk di sebelah Dewiq yang juga terlihat cemas."Tolong ambilkan itu," kata Dewiq pada Farhan, menunjuk ke box putih berisi peralatannya di bawah meja sofa.Lelaki itu gegas meraih benda yang dimaksud dan langsung menyodorkan pada sang mama. Dewiq lantas memeriksa menantunya seksama. Setelah beberapa menit, dia melihat pada Farhan, bergantian dengan Mehru. "Beli testpack, deh. Coba kalian hitung sendiri," katanya sembari bangun meninggalkan mereka.Farhan melihat ke arah istrinya lalu menoleh memanggil sang mama. "Lah, Nyak?" "Masa dokter dan suster nggak peka, hadeuh!" kekeh Dewiq sembari melambaikan tangan."Mas?""Kayaknya sih iya, Yang." Farhan meraih ponselnya dari saku celana. Dia lalu duduk disamping istrinya sambil mengingat dan menghitung masa subur Mehru. "Palingan baru sepekan lebih deh. Pas private party di spa itu 'kan aku haid hari pertama," ujar Mehru mengingat acara satu bulan
Setelah semua dokumen selesai dirapikan, Farhan di ajak Kemal masuk ke dalam untuk menemui Mehru. Debaran jantungnya mulai tak normal ketika nyaris mencapai ambang pintu. Meski dilakukan serba mendadak, tapi dirinya yakin bahwa Dewiq pasti memberikan segala yang terbaik.Langkah kaki Farhan terhenti ketika melihat wanita cantik dalam balutan kebaya serba putih, berdiri dan menunduk malu-malu. Tidak ada singer seperti Hana. Hanya Tiara mungil sebagai penghias sekaligus penahan agar hijab panjangnya tak mudah bergeser."Neng Eru, suaminya datang," bisik Khuzaemah, mengusap lembut punggung Mehru agar mendongakkan kepalanya.Lengan Farhan ditarik Dewiq agar dia melangkah masuk. Tapi lelaki itu malah menahan tangan ibunya."Nyak, bentaran ngapah. Kagak paham amat ni bunyi jantung dah kek bedug lebaran," sungutnya sambil mengusap dada."Tandanya idup brati. Ayo, waktunya mepet ... kamu 'kan harus kuliah nanti malam," balas sang mama tersenyum lebar.Farhan menepuk wajahnya. "Etdah ... kek
Kemal tak henti menciumi pipi Farhana dan merangkulnya mesra sejak keluar dari ruangan dokter obgyn. Dia masih setengah tak percaya jika saat ini Hana mengandung buah hati mereka. "Baru tiga pekan." Hana melingkarkan lengannya pada pinggang sang suami. "Alhamdulillah. Kita sementara pindah ke rumah ibu atau mama aja gimana, Za. Biar aku tenang kalau ke toko," ujar Kemal sembari menarik tuas pintu mobil di basement."Nggak mau. Aku pengen di Parung. Kuliah sudah online lagi ... ada mbak yang bantu ngasuh Arsha, bibi pun pasti sering ke rumah liat aku," pinta Hana ketika suaminya sudah duduk di belakang kemudi."Tapi, Sayang ...."Farhana menggenggam jemari kiri Kemal lalu mengecupnya. "Aku tenang dan betah karena di sana ada bau Kakak. Please, nggak mau pindah," tuturnya lembut sambil memandangi wajah teduh sang suami.Putra Khadijah terdiam sesaat, lalu tersenyum mengangguk. "Kalah dah kalau ibun sudah begini," balasnya seraya mengusap pipi Hana yang mulai chubby.Perjalanan mereka
Farhan gegas ke tangga belakang. Dia menggantikan Hana memapah Kemal naik ke atas."Kenapa, Bang?" "Entah, tiba-tiba pusing banget sampai muter-muter gini," tuturnya lirih sambil menahan kepala.Mehru yang sedang menggendong Farshad, buru-buru merapikan bale di teras belakang. Tapi Hana langsung berlari masuk dan membuka kamar mereka. Dia meminta Farhan memapah suaminya masuk, dan memeriksanya.Kembaran Hana itu gegas turun ke bawah mengambil tas kerja darurat yang ada di bagasi mobilnya.Farhan memeriksa iparnya ini, kemudian meminta Mehru mengambil cairan infus di mobilnya."Pusingnya range berapa, Bang? 1-10," tanya Farhan."7, bukan pusing sakit kepala tapi semua berputar-putar cepat." Kemal masih memejam, sambil memijat tengkuknya."Kalau nyeri parah di bagian tertentu, bilang ya, Bang. Nanti kuresepkan pereda nyeri sebelum cek lab.""Kayaknya Kakak kecapean deh. Pergi pulang antar aku ngampus, ke kantor, ke toko parfum ... ikut ngasuh Arsha, kadang kebangun malam beberapa kali
Segimanapun lelahnya, Kemal takkan tidur sebelum Hana kembali rileks. Seperti saat ini, dia mengusap lembut pundak mulus istrinya sembari membicarakan tentang rencana Hana.Deep talk mulai jadwal kuliah, kegiatan Kemal, sikon Arsha juga hal lain yang saling berkaitan.Hana serasa menemukan teman sebaya, yang membuatnya bebas mengeluarkan pendapat. Sekaligus figur seperti sang ayah, penyabar juga memiliki visi ke depan.Dengan Kemal dia merasa menjadi dirinya sendiri. Farhana mulai manja, kekanakan meskipun sikap anggunnya sebagai keturunan Tazkiya tetap melekat. Ibun menduselkan kepalanya di dada sang suami. Mendengar detak jantung Kemal sebelum tidur kini bagai candu, selalu membuatnya mudah masuk ke alam mimpi.Rengekan Farshad terdengar oleh Kemal satu jam ke depan. Dia juga lelah tapi tak tega membangunkan Hana.Kemal perlahan melepaskan dekapannya lalu turun dari ranjang mendekati box Arsha. "Hai boy, sama abi, ya. Jangan ganggu ibun, oke?" ucapnya lirih seraya menggendong kepo
Kemal menjawab Kamala hanya dengan gelengan kepala, dia mengejar Hana yang masuk ke kamar mandi belakang.Tok. Tok."Zaa, buka bentar," pinta Kemal mengetuk pintu, saat mendengar suara mual muntah dari dalam kamar mandi. "Sayang ...."Beberapa detik kemudian, panel itu terbuka. Hana menyembulkan kepalanya di celah pintu.Kemal mendorong pelan, kuatir istrinya kenapa-napa di dalam. "Buka, Sayang."Hana menggeleng sembari menahan pintu. "Kak, bawa daleman aku nggak di mobil?"Dia ingat, pernah melihat satu kontainer di bagasi Innova Zenix milik suaminya. Ketika Hana tanya apa isinya, sang suami menjawab itu adalah pakaian mereka.Untuk berjaga-jaga jika mendadak menginap di suatu tempat. Semua perlengkapan pribadi sudah tertata rapi dalam satu box."Bawa, kenapa?" tanyanya sembari merapikan rambut Hana yang menyembul dari ujung pashmina.Hana menarik lengan sang suami agar mendekat. "Ada pembalut juga?" bisiknya.Kemal mengernyit, sedang mengingat apakah dirinya sudah membeli barang sa
Farhan menarik kaca spion dalam. Dia memastikan penampilannya sudah rapi. "Apeeeee?" sambar Dewiq kali ini tak kalah judes. Farhan menunjuk ke arah saudaranya juga keluarga Kusuma yang hadir. Mereka tampak membawa kotak hias berisi beberapa barang."Itu apaan?" cicit Farhan. Jantungnya sudah berdebar kencang tapi Dewiq malah keluar dari mobil tanpa menjawab pertanyaannya, begitupun dengan sang ayah.Ahmad hanya menaik-turunkan alisnya ketika Farhan turun dari mobil. Sang ayah menepuk pundak putranya lalu menggamit lengan Farhan.Farhan bertanya pada Mahendra dan Aiswa tapi mereka bilang tidak tahu apa-apa. Hanya diminta datang ke sini pagi ini.Sang dokter mulai gugup ketika melihat kediaman Mehru. Teras rumah gadis itu dipenuhi pria sepuh yang menyambut kedatangan keluarganya.Netra jeli putra Ahmad sibuk melihat sana sini, barangkali ada sosok yang bisa memberi penjelasan singkat, tapi harapannya kosong. Bahkan kembarannya pun entah kemana.Rombongan dipersilakan masuk hunian. Set
Ahmad keluar dari ruang baca dan langsung diberondong pertanyaan oleh Farhan."Dalem, Kak, daleeeeemmmm ...." kata Ahmad, menyahuti panggilan putranya yang terlihat gusar. (Dalem bentuk sangat halus dari iya, selain nggih, dalam budaya Jawa)Farhan menarik lengan Ahmad untuk duduk di ruang tengah. "Babeh ingkar janji?" Dahi sang yai mengernyit. "Janji apa?""Janjiku kepadamu, kek lagu lawas." Farhan merengut sebal, entah kemana larinya emosi tadi. Begitu melihat wajah teduh Ahmad semua seketika sirna. "Yang tentang jodohin itu, loh!" "Enggak. Ayah memang masih menerima beberapa proposal baru. Tapi semuanya dikembalikan ... termasuk milik donatur Banten itu," beber Ahmad sambil menunjuk ke arah meja console tempat biasa dia menaruh map-map proposal. "Tuh, kosong."Farhan mendadak termenung. Jadi, penolakan Mehru tadi apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu? Ucapan Dewiq yang mengatakan pada Mehru bahwa dirinya akan menggelar lamaran ... jadi ditujukan pada gadis mana? Pikir Farhan.
Mehru melangkah tegap meninggalkan taman penghubung antar cluster itu. Kepalanya menunduk, menyembunyikan senyum getir.Dia mawas diri. Mehru sempat mencari tahu silsilah keluarga Reezi dari Mifyaz. Pemuda itu memang tak bercerita banyak, dia hanya mengatakan bahwa sang dokter adalah cucu dari tokoh terpandang nan alim di daerahnya.Habrizi juga merupakan putra pertama Raden Hasbi, seorang pebisnis ulung di Singapura. Ibunya adalah putri pemilik salah satu perusahaan penyuplai obat-obatan dan alat medis. Posisi dokter itu terlalu tinggi untuknya. Bahkan jika Reezi menunduk pun, belum tentu keluarga besarnya setuju.Jika saja ayahnya masih hidup, mungkin Mehru bisa sedikit menegakkan kepala. Dulu, saat pabrik kerupuk mereka masih berjaya, keluarganya dipandang mampu lagi disegani. Namun, semua itu cuma masa lalu. Mehru buru-buru menepis kekecewaannya dengan menggeleng kepala sembari terus melangkah ke suster station.Satu pekan berlalu begitu saja. Sikap Farhan masih sama. Dan sudah