“Pokoknya, aku nggak mau tahu, kamu harus menerima pinangan dari keluarga Sanjaya!”
Bagaikan disambar petir di siang hari bolong. Tisa berharap jika apa yang baru saja dikatakan oleh Pamannya–Galuh Wararui– itu hanyalah sekedar gertakan saja, bukan keharusan yang membuatnya harus kehilangan masa depan. Dia baru berusia 19 tahun, lulus SMA saja belum lama, dan kini harus menikah di usia muda? Tidak pernah terlintas dalam benak Tisa Ratu Ayu untuk menjadi seorang istri di usia belasan tahun. Gadis itu menatap pamannya dengan pandangan memohon. “Paman, tolong batalkan rencana ini! Tisa gak mau. Tisa masih pengin nyari duit sendiri.” Tisa menangkup kedua tangan, lalu saling digosokkan. “Tisa, kamu itu bukanlah anak kecil lagi. Kamu sudah dewasa. Kamu harus tahu apa itu balas budi. Kalau kamu lupa, semua yang sudah Paman berikan ke kamu tidaklah sedikit, banyak, dan mahal,” sahut si Paman perhitungan. Tisa semakin menunduk, meremas ujung dress bunga yang dipakainya. Surai panjangnya yang terurai jatuh menutupi wajah. “Tapi, Tisa gak mau nikah, Paman,” rintihnya menangis. ”Arghh!” teriak Galuh. Jari telunjuknya mengacung tepat di depan muka si keponakan, sedangkan wajah si paman sudah memerah menahan amarah. “Kalau bukan karena anakku yang kabur, aku juga gak bakalan nyuruh kamu, Bodoh! Keluarga Sanjaya itu adalah keluarga terpandang, tentunya aku bakalan kecipratan harta mereka. Tapi, gara-gara si Ratna, aku harus kehilangan semuanya!” “Ja-di, Tisa hanya sebuah alat yang digunakan Paman sebagai pengganti Ratna?” gumamnya tak percaya. Tisa memberanikan diri untuk menatap Galuh. “Jadi, yang seharusnya menikah adalah Ratna, Paman? Bukan aku?” Galuh mendengkus, berdiri dengan wajah tidak peduli. “Sudahlah! Kamu gak usah banyak tanya. Pokoknya, kamu harus pergi mandi sekarang juga! Terus, bersiap dan kenakan pakaian terbaikmu. Satu jam lagi, Paman akan menjemputmu!” ujarnya final. “Tapi, Tisa nggak mau, Paman!” Ia menangis tergugu sambil berlutut di depan pamannya. “Jika sekali lagi kamu mencoba mengulur-ulur waktu, Paman gak segan menjualmu ke rumah bordil!” Ancaman itu terdengar begitu menakutkan. Tisa menggeleng panik. “Jangan, Paman! Tolong jangan lakukan itu!” pinta Tisa dengan air mata berlinang. Bagi Tisa, rumah bordil bukanlah pilihan. Mungkin, menjadi istri dari salah satu anak Sanjaya jauh lebih baik daripada harus menjajakan tubuhnya di tempat seperti itu. *** Kini, Tisa akhirnya sampai di depan sebuah gerbang tinggi di mana di dalamnya adalah milik keluarga Sanjaya, calon mertuanya. Melihat rumah bak istana di depannya, membuat gadis itu insecure. Apalagi, ketika pandangan pertama yang menyambut mereka adalah ruang tamu layaknya istana. Tisa meremas tangannya sendiri. Semuanya bernuansa emas. Dari cat dinding, pilar-pilar tinggi, dan semua perabotan lainnya. Untuk bagian sudut kanan dan kiri diisi dengan banyak guci-guci besar yang harganya pasti mahal. “Ekhem!” Ketika mata gadis itu sibuk menjelajah ruangan, suara deheman dan langkah kaki dari depan membuat Tisa tersentak. Matanya membelalak, melihat kedatangan dua orang lelaki tampan bak pangeran kerajaan. Mereka seolah baru saja keluar dari pintu ajaib yang berasal dari salah satu koridor istana. Mereka adalah Bara Langit Sanjaya, 35 tahun, dan adiknya Danandra Langit Sanjaya. Sebelum berangkat ke sini, ia sempat browsing dan mencari tahu siapa-siapa saja keluarga Sanjaya. Lalu, pria yang berpenampilan kurang rapi, bahkan terkesan berantakan itulah yang dimaksud oleh pamannya. Dua kancing kemeja terbuka, lalu lengan kemeja digulung asal hingga siku, rambut berantakan, itulah gaya khas seorang Bara. Pria matang yang pastinya digilai banyak wanita di luar sana. Bodohnya, rona merah serta-merta langsung mewarnai pipi Tisa saat mata Bara tertuju padanya. Dia langsung menunduk malu karena ketahuan sedang meneliti paras rupawan calon suaminya. “Membungkuk, Tisa!” Pamannya segera menepuk bahu sang keponakan. “O-oh!” Saking gugupnya, Tisa justru menyenggol salah satu vas bunga yang berada tepat di sampingnya. Pyarrrrr. Suara itu begitu keras dan menggema sehingga membuat mata Tisa membelalak. “Matilah aku sekarang!” gumamnya ketakutan. “Kau!” Tisa bisa merasakan tatapan Galuh begitu tajam terarah padanya. Namun, sebisa mungkin dia mengabaikannya dan terus menunduk bersalah. “M-maaf, T-tuan! S-saya ak–” Sebelum dia sempat melanjutkan, suara kekehan hingga dengkusan dari arah depan segera menyambutnya. “Dasar ceroboh!” Tisa menahan diri untuk tidak melihat wajah orang yang menyindirnya. Bibirnya mengerucut lucu, apalagi saat mengetahui Baralah yang menyindirnya. Sanjaya tersenyum kecil melihat ekspresi cemas Tisa, dia melirik ke arah anak pertamanya–Bara–, kemudian berkata, “Bar, ajak calon istrimu untuk berkeliling rumah ini!” “Baik, Pah.” Bara lantas berjalan menuju Tisa–calon istrinya– yang kini semakin merunduk, takut. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. “Mari!” Tangannya terangkat ke udara, tepat di depan calon istrinya. Tisa menelan kasar, melirik takut-takut akan keberadaan Bara yang begitu dekat dengannya. Dia bahkan bisa mencium aroma wangi yang menguar dari tubuh pria tersebut. Namun, gadis itu langsung mundur hingga beringsut ke belakang tubuh pamannya. “Tisa, apa yang kamu lakukan?” Galuh segera tersenyum canggung dan langsung menarik–hampir menyeret– lengan Tisa agar tidak bersembunyi di belakang tubuhnya. “Ikutlah dengan calon suamimu!” “Apa aku semenyeramkan itu?” Bara sedikit tersinggung. Jelas, selama ini sudah banyak wanita yang rela antri, bahkan bertekuk lutut agar mendapatkan perhatiannya. Namun, ada apa dengan gadis di depannya? Apa dia tidak normal? “Tapi, Paman….” Tisa langsung bungkam saat dirinya terus didorong oleh Galuh untuk mendekati calon suaminya. “Ayo!” Bara masih berusaha untuk tetap sabar, walau dalam hati sudah meledak-ledak. Awalnya, dia ingin menolak perjodohan itu. Akan tetapi, ayah mengancam akan menendangnya dari kartu keluarga. Sial sekali bukan nasibnya. Bara mulai muak dengan sikap calon istrinya. Dia sedikit mendekatkan tubuhnya dan berbisik, “Aku gak akan menjualmu jika itu yang kamu takutkan!” Tisa mendongak kaget, apalagi jarak wajah mereka yang cukup dekat. Dia sedikit mundur, kemudian mengangguk takut-takut. Bibir Bara tersenyum, lebih tepatnya menyeringai. Kini, dia mengambil tangan Tisa yang mungil. Keningnya heran saat merasakan tautan tangan mereka yang begitu pas dalam genggaman. Ada kehangatan di sana yang selama ini tak pernah pria dewasa itu temukan. “Apa kamu begitu takut padaku? Tanganmu berkeringat,” celetuk Bara. Dia sedikit menahan senyum saat menyadari jika calon istrinya gugup. Kini, mereka baru saja berbelok menuju lorong luas yang di setiap dindingnya memiliki lukisan, atau beberapa potret keluarga Sanjaya. Tisa mendongak untuk melihat wajah tanpa ekspresi di sampingnya. Bara terlalu tinggi untuk dirinya yang berpostur kecil. Jika tadi dia hanya melihat sekilas wajah calon suaminya, kini setelah mengamati dari samping dia bisa menyimpulkan, kalau Bara memang tampan, bahkan terlalu tampan untuk menjadi suaminya. “Iya, aku tahu, kalau aku tampan. Kamu pasti merasa insecure, ‘kan, nikah sama aku?” “Eh, kok, Om tahu?” “What? Om!”Seketika langkah Bara berhenti tepat di tengah lorong. Di belakang tubuhnya terdapat potret besar dirinya yang sedang memandang tajam. “Kau–”Tisa menelan kasar dengan bulu kuduk meremang, apalagi setelah ditatap begitu dingin oleh Bara. Gadis itu berubah menjadi gugup. “A-apa Tisa salah ngomong, O-om?”Bara menyeringai. Dengan cepat, ia mendorong Tisa hingga tubuh mungil itu terpojok di dinding. Hidungnya kembang kempis lantaran terus saja dipanggil ‘Om’ oleh budak kecil di hadapan. “Apa kau cari mati, Bocah?” Kedua tangan besar dan berotot milik Bara, kini mengukung tubuh calon istri kecilnya. Ia bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya.Tisa menggeleng panik.“Lalu, bagaimana bisa kamu memanggilku Om? Huh! Padahal, wajahku ini adalah aset termahal yang sulit didapatkan oleh siapapun. Terus, punya apa kamu sampai bisa menghinaku, Bocah?”Tubuh Tisa bergetar ketakutan, tetapi dia bersikeras jika apa yang diucapkan tidaklah salah. Pandangannya naik dengan bibir sedikit mengerucut.
Kini, semua tatapan tamu undangan terarah pada perempuan bergaun seksi dengan potongan gaun berdada rendah hingga membuat Tisa khawatir, kalau isinya akan tumpah ruah. Tisa semakin dibuat melongo saat wanita itu datang, kemudian mencium pipi kanan dan kiri Bara, tepat di depannya. Tangannya semakin mengepal ketika wanita seksi itu bergelayut manja di tubuh sang suami. Dia hendak menegurnya, tetapi suara ceriwis wanita itu sudah menginterupsi duluan. “Sayang, kok kamu mau, sih, nikah sama bocah ingusan itu? Apa selama ini kamu gak puas memilikiku?” Tatapan wanita itu tertuju sinis, bahkan mencemooh ke arah Tisa. “Lihat saja tubuhnya yang bagaikan papan penggilasan itu! Dan, hei! Kenapa ukuran dadanya … Auh, jauh banget sama milikku!” “A-apa?” Tisa tertawa aneh ketika dirinya dikatai oleh orang yang tidak dikenal. Tatapannya beralih ke arah miliknya yang tertutupi oleh gaun. Miliknya memang tidak sebesar milik wanita gila itu. Namun, dia tetap tidak terima. Sementara itu, Bara ter
Tisa langsung memejamkan mata karena kedua tangannya dikunci di belakang tubuhnya. “Om, sadar! Aku ini adalah gadis udik, jelek, dan cuma buruh pabrik. Jadi, lebih baik Om cari yang lain aja,” racaunya ngawur. Bara mendengkus. Dia langsung menyentil kening istri kecilnya. “Buka mata kamu, Bocah!” Suara pria di depannya begitu menuntut. Tisa menggeleng. “Gak. Tisa gak mau! Om harus pakai baju dulu!” Asal Bara tahu, kalau dirinya juga sekeras batu. “Om ingat, yah! Aku ini masih kecil. Om gak boleh ngelakuin hal bodoh dan dituduh sebagai pedofil!” Bara terbahak. “Sayangnya kamu sudah legal untuk menikah, Bocah! Jadi, aku bukan pedof1l seperti yang kamu tuduhkan. Mengerti!” Dia tidak tahu jika gadis yang baru saja dinikahinya begitu polos, atau pura-pura polos. Dia tidak peduli. Bara lalu berjalan mundur dan membiarkan Tisa seorang diri. “Apa kamu lupa jika kita sudah sah menjadi suami istri? Huh!” Bukannya menjawab, Tisa justru sibuk menilai tubuh sang suami. Menurut Tisa, Bara ter
Bara mengabaikan teriakan dan tawa adiknya, atau tatapan dingin ayahnya. Matanya menyipit penuh peringatan ke arah Tisa yang terus menempel hingga membongkar jika mereka tak tidur seranjang semalam. “Menyingkirlah!” bisiknya di antara gemertak giginya.“Gak mau, Om!” Gadis itu menggeleng imut. Dia bahkan tak malu menarik wajah Bara dan mengecupnya di depan adik ipar, serta ayah mertuanya. “Ini hukuman buat Om karena udah ninggalin Tisa semalam,” sambungnya dengan mata menyipit. Tangan Bara mengepal di dalam saku celananya dan jangan lupakan juga tatapan sedingin kutub Utara ditujukan pada sang istri.Tisa mengabaikan tatapan membunuh dari Bara. Dia dengan semangat menarik tangan suaminya untuk duduk di kursi yang sengaja disiapkan, tepat berada di samping gadis itu. “Em, Om Suami mau makan apa? Biar Tisa ambilkan.” Gadis itu sudah memegang piring dan bersiap menyendok nasi untuk Bara, tetapi pria itu justru menolaknya.“Aku bisa ambil sendiri,” katanya datar.“No, no, no!” Tisa meng
Melihat Bara yang tak bergerak, atau beritikad balik badan, akhirnya dia berjongkok. Memeluk dirinya sendiri. “O-om, kok, gak sopan banget, sih? Om mau modus, kan?” tanyanya dengan wajah memerah menahan malu. Bara gelagapan. Dia langsung berpaling, berdeham, lalu memunggungi Tisa. Detak jantungnya bertalu hingga dia merasa sesak. Namun, bukan Bara namanya jika tak pandai menutupi keadaan. Masih membelakangi Tisa, dia pun berkata, “badan kerempeng begitu gak bakalan bikin aku nafsu! Lagian, aku balik ke sini cuma mau ambil handuk, kok!” kilahnya lalu pergi. “Dasar Om mesum!” teriak Tisa sebelum pintu kamar mandi ditutup oleh Bara. Sementara itu, Bara sudah berada di kamar. Tatapannya melihat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Lekuk tubuh istrinya masih terngiang jelas dalam pikirannya. Bohong jika dia mengatakan tak terangsang. Namun, dia tak mungkin terang-terangan mengatakannya pada Tisa. Dia lalu melirik ke arah bagian bawah, celananya terasa sesak. Bara memejamkan mata d
“Bisa gak, sih, gak usah bikin kegaduhan di kamarku?!” Kehadiran Bara yang tiba-tiba membuat Tisa terlonjak kaget. Gadis Itu langsung duduk dengan benar. Namun, dia membuang muka ketika ditatap oleh sang suami. “Aku kan udah bilang sama kamu, kalau lapar ya, minum! Jangan makan!” Suara Bara kembali terdengar. Tisa yang sudah bosan diolok-olok segera angkat bicara. “Di mana-mana, kalau laper ya, makan, Om Suami. Om, tuh yang aneh!” Tisa balas mencibir. “Om itu kan udah tua, usianya jelas lebih dari Tisa. Tapi, masa gitu doang aja gak ngerti.” Bara memejamkan mata, menghindar dari tatapan seindah malam milik Tisa. Maniknya gelap dan Bara tidak suka. Ada perasaan aneh jika dia terus memperhatikannya. “Waktu aku sesusia kamu, aku terlalu sibuk belajar sampai gak tahu apa namanya jajan.” Tisa mencibir. “Yakin begitu?” Bara menaikkan satu alisnya. “Maksud kamu apa?” Tangannya yang ada di dalam saku celana gatal ingin menoyor kepala istrinya yang songong. “Om Suami kan pasti udah k
“Eits! Kakak-beradik gak boleh berantem!” Tisa melerai. “Lagian, ya, Tuan. Terserah kami berdua dong, mau manggil apa. Bocah, kek. Om, kek. Ya, itu terserah kami. Bagi Tisa,” ujarnya melirik ke arah sang suami, “Om Suami itu adalah lelaki yang sangat keren, ganteng, bahkan dia begitu baik sama Tisa!” Tisa berkata seperti itu karena mengingat bagaimana Bara yang mau menuruti kemauannya. Buktinya, sang suami memberinya satu kantong kresek cemilan. Baik, kan? Pujian itu ternyata membuat Bara besar kepala. Hidungnya bahkan langsung kembang kempis di pelukan sang istri. Satu sudut bibirnya menyeringai menatap Danandra. “See, apa perlu aku mengumumkan lagi kepadamu jika kami ini adalah pasangan suami-istri?” Bara terlihat bangga. Danandra melihat ke arah Tisa, lalu abangnya dengan kecewa. Namun, secepat kilat ekspresi itu berubah ceria ketika melihat lagi wajah gadis cantik di depannya. “Manis. Jika abangku galak dan tidak memperlakukanmu dengan baik, aku selalu ada di belakangmu, ok!”
Tanpa berbalik, Bara menjawab, “apa, sih? Kamu gak usah deket-deket aku, deh! Kamu itu bau!” “Bau?” Tisa kemudian membaui dirinya sendiri dengan hidung dienduskan. Namun, ia pikir tidak ada yang janggal. Ia tak menambahkan apa pun pada tubuhnya, bahkan parfum pun masih sama. Tisa menoleh mendongak, menatap sang suami yang tampak masih sibuk menutup hidung. Sekali lagi ia membaui bagian bahu dan lengannya. “Gak bau, kok, Om,” balasnya dengan wajah polos. “Tapi, kamu bau!” “Em, apa Om gak suka sama bau parfum Tisa?” Suara gadis itu terdengar bertanya-tanya. “Padahal, Tisa udah mandi loh, Om, tadi pagi. Jadi, kayaknya gak mungkin bau, deh!” Bara melirik Tisa dari balik bahunya. “Bukan parfummu, tapi bau micin yang ada di sekitarmu membuat hidungku gatel, Bocah!” balasnya, lalu kembali bersin. “Aish! Makanya ‘kan aku tadi bilang ke kamu, kalau aku tidak suka jika ada serpihan makananmu di kamar ini!” “Ahh, maaf, Om. Tisa gak tau.” Suara Tisa terdengar bersalah. “Tisa pikir, Om suam