Beranda / CEO / ISTRI KESAYANGAN OM BARA / Bab 1. Pemaksaan

Share

ISTRI KESAYANGAN OM BARA
ISTRI KESAYANGAN OM BARA
Penulis: Lavinka

Bab 1. Pemaksaan

“Pokoknya, aku nggak mau tahu, kamu harus menerima pinangan dari keluarga Sanjaya!”

Bagaikan disambar petir di siang hari bolong. Tisa berharap jika apa yang baru saja dikatakan oleh Pamannya–Galuh Wararui– itu hanyalah sekedar gertakan saja, bukan keharusan yang membuatnya harus kehilangan masa depan.

Dia baru berusia 19 tahun, lulus SMA saja belum lama, dan kini harus menikah di usia muda? Tidak pernah terlintas dalam benak Tisa Ratu Ayu untuk menjadi seorang istri di usia belasan tahun.

Gadis itu menatap pamannya dengan pandangan memohon. “Paman, tolong batalkan rencana ini! Tisa gak mau. Tisa masih pengin nyari duit sendiri.” Tisa menangkup kedua tangan, lalu saling digosokkan.

“Tisa, kamu itu bukanlah anak kecil lagi. Kamu sudah dewasa. Kamu harus tahu apa itu balas budi. Kalau kamu lupa, semua yang sudah Paman berikan ke kamu tidaklah sedikit, banyak, dan mahal,” sahut si Paman perhitungan.

Tisa semakin menunduk, meremas ujung dress bunga yang dipakainya. Surai panjangnya yang terurai jatuh menutupi wajah. “Tapi, Tisa gak mau nikah, Paman,” rintihnya menangis.

”Arghh!” teriak Galuh. Jari telunjuknya mengacung tepat di depan muka si keponakan, sedangkan wajah si paman sudah memerah menahan amarah. “Kalau bukan karena anakku yang kabur, aku juga gak bakalan nyuruh kamu, Bodoh! Keluarga Sanjaya itu adalah keluarga terpandang, tentunya aku bakalan kecipratan harta mereka. Tapi, gara-gara si Ratna, aku harus kehilangan semuanya!”

“Ja-di, Tisa hanya sebuah alat yang digunakan Paman sebagai pengganti Ratna?” gumamnya tak percaya. Tisa memberanikan diri untuk menatap Galuh. “Jadi, yang seharusnya menikah adalah Ratna, Paman? Bukan aku?”

Galuh mendengkus, berdiri dengan wajah tidak peduli. “Sudahlah! Kamu gak usah banyak tanya. Pokoknya, kamu harus pergi mandi sekarang juga! Terus, bersiap dan kenakan pakaian terbaikmu. Satu jam lagi, Paman akan menjemputmu!” ujarnya final.

“Tapi, Tisa nggak mau, Paman!” Ia menangis tergugu sambil berlutut di depan pamannya.

“Jika sekali lagi kamu mencoba mengulur-ulur waktu, Paman gak segan menjualmu ke rumah bordil!” Ancaman itu terdengar begitu menakutkan.

Tisa menggeleng panik. “Jangan, Paman! Tolong jangan lakukan itu!” pinta Tisa dengan air mata berlinang.

Bagi Tisa, rumah bordil bukanlah pilihan. Mungkin, menjadi istri dari salah satu anak Sanjaya jauh lebih baik daripada harus menjajakan tubuhnya di tempat seperti itu.

***

Kini, Tisa akhirnya sampai di depan sebuah gerbang tinggi di mana di dalamnya adalah milik keluarga Sanjaya, calon mertuanya. Melihat rumah bak istana di depannya, membuat gadis itu insecure. Apalagi, ketika pandangan pertama yang menyambut mereka adalah ruang tamu layaknya istana.

Tisa meremas tangannya sendiri. Semuanya bernuansa emas. Dari cat dinding, pilar-pilar tinggi, dan semua perabotan lainnya. Untuk bagian sudut kanan dan kiri diisi dengan banyak guci-guci besar yang harganya pasti mahal.

“Ekhem!”

Ketika mata gadis itu sibuk menjelajah ruangan, suara deheman dan langkah kaki dari depan membuat Tisa tersentak.

Matanya membelalak, melihat kedatangan dua orang lelaki tampan bak pangeran kerajaan. Mereka seolah baru saja keluar dari pintu ajaib yang berasal dari salah satu koridor istana. Mereka adalah Bara Langit Sanjaya, 35 tahun, dan adiknya Danandra Langit Sanjaya.

Sebelum berangkat ke sini, ia sempat browsing dan mencari tahu siapa-siapa saja keluarga Sanjaya. Lalu, pria yang berpenampilan kurang rapi, bahkan terkesan berantakan itulah yang dimaksud oleh pamannya.

Dua kancing kemeja terbuka, lalu lengan kemeja digulung asal hingga siku, rambut berantakan, itulah gaya khas seorang Bara. Pria matang yang pastinya digilai banyak wanita di luar sana.

Bodohnya, rona merah serta-merta langsung mewarnai pipi Tisa saat mata Bara tertuju padanya. Dia langsung menunduk malu karena ketahuan sedang meneliti paras rupawan calon suaminya.

“Membungkuk, Tisa!” Pamannya segera menepuk bahu sang keponakan.

“O-oh!” Saking gugupnya, Tisa justru menyenggol salah satu vas bunga yang berada tepat di sampingnya.

Pyarrrrr.

Suara itu begitu keras dan menggema sehingga membuat mata Tisa membelalak. “Matilah aku sekarang!” gumamnya ketakutan.

“Kau!”

Tisa bisa merasakan tatapan Galuh begitu tajam terarah padanya. Namun, sebisa mungkin dia mengabaikannya dan terus menunduk bersalah. “M-maaf, T-tuan! S-saya ak–” Sebelum dia sempat melanjutkan, suara kekehan hingga dengkusan dari arah depan segera menyambutnya.

“Dasar ceroboh!”

Tisa menahan diri untuk tidak melihat wajah orang yang menyindirnya. Bibirnya mengerucut lucu, apalagi saat mengetahui Baralah yang menyindirnya.

Sanjaya tersenyum kecil melihat ekspresi cemas Tisa, dia melirik ke arah anak pertamanya–Bara–, kemudian berkata, “Bar, ajak calon istrimu untuk berkeliling rumah ini!”

“Baik, Pah.” Bara lantas berjalan menuju Tisa–calon istrinya– yang kini semakin merunduk, takut. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas. “Mari!” Tangannya terangkat ke udara, tepat di depan calon istrinya.

Tisa menelan kasar, melirik takut-takut akan keberadaan Bara yang begitu dekat dengannya. Dia bahkan bisa mencium aroma wangi yang menguar dari tubuh pria tersebut. Namun, gadis itu langsung mundur hingga beringsut ke belakang tubuh pamannya.

“Tisa, apa yang kamu lakukan?” Galuh segera tersenyum canggung dan langsung menarik–hampir menyeret– lengan Tisa agar tidak bersembunyi di belakang tubuhnya. “Ikutlah dengan calon suamimu!”

“Apa aku semenyeramkan itu?” Bara sedikit tersinggung. Jelas, selama ini sudah banyak wanita yang rela antri, bahkan bertekuk lutut agar mendapatkan perhatiannya. Namun, ada apa dengan gadis di depannya? Apa dia tidak normal?

“Tapi, Paman….” Tisa langsung bungkam saat dirinya terus didorong oleh Galuh untuk mendekati calon suaminya.

“Ayo!” Bara masih berusaha untuk tetap sabar, walau dalam hati sudah meledak-ledak. Awalnya, dia ingin menolak perjodohan itu. Akan tetapi, ayah mengancam akan menendangnya dari kartu keluarga. Sial sekali bukan nasibnya.

Bara mulai muak dengan sikap calon istrinya. Dia sedikit mendekatkan tubuhnya dan berbisik, “Aku gak akan menjualmu jika itu yang kamu takutkan!”

Tisa mendongak kaget, apalagi jarak wajah mereka yang cukup dekat. Dia sedikit mundur, kemudian mengangguk takut-takut.

Bibir Bara tersenyum, lebih tepatnya menyeringai. Kini, dia mengambil tangan Tisa yang mungil. Keningnya heran saat merasakan tautan tangan mereka yang begitu pas dalam genggaman. Ada kehangatan di sana yang selama ini tak pernah pria dewasa itu temukan.

“Apa kamu begitu takut padaku? Tanganmu berkeringat,” celetuk Bara. Dia sedikit menahan senyum saat menyadari jika calon istrinya gugup. Kini, mereka baru saja berbelok menuju lorong luas yang di setiap dindingnya memiliki lukisan, atau beberapa potret keluarga Sanjaya.

Tisa mendongak untuk melihat wajah tanpa ekspresi di sampingnya. Bara terlalu tinggi untuk dirinya yang berpostur kecil. Jika tadi dia hanya melihat sekilas wajah calon suaminya, kini setelah mengamati dari samping dia bisa menyimpulkan, kalau Bara memang tampan, bahkan terlalu tampan untuk menjadi suaminya.

“Iya, aku tahu, kalau aku tampan. Kamu pasti merasa insecure, ‘kan, nikah sama aku?”

“Eh, kok, Om tahu?”

“What? Om!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status